Berbagai wilayah di Indonesia menghadapi banyak bencana alam sepanjang tahun 2019. Di Sumatera Barat, total 746 bencana alam terjadi di sepanjang 2019. Tercatat 10 orang meninggal akibat rentetan bencana tersebut. Sampai akhir Desember 2019 situasinya belum banyak berubah. Berbagai bencana terus terjadi di Sumatera Barat. Banjir, banjir bandang, serta longsor serasa mengintai kemana kaki melangkah.
Di tengah situasi tersebut, Payakumbuh Youth Art Commite menggelar kemah seni, Art Camp, di Bumi Perkemahan Guak Lago, Suliki, pada 27-29 Desember 2019. Saya diminta untuk menjadi notulis pada salah satu agenda diskusinya. Sepanjang perjalanan Padang-Payakumbuh, dalam cuaca yang mendung mencekam, saya merasa khawatir jika tiba-tiba tertimbun longsor di Silaiang atau terseret banjir bandang di tempat yang tak diduga. Kepala saya dipenuhi pertanyaan: betulkah semua bencana alam yang melanda Sumatera Barat akhir-akhir ini adalah sesuatu yang alamiah? Tidak adakah hubungan antara banjir bandang dan pembabatan hutan?
Ternyata saya tidak sendiri. Sesampai di lokasi perkemahan, Dani, salah seorang seniman peserta Art Camp asal Solok Selatan, juga merasakan kekhawatiran yang sama. Dia harus menimbang-nimbang betul sebelum berangkat ke acara tersebut, mengingat cuaca yang sedang buruk. Pemerintah Provinsi pun sempat mengumumkan siaga darurat bencana. Meskipun begitu, bukit tempat kegiatan Art Camp: Ruang Jumpa itu tetap ramai oleh pegiat seni dan warga sekitar.
Kawan-kawan dari Sorerabu Project, datang ke Art Camp membawa isu terkait bencana alam. Dua seniman foto, Uyung Hamdani dan “Pinyu” Ramadhani mempresentasikan karya mereka terkait pasca bencana dan satu lagi terkait kerusakan alam di tengah hutan Sumatera. Anehnya, dalam kegiatan yang dikepung berbagai bencana itu, diskusi mengenai bencana dan kerusakan alam ternyata tidak begitu menarik perhatian audien. Setelah presentasi karya Sorerabu Project, diskusi berlangsung dingin. Audiens tidak begitu tertarik dengan isu aktual tersebut. Tidak ada pembahasan mengenai fotografi dan hubungannya dengan upaya konservasi hutan atau mitigasi bencana, misalnya.
Barangkali, isu bencana belum menjadi prioritas oleh Art Camp atau sebagian besar pegiat seni yang datang. Ada hal lain yang kelihatannya dianggap lebih penting, yaitu “Ruang Jumpa”. Tetapi, apa itu “Ruang Jumpa”?
Memaknai “Ruang Jumpa”
Art Camp 2019 membawa tema “Ruang Jumpa”. Saya membayangkan “Ruang Jumpa” sebagai ruang perjumpaan para pegiat seni terutama seniman muda di Sumbar, pertemuan berbagai medium seni yang digeluti masing-masing pegiat, dan bersoboknya para seniman dengan warga lokal. Saya juga membayangkan “Ruang Jumpa” sebagai peristiwa yang memungkinkan terjadinya proses saling memahami, saling berbagi, saling mendukung, dan membangun wacana bersama.
Rangkaian kegiatan Art Camp sendiri terdiri dari penampilan musik, seni pertunjukan, pameran foto, rupa, dan pemuataran film yang disajikan secara bergiliran. Masing-masing jenis seni yang dihadirkan, beragam secara genre dari yang berbasis tradisi hingga kontemporer. Di samping itu, juga diadakan diskusi pada siang harinya. Diskusi di hari pertama, bersama Koalisi Seni Indonesia terkait urgensi ekosistem kesenian di Sumatera Barat, dan di hari kedua berbicara terkait iklim musik di Sumatera Barat.
“Kenapa perlu berjumpa” mungkin menjadi pertanyaan bagi kawan-kawan sebelum datang ke Art Camp. Saya pun memiliki pertanyaan yang sama. Namun melihat banyaknya persoalan dalam dunia seni Sumatera Barat pertanyaan tersebut sebenarnya sudah terjawab dengan sendirinya, salah satunya ialah terfragmentasinya kegiatan kesenian di daerah-daerah dan masalah jejaring. Misal, iklim musik di Padang dan di Payakumbuh belakangan ini cukup intens dengan corak yang berbeda, tetapi di kota lain belum terlalu beriak. Lewat perjumpaan ini, kemungkinan untuk kolaborasi atau berjejaring memperkuat kegiatan di masing-masing daerah bisa terbuka.
Perjumpaan Fisik Bukan Perjumpaan Isu
Menurut penyelenggara sendiri, “Ruang Jumpa” sedapatnya diejawantahkan lewat karya. Seperti yang tertulis pada catatan singkat kurator seni pertunjukan Art Camp, Hario Efenur: “Kesenian, sejatinya adalah milik masyarakat. Maka dari itu, sudah semestinya dipulangkan kembali pada masyarakat, serta membiarkannya berinteraksi dengan masyarakat itu sendiri.” Tetapi, bagi saya, hanya sedikit karya yang benar-benar memenuhi standar kuratorial tersebut. Diantaranya ialah Candasuara, sebuah komunitas musik yang salah satu anggotanya adalah kurator sendiri.
Interaksi antara seni dan masyarakat terlihat kentara dalam penampilan Candasuara. Pertunjukan itu berhasil membangun interaksi antara seni dan masyarakat (yang terwakili oleh penonton). Para aktor Candasuara mengajak penonton untuk mengangkat trap bersama-sama, mengajak berdialog, dan meminta bertepuk tangan mengikuti tempo lantunan dendang. Lewat interaksi tersebut, penonton ikut ambil bagian dalam pertunjukan sebagai pengkarya sekaligus sebagai penikmat.Bagi saya, inilah bentuk usaha memulangkan (menjumpakan) kesenian pada masyarakat.
“Ruang Jumpa” dalam bentuknya yang lebih riil saya temui pada kelompok seni tradisi Saraso Badunsanak, dari kabupaten Agam. Ruang Jumpa di sini tidak berlangsung dalam pertunjukan, akan tetapi ada pada proses garapan. Sehabis pertunjukan kelompok seni yang beranggotakan lebih kurang empat puluh penabuh gendang tambua itu, saya sempat berbicara dengan Fandi Pratama, penggarap pertunjukan tersebut. Kami bicara panjang lebar terkait proses penggarapan pertunjukan tersebut.
Ternyata kesenian Gandang Tambua dapat berfungsi sebagai manajemen konflik, seperti Ulu Ambek yang dulu pernah ada di daerah Pariaman. Kelompok gandang tambua Saraso Badunsanak berhasil menjadi semacam pemersatu warga antar jorong. Warga antar jorong yang sebelumnya sering bertikai, kini kembali mencoba badunsanak, bersaudara. Tidak ada lagi konflik antar jorong yang kadang bisa pecah hanya karena persoalan sepele. Kini pemuda antar jorong bisa bekerja sama bermain gandang tambua. Pada posisi ini seni tidak hanya menjumpakan orang-orang yang berkonflik namun juga “mendamaikan”, tentu saja dengan waktu yang tidak sebentar.
Sayangnya, kemungkinan mengembangkan fungsi seni sebagai peredam konflik seperti yang diperlihatkan Saraso Badunsanak, tidak dibicarakan lebih jauh setelah pertunjukan. Jika saja setiap penampil diberikan waktu untuk sedikit bercerita dan mendengar tanggapan dari penonton seperti tahun lalu, maka poin penting tersebut tentu tak akan terlewat begitu saja. Ia akan berjumpa dengan audiens. Begitu pula pada presentasi lainnya, terutama film. Setelah pemutaran film, tidak ada diskusi atau setidak-tidaknya sepatah kata dari kurator.
Bagi saya, dialog dan diskusi seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari semangat “Ruang Jumpa”. Isu-isu yang diangkat oleh tiap-tiap karya, mestinya bisa diperjumpakan dan dibicarakan secara intens. Dalam proses dialog dan diskusi tersebut, masyarakat lokal mesti terlibat secara aktif—hal yang tidak saya temui pada Art Camp kali ini. Dengan begitu ruang jumpa yang tercipta betul-betul menjadi ruang yang tidak hanya memperjumpakan pelaku seni dan problem dalam dunia seni semata, namun juga memperjumpakan isu-isu yang diusung karya seni dengan mayarakat itu sendiri. (*)
Editor: Randi Reimena
Sumber Foto: Akun Instagram Payakumbuh Art Commite (@Payakumbuh.yac)