Beberapa pekan lalu, sejak pagi awan gelap dan sinar matahari saling timpal di Kota Pariaman. Dalam hembusan angin bulan Agustus, beberapa orang sudah mulai menyisir jalan Kampung Perak, Kampung Balacan, Kampung Pondok dan beberapa akses jalan lainnya. Langkah mereka padu menuju sayup suara gandang tasa yang sopan menghimbau mereka ke Simpang Tabuik dan Simpang Pasar Rakyat Kota Pariaman, Sumatera Barat.
Pagi itu bertepatan dengan 16 Muharram 1444 H dan berlangsungnya prosesi Tabuik naiak pangkek (bagian dari acara puncak Tabuik), arus lalu lintas di sejumlah ruas jalan mengalami peningkatan, lampu merah berdurasi 75 detik di simpang Tabuik mendadak mati.
Antusiasme manusia membuat kendaraan harus bergeser ke luar area acara puncak Tabuik Pariaman berlangsung. Puluhan kendaraan bus, mini bus dan lainnya dengan nomor polisi dari luar kota dan luar provinsi jumlahnya mencapai ratusan.
Gerbong kereta yang masuk ke stasiun Pariaman tidak kalah ramainya, tiket duduk dan berdiri habis tidak tersisa untuk hari itu, meski ada penambahan jadwal operasional. Para pemilik penginapan ikut lembur, sebab sejak satu hari hingga beberapa jam jelang acara puncak berlangsung wisatawan terus berdatangan.
Kota yang berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021 dihuni sebanyak 95.294 jiwa itu, tiba-tiba dibanjiri ratusan ribu manusia. Kata pemerintah setempat, antusiasme ini terjadi karena Tabuik Pariaman sudah 2 tahun vakum akibat Pandemi Covid-19.
Kenapa Tabuik Pariaman tahun 2022 yang minim dana akibat refocusing anggaran dan minim promosi ini bisa mendatangkan ratusan ribu masyarakat, apakah benar karena rasa rindu saja? Kenapa tradisi yang konon dekat dengan Syiah ini terus lestari?
Sejarah dan Pemaknaan atas Hoyak Tabuik
Sebagai orang awam tentang Tabuik Pariaman, saya sempat mengumpulkan sejumlah informasi dari orang Tuo Tabuik kedua rumah Tabuik: Tabuik Subarang dan Tabuik Pasa.
Seorang Tuo Tabuik Pasa, menerangkan bahwa Tabuik berawal dari memperingati kematian cucu Rasulullah SAW saat peristiwa perang di Padang Karbala. Peristiwa Asyura itu, terjadi tepat pada 10 Muharam tahun 61 Hijriah atau bertepatan dengan 10 Oktober tahun 680.
Selain informasi Tuo Tabuik Pasa itu, beberapa literatur menerangkan Tabuik Pariaman dibawa orang India yang bergabung dalam pasukan Islam Thamil di Bengkulu tahun 1826, di bawah kekuasaan Thomas Stamford Raffles dari kerajaan Inggris.
Setelah perjanjian London 17 Maret tahun 1829, Bengkulu dikuasai oleh Belanda dan Inggris menguasai Singapura. Hal itu menyebabkan pasukan Islam Thamil Bengkulu akhirnya menyebar, di antaranya ada yang sampai ke Pariaman. Sejak itulah perayaan Tabuik hadir dan terus dipelihara hingga jadi budaya masyarakat Pariaman.
Sedangkan penamaan Tabuik muncul saat perang di Padang Karbala di mana dikisahkan atas kebesaran Allah SWT secara mengejutkan jenazah Husein, cucu Rasulullah S.A.W yang meninggal di saat berperang, diangkat ke langit menggunakan Buraq. Buraq ini sejenis hewan, tubuhnya seperti kuda, kepalanya seperti manusia serta mempunyai sayap lebar dengan mengusung peti jenazah di pundaknya.
Buraq pembawa peti tersebutlah yang dinamakan Tabuik.
Namun saat in,i kata Tuo Tabuik, seiring dengan perkembangan zaman, Tabuik bagi masyarakat Pariaman lebih sebagai atraksi budaya untuk penunjang pariwisata.
Beberapa warga juga mengklaim Tabuik di Pariaman sudah hadir sejak ratusan tahun silam, hanya saja tahun pastinya tidak bisa saya peroleh.
Meski banyak perdebatan tentang perayaan Tabuik di Pariaman di mana sebagian kalangan melihat bahwa Tabuik ini merupakan tradisi Syiah, namun dalam sejarah perkembangan Islam di Kota Pariaman sendiri jejak sejarah Syiah agak sukar ditelusuri.
Pandangan bahwa Tabuik dekat dengan Syiah juga dibantah oleh sejumlah Tuo Tabuik. Mereka melihat bahwa beberapa prosesi Tabuik sudah dimaknai sedemikian rupa oleh leluhur orang Pariaman sesuai falsafah kehidupan masyarakat setempat.
Terlepas dari kontroversi itu, yang jelas, generasi Pariaman hari ini cenderung tidak mempersoalkan lagi sejarah Tabuik dan kedekatannya dengan Syiah: Tabuik telah memiliki tempat tersendiri dalam kehidupan mereka.
“Tabuik Pariaman ini milik orang Pariaman, jadi harus tetap ada,” kata seorang pemuda berusia 24 tahun yang ikut serta membuat fisik Tabuik Pariaman tahun ini.
Keberhasilan merawat budaya Tabuik di Kota Pariaman makin terasa tatkala ratusan ribu pengunjung berbondong-bondong mendatangi Pariaman. Mereka berjalan menyusuri Pasar Pariaman, Simpang Tabuik, Jalan Nan Tongga hingga Pantai Gandoriah yang nihil terjadi selama 2 tahun belakangan kembali hadir.
Jalanan jadi sesak manusia. Entah magnet apa yang dimiliki Tabuik hingga ratusan ribu pasang mata mau mengikuti prosesi maarak Tabuik jelang prosesi puncak (mambuang Tabuik ke laut). Terlebih sepanjang perjalanan dentuman gandang tasa sahut-sahutan dengan gandang tambua selama prosesi maarak Tabuik.
Teriakan “hoyak-hoyak,” juga selalu membuat masyarakat yang berada dalam iringan mengalihkan pandangan ke Tabuik saat diangkat oleh anak Tabuik.
Rangkaian Prosesi Hoyak Tabuik
Gelombang manusia ini sudah datang secara bertahap sejak prosesi awal Tabuik Pariaman 2022 dimulai (30/8/2022).
Sebelum Hoyak Tabuik dimulai, masing-masing rumah Tabuik menyiapkan sebuah tempat persegi empat dan dilingkari dengan bambu, serta di dalamnya diberi tanda sebagai kiasan bercorak makam yang dinamakan Daraga.
Fungsi daraga adalah sebagai pusat prosesi dan tempat pelaksanaan maatam. Dengan adanya daraga baru berlangsung sejumlah prosesi, pertama adalah prosesi maambiak tanah.
Prosesi ini dimulai setiap 1 Muharam, pada prosesi ini kedua rumah Tabuik (Tabuik Subarang dan Tabuik Pasa) melakukan pengambilan tanah di Desa Pauh dan Kelurahan Alai Galombang.
Dalam pelaksanaannya kedua rumah Tabuik melakukan arak-arakan dari tempat masing-masing menggunakan gandang tasa. Pengambilan tanah dilakukan oleh seorang laki-laki berjubah putih, melambangkan kesucian. Tanahnya bermakna kehidupan manusia yang berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah.
Lalu, pada 5 Muharram dilaksanakan prosesi maambiak batang pisang. Prosesi ini merupakan cerminan dari ketajaman pedang milik husein yang digunakan saat perang di Padang Karbala, dilakukan oleh seorang laki-laki dengan berpakaian silat. Batang pisang tersebut harus putus dengan sekali tebas.
Selanjutnya, pada 7 Muharram dilakukan prosesi maatam sehabis sholat Dzuhur oleh pihak keluarga penghuni rumah Tabuik, dengan berjalan mengelilingi daraga sambil membawa peralatan Tabuik seperti jari-jari, saroban (Sorban) dan pedang, sebagai pertanda kesedihan mendalam atas kematian Husein
Di hari yang sama juga berlangsung prosesi maarak jari-jari, melambangkan jari tangan Hosein yang tercincang. Tujuannya untuk diinformasikan kepada masyarakat bukti kekejaman sewaktu peperangan di Padang Karbala. Pelaksanaanya dimeriahkan oleh hoyak Tabuik Lenong (sebuah Tabuik berukuran kecil) yang diletakkan diatas kepala seorang laki-laki sambil diiringi oleh gandang tasa.
Selang sehari, tanggal 8 Muharam berlangsung prosesi maarak saroban, dengan tujuan mengabarkan kepada masyarakat penutup kepala Hosein yang terbunuh dalam perang padang karbala. Hampir serupa dengan peristiwa maarak panja, kegiatan ini juga diiringi miniatur Tabuik lenong dan gemuruh gandang tasa sambil bersorak sorai.
Lalu puncaknya tanggal 10 muharram menjelang fajar, dua bagian fisik Tabuik (Pangkek Ateh dan Pangkek Bawah) yang telah siap dibangun di rumah Tabuik, disatukan saat prosesi Tabuik naik pangkek (Naik pangkat).
Seiring matahari terbit, Tabuik diarak ke jalan, dihoyak sepanjang hari tanggal 10 muharram setiap tahunnya.
Pada pukul 09.00 WIB, Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang disuguhkan pada pengunjung pesta Tabuik sebagai hakikat peristiwa perang karbala dalam sejarah Islam. Acara hoyak Tabuik akan berlangsung hingga sore hari. Secara perlahan Tabuik dibawa menuju pinggir pantai seiring turunnya matahari.
Tepat pukul 18.00 WIB, masing-masing Tabuik dilemparkan ke laut oleh kelompok anak nagari Pasa dan Subarang.
Jelang prosesi puncak (mambuang Tabuik ke Laut) ini pemangku jabatan dan para pesohor baik dari ranah dan rantau sudah duduk manis di sofa-sofa pentas mewah dekat bibir Pantai Gandoriah.
Di depan para tamu terhormat ini Keuda Tabuik sudah parkir, anak Tabuik hanya menunggu aba-aba untuk menyongsong Tabuik setinggi 12 meter itu ke ujung jilatan ombak di Pantai Gandoriah.
Lautan manusia itu sabar menunggu, jelang prosesi puncak dengan lantunan sejumlah lagu seperti Simpang Ampek dan ragam lainnya dengan alunan nada yang tidak bisa menghentikan badan mengikutinya.
Saat kedua Tabuik mulai dibawa ke pinggir pantai, langkah sigap pengunjung langsung menyisakan jalan untuk kedua anak Tabuik menyongsongnya ke bibir pantai. Beberapa menit sebelum Tabuik dibuang, kedua anak Tabuik sempat mengadu fisik Tabuik ini dan sesekali menghoyaknya ditengah kerumunan masyarakat.
Kemana mata melihat dalam keramaian itu, semua pengunjung sibuk merekam proses puncak ini dengan telepon pintarnya, beberapa pengunjung menggendong anaknya di atas pundak agar bisa merekam dan menyaksikan lebih jelas.
Desakan terus terjadi, ketika beberapa pengunjung ingin melihat lebih dekat, fenomena kaki terinjak dan kepala terantuk banyak sekali terlihat. Bahkan beberapa masyarakat sorak menyorak pula menunggunya, ada yang menyorak kesal karena tidak kelihatan ada pula yang bersorak riang mengikuti alunan lagu.
Hanya sekitar 20 menitan kedua fisik Tabuik bergesekan, keduanya hilang dari penglihatan saya saat sudah rebah di atas permukaan air laut. Kerumunan manusia yang ada di sekitarnya juga ikut mencampakan diri ke laut untuk mengambil beberapa bagian dari Tabuik ini.
Kata beberapa masyarakat bagian itu diambil untuk pelaris toko, obat dan mempermudah rezeki. “Untuk pelaris kadai (pelaris toko),” kata seorang pria yang membawa sebilah rotan sembari menyandang bajunya yang basah saat ditanyai pengunjung lain.
Apapun alasan mereka, memang saat saya melihat ke tempat pembuangan Tabuik, hanya bagian pangkek bawah Tabuik setinggi 3 meter tersisa. Bagian itu terdiri dari bambu, kayu dan rotan yang diikat dengan kawat besi dengan ukuran besar, sehingga sulit untuk diambil dengan cepat.
Setelah Prosesi Tabuik dibuang ke laut masyarakat berangsur meninggalkan lokasi, meski harus bersabar karena ada kemacetan manusia yang memenuhi sejumlah jalan keluar kawasan pantai Gandoriah.
Selama menikmati kemacetan silih berganti nama orang tua atau anak keluar dari pengeras udara dengan format yang sama “diberitahukan pada orang tua yang kehilangan anaknya atas nama blabla, segera ke sumber suara.” Format itu saya dengar berulang lebih dari 30-50 kali dengan sayup isakan tangis anak-anak.
Siapa Paling Meraup Untung?
Tahun ini pemerintah mencatat jumlah pengunjung sebanyak 250 ribu orang, jumlah itu jauh lebih ramai dari terakhir kali Tabuik Pariaman dihoyak dua tahun lalu (2019). Angka kunjungan itu tidak pernah sebanding dengan kunjungan harian wisatawan ke Kota Pariaman saat mengadakan festival budaya lainnya. Malah jumlah ini setara dengan konser music band Oasis di Knebworth tahun 1996, dimana konser itu dijadikan film dokumenter dengan judul Knebworth 1996 dan rilis pada September 2021 lalu.
Tabuik Pariaman ini bagi pemerintah diharapkan bisa jadi momentum dan jembatan untuk mengambangkan pariwisata dan ekonomi masyarakat di Kota Pariaman. Serta membuka mata investor lokal maupun internasional untuk berinvestasi.
Dari segi ekonomi, Walikota Pariaman Genius Umar memperkirakan jika 250 ribu pengunjung yang datang saat Tabuik Pariaman belanja masing-masing Rp 200 ribu maka jumlah uang yang beredar di Kota Pariaman berjumlah Rp 50 M.
Celakanya, perputaran uang sebesar itu tidak dirasakan seluruh pedagang. Sejumlah pedagang yang diwawancarai saling lempar pada sesama pedagang dengan komoditi berbeda.
Pedagang oleh-oleh bilang pedagang makanan di sekitar pusat acara yang dapat banyak, saat saya datangi pedagang tersebut malah bilang rumah makan yang dapat banyak.
Para pemilik rumah makan memang bilang ada peningkatan pemasukan, hanya saja keuntungan banyak diperoleh oleh pemilik penginapan kata mereka.
Jadi, apakah keuntungan itu hanya berada di mulut kepala daerah setempat saja? Tak betul-betul sampai pada masyarakat di bawah? Entahlah.
Di luar keuntungan secara ekonomi, menurut Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kota Pariaman, ramainya Tabuik tahun ini adalah promosi yang bagus. Dengan adanya ratusan ribu masyarakat yang melakukan dokumentasi dan mengunggah tanggapan gambar dari telepon mereka, Dwi Marhen Yono berujar sudah ada ratusan ribu wisatawan lagi mengantri untuk menyaksikan Tabuik Pariaman tahun depan. Bahkan beberapa kenalannya dari wisatawan lokal dan asing sudah menghubunginya.
Sehari setelah Tabuik Pariaman berlangsung, lirik Pariaman Tadanga Langang, Batabuik Makonyo Ramikembali berdendang saat saya berkendara.
Jumlah kendaraan di lampu merah selama 75 detik di simpang Tabuik kembali bisa dihitung jari, suara mesin kereta kembali sesuai jadwal dan para pemilik penginapan harus sabar kembali menunggu lembur tahunan. (*)
Foto: Rahmat Panji