Bagaimana cara menikmati pertunjukan tari? Bagi saya, jawabanya datang saja dulu lihat festival tari. Pernah saya melihat pertunjukan tari dan mendapat semacam kekosongan jiwa yang mengasyikkan karenanya. Itu berkat ‘datang saja dulu.’ Dan dengan berbekal etos ‘datang saja dulu’ itu, saya geberlah motor andalan ke ISI Padang Panjang, menebas 57 km jarak dari Sawahlunto, mau lihat Festival MenTari #3. Kebetulan juga, garak.id diberi kehormatan oleh penyelanggara festival sebagai media partner.
Gedung Boestanul Arifin di di ISI Padang Panjang, di mana Festival MenTari bakal digelar, mulai ramai. Udara Padang Panjang yang dingin tak menghalangi para pengunjung yang makin lama makin bertambah. Hari itu Selasa, 31 Oktober 2023, hari kedua Festival MenTari.
***
Satu tubuh muncul dari sudut kegelapan di ujung tepi sisi kanan panggung. Tubuh itu awalnya diam, memperagakan beberapa gerak silat secara tiba-tiba, dicampur gerak lainnya yang saya tidak kenali. Yang jelas, semua gerakan itu berjalan dalam tempo naik turun. Seperti tubuh yang gelisah, yang mencari-cari jalan keluar kegelisahan itu.
Satu tubuh itu kemudian menghilang di sudut lain panggung. Bersamaan dengan itu, 3 penari, 3 tubuh lainnya muncul pula secara tiba-tiba. Pakaiannya mirip-mirip baju kebaya ibu-ibu Bundo Kanduang dengan warna hijau muda. Di satu titik, mereka memainkan koreografi secara serentak, di titik lainnya, mereka mulai bergerak sendiri-sendiri. Bukan tidak beraturan gerak masing-masingnya, namun seperti ditata sedemikian rupa sehingga kesan bahwa 3 tubuh itu tengah saling berseteru (atau berdialog) begitu kuat.
Di tengah puncak perseteruan, tubuh pertama kembali muncul, seperti mau menyudahi perseteruan itu. 3 tubuh yang telah mengganti kostum menjadi serba hitam, tampak tunduk tak kuasa di hadapan tubuh pertama. 1 di antara 3 tubuh itu bahkan menghilang, seperti dikalahkan oleh tubuh pertama tadi.
Tubuh pertama itu lalu mulai menguasai panggung, membuat berapa gerakan yang jelas diambil dari gerak silat minang, dan mulai berjalan (sambil terus bersilat) ke sisi panggung lainnya. Sementara dua tubuh berpakaian hitam mengapitnya di kiri kanan, seolah sedang mengantar jenazah ke pemakamannya. Dan setelah sampai di ujung panggung, lampu mati. Semuanya hitam. Tubuh pertama tadi mungkin telah mati. Atau dia justru berhasil keluar dari polemik tiada henti dengan tubuh-tubuh lainnya? Berdamai lalu melesap ke tubuh-tubuh lainnya?
Tubuh lama…
Ruang baru…
Menjadi bagian dari tubuhku saat ini…
Demikian tulis koreografer Intania Ananda Jonisa di sinopis karya berjudul Tubuh yang Berdamai itu.
***
“Bahasa tari adalah bahasa tidak verbal yang dilantunkan pada penonton, dan penonton berimajinasi atas itu,” kata Hartati, salah seorang koreografer yang menginisiasi festival MenTari.
Saya berjumpa dan ngobrol-ngobrol dengan Hartati beberapa waktu sebelum pementasan dimulai. Bersama SEKOCI (Serikat Koreografer Cahaya Indonesia), Hartati memulai merancang Festival MenTari pada 2019 lalu. Festival ini, lanjut Hartati, adalah wadah berkarya yang dirancang sedemikian rupa demi dunia tari dan keberlanjutan generasi tari di Sumatera Barat. Festival MenTari telah dimulai semenjak 2021 lalu. Kali ini adalah tahun ketiga festival dengan tema ‘Jarak’.
***
Dua penari perlahan muncul dari kegelapan. Suara-suara ambien terdengar. Bersamaan dengan itu, dua musisi juga muncul meski mereka seperti berdiri dalam keremangan. Dua penari itu seperti memasang kuda-kuda silat, berupaya melakukan kontak fisik secara slow motion—saya seperti melihat adegan film Matrix—namun selalu gagal. Seperti ada jarak di antara keduanya yang, meski sangat tipis sekali, punya daya tolak luar biasa besar. Kau bisa bayangkan dua kutub berbeda dari magnet ukuran kecil yang dengan sia-sia ingin kau tautkan. Dan mereka seperti melawan daya tolak tersebut, melawan jarak tersebut.
Lama kelamaan, gerakan mereka bertambah temponya. Makin cepat, makin intens. Begitu juga musiknya. Sampai di satu titik mereka berhasil berkontak fisik, bertaut. Namun momen itu tak lama. Mereka segera kembali berjarak. Memulai kembali adegan slow motion, yang kadang terlihat seperti dua pendekar silat tengah jual beli pukulan, makin lama makin cepat, dan seperti sebelumnya, lagi-lagi mereka berhasil mempertautkan diri.
Saya ceroboh karena tidak menghitung berapa kali momen ‘pertautan’ tersebut terjadi, berapa kali mereka berhasil mengatasi jarak. Saya juga luput mencatat apakah di akhir pertunjukan mereka dalam posisi bertaut atau berjarak. Ataukah mereka tidak pernah betul-betul bertaut? Jangan-jangan apa yang saya ingat dan lihat hanyalah imajinasi sendiri. Mungkin otak saya bekerja agak lambat karena dinginnya malam Padang Panjang.
Karya tersebut adalah kolaborasi dua koreografer, Ahmad Iqbal dan Mike Hapsari, berjudul Letak. Iqbal adalah koreografer asal Sumbar, sementara Mike berasal dari Surakarta. Dari sinopsis karya yang saya baca belakangan, saya pahami mereka ingin mempertunjukkan bagaimana menundukkan jarak dengan penuh ketelatenan dan rasa sabar. Koreografinya dikembangkan dari gerak silek kumango, salah satu varian silat Minangkabau.
***
“Salah satu kelemahan koreografer muda kita adalah ketika merumuskan konsep dan mengembangkan gagasan,” sambung Hartati dengan suaranya yang tenang dan dalam.
Akibatnya, lanjut Hartati, koreografi yang diciptakan kadang tidak menunjang gagasan yang diusung, atau sebaliknya. Balam bahasa Hartati, “gagasannya tidak menubuh”.
“Struktur dramaturgi, struktur karya, juga kerap tidak kuat,” tambahnya. Musik tari juga masih jadi masalah. Kadang musiknya enak didengar, tapi tidak terhubung dengan tarinya. Padahal, masih kata Hartati, musik penting untuk menyokong konsep yang diusung si koreografer.
Di samping itu, ada aspek penting lainnya yaitu artistik. “Penggunaan benda-benda visual dalam tari. Apakah ia berbentuk audio-visual, atau pakaian, seharusnya merujuk pada konsep karya tadi.”
Keempat hal tadi, kata Tati, mesti terikat pada konsep karya. Dan inilah yang coba ‘dibereskan’ di Festival MenTari.
Jadi, festival ini tidak hanya jadi ruang untuk menampilkan karya saja. Lebih dari itu, ia juga adalah proses. Sebelum menampilkan karyanya, para koreografer mengikuti beberapa kelas online selama dua minggu.
Karena tahun ini temanya ‘jarak’, maka dibuatlah bincang-bincang soal jarak di awal. “Kita bikin seminar buat membicarakan jarak dari berbagai perspektif, dari sosiologi misalnya. Koreografer yang mengikuti program, kemudian mengambil ide atau gagasan dari pembicaraan-pembicaraan soal jarak,” jelas Hartati lebih jauh.
Dari sana, para koreografer lalu merumuskan konsep bersama mentor dalam kelas Ide, Gagasan, dan Konsep. “Ngomong jarak pakai apa, pakai tali misalnya,” jelasnya lagi. Untuk kelas ini, mereka dimentori Heru Joni Putra.
Setelah berhasil mendapatkan gagasan dan menurunkannya menjadi konsep, mereka mengikuti lagi kelas dramaturgi bersama Dinda Luthvianti dan Renee Sari Wulan, dimana struktur karya dibentuk dan dirancang. Kemudian mereka ikuti kelas musik tari bersama musisi Taufik Adam dan Jecko Siompo. Di tahap akhir digelar kelas artistik. Di kelas ini mereka belajar artistik bersama perupa Hanafi.
***
Tidak tetap atau Pasif adalah suatu yang “Ada”, maka kamu dan aku adalah ‘dia’ yang terus mengembara.
Demikian sinopsis karya kolaborasi koreografer Adityawarman asal Sumbar dan Eyi Lesar dari Manado, berjudul Colere. Sinopsis itu saya baca jelang mereka mentas, dengan harapan dapat memangkas jarak antara penonton awan seperti saya dengan suatu karya tari. Barangkali karya ini soal bagaimana pengembaraan mengatasi jarak, pikir saya.
Ini adalah pertunjukan ke-3 di malam itu. Dibuka dengan aksi yang annoying: para penarinya yang menggunakan senter sebagai properti, mengarahkan cahayanya ke arah mata penonton. Posisi mereka di panggung yang masih gelap, mempertajam cahaya senter itu. Mungkin ini sebentuk provokasi untuk penonton agar lebih memperhatikan panggung, atau bisa jadi semacam pengunguman bahwa penonton akan segera menyaksikan pertunjukan yang beda.
Bagaimanapun pertunjukan berlanjut. Cahaya panggung makin terang. Para penari tampil mencolok dengan seragam ala fitness, menonjolkan otot-otot liat mereka. Maskulin sangat tubuh-tubuh itu. Pilihan musiknya pun terdengar seperti musik pengiring acara senam pagi di televisi.
Tak lama berselang, para penari berganti kostum ala ala streetwear. Kali ini mereka membawa properti baru ke panggung. Motor listrik dan skateboard. Musik berganti pula, seperti memperdengarkan keriuhan dan ketergesa-gesaan masyarakat urban. Motor listrik itu berkeliling panggung, membunyikan klakson tiap sebentar. Penari dengan skateboard, menjelajahi panggung, mencoba beberapa trik meski tidak cukup berhasil. Kemacetan, sesuatu yang macet dan membuat muak. Itu satu kata yang muncul di kepala saya.
Tak lama setelahnya, mereka lagi-lagi ganti kostum. Kali ini mereka keluar memakai rok dalam dengan dada dibiarkan terbuka. Feminim sangat di mata saya. Musiknya bertukar lagi. Di telinga saya, terdengar seperti musik trance yang biasa diputar di diskotik. Lampu panggung kembali padang. Para penari dengan rok itu, kembali menyalakan senter di kedua tangan mereka. Bergerak agresif layaknya orang lagi party. Tanpa sadar, kepala saya ikut ajeb-ajeb.
Tiga bagian pertunjukan itu mungkin ingin menunjukkan suatu ‘ketidaktetapan’ seperti ditulis dalam sinopsi, suatu perpindahan atau transisi dari yang maskulin ke yang feminim, dengan adegan perantara yang macet—situasi yang berhasil dilampaui para penari.
***
Sinopsis karya terbukti membantu saya memangkas jarak dengan sebuah karya tari. Ini juga yang saya rasakan saat menyaksikan karya keempat yang tampil malam itu. Simpang 4 Tambah 1 judulnya, karya koreografer kelahiran Pasaman, Rajif Ayunda. Begini cuplikan sinopsisnya:
Bahasaku, bahasamu, dan bahasa kita yang berbeda terkadang membuat sebuah jarak namun tidak menjadikan kita berjarak dan begitulah sebaliknya.
Jika tidak membaca sinopsisnya, saya pasti berpikir ini adalah semacam karya absurd, tanpa konsep, tanpa intensi untuk menyampaikan apapun kecuali absurditas itu sendiri.
Karya ini dibuka dengan ceracauan dua orang penari ke telinga penari yang berdiri mematung. Dua penari itu jelas ingin berkomunikasi dengan penari yang mematung itu. Tapi bahasanya tidak jelas, hanya mereka berdua yang mengerti. Kadang terdengar sedikit bahasa minang, tapi lebih banyak dengusan tak berketentuan yang keluar. Dan si penari yang ingin mereka ajak berkomunikasi, tetap diam seribu bahasa, mematung dengan elegan (ada penari lainnya yang juga diam mematung). Jika koreografer ingin menyampaikan betapa dalam dan jauhnya jarak bahasa, maka ia berhasil menurut saya.
Adegan yang ingin saya sebut ‘si bisu berasian’ ini, ketika orang ingin mengatakan mimpinya tapi terhalang bahasa itu berlangsung cukup lama. Di satu momen, entah kenapa mereka seperti menemukan titik sambung. Mungkin karena para penari yang berceracau itu mulai memprovokasi penari yang diam mematung dengan seperangkat gerak tari. Dua penari yang mematung itu awalnya mencoba kabur, menutup telinga sekuat tenaga, namun mereka terus diikuti para penceracau—tidak dibiarkannya mereka pergi.
Musik pengiring tari tak kalah meracaunya. Saya yang buta metronom tak bisa mengikuti tempo musiknya. Lebih terdengar seperti kekacauan musiknya, benda-benda tak jelas yang dipukul-pukul secara acak.
Bagaimanapun penarinya yang totalnya ada lima, akhirnya bisa berinteraksi lewat gerak. Dua penari yang awalnya mematung, mencoba kabur, kini bergerak agresif, seperti ledakan rasa muak, meladeni gerak tiga penari penceracau tadi.
***
Sejak tahun 2021, Festival MenTari telah menyediakan ruang untuk 20 koreografer, dan melibatkan 8 orang mentor ahli interdisipliner dari luar Sumatera Barat. Keterangan ini tertulis di salah satu postingan akun Instagram resmi Festival MenTari @festival_men_tari. Rancangan program tahun ini terdapat pengembangan baru yaitu berskala nasional, karena melibatkan 5 koreografer luar Sumatera Barat (Jakarta, Manado, Solo, Kalimantan, Bangka Belitung) yang berkolaborasi dengan 5 koreografer Sumatera Barat.
Direktur Festival MenTari, Susas Rita Loravianti mengatakan, “Festival ini ingin mencari dan memunculkan bibit baru yang potensial di dunia tari Sumatera Barat.”
“Tanpa adanya festival, kita tentu tidak tau bagaimana perkembangan regenerasi koreografer di Sumbar,” lanjut sosok yang biasa dipanggil Bunda itu.
“Mereka yang dijaring lewat open call tahun ini, dilihat juga portofolionya, karya-karya sebelumnya, mana yang paling potensial, ada proses kurasi. Ini bagian kurator. Ada Dede Pramayoza, Roza Muliati, dan Sherli Novalinda sebagai kuratornya,” lanjut Bunda.
Lima koreografer yang terpilih adalah hasil kurasi. Mereka adalah koreografer-koreografer muda asal Sumbar. Festival ini ternyata semangatnya lebih ke gotong royong. Tak ada pendanaan besar-besaran. “Kita disokong oleh salah satunya Danaindonesiana. Koreografer-koreografer dari luar Sumbar, datang ke sini dengan fasilitasi oleh Dananindonesiana,” tambah Bunda.
Selama ini, dalam amatan Bunda, ruang untuk berkarya para koreografer muda di Sumbar bisa dikatakan sangat terbatas. “Yang banyak kan lomba-lomba tari, baik lomba tari tradisi atau tari kontemporer”.
Masalahnya, lanjut Bunda, kalau dalam lomba-lomba seperti itu, para koreografer mengejar dan terikat dengan penilaian. Mulai dari kerapian dan seterusnya. Dan hal tersebut dilihat Bunda tidak cukup memadai untuk merangsang munculnya kreativitas.
“Kan sudah terikat dengan penilaian dengan indikator-indikatornya itu. Nah, di Festival MenTari, kita beri ruang lebih untuk berkreasi, mengembangkan secara kreatif tema yang diusung festival,”
Jadi, kita bisa berharap munculnya koreografer-koreografer muda yang potensial dari Sumatera Barat. Yang betul-betul berkarya dengan kesenimanannya, bukan dalam kerangka menang-kalah seperti dalam lomba-lomba itu. Selain itu, mereka juga bisa membangun jaringan dengan koreografer-koreografer luar Sumbar serta para mentor yang berpartisipasi dalam festival ini.
Tidak hanya munculnya koreografer muda yang jadi tujuan Bunda dan kawan-kawan SEKOCI, namun juga munculnya manajer-manajer festival baru yang handal.
“Festival ini juga jadi ajang belajar bagi mahasiswa-mahasiswa yang tertarik dengan manajerial pertunjukan. Yang memanage MenTari ini kan mahasiswa-mahasiswa semua. Karena manajemen seni pertunjukan itu unsur penting dalam memajukan dunia tari kan? Ada yang berkarya dan ada yang memanage pertunjukan karyanya,” jelas Bunda.
“Kami ini, saya, Uni Tati (Hartati) dan teman-teman lainnya, hanya memfasilitasi. Semoga lahir koreografer-koreografer muda, manajer seni muda, proses regenerasi tidak terputus. Hanya itu harapan kami,” pungkas Bunda.
***
Bunyian Lapau karya kolaborasi koreografer asal Sumbar, Cici Moren, dan Abib Habibi Iqbal dari Kalimantan Tengah, menjadi nomor penutup Festival MenTari malam itu. Seperti judulnya, karya ini mengusung konsep lapau Minangkabau. Dari sinopsis karya, Cici dan Abib saya memahaminya sebagai upaya untuk menghadirkan semacam cara baru dalam peristiwa lapau lintas zaman di mana segelas kopi meruntuhkan sekat dan jarak. Tak ada tua muda, semua melebur, mengaburkan jarak. Dan semua itu terejawantahkan lewat laku dan bunyi di lapau: kebisingan, perdebatan, candaan, dan curhatan.
Pertunjukan ini dimainkan tiga penari pria dan satu penari perempuan. Ada beberapa properti yang digunakan, gelas, dan sendok. Meja tampaknya merupakan properti utama, meja lapau pusat peristiwa. Di sekitar meja itulah kebisingan, perdebatan, candaan, dan curhatan bertemu, menjelma jadi bunyi-bunyian: pukulan-pukulan ritmis di pinggir meja atau denting-denting gelas saat mengocok telur.
Meja, gelas, sendok, memang dipakai sebagai instrumen musik, di samping musik ‘eksperimental’ yang dimainkan musisi di tepi panggung ketika para penari tidak memainkan musiknya. Kadang-kadang suara-suara itu saling berbenturan, kadang seiring sejalan membentuk pola tertentu, memancarkan kemeriahan dan keriaan lapau.
Saat kemeriahan dan keriaan itu mulai berubah menjadi perdebatan, tempo musik yang dimainakn tiga penari makin cepat. Dan di saat yang tepat, penari perempuan (mungkin sekali pemilik lapau) langsung mengendalikan situasi: Naik ke atas meja—sepanjang pertunjukan hanya penari perempuan itu yang punya otoritas untuk naik ke atas meja. Gerak tarinya, seperti banyak berangkat dari gerak silek Minang.
Meja di sisi kanan panggung, yang menjadi pusat peristiwa, didatangi dan ditinggalkan secara periodik. Setelah mengeksplorasi ruang panggung, semua penari akan kembali ke meja. Keriuhan kembali dimulai, meja dipukul-pukul, gelas berdenting-denting. Makin lama makin intens, hingga akhirnya semua gelas dihempaskan ke lantai panggung. Bunyi pecahnya gelas-gelas itu terasa begitu menggentarkan, antiklimaks keriuhan atau perdebatan. Panggung kembali gelap. Keriuhan dan keriaan pindah ke deretan bangku penonton. Tepuk tangan panjang membahana.
***
Saya menyesal melewatkan pertunjukan di malam pertama, hanya bisa saksikan pertunjukan di hari ke-2. Selain karya-karya di atas, ada lima karya lainnya yang ditampilkan di malam pertama. Ada karya kolaborasi Nurima Sari dan Siti Alisa; karya regular Dendi Wardiman, Fadila Ozania, Ridho Aulia, dan karya kolaborasi Oki Satria dan Popo Julihartopo.
Menjelang tengah malam, dingin Padang Panjang makin menusuk. Seluruh pertunjukan telah berakhir. Malam itu ditutup dengan sesi diskusi dengan para koreografer. Dalam sesi diskusi ini, beberapa tafsir atau pemahaman saya terhadap beberapa karya terkonfirmasi (ternyata saya penikmat tari yang punya sedikit bakat juga jadi pengamat. Haha), seperti Simpang 4 tambah 1 karya Rajif Ayunda. Dalam diskusi, ia bilang memang mengangkat adanya jarak bahasa antara dirinya dan masyarakat yang berbeda secara bahasa.
Malam makin dingin menjadi-jadi. Embun makin tebal, terasa dinginnya saat hinggap di wajah. Jam sudah menunjukkan setengah duabelas malam. Saya harus pulang ke Payakumbuh, menaklukkan 48 km jarak biar bisa sampai di kasur di rumah ibu. Dan di sepanjang jalanan tengah malam yang lengang, perasaan ‘kekosongan jiwa yang mengasyikkan’ itu datang lagi. Saya jalankan motor pelan-pelan, menghirup dalam-dalam udara yang sepertinya disediakan khusus oleh Gunuang Marapi di kanan saya dan Gunuang Singgalang di kiri, larut dalam perasaan asik yang bikin lapang hati. (*)
Foto-foto: dokumentasi Festival MenTari #3