Reportase

Layar Terkembang: Oase di Tengah Gersangnya Kehidupan Kampus

Pada tanggal 29 januari 2020 saya mendapatkan undangan untuk jadi pemantik diskusi pada kegiatan pemutaran film oleh Layar Terkembang di Balairuang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Layar Terkembang sendiri merupakan ruang diskusi, apresiasi, dan distribusi pengetahuan film yang dibentuk oleh UKMF Rel Air (sekarang Metasinema) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas pada tahun 2015. Layar Terkembang lebih memilih untuk memutar film-film yang diproduksi oleh komunitas-komunitas lain maupun instansi perfilman di Indonesia. Sebagai penonton setia Layar Terkembang sedari tahun awal kuliah, ini menjadi kesempatan yang menarik bagi saya untuk dapat terlibat langsung dalam kegiatan tersebut, karena sebelumnya hanya bisa duduk menikmati film-film yang disajikan sebagai penonton.

Ada 2 film yang ditayangkan pada kegiatan tersebut, pertama yaitu,  A Laddy Caddy Who Never Saw A Hole In One dan kedua Ballad of Blood and Two White Buckets. Kedua film tersebut disutradarai oleh Yosep Anggi Noen. Saya diberi ruang untuk membuka diskusi pada film A Laddy Caddy Who Never Saw A Hole In One. Sebagai pemantik diskusi, saya tidak akan atau tidak bisa membahasnya dari sudut pandang sinematografis seperti angle pengambilan gambar, cahaya, ataupun warna yang digunakan pada film tersebut karena memang saya tidak mempunyai kapasitas pada bidang tersebut. Akan tetapi saya mencoba untuk membahas film tersebut dari isu-isu sosial yang coba disuarakannya.

Film yang bercerita tentang konflik alih fungsi lahan sawah menjadi lapangan golf di Desa Sariharjo, Jogjakarta, pada masa Orde Baru (1997) ini termasuk dalam film pendek karena hanya berdurasi 15 menit, akan tetapi mempunyai makna serta pesan yang kuat yang coba disampaikan pada penonton, Saya membuka diskusi dengan bertanya kepada semua yang hadir di sana “Siapa di antara kita semua di sini yang pernah bermain golf?” Semua orang menggeleng tidak pernah, termasuk saya sendiri, walaupun kompleks perumahan dimana saya tinggal, bersebelahan langsung dengan lapangan golf. Karena memang olahraga ini miliknya orang-orang borjuis, bukan kaum menengah kebawah seperti kami semua yang hadir pada waktu itu.

Alih fungsi lahan sawah atau pertanian menjadi lapangan golf seperti yang ditampilkan film tersebut, sebetulnya adalah isu minor di tengah isu-isu agraria yang banyak terjadi pada saat sekarang. Hal ini harusnya bisa jadi fenomena yang menarik untuk dibahas, yaitu, bagaimana tanah yang mulanya adalah lahan produktif yang bisa menghasilkan dan menyangga kehidupan petani, berubah menjadi sarana permainan yang diperuntukan bagi orang-orang kaya untuk sekedar menghabiskan waktu mereka. Film ini mencoba menyadarkan kita tentang fenomena tersebut. Menurut saya, film ini secara tidak langsung juga mengajak kita untuk memikirkan kembali kegunaan lapangan golf dan mempertimbangkan untuk  merubahnya menjadi lahan yang lebih produktif serta lebih maslahat bagi hidup masyarakat sekitar.

***

Saat ini, bagi saya, Layar Terkembang menjadi salah satu dari sedikit kegiatan menarik yang masih tersisa di kampus. Cukup beralasan, karena kita semua bisa merasakan, terkhusus bagi yang berkuliah di Universitas Andalas, bahwa kehidupan kampus akhir-akhir ini cenderung statis, monoton, dan biasa biasa saja. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan di kampus pada saat sekarang selain dari sekedar kuliah ataupun bimbingan. Tidak ada gairah dan seperti ada yang hilang. Kehidupan kampus pada saat sekarang telah jauh dari kata ideal. Jarang sekali ditemukan ruang-ruang diskusi yang berisi mahasiswa dengan beragam pemikiran, latar keilmuan, dan ideologi.

Beberapa ruang diskusi di lingkungan kampus, seperti yang saya amati, selain jauh dari pembahasan isu-isu sosial yang ada di sekitar serta bersifat ekslusif juga didominasi oleh ideologi tertentu. Tentu saja ruang diskusi seperti itu lebih pada penanaman  dan penguatan dogma tertentu pula. Bahkan saya ragu apakah kegiatan seperti itu dapat disebut diskusi.  Begitu pula dengan kegiatan lain di kampus yang seringnya hanya seminar, bazar, dan kegiatan hore-hore lainnya yang minim substansi.

Membahas tentang kehidupan kampus, sekilas saya teringat Buku, Pesta dan Cinta. Jargon yang sangat populer dan menjadi semangat dikalangan mahasiswa UI pada tahun 60an. Saya sendiri memantapkan bahwa kehidupan kampus yang ideal adalah sebagaimana kehidupan di kampus pada saat tersebut. Dimana setiap mahasiswa tidak terbagi berdasarkan status sosial akan tetapi terbagi atas pandangan ideologis yang mereka anut. Keberagaman ideologi lebih penting dibanding status sosial. Keberagaman ideologi inilah yang memicu tumbuhnya dinamika yang sehat dengan terbentuknya ruang-ruang dilektika. Semua nampak dalam banyaknya kegiatan menarik yang dilakukan mulai diskusi, pentas seni, menonton film, dan sesekali turun kejalan untuk menghantam pemerintahan. Bagaimana dinamika, budaya, dan iklim kehidupan kampus yang terbentuk membuat kehidupan kampus pada saat tersebut terasa lebih hidup.

Tapi sayangnya hal tersebut tak cukup untuk menjadi role mode kehidupan kampus pada saat sekarang. Mahasiswa sekarang cenderung ke kampus hanya untuk kuliah lalu menghabiskan waktu mereka di luar kampus, atau, seperti disinggung di atas, masuk ke dalam ruang-ruang yang cenderung ekslusif dan dogmatis.

***

Hadirnya Layar Terkembang seperti oase ditengah gurun, karena memberi ruang untuk sedikit melepas dahaga di tengah gersangnya kehidupan kampus. Menonton film lalu berdiskusi tentang film tersebut tidak hanya melalui sudut pandang sinematografis akan tetapi dari berbagai sudut pandang. Semua itu ditambah dengan suguhan gorengan dan kopi hitam yang semuanya gratis—nikmat semesta mana lagi yang mau kita dustakan. Akan tetapi inkonsistensi mungkin masih menjadi tantangan bagi Layar Terkembang, karena saya melihat bahwa sepanjang tahun 2019 hingga awal tahun 2020 hanya sekitar 3-4 kali kegiatan pemutaran film oleh Layar Terkembang. Dan hal tersebut tentu saja dikarenakan berbagai kendala. Saya sendiri, sebagai penonton setia Layar Terkembang, berharap kegiatan menonton dan berdiskusi macam ini bisa terus berjalan dan kedepannya semakin intens. Akhir kata, terima kasih untuk Layar Terkembang dan panjang umur! (*)

 

 

 

 

 

 

 

 

Related posts
Reportase

Tunduk Pada Tanah: Mengaliri yang Kering dengan Seni Pertunjukan

Reportase

Yang Tersuruk dan Terpuruk: Kisah Transpuan di Sumbar

Reportase

Suatu Siang di Senen Bersama Ihsan Puteh 

Reportase

Menebas Jarak di Festival MenTari #3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *