Reportase

Padang Teater Menolak Mati

Padang Teater selama ini lebih dikenal sebagai surga bagi para pria hidung belang kalangan ekonomi menengah ke bawah yang ingin merasakan indahnya nikmat duniawi. Kawasan tersebut identik dengan tempat “esek-esek”. Akan tetapi, apabila ditelusuri lebih jauh
ke dalam kita akan menemukan “surga” lain berwujud toko buku bekas yang menyediakan kepuasan nikmat duniawi lainnya melalui buku-buku bekas yang dijual dan disewa dengan harga murah.

Bersembunyi di balik gedung dua lantai persegi empat, yang apabila masuk melalui Blok A melewati jembatan penyebrangan kita akan menemui persimpangan yang akan memulai petualangan kita dikawasan Padang Teater, kiri adalah barisan salon “esek-esek” yang berjajar untuk melayani kepuasan nafsu para pria, sedangkan kanan menuju nikmat dunia lainnya untuk menjaga kewarasan pikiran atas kondisi dunia yang makin hari makin aneh. Pilihan ada ditangan kita masing-masing, dan Saya memilih belok kanan.

Hari ini hanya kurang dari 10 toko buku bekas tersisa di kawasan ini, dari toko yang tersisa pun hanya 5 masih rutin buka sesuai jam operasionalnya.

Jika biasanya jajaran bangku di depan tokonya dihuni oleh puluhan pelajar atau pegawai negeri sipil yang ingin menghabiskan waktu senggang dengan membaca atau meminjam buku agak sehari, sekarang jangankan duduk lewat saja enggan.

***

Arianes duduk menanti di depan toko kecil ukuran 2 meter persegi, ia duduk sendiri dengan sebuah buku cerita misteri di tangannya. Pemilik toko bertubuh gempal dengan tinggi sekitar 165 cm itu sudah sejak 40 tahun silam bergelut dengan pasar raya dan toko buku bekas.

Jangan bertanya sepi pengunjung pada ayah 3 anak ini, ia akan mengutuk telepon pintar hadiah kemajuan zaman. “Sekarang semua sudah ada di telepon pintar, mau informasi apa saja ada dan tidak ribet,” ucapnya penuh kecaman “Mana mau orang menyempatkan datang kesini,” sambungnya.

Semua berawal dari 1989 lalu, Arianes kecil yang biasanya membantu sang ayah sepulang sekolah di toko buku bekas ini sempat kehilangan asa. “1989 waktu itu kawasan padang teater terbakar hebat,” jelasnya memulai cerita.

Toko buku milik ayah Arianes pada saat itu ludes, tidak ada satu buku pun terselamatkan. “Semuanya habis, ayah saya harus memulai lagi dari awal,” papar pria yang sudah 40 tahun berkecimpung di kawasan Pasar Raya itu.

Nasib buruk tidak datang sekali pada Arianes, setelah kehilangan toko buku yang dilahap si jago merah, selang beberapa bulan setelah itu ayahnya juga turut pergi dipanggil yang maha pencipta. Baginya kebakaran toko buku dan kehilangan sosok ayah tentu jadi masalah yang kompleks.

Tapi pria yang besar dalam kehidupan jual beli ini tidak putus asa, niatnya hanya satu memulai kembali membuka toko buku bekas di tempat yang pernah ditempati sang ayah. “Kebakaran itu dulu di sini, lalu kembali saya mulai lagi di tempat yang sama,” ucapnya.

Toko buku Arianes terletak di pojokan kawasan padang teater, jika pengunjung masuk dari Jalan Jendral Sudirman, sebelum simpang tiga akan terlihat tangga besar di sisi kiri jalan. Dari tangga itu pengunjung biasanya akan dihantui oleh godaan pemilik salon “esek-esek” perempuan paruh baya yang berdandan rapih.

Jangan tergoda di sana jika ingin melihat toko Arianes karena jika sudah tergoda pengunjung akan berakhir di salon esek-esek yang berada di sebelah kiri kawasan padang teater. Sedangkan toko Arianes berada di sebelah kanan kawasan padang teater dari tangga tersebut. Tokonya berada persis di ujung jalan di sisi kanan.

Biasanya Arianes sendiri yang akan menawarkan para pengunjung untuk singgah atau sekedar bertanya. Di depan toko Arianes akan terpampang majalah, komik serta novel dan koran. Kumpulan buku tersebut yang jadi ciri khas dari toko ini.

Toko buku itu dibangun Arianes sendiri setelah kebakaran hebat serta kehilangan ayahnya. Toko buku itu ia mulai dengan 3 karung buku bekas pada tahun 1990. “Saya pergi ke pasar senen Jakarta untuk mendapatkan 3 karung buku bekas untuk dijajakan kembali disini,” terangnya.

Tiga karung buku bekas yang didapatkan Arianes di pasar senen pada tahun 1990 menjadi modal awal toko bukunya sampai saat ini. “Buku bekas di pasar senen itu banyak dan harganya murah-murah,” papar pria yang sempat duduk di bangku perguruan tinggi itu.

Buku- buku dari pasar senen itu kembali ia tata rak sepanjang dinding yang ia buat dari kayu. Ada juga buku yang digantung bahkan bertumpuk di atas meja. Tatanan buku tersebut sudah diinventarisir oleh Arianes berdasarkan jenis, judul dan pengarangnya.

Setiap buku yang tersusun  tersebut ia jual  serta pinjamkan jika ada pengunjung yang berminat. Harganya tentu lebih murah dari buku baru. Serta kualitasnya sesuai dengan harga tersebut.

“para pengunjung selain membeli juga bisa meminjamnya untuk baca di tempat atau bawa pulang,” paparnya. Jika pengunjung ingin membaca di tempat cukup merogoh kocek seribu rupiah tanpa  ada batas waktu.

Namun jika pengunjung ingin meminjam untuk dibawa pulang, harus ada jaminan uang sebesar harga buku dan biaya peminjaman Rp 2.000 untuk satu malam. “Kebanyakan kalau sudah baca di  sini dan tanggung, pengunjung membawa pulang buku tersebut,”jelasnya. Pengunjung yang meminjam buku untuk dibawa pulang jika mengembalikan tepat waktu, Arianes hanya memotong biaya peminjaman dan mengembalikan uang jaminan.

Harga Rp 2.000 itu pada tahun 90an lampau kalau sekarang pengunjung cukup merogoh kocek sebesar Rp 3 ribu jika ingin membaca di tempat. Dan biaya peminjaman buku bawa pulang seharga Rp 5 ribu permalam. “harganya bisa di negolah sesuai kesepakatan,” celoteh Arianes saat merinci harga bukunya.

Dihitung mundur sejak toko ini dikelola Arianes tahun ini toko itu sudah berumur 31 tahun. Jumlah bukunya juga semakin banyak, terlihat rak buku sudah tidak mampu menampung koleksi buku Arianes. Kebanyakan buku sudah ditumpuk di atas meja dan tetap diikat sesuai pengarang dan jenisnya.

Bermula dari 3 karung buku dari Pasar Senen Jakarta, setiap bulannya Arianes berusaha menambah koleksinya dari toko buku yang ada di Kota Padang. Tiap bulan minimal ia menambah 10 koleksi buku di tokonya.

“Setiap bulannya saya tambah dengan buku baru dari Gramedia, Sari Anggrek dan Gober (toko buku di pulau karam),” kenangnya. Namun ternyata koleksi itu sudah tidak lagi update selama 2 tahun belakang karena kondisi pandemi serta pengunjung yang semakin sepi.

Arines juga membeberkan asal mula kawasan padang teater ini sepi sejak dirinya mengelola toko buku di sini. Awal mulanya terjadi pada tahun 2004 saat bencana gempa dan tsunami mengguncang provinsi Aceh.

Ia mengenang pada kejadian gempa aceh 2004 toko bukunya porak poranda. Semua buku yang tersusun jatuh dan berantakan. “Saya harus menyusun kembali selama 3 hari, agar buku bisa tertata seperti semula,” kenangnya. Gempa tersebut memang tidak memakan korban buku di tokonya tapi masyarakat sudah mulai trauma pergi ke kawasan padang teater tempat ia berjualan.

“Sejak gempa 2004 itu pengunjung agak takut naik ke sini, selain tempatnya berada di lantai dua pengunjung juga takut melihat kondisi gedung,” paparnya. Sejak saat itu pengunjung toko buku Arianes mulai menurun.

Penurunan ini terlihat jelas pada gempa 2009 mengguncang Sumatera Barat, gempa berkekuatan 7,9 sr itu hampir meruntuhkan separuh Kota Padang. Trauma gempa 2009 membuat pengunjung padang teater benar-benar terpukul.

Meski gempa tersebut hampir menghancurkan setengah Kota Padang, tapi tidak dengan toko buku Arianes. Toko bukunya hanya kembali berantakan, sehingga ia membutuhkan waktu 3 hari untuk membersihkannya.

“Sejak gempa 2009, bisa dibilang pengunjung turun sangat drastis dari sejak awal saya memegang toko ini,” kenang pecandu cerita Wiro Sableng itu. Tidak hanya gempa yang membuat pasar teater sepi pengunjung terutama toko buku tapi kemajuan teknologi juga jadi penyebabnya.

Menurut Arianes keberadaan telepon pintar membuat orang mudah untuk mengakses informasi. Terlebih saat ini di telepon pintar banyak ragam bacaan bajakan yang bisa di download dengan mudah.

Tidak hanya bacaan melalui telepon pintar para penggunanya juga dimanjakan dengan berbagai fitur. Hal ini membuat para pengunjung setia Arianes dari mulai pelajar, mahasiswa dan pekerja mulai pudar.

Bahkan dalam satu hari ia bisa tidak mendapatkan satupun pengunjung. Toko buku ini bagi Arianes adalah bentuk kecintaannya pada dunia literasi.

Perjalanannya sebagai pedagang buku bekas di kawasan padang teater sejak usia remaja dengan beragam kisah yang menemaninya, membuat bapak 3 anak itu tidak pernah membawa anaknya ke tempat ini. “Saya tidak mau mereka seperti saya, saya tidak pernah membawa mereka kesini,” ujarnya. Ia mengaku hanya ingin anaknya tidak lagi meneruskan langkah bapaknya.

“Toko ini adalah lambang pentingnya literasi, satu lagi toko ini juga gambaran bahwa ilmu tidak hanya untuk mereka yang punya uang,” tegas pengagum Asmaraman S Kho Ping Hoo itu.

Waktu itu sehabis hujan di pasar padang teater, guyuran hujan lebih nyaring dari langkah kaki dan gesekan kertas tahun 90an. Di tempat yang sama namun tidak banyak yang tersisa saat ini, padahal bukan tidak mungkin banyak orang sukses pernah berkunjung ke tempat ini. Entah untuk birahi nafsu atau ejakulasi literasi. (*)

Foto: Mona Triana

Editor: Luthfi Saputra

About author

Alumnus Ilmu Politik Universitas Andalas
Related posts
Reportase

Tunduk Pada Tanah: Mengaliri yang Kering dengan Seni Pertunjukan

Reportase

Yang Tersuruk dan Terpuruk: Kisah Transpuan di Sumbar

Reportase

Suatu Siang di Senen Bersama Ihsan Puteh 

Reportase

Menebas Jarak di Festival MenTari #3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *