Sebuah kota tanpa skena musik bawah tanah pastilah kota yang membosankan. Dan Padang hari ini, dalam pandangan saya, secara umum adalah kota yang membosankan. Dengan Perda-perda syariat-nya yang tidak substansial itu; dengan baliho-baliho iklan layanan masyarakat serta baliho-baliho tokoh masyarakat yang memampangkan wajah-wajah bahagia dengan aksesori Islam dan Minangnya itu; dan dengan akun-akun media sosial berfollower besar yang mengatasnamakan Padang (dan Sumbar), yang mempromosikan gaya hidup kelas menengah perkotaan yang penuh keriaan lengkap dengan keelokan alamnya itu.
Semua itu ingin memberitahu kita bahwa dunia ini baik-baik saja dan bahwa tak ada yang perlu kita lakukan kecuali memperbaiki moralitas orang lain dengan cara mencoblos seorang pemimpin atau bergabung dengan sebuah partai yang norak. Namun di luar selubung produk-produk budaya arus utama itu, hidup suatu ruang budaya yang sama sekali berbeda: Menace Space.
***
“Awalnya pinjam-pinjam” kata Rengga saat menjelaskan bagaimana ia dan beberapa temannya ‘patungan sound sistem’ setiap akan mengorganisir gigs di masa-masa awal membangun Hardcore Mayhem—cikal bakal Menace Space. Kini Menace Space sudah punya sound sistem sendiri yang oke buat menghajar sekalian telinga penikmat musik keras. Sesekali sound sistem itu disewakan buat EO-EO komersial, lanjut Rengga. Namun kalau buat kegiatan non-profit, sound sistem di Menace, biasanya tersedia gratis. Kawan-kawan dari komunitas-komunitas seperti Shelter Utara atau Irik Koleb, misalnya, tak jarang mendapat pasokan sound sistem gratis dari Menace.
“Kita emang terus berusaha mandiri secara ekonomi”. Kira-kira demikian tanggapan Ronny yang, sama seperti Rengga, adalah salah satu pengelola Menace Space. Uang hasil penyewaan sound sistem serta hasil penjualan produk-produk seperti merchandise, CD, dan kadang t-shirt, mereka gunakan untuk biaya operasional Menace Space. Kadang kala, di saat-saat tersulit, mereka membuka donasi publik atawa crowdfounding. Kalau buat mengadakan gigs konsepnya juga patungan. Patungan antar band. Setiap band adalah partisipan gigs dengan cara mendonasikan sejumlah uang yang bakal digunakan, selain buat perawatan sound sistem, juga buat uang kas yang bakal mereka gunakan lagi buat organize gigs berikutnya. Selain itu mereka juga membiasakan budaya beli tiket masuk untuk setiap gigs. Uangnya lagi-lagi digunakan buat tujuan yang tadi itu. Jadi, kalau boleh saya bilang, dalam soal gigs, Menace ini semacam fasilitator bagi band-band independen.
Tapi menganggap Menace Space cuma sebatas ‘fasilitator’ juga kurang tepat. Menace Space lebih dari itu. Ia telah menjadi ruang bagi berkembangnya suatu budaya pembangkangan.
***
Malam itu, saat saya dan Hemi (salah satu kontributor di Garak.id) ngobrol-ngobrol dengan Rengga dan Ronny di Menace Space, ingatan-ingatan tentang tahun-tahun pertama 2000-an seolah mendesak keluar dari timbunan memori. Tentang suatu gerakan budaya di masa-masa itu, tentang musik dan pembangkangan. Kalau kau ingin menyebutnya nostalgia atau upaya meromantisir suatu dekade, sebetulnya saya tidak begitu peduli.
Faktanya, zine pertama yang saya baca diproduksi di Padang. Itu terjadi di awal-awal 2000-an, di jaman pra-internet. Saya tidak ingat persis judulnya, yang jelas zine itu berisi tawaran cara berpikir yang tidak saya dapat di bangku sekolah. Ia memberi konsep-konsep seperti penindasan, eksploitasi, tirani, otoritarianisme, dst., untuk menjelaskan krisis ekonomi dan sosial yang saya alami sehari-hari di Payakumbuh—sebuah kota yang berjarak sekitar 123,8 Km dari Padang. Selain dari lirik-lirik lagu Iwan Fals, zine-zine itu lah yang turut mengubah cara saya melihat realitas sosial. Lewat lirik lagu dan zine, saya memperoleh berbagai artikulasi baru.
Di Padang, dalam masa yang sama, telah terbentuk ‘dunia bawah tanah’. Studio-studio band dan label-label independen bermunculan. Berbagai konser musik digelar dengan orasi-orasi politik anti-otoritasnya lengkap dengan olok-olok terhadap simbol-simbol otoritarianisme dan militerisme yang selama ini disakralkan. Bebagai macam zine dengan semangat yang sama dicetak, dicopy dan disebarkan. Di tempat-tempat dan waktu-waktu tersebut, suatu alternatif bagi suatu tatanan sosial di masa depan dibayangkan. Kultur pembangkangan ini menyebar dengan cepat ke kota-kota lainnya di Sumatera Barat.
Dalam masa yang sama, gerakan massa dan mahasiswa baru saja menggulingkan Suharto. Militer dan polisi yang mendapat pukulan telak, belum sepenuhnya kalah dan menerima Supremasi sipil dengan kesatria. Apa yang disebut musik bawah tanah ketika itu masih punya lawan dan tujuan yang jelas: mengikis sisa-sisa Orde Baru meski tanpa metode yang jelas kecuali musik dan pembangkangan.
***
Rengga adalah salah satu anggota grup band Krisis sementara Ronny tergabung dengan Divine Cult. Sehari-hari, di luar aktvitas di Menace Space, Rengga berdagang di kawasan Pasar Raya Padang sedang Ronny bekerja sebagai konten kreator serta penyiar di beberapa stasiun radio. Teman-teman di Menace yang malam itu juga ngobrol sama kami, juga memiliki ‘periuk beras’ masing-masing. Rata-rata mereka bekerja sebagai desain grafis dengan klien dari berbagai penjuru dunia. Artinya, Menace Space bukanlah lahan bisnis bagi mereka. Bisnis dan komunitas, bagi mereka, adalah dua hal yang berbeda.
Beberapa tahun belakangan, komunitas-komunitas musik underground mengalami serbuan perusahaan rokok. Melalui funding-fundingnya, mereka membentuk komunitas baru atau ‘mengkooptasi’ komunitas-komunitas yang telah ada. Mereka tidak hanya mengubah musik yang lekat dengan kultur pembangkangan itu menjadi jinak, namun juga mengakibatkan semacam ketergantungan finansial. Tidak jarang beberapa komunitas atau gerakan musik berbasis perusahaan rokok mati seiring minggatnya funding.
“Bisa jadi, saat korporat masuk, karakter orang-orang di dalamnya jadi berubah. Karena udah bicara profit ‘kan?” terang Ronny saat kami membahas soal fenomena founding rokok di komunitas-komunitas musik belakangan ini. “Seandainya korporat itu datang, dan Menace menerimanya, bagaimana jika suatu saat mereka pergi? Sementara Menace udah terbiasa disuapi dana? Belum lagi bicara soal larangan-larangan, misalnya larangan bawain lagu-lagu politik?”.
***
Yang alternatif, telah lama dimusuhi oleh yang mainstream dengan watak dominasinya. Ia adalah ancaman langsung, ia adalah pembangkangan terhadap yang mainstream sekaligus dominan itu. Dalam sejarah, Padang dan kota-kota utama di Sumatera Barat lainnya, telah menyaksikan betapa kolonialisme memusuhi habis-habisan sesuatu yang menawarkan alternatif bagi bobroknya tatanan kolonial.
Sekolah-sekolah alternatif yang didirikan di kota-kota Sumatera Barat di luar rezim pendidikan kolonial pada awal-awal dekade 1900-an, segera diberangus dan dicap sebagai sekolah liar oleh otoritas kolonial. Surat kabar-surat kabar aternatif dibreidel setelah dituduh menghasut dan menyebarkan permusuhan pada pemerintah. Para jurnalisnya ditangkap dan dibuang. Organisasi-organisasi alternatif di luar organisasi resmi dibubarkan. Organisasi-organisasi pedagang yang mencoba mendanainya ditekan sedemikian rupa secara politik dan ekonomi sampai kempes.
Satu-satunya yang boleh hidup adalah sekolah-sekolah, koran-koran, dan organisasi-organisasi yang tahu membalas budi dan mau jadi anak jajahan yang patuh dan baik bagi otoritas kolonial atau setidaknya mau berkompromi.
***
Soal pengebirian sikap politik dan ‘donasi’ perusahaan rokok menjadi salah satu perhatian Ronny dan kawan-kawan di Menace Space. Di berbagai kesempatan, mereka mendiskusikan persoalan ini secara intens. Dalam penilaian saya, bagi mereka, mandiri secara ekonomi berarti jaminan bagi kemandirian dalam bersikap, termasuk sikap politik. Karena itulah, mereka sangat menekankan pentingnya kemandirian ekonomi.
Di Sumatera Barat, Menace Space adalah satu dari sedikit komunitas (musik) yang selalu punya sikap tegas dan jelas terkait isu-isu sosial politik. Saat petani-petani di kaki Gunung Talang, Solok, mengalami opresi dari aparat negara terkait pembangunan Geothermal, mereka dengan tegas mengecam tindakan tersebut dan menyatakan solidaritas terhadap para petani. Begitu juga saat terjadi penggusuran di Taman Sari, Bandung, atau konflik warga dengan perusahaan semen di pegunungan Kendeng. Lewat musik dan penggalangan donasi, mereka menyatakan keberpihakan pada kaum tertindas dengan tegas dan jelas.
Diskusi soal musik dan politik, nonton bareng filem-filem yang diproduksi secara independen serta pemutaran berbagai dokumenter bertema gerakan sosial, atau berbagi pakaian dan membuka dapur umum, adalah kegiatan-kegiatan lain yang sering digelar di Menace Space di luar intensnya gigs sebelum pandemi menyerang. Dari berbagai ornamen di Menace Space orang akan segera tahu kalau mereka tengah mengkampanyekan gagasan anti rasisme, fasisme, dan seksisme.
“Apakah ini berarti di Menace ada semacam kaderisasi dan indoktrinasi?” Tanya Hemi. “Bukan begitu, kami tak pernah memaksa orang berpikir sebagaimana kami, atau saya, berpikir. Kami cuma melakukan hal-hal yang kami anggap baik, setelah itu terserah juga. Itu aja sih”.
Saya sendiri tak bisa membayangkan kegiatan-kegiatan dan iklim macam ini bakal ada seandainya Menace Space membuka ‘kerja sama’ dengan perusahaan rokok. Ia akan kehilangan daya untuk membentuk dan menawarkan gagasan alternatif lalu segera berubah menjadi pendukung status quo yang jelas-jelas bangkrut.
***
Setelah 1998, Indonesia pelan-pelan memasuki ‘jaman normal’. Pertumbuhan ekonomi membaik, bahkan Indonesia lolos dari krisis global 2008. Kelas menengah baru bermunculan di perkotaan. Kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat akibat formula ekonomi neoliberal tertutupi oleh riuhnya kelas menengah baru yang memegang peran penting di media baru, media sosial.
Skena musik bawah tanah di Sumatera Barat, ikut masuk ke jaman normal ini. Hingar-bingar di masa-masa 2000-an sudah hilang. Kecuali perlawanan sekejap mata terhadap ‘arabisasi’ pada permulaan dekade 2010-an dan penolakan terhadap RUU Permusikan, secara umum musik Bawah Tanah di Sumatera Barat bisa dikatakan sudah puas dengan ‘pembangkangan estetik’, merasa kondisi baik-baik saja, dan ‘kehilangan lawan’. Akan tetapi, dengan tergesa-gesa, ia segera mencari artikulasi-artikulasi politik baru begitu nuansa krisis mulai muncul seperti tampak pada dua pemilihan presiden terakhir.
Ronny membenarkan hal tersebut. “Sekarang ada juga underground-underground yang rasis, lho. Yang jargon-jargon supremasi pribumi dan anti china, ada itu. Di Padang ini juga sempat muncul. Meski begitu kami tidak juga melarang mereka main ke sini, paling jadi bahan tertawaan”.
Hyper Nasionalisme, kota-isme, bahkan militerisme kini muncul sebagai artikulasi baru di dunia bawah tanah. Di sisi lain, beberapa komunitas memilih tetap bertahan hidup dalam ‘jaman normal’ pasca-1998, menjauhi persoalan politik dan sebisanya memisahkan diri dari sirkel ‘berbau politik’ untuk menjamin kelangsungan kerjasamanya dengan lembaga pemerintahan atau perusahaan rokok. Sikap ini pada dasarnya telah menciptakan garis demarkasi tertentu dengan komunitas lain.
Di luar dua kutub itu, Menace Space terus hidup, menolak bungkam, dan menolak menjadi eksklusif. Ia terus berupaya menjadi ruang bersama. Menace Space tidak hanya menjadi tempat bagi political music yang gahar namun juga terbuka bagi berbagai bentuk ekspresi musikal lainnya. Berbagai grup musik independen dengan beragam genre, sudah pernah menjajal lantai Menace Space. Para pekerja seni dan pekerja kreatif lainnya, pernah berkolaborasi dalam berbagai kegiatan di Menace Space. Dari pameran zine, sampai semacam festival tatto.
Skena yang lazimnnya identik dengan yang lokal dan terbatas itu kini defenisinya memang telah berkembang. Semenjak lima tahun yang lalu Menace Space rutin menggelar United Forces, suatu iven yang melibatkan musisi-musisi dari berbagai negara dan telah menjelma menjadi salah satu gigs bawah tanah yang diperhitungkan di kawasan Asia Tenggara. Skena di suatu kota di pantai barat Sumatera kini bisa menjadi space untuk musisi lintas negara. Mengatasi sekat-sekat adiminstratif, melampui garis demarkasi sentimen nasionalisme yang sempit. (*)
Ilustrasi diambil dari IG @menacespace