Reportase

Pandeka Rancak dari Baringin Marapi

Langit bulan Juni di langit Nagari Sungai Pua, Kabupaten Agam, sore itu mendung. Gumpalan awan hitam bagai selimut raksasa menutupi langit. Udara dingin marambati kulit. Hujan turun. Sepanjang perjalanan saya melihat para peladang berteduh di bawah pohon dan pondok-pondok. Jalan aspal yang kami lalui sebagian besar sudah basah. Begitu juga tubuh kami berdua—saya dan ayah. Langkah telah tersorong, di kiri kanan badan jalan tidak ada emperan toko untuk tempat berteduh. Perjalanan tetap kami lanjutkan, janji untuk bertemu dengan Pandeka Rancak sudah jauh-jauh hari direncanakan. Biarlah tubuh basah kuyup, asalkan janji kami tidak seperti janji pejabat.

Sampainya di depan pintu rumah yang kami tuju, seorang lelaki tua berperawakan kira-kira 160cm, bertubuh ramping, kulit putih, mata sipit,  berkaca mata, memakai baju koko dan peci hitam menyambut kami. Hari telah sore. Wajah Pandeka Rancak sumringah menyambut kedatangan kami berdua. Ayah langsung mengerlingkan matanya kepada saya. Isyarat untuk salam cium tangan. Pendeka Rancak meminta anaknya untuk membuatkan kopi. Percakapan dimulai dengan basa-basi perihal bagaimana perjalanan menuju rumah beliau, di daerah mana kami awalnya diguyur hujan, di mana berteduh dan tentang mantel yang lupa kami bawa.

Sudah menjadi agenda wajib yang tidak tertulis bagi saya dan ayah mengunjungi Pandeka Rancak setiap  Hari Raya. Pernah suatu kali ayah tak sempat berkunjung ke rumah beliau karena masih sibuk bekerja di hari raya, Pandeka Rancak lah yang datang ke rumah kami. Namun itu akan membuat muka ayah memerah dan salah tingkah. Bagi kami, tindakan seperti itu adalah semacam kiasan. “Zaman memang sudah berubah. Sekali air besar, sekali tepian berubah. Sekarang guru yang menemui murid.” Ucap Pandeka Rancak sambil tertawa. Pastinya saya juga ikut tertawa. Wajah ayah saya makin merah, kalau ada Doraemon di sampingnya, mungkin ia akan memasukkan muka merah tersebut ke dalam kantong ajaib.

Sembari menunggu anak beliau membuatkan kopi, kami bercerita perihal agenda pencak silat yang batal karena pandemi, serta berbagi cerita kepahitan ekonomi. Kepada gurunya Ayah bercerita perihal orderan jahitan yang tertunda karena bahan baku tidak tersedia sampai sulitnya uang untuk membeli kebutuhan pokok sehari-hari. Wajah ayah memelas, Pandeka Rancak mendengarkan dan langsung memberi saran dan nasehat-nasehat kepada muridnya.

Pandeka Rancak juga tidak kalah sulitnya. Agenda silat yang dirancang jauh-jauh hari batal. Perguruan Silat Baringin Marapi—sasaran silat yang ia dirikan bersama anak dan kemenakannya—lengang selama tiga bulan. Padahal sasaran Baringin Marapi sedang dalam persiapan untuk mengikuti acara-acara festival silat yang telah terjadwal tahun 2020 ini.

Mengingat anak sasian yang beliau latih tidak hanya berasal dari Nagari Sungai Pua saja, maka segala proses latihan harus dihentikan. Ada yang datang dari Ampek Angkek, Bukittinggi dan daerah sekitarnya. Perguruan Baringin Marapi terbuka untuk masyatakat umum. Siapa saja yang ingin belajar dan bergabung ke sasaran tersebut, disambut dengan tangan terbuka di patalangan. Karena kebijakan PSSB maka segala bentuk persiapan dihentikan dahulu.

Kopi yang kami nanti pun datang, Saya langsung mengalihkan percakapan. Perihal pencak silat dan perjalanan Pandeka Rancak dari masa ke masa di dunia persilatan Nusantara. Mulai dari proses awal Pandeka Rancak belajar silat, pengalaman selama bergiat di pencak silat dan kehidupan sehari-hari Pandeka Rancak.

Nama asli dari Pandeka Rancak adalah Syafni Sutan Rajo Mudo. Ia merupakan salah satu tuo silek tradisional Minangkabau yang menguasai beragam aliran silat tradisi. Mulai dari aliran Kumango, Silek Tuo, dan Aliran Sungai Patai. Namanya memang tidak setenar Iko Uwais, Cecep Arif Rahman dan Yayan Ruhian yang telah mendunia berkat film-film laga yang mereka bintangi. Bahkan di laman-laman budaya, jurnal, artikel, dan Wikipedia pun tidak ada tulisan yang mengulas tentang Syafni. Padahal ia salah satu penggagas perguruan silat yang telah mendunia: Baringin Sakti. Dari perguruan silat Baringin Sakti inilah, PPS Satria Muda Indonesia, perguruan silat saya dan ayah, berawal.

Ketertarikan Syafni untuk belajar pencak silat berawal dari melihat kakeknya bersilat. Kakeknya bernama Idi Sutan Rumah Panjang. Seorang pesilat yang menguasai aliran Kumango. Kakek Syafni satu sasaran dengan Syekh Kumango. Niat Syafni untuk belajar tidak lansung disambut baik oleh kakeknya. Kakeknya beberapa kali menolak permintaannya. Dengan alasan Syafni tidak akan sanggup melewati proses latihan yang keras. Namun Syafni tidak patah semangat, ia tetap ingin belajar silat dengan kakeknya. Kemana si kakek pergi ia terus ikuti. Mulai dari menyiangi ladang, berdagang ke Payakumbuh. Melihat kesungguhan niat Syafni, sang kakek pun dibuat luluh dan mau melatih Syafni. Belum cukup setahun berlatih, Tuhan menguji Syafni. Sang Kakek meninggal dunia. Saya dibawa hanyut ke masa lalu membayangkan Syafni kecil sedang bersedih  kehilangan kakek sekaligus gurunya.

“Selang beberapa hari, mamak saya yang satu sasaran dengan kakek mendatangi saya. Ia berjanji akan melatih saya sampai masak. Ia berkata tidak ada yang bisa menarik kapal yang sudah tersorong ke tengah laut kembali ke dermaga. Jalan satu-satunya adalah mengantarkannya melewati amuk badai ke tujuan awalnya.” Saya mendengar cerita Syafni penuh antusias. Mata kami beradu tatap.

Syafni juga bercerita tentang pasangan latihannya di aliran silek Kumango yang bernama Marsani Rang Kayo Mudo. “Gerakan dan ketangkasannya bagus. Ia bisa dengan mudahnya melepaskan kuncian saya. Makin berkeringat badannya, kecepatan langkah dan kunciannya makin berbahaya. Kalau tidak konsentrasi, kita bisa mencium tanah akibat sapuan kaki dan bantingannya.” Jarang-jarang seorang Tuo Silek mau memuji pesilat lain secara terang-terangan. Meskipun pesilat itu saudara satu sasaran. Jika  tuo silek sekaliber Syafni saja mengakui kehebatan Marsani, saya pasti lansung mempercayainya lahir dan batin.

Penasaran dengan sosok Marsani yang diceritakan Syafni, saya menanyakan keberadaannya. Kalau rumahnya tidak jauh dari rumah Syafni saya akan menemui pasangan silat Syafni yang tangguh tersebut. “Kalau  mau bertemu dengan dia, rumahnya sekarang sama dengan kakek saya.” Raut muka Syafni kembali murung. Matanya berkaca-kaca. Syafni melanjutkan “sudah puluhan tahun saya bersilat, sekian banyak gelanggang yang saya tapaki, dan ratusan pesilat yang menjadi pasangan saya ketika membuka gelanggang. Tidak ada yang bisa menggantikan Marsani.”

Ketika Syafni selesai berbicara, azan Magrib berkumandang. Kami shalat dahulu. Baru melanjutkan cerita. Saya masih tertegun duduk di atas karpet ketika Syafni dan ayah saya menuju tempat berwudhu. Selesai shalat, cerita kami lanjutkan. Pembahasan kami saya alihkan dari membahas kakek Marsani ke julukan Pandeka Rancak yang tersemat pada diri Syafni. Hal ini sudah lama ingin saya tanyakan kepada beliau. Namun karna jadwal beliau yang padat dan saya kuliah di Padang maka tidak ada waktu tepat untuk bercerita. Sebelum menanyakan, jauh-jauh hari saya hanya menebak-nebak arti dari julukan tersebut.

Saya pikir julukan Pandeka Rancak berasal dari gerakan balabeh-nya yang indah atau dari buka langkah silat yang diperagakan Syafni. Ketika saya nyatakan hal tersebut Syafni tertawa. “Bagus atau tidaknya gerakan yang diperagakan pesilat di atas gelanggang tidak bisa dinilai dari langkah dan balabeh-nya saja. Banyak hal-hal lain yang harus dilihat dari pesilat tersebut. Mulai dari sikapnya di gelanggang, ketepatan penggunaan jurus, dan bagaimana pesilat tersebut menguasai gelanggang. Itu hanya beberapa contoh.” Tangan Syafni bergerak-gerak memainkan balabeh silek Tuo.

”Julukan Pandeka Rancak tersebut saya terima dari salah satu tokoh pada cerita randai yang saya mainkan ketika muda dulu. Tiap pagelaran saya selalu ditunjuk memerankan tokoh Pandeka Rancak. Maka melekatlah julukan itu sampai sekarang. Bahkan lebih populer dari gelar adat yang saya sandang.” Wajah Syafni kembali cerah. Hati saya pun ikut senang melihatnya.

Rumah tempat kami berteduh ini dibangun oleh tangan Syafni sendiri. Pada masa mudanya, mata pencarian Syafni beragam. Mulai dari berladang, memproduksi gula, dan pekerja bangunan. “Saya tidak pernah pilih-pilih dalam bekerja. Masa muda itu bagi saya adalah masa untuk belajar. Dan pada masing-masing pekerjaan yang saya tekuni sampai sekarang masih saya rasakan manfaatnya. Salah satunya rumah ini. Tidak perlu menyewa pekerja bangunan. Saya dan anak-anak yang mengerjakan.”

Selain melatih silat, menjadi dewan juri dan menggagas agenda silat di Sumbar, pendiri perguruan Silat Baringin Marapi ini dinobatkan sebagai Tuo Silek Gadang “Maestro Silat” pada acara Silek Art Festival tahun 2019. Ia menerima penghargaan tersebut bersama H. Syofyan Nadar dari perguruan silat Satria Muda Indonesia, dan H. Syafril Murad.

Alur cerita kami keluar masuk gelanggang. Sesekali saya ditarik ke masa lalu, kemudian hadir kembali di ruang dan waktu yang sekarang oleh pengalaman yang diceritakan Syafni. Ayah saya menjadi pendengar yang setia malam itu.

Malam kian larut, udara dingin semakin menusuk tulang. Saya dan ayah memutuskan untuk pulang. Mengingat kondisi kesehatan Syafni juga. Saya bersalaman dengan nyiak Syafni dan ia berkata: sekali dimulai,.. belum selesai ia berbicara, lansung saya sambung “titik mati baru berhenti!” Syafni tertawa. Mata sipitnya semakin hilang tertutup kelopak matan. Ia memeluk saya lebih lama dari biasanya. (*)

Ilustrasi: Talia Bara

Editor: Randi Reimena

 

Related posts
Reportase

Tunduk Pada Tanah: Mengaliri yang Kering dengan Seni Pertunjukan

Reportase

Yang Tersuruk dan Terpuruk: Kisah Transpuan di Sumbar

Reportase

Suatu Siang di Senen Bersama Ihsan Puteh 

Reportase

Menebas Jarak di Festival MenTari #3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *