Minggu 30 April 2023. Dengan terburu-buru aku menuju Mangunsarkoro A/10 tempat bersembunyinya Rimbun Coffee di tengah dominasi dan hagemoni kopi susu dan kopikustik yang melanda iklim perkopian Padang akhir-akhir ini. Seolah waktu tak berarti, setelah sebelas tahun menjelma kedai kopi, Rimbun tak banyak berubah dari yang pernah kutemui pertama kali saat masih SMA hingga dapat menyelesaikan skripsi saat kuliah. Tanpa melebih-lebihkan, Rimbun memang punya magis dan daya tarik sendiri—hal-hal di luar nalar yang tak dapat dicerna logika dan diterjemahkan oleh panca indera, sesuatu yang di luar kemampuan manusia.
Tak akan bercerita lebih banyak soal Rimbun, karena yakinlah satu kota ini sudah tahu dan lebih mengenal kedai kopi itu daripada aku. Maksud kedatanganku kali ini tidak untuk melepas rindu dengan cold brew yang biasa aku pesan, juga tidak sekadar nongkrong seperti biasanya, tetapi untuk memenuhi ajakan Bang Verdi dari (at)demajors Padang untuk turut serta memeriahkan Music Merch Fest atau Festival Cendera Mata Musik.
“Lah emang punya kaos band bisa dirayakan?” Pikirku spontan setelah mendapat kabar ajakan tersebut. Ada-ada saja memang.
Di tengah tidak jelasnya cuaca Kota Padang, aku menyusuri jalan menuju Rimbun. Perjalanan terasa makin jauh sebab aku tak dapat lagi membedakan apakah jalan-jalan mulai menyusut atau orang-orang yang memang telah ramai.
“Kota ini makin sesak dan tumbuh asing!” umpatku sembari terus mencari celah di antara motor, mobil, dan truk agar secepatnya dapat tiba di Rimbun. Tidak sendirian, aku bersama Si Au, Bang Hemi, disusul Ariq. Sesampainya di Rimbun aku lekas memesan minuman dan ternyata untuk hari itu bagi yang menggunakan kaos band dapat potongan harga 10%. “Oh apa ini yang dimaksud dengan merayakan punya kaos band?” Gumamku sumringah saat menuju venue kegiatan di Lantai 2 Rimbun.
***
Tanggalkan Baju Perang. Kenakan Merch Band Andalan. Rayakan Peristiwa Bersama. Itu adalah tagline yang dicampaign dalam kegiatan ini dengan mengajak kawan-kawan band, musisi, visual artist, music merch store dan para penggemar musik untuk bersama-sama membuat ‘peristiwa’ dan perayaan atas musik dan kelindannya dengan merchandise.
Layaknya hari raya, aku mengenakan pakaian terbaikku: t-shirt The Beatles. Si Au mengenakan The Brandals dan Ariq Silampukau. Sementara Bang Hemi memilih pakai kaos anime. Agaknya wibu satu ini terlalu malu untuk mengenakan kaos .Feast, band kesayangannya yang beberapa waktu lalu kembali menjadi sorotan, bukan karena karya, tetapi karena salah satu personilnya terbukti melakukan pelecahan seksual. Mau heran, tapi ini .Feast. Ckckck.
Aku datang ke sana bukan tanpa persiapan. Dari rumah aku telah menghafal judul-judul lagu dari kaos band yang aku kenakan, untuk jaga-jaga kalau ada polisi skena yang menodongku dengan “Sebutkan 3 lagu The Beatles”. Karena mengenakan kaos band tanpa mengetahui lagu-lagu atau barang sedikit sejarah tentang band tersebut merupakan tindakan yang gegabah. Meresahkan memang. Tapi orang-orang menyebalkan seperti itu memang nyata adanya. Sayang sekali, tidak ada polisi skena di Music Merch Fest. Tak mau terlalu larut dalam kekecewaan aku mencoba untuk mengikuti rangkaian kegiatan yang telah direncanakan.
Pada proposal kegiatan yang aku terima, terdapat ajakan untuk “Bersama-sama, berfestival, membuat peristiwa-peristiwa kecil, disatukan dipadukan dengan menyemat Music Merch Fest.” Kegiatan yang digagas oleh LIBSTUD dan FSTVLST ini merupakan bentuk penghargaan terhadap ekosistem musik yang melibatkan kerja-kerja kreatif, seperti proses produksi dan pengoleksian cendera mata atau merchandise band. Selain Padang, perayaan ini juga diselenggarakan di beberapa kota, di antaranya: Ajibarang, Bandung, Banjarnegara, Gunungkidul, Klaten, Lampung, Makassar, Salatiga, Semarang, Subang, Tuban, Palopo, Purwokerto, Wates, dan Yogyakarta. Di Yogyakarta, kegiatan ini diselenggarakan selama tiga hari dari tanggal 30 April hingga 2 Mei 2023 di LIBSTUD (Liberates Creative Colony).
Music Merch Fest di Padang sendiri berisi beberapa kegiatan yang berkaitan dengan musik dan merch. Antaranya vinyl listening session dan DJ set session. Juga pameran karya visual merchandise musik, pameran arsip merchandise band, pameran koleksi merchandise, dan pameran dalam bentuk lainnya. Gelaran ini juga jadi ajang jual beli merchandise band baik baru ataupun second secara online di marketplace ataupun beli langsung di tempat. Ada juga talk show.
Mengutip catatan kuratorial yang ditulis oleh Arsita Pinandita, bahwa “Pertemuan antara musik dan merchandise perlu diinisiasi bersama sebagai cara pandang untuk merayakan titik juang bermusik.” Ia menekankan pentingnya menjaga keberlangsungan skena musik sembari menjaga keterhubungan antara penggemar dan musisi. Dalam Press Release Music Merch Festival 2023 juga disebutkan bahwa kegiatan ini merupakan jalan untuk menebalkan titik temu di antara para musisi, penggemar musik, desainer, dan pelapak merchandise.
Hal tersebut menegaskan bahwa kegiatan ini bukan cuma untuk sekadar ngumpul-ngumpul belaka. Lebih jauh, ia merupakan upaya untuk merawat ekosistem yang secara tidak langsung telah terbentuk dari sebuah karya musik, yaitu musisi, penggemar, pedagang, tukang sablon kaos, dan pihak-pihak lainnya yang berada dalam ekosistem tersebut. Disebutkan juga bahwa merchandise band yang diproduksi merupakan simbol, identitas, dan ideologi dari kelompok musik tersebut. Sehingga ikatan antara musisi dan para penggemarnya yang terjalin melalui rilisan fisik, seperti kaos, CD, pita kaset, buku, topi, bendera, dan pernak pernik lainnnya menjadi hal yang penting sebab ada keseimbangan yang harus tetap dijaga.
***
Setibanya di Lantai 2 Rimbun, talkshow sedang berlangsung dengan tajuk “Merchandise untuk Apa?” Bincang-bincang tersebut dipandu oleh VRD bersama Bangojik, dan Vyndo Dollin. Karena terlambat, tak banyak yang dapat aku tangkap dari sesi diskusi yang diadakan. Sehingga memaksaku untuk bertanya-tanya pada beberapa kenalan yang mengikuti sesi ini dari awal. Selain itu aku menemukan sekumpulan pengunjung dengan bermacam kaos band yang mereka kenakan. Tanpa polisi skena tentunya. Beberapa yang kukenali seperti Mocca, Kelompok Penerbang Roket, Goodnight Electric, The Adams, Barasuara, Seringai, The Sigit, dan jelas saja banyak yang tak aku kenali, atau kukenali secara samar-samar, tapi tak pernah kudengar ataupun ulik.
Proses interaksi seperti ini yang mungkin coba ditawarkan Music Merch Fest, pikirku yang memang sudah muak dengan algoritma Spotify yang terus mendikte selera musikku hingga menumpulkan nalar untuk mencoba mengenali lebih dalam sebuah band dan karyanya.
Di dinding Lantai 2 Rimbun terpajang beragam merchandise. Ini merupakan bagian dari Archive Music Merchandise Exhibition, yaitu semacam pameran arsip merchandise dari band dan musisi lokal Sumatera Barat lintas-genre. T-shirt musisi dan band seperti Brian Rahmattio, Ghostbusters, Manhorse, Seraphic of Violence, Sunna, The Secret, VEXED, dan Zizi, tergantung memenuhi dinding lengkap dengan keterangan pembuat karya dan barcode yang bisa discan untuk langsung didengarkan di Spotify.
Pameran ini akan berlangsung selama sebulan, targetnya memang agar band atau musisi yang merchandisenya ditampilkan dapat dikenali lebih luas, khususnya oleh para pelanggan Rimbun Coffee. Pameran. Kata yang masih menggelitik di benakku itu sontak membuat teringat kejadian beberapa waktu lalu. Bahwa ternyata ada yang lebih berbahaya dari polisi skena, yaitu polisi pameran.
Pada kesempatan kali ini aku tak akan menghakimi kenapa kaos band tersebut digantung dengan tali plastik atau nilon, ataupun untuk memastikan apakah karya yang ditampilkan sudah mendapat izin dari si pembuat karya. Tidak, aku tidak sekurangkerjaan itu untuk menuliskan hal tersebut di sini. Kalaupun ada, aku akan langsung bertanya saja pada pernyelenggara kegiatan. Tetapi ada satu hal yang unsatisfying menurutku, pada beberapa t-shirt yang dipamerkan aku memperhatikan bahwa masih saja terdapat t-shirt yang bahannya kelewat tipis hingga terlihat seperti baju partai, potongan dan jahitan yang kurang rapi ataupun sablon yang kurang bagus. Sebagai penggemar, aku tentu saja ingin mendukung band atau musisi yang aku sayangi dengan membeli merchandise yang dirilis. Akan tetapi aku tentu juga menginginkan kualitas yang baik dari rilisan tersebut. Sedikit yang kupahami, ini jelas untuk menekan harga, sehingga mengorbankan kualitas produksi, hal yang sebenarnya tidak pernah diharapkan oleh konsumen ataupun produsen. Semoga kedepannya ditemukan rumus baru yang membuat produksi berkualitas dengan harga yang pantas dan terjangkau oleh para penggemar. Sama-sama puas. Semoga isu ini juga jadi pembicaraan di Merch Music Festival kedepannya.
Setelah break maghrib, terlihat orang-orang mulai bercengkrama dan berinteraksi satu sama lain di bawah guyuran lagu-lagu yang terputar dari turntable. “Oh sudah masuk Listening Session” gumamku. Vinyl Listening Session dibawakan Naluri Session dan Tunes by DJ Set Session oleh Sweet Madness dan Bebop. Beranjak dari tempat duduk, aku menuruni anak tangga kayu Rimbun menuju keluar. Hampir serupa dengan di Lantai 2, di sini pun aku dapati orang-orang berkumpul berinteraksi, namun ada bedanya—di sini ada booth Music Merch Pop Up Market oleh NOIR666METERS dan (at)demajors Padang. Di market ini beberapa pengunjung tampak memilih dan membeli merchandie, seperti t-shirt dan rilisan fisik. Pada sesi ini, para audiens yang hadir seperti dibiarkan lepas dan bebas, apakah mau ngobrol-ngobrol, jajan merchandise, ataupun sekadar duduk menikmati musik yang disajikan. “Memang begitu konsepnya,” ujar Bang Verdi.
Malam itu, di bawah pohon-pohon besar Mangunsarkoro dan lantunan lagu-lagu dari Fleur aku pamit dan menjanjikan pada Bang Verdi bahwa tulisan ini akan siap dalam beberapa hari. Memacu sepeda motor untuk kembali menjajaki jalanan kota yang tak lagi kukenali ini. (*)
Editor: Randi Reimena
Foto: @ekyblur2kali