Artikel ini terbit di Project Multatuli.
Randi Reimena/Project Multatuli.
Kebanyakan masyarakat Padang mengenal Kelurahan Purus, Pantai Padang, di Kecamatan Padang Barat sebagai Kampung Nelayan. Sudah ratusan tahun, urang pasie (orang pesisir) tinggal dan mencari nafkah di sana. Tapi sejak 2004, pemerintah menggusur satu per satu rumah juga lapak kaki lima untuk menjadikan Pantai Purus sebagai salah satu destinasi wisata di Sumatera Barat.
HAMPIR setiap hari Lina bangun subuh. Selesai salat, ia langsung ke pasar membeli kebutuhan harian dengan meminjam sepeda motor anaknya. Daftar belanjanya bisa bertambah bila barang dagangan laris pada hari sebelumnya.
Ibu dari lima anak ini harus segera pulang dari pasar sebelum jam 7. Motor harus beralih ke anak bungsunya untuk dipakai pergi sekolah. Sesampainya di rumah, ia bergegas mencuci pakaian dan membersihkan rumah.
Lina juga menyiapkan bahan-bahan untuk dagangannya: langkitang (sejenis keong, dengan cangkang yang hitam dan memanjang) dan pensi (kerang air tawar), serta memasak mi untuk kerupuk kuah.
Bila semua urusan di rumah beres, ia baru berangkat ke lapaknya di bibir Pantai Padang, Kelurahan Purus. Sesampainya di lapak, ia lalu memasak bahan-bahan makanannya.
“Saya tidak dapat istirahat. Cuma sehabis salat Zuhur, istirahat sebentar,” kata Lina, saat saya temui di Pantai Purus, Padang, awal Juli.
Lapak Lina ada di salah satu ujung trotoar yang dibangun pemerintah setempat pada 2014, untuk menghubungkan ujung selatan dan utara Pantai Padang sebagai bagian dari proyek pembangunan Kawasan Wisata Terpadu (KWT).
Kontur pantai dekat lapak Lina sedikit curam dan sempit. Lokasi itu dulunya semak belukar. Suaminya, Ujang, bersama dengan sejumlah lelaki nelayan setempat, membersihkan semak agar para istri bisa kembali berjualan setelah penggusuran pada 2004.
Sekitar jam 3, sekembalinya dari laut atau bila sedang tidak melaut, Ujang akan datang membawa peralatan lainnya dengan becak motor.
‘Kedai’ Lina biasanya baru mulai dibuka pada jam setengah 4, bila tidak halangan.
Lokasi lapak Lina kerap dijaga petugas. Biasanya, Lina dan beberapa pedagang harus beradu mulut dulu dengan petugas sebelum menggelar dagangannya. Atau, menunggu sampai petugas pergi.
Cara pertama bisa berujung pada konflik dan pemidanaan. Cara kedua sebetulnya juga bisa berujung konflik, namun, pendapatan akan jauh menurun karena jam berdagang bisa berkurang. Bagi pedagang kecil seperti Lina, kehilangan 1 jam saja merupakan kerugian besar.
Hidup penuh pertaruhan seperti ini jelas bukan keinginan Lina. Tapi ia tak punya pilihan.
“Mau kerja apa lagi?” kata Lina.
Saat pembatasan kegiatan untuk pencegahan penularan COVID-19 diberlakukan selama 2020, Lina sempat bekerja sebagai pembuat bungkus ketupat. Untuk 500 buah bungkus ketupat, dengan jam kerja nyaris 8 jam, ia hanya dibayar Rp10.000.
“Kalau Uda ke laut, bisalah buat makan. Kalau tidak, kadang saya pinjam beras tetangga,” katanya.
Terpaksa Gulung Lapak Kala Kelam
Rika tertegun. Hari itu dagangannya tak laku. “Cuma 2 orang, 18 ribu,” ujarnya lirih. Gemoy, anak perempuanya yang masih balita, terlelap pulas di pangkuannya. Hari mulai gelap. Rika meminta saya membantu menyalakan lampu cas.
Kira-kira setengah jam sebelumnya, Rika beradu mulut dengan sekelompok pasukan Satpol PP. Rika yang hendak menggelar dagangannya, dilarang oleh petugas yang sudah berjaga di sekitar Pantai Purus semenjak pukul 3 sore.
Ujung dari perdebatan, petugas mengizinkan Rika berjualan. Tapi Rika hanya sempat berjualan dari sekitar pukul 6 sore hingga jelang datangnya Isya.
Perdebatan itu memangkas peluang rezeki Rika. Pasalnya, tidak ada aliran listrik di lapaknya. Jarang ada pengunjung yang bersedia duduk di lapak yang kelam. Apalagi lampu cas hanya bisa bertahan sekitar 1,5 jam.
Baru sebulan aliran listrik di lapak Rika terputus. Satpol PP dan pihak PLN mencurigai listrik di lapaknya, yang disambung dari rumah orang tuanya di seberang jalan, adalah ilegal meski Rika bersikeras aliran berasal dari token resmi.
“Mereka coba buat matikan usaha kita. Biar kita lama-lama akhirnya pergi,” kata Saf, suami Rika, “tapi ini kampung kami, saya lahir dan besar di sini. Orang-orang tua kami sudah mencari ikan di sini sejak dahulu, sebelum trotoar ini ada.”
Rika dan Saf tak punya pilihan lain.
“Uni butuh uang sampingan, Uda cuma nelayan. Kalau tidak jualan, belanja harian tidak cukup dari hasil melaut. Harus ada sampingan. Makan anak, susu anak, uang sekolah Egi (putrinya), dari mana?” tutur Rika.
“Ndak ada Uni pilihan. Apalagi musim ombak besar begini, Uda jarang melaut. Kalau ke laut pun, hasilnya tidak seberapa.”
Sudah lebih dari seminggu Saf tak melaut. Ombak sedang tinggi. Biduk dengan panjang 6×1 meter miliknya tak sanggup mengarungi ombak yang besar.
“Baa nio malauik, ombak gadang (bagaimana mau melaut kalau ombak sedang besar),” kata Saf, sambil mengupas sebiji jagung pesanan pelanggannya hari itu. “Kalau punya boat, saya pasti sudah melaut.”
Boat bukan barang murah bagi Saf dan puluhan nelayan tradisional di sana yang masing mengandalkan pancing sebagai alat tangkap.
Musim ombak gadang ialah masa-masa yang sulit bagi keluarga Saf dan banyak keluarga nelayan tradisional lainnya. Ditambah lagi kapal pemakai putas dan bom, bubu laut dengan pemberat besi, serta jaring setan telah merusak terumbu karang tempat biasa Saf memancing.
Pengetahuan Saf soal migrasi ikan yang biasanya berguna, kini nyaris tak ada artinya. Kapal-kapal pemakai sonar mendeteksi ikan dengan lebih jitu dan mampu mengeluarkan ikan dalam hitungan ton. Bagan-bagan semakin banyak karena belum ada aturan jelas soal pembatasan jumlah bagan di laut Padang.
“Musim ombak gadang seperti ini, saya cuma bantu-bantu istri jualan,” ucap Saf sambil tersenyum.
Di penghujung senja itu, Rika menuangkan keluh kesahnya. Mulai dari tiadanya waktu istirahat sampai ketakutan-ketakutan yang muncul menjelang tidur, juga apakah Saf akan masuk penjara karena mempertahankan lapak mereka.
Melawan Abrasi, Terkepung Trotoar
Sejak lama, Kampung Nelayan Purus bertahan dari ganasnya gelombang Samudera Hindia. Walaupun laju abrasi mencapai 6 meter per tahun, Purus masih tetap bertahan dengan segala sisa kekuatan yang dimilikinya.
Pada 2004, pemerintah menggusur 110 rumah di perkampungan nelayan ini untuk membangun jalan raya.
Satu dekade kemudian, pemerintah menggencarkan pembangunan wisata dalam proyek pembangunan pariwisata bernama Kawasan Wisata Terpadu (KWT). Sejak itu, pembangunan trotoar untuk menghubungkan ujung selatan dan utara Pantai Padang serta sempadan dan tugu-tugu beton dilakukan di sepanjang 4 kilometer garis pantai KWT.
Meski sudah tidak ada pemukiman, namun, pangkalan-pangkalan biduk masih bertengger di sana. Pangkalan-pangkalan biduk itu yang turut menghambat penyelesaian pembangunan trotoar di kawasan Kampung Nelayan Purus.
Pemerintah terus meminta agar para nelayan memindahkan biduk ke muara Batang Purus. Para nelayan menolak. Sebabnya jika biduk bercadik mereka dilabuhkan di muara, ia rentan rusak oleh sampah yang datang dari hulu sungai. Sampah-sampah akan tersangkut di cadik dan bisa merusak biduk.
Dalam lima tahun terakhir, biaya pembangunan Kota Padang sebagian besarnya berasal dari sektor pariwisata yang menjadi penyumbang terbesar Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sejak 2015, seiring dengan mulai dikembangkannya KWT di Pantai Padang, PAD dari sektor pariwisata meningkat sampai 600%. Pada akhir 2019, Rp105 miliar dihasilkan dari sektor ini. Namun, jumlah itu menurun drastis saat pandemi.
Begitu COVID-19 melandai pada awal 2022, pemerintah langsung tancap gas buat kembali mengeruk uang dari sektor ini demi mendongkrak kembali PAD Kota Padang. Dinas Pariwisata Kota Padang menargetkan PAD sektor pariwisata untuk tahun ini meningkat dua kali lipat dari sebelumnya.
Objek-objek wisata yang termasuk dalam KWT, kembali dibenahi. Para pedagang jagung bakar di Jembatan Siti Nurbaya, di bagian selatan Pantai Padang, kena imbasnya. Pada Februari mereka semua digusur.
Jelang Ramadan, beberapa bangunan semi permanen di Kampung Nelayan dibongkar petugas gabungan.
Lina, yang membangun semacam panggung kayu kecil sebagai tempat duduk di lapaknya, juga didatangi petugas. Panggung itu dibongkar karena tergolong bangunan liar.
“Saya cuma bisa melihat saja mereka bongkar bangku-bangku kayu itu, suami saya yang buat. Biarlah, asal jangan diangkatnya meja dan kursi plastik ini,” kata Lina.
Lina bilang, satu set yang terdiri dari 1 meja dan 4 kursi, harganya Rp500.000. Lina memiliki 6 set yang dibeli dengan mencicil Rp75.000 setiap minggu. Kebanyakan pedagang mencicil seperti Lina. Tanpa meja dan kursi plastik ini, nyaris tidak ada pelanggan yang bakal datang. Karena itu, mereka akan mempertahankannya sebisa mungkin saat petugas hendak menyitanya.
Seperti yang pernah terjadi pada akhir Juni, ketika bentrok terjadi antara pedagang dengan Satpol PP yang hendak menyita kursi mereka. Salah satu pedagang diduga mengalami kekerasan oleh petugas. Para pedagang mengaku telah melaporkan kejadian itu ke polisi tetapi ditolak dengan alasan lokasi berjualan mereka ilegal.
Relokasi Tanpa Asistensi
Keberadaan Lapau Panjang Cimpago (LPC) adalah salah satu dalih pemerintah ketika membenarkan upaya penggusuran. LPC adalah bangunan yang terletak agak jauh dari bibir pantai. LPC dan bibir pantai dipisahkan oleh jalan raya dua jalur yang cukup lebar. Bangunan ini mulai ditempati pada 2015, sebagai tempat relokasi pedagang. Terdiri atas beberapa blok dengan total 110 ruangan.
Pemerintah mengklaim para pedagang Pantai Purus telah diberi fasilitas di LPC. Karenanya, pedagang di bibir pantai tak seharusnya melawan ketika ditertibkan. Tapi, pada praktiknya tidak semua pedagang dapat fasilitas itu. Lina dan Rika adalah beberapa di antaranya.
Di sisi lain, proses relokasi juga problematis. Pemerintah memindahkan begitu saja pedagang kecil dengan modal minim ke tempat baru yang punya konsep berbeda.
Mai (bukan nama asli), adalah salah satu pedagang yang mendapat satu ruangan di LPC. Saat direlokasi pada 2015, Mai dijanjikan berbagai kemudahan. Namun, semua itu tidak terbukti.
Menurut Mai, awalnya ia dijanjikan mendapat kemudahan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Bank Rakyat Indonesia (BRI). Tapi setelah beberapa kali mengajukan, ia selalu ditolak. Dengan modal seadanya, bahkan kurang, Mai merintis ulang usahanya di bangunan baru itu.
Tak ada yang mendampinginya dalam soal manajerial dan branding. Mai hanya diletakkan begitu saja di ruangan seluas 3×3 meter itu. Listrik, air, dan kebersihan, harus Mai usahakan sendiri.
“Dilepas ayam saja”, kata Mai.
Di bibir pantai, pedagang asongan mulai bermunculan. Wisatawan semakin sedikit yang mengunjungi lapak Mai di LPC. Dagangan Mai bahkan pernah sama sekali tidak laku.
“Sering saya tidak pecah telur di LPC, orang tidak mau makan kerupuk di LPC itu, maunya di pantai,” kata Mai.
Satu-persatu pedagang mulai menyewakan ruangannya pada pemodal muda. Para pemodal ini kemudian menyulap LPC menjadi deretan coffee shop dan kafe.
Setelah bertahan di tempat itu selama hampir 2 tahun, Mai akhirnya terpaksa menyewakannya pada seorang pemodal. Pemodal itu yang lebih dulu datang dan menawarkan sejumlah uang, termasuk untuk membantu suaminya yang kehilangan ingatan pasca-kecelakaan. Mai menyetujui tawaran pemodal dan menggunakan uang itu untuk biaya pengobatan.
Saat awal-awal pindah ke LPC, menurut penuturan Mai, deretan bangunan itu terlihat agak kelam kalau malam hari. Tidak banyak pedagang yang punya modal untuk membeli aneka lampu hias dan lampu penerangan.
Sebagai pengganti kanopi, para pedagang memasang terpal plastik. Jika tidak ada pelindung, kuah sate, pensi dan langkitang dagangan mereka akan cepat basi. Kanopi terpal itupun sempat mau ditertibkan karena tampak tidak indah.
“Saya mana punya modal untuk membuat bagus kedai seperti itu,” kata Mai sambil mengarahkan pandangannya ke gemerlap cahaya dari jejeran kafe itu.
Apeksi dan Cobaan Demi Cobaan
Tahun ini, Kota Padang terpilih sebagai tuan rumah Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Rakernas Apeksi) XV. Agenda prestisius bagi para wali kota ini berlangsung selama 4 hari, dari 7 sampai 10 Agustus. Ribuan orang diprediksi hadir. Selama empat hari pelaksanaan, diperkirakan ratusan miliar uang akan beredar di acara yang diklaim Wali Kota Padang Hendri Septa meningkatkan ekonomi rakyat itu.
Sebulan sebelum agenda itu digelar, di antara pedagang beredar kabar bahwa mereka tidak boleh berjualan sama sekali selama 10 hari, dari 1 hingga 10 Agustus. Kabar lainnya menyebut bahwa setelah Apeksi para pedagang tidak boleh lagi berjualan.
Rika yang baru saja ditagih seragam baru oleh Egi, anaknya, tercekat mendengar kabar ini.
“Tidak satu-satu datangnya cobaan,” kata Rika. “Padahal Egi sudah kelas 3 (SMA), hampir tamat, kenapa harus beli seragam baru lagi.”
Egi, anak perempuannya, kini diwajibkan sekolahnya memakai seragam batik baru. Warna seragam yang sebelumnya krem, kini diganti jadi biru. Harganya Rp125.000.
Pada siang jelang sore itu, lapak Rika belum dibuka sepenuhnya. Meja dan kursi belum dipasang. Para personel Satpol PP masih berjaga di sepanjang pantai. Belum ada satu pun dagangannya yang laku.
Bambang Suprianto, Kepala Bidang Penegak Peraturan Perundang Undangan Daerah Satpol PP Kota Padang yang sore itu ikut mengawas di Pantai Purus, mengelak ketika saya tanya apakah betul para pedagang dilarang total berjualan demi Apeksi.
Ia hanya menjawab bahwa ada tidak adanya Apeksi, berjualan di bibir Pantai Purus memang dilarang.
Soal bagaimana kepastian nasib para pedagang setelah Apeksi, ia menyarankan saya bertanya pada Dinas Pariwisata Kota Padang. Setelah dua kali mendatangi instansi yang dimaksud, saya tidak berhasil memperoleh keterangan.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang Indira Suryani berharap pemerintah turut memakai perspektif HAM dalam mengimplementasikan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ketertiban dan Ketentraman Umum – dalih regulasi yang digunakan untuk menggusur pada pedagang.
“Sebetulnya Pemerintah tidak bisa semena-mena menerapkan Perda No 11 Tahun 2005 itu sebagai pembenaran untuk menggusur PKL. Jika pun PKL dianggap melanggar Perda dan mengganggu hak warga lain, tapi ini menyangkut soal hak ekonomi PKL untuk memenuhi kebutuhan hidup dia dan keluarganya,” kata Indira.
Indira mengkritik upaya-upaya penggusuran pedagang, baik yang sudah terjadi maupun masih dalam rencana, atas nama kenyamanan berwisata di Pantai Purus tanpa perspektif HAM sebagai langkah yang kontraproduktif.
“Mengabaikan HAM dalam pembangunan pariwisata adalah kesalahan besar. Atau pemerintah memang ingin menciptakan Pantai Purus yang rancak di labuah? Dilihat dari luar bersih, nyaman dan estetik, tapi warga di sana kelaparan,” katanya.
Tak Ada Cipratan Rezeki dari Acara Bergengsi
Pak Edi (74) dan Bu Erna (65) cuma bisa pasrah saat Satpol PP menyebarkan secarik surat berisi larangan berdagang di bibir pantai demi menyukseskan Rakernas Apeksi. Di usia senjanya, mereka tidak kuat lagi jika harus bertegang urat dengan petugas.
Dengan keluarnya surat itu pada 28 Juli, sembilan hari menjelang Rakernas Apeksi, pasangan lansia yang sudah puluhan tahun berdagang di Pantai Purus itu betul-betul tidak bisa berdagang di bibir pantai.
Pada hari ketiga Apeksi, Wali Kota Padang Hendri Septa datang ke Pantai Purus. Bersama para wali kota dari berbagai wilayah Indonesia beserta rombongannya, ia menikmati festival Pawai Ragam Eksotika Budaya Nusantara di Pantai Purus. Pada pagi harinya, diadakan juga acara sepeda ria dan setelah itu para peserta bisa melepas lelah sambil menyantap gurihnya rendang dan teh talua.
“Tidak seberapa jual beli,” kata Buk Erna tersenyum getir. Sudah 12 hari sejak 28 Juli, Pak Edi dan Bu Erna terpaksa berjualan di depan rumahnya. Di lokasi yang tidak strategis ini, mereka cuma bisa menghasilkan antara Rp20.000 sampai Rp40.000 per hari. Itupun pendapatan kotor.
Di sisi lain, Lina dan Rika betul-betul kehilangan pencaharian selama 12 hari itu. Mereka tidak punya akses ke pekerjaan lainnya. Mereka sepenuhnya menggantungkan nasib pada penghasilan suami yang juga tak menentu. Lina bahkan sempat berutang kiri-kanan untuk memenuhi kebutuhan harian.
“Sudah letih Uni sebetulnya hidup seperti ini,” kata Rika.
“Tapi Uni harus jualan lagi, besok mau buka lagi. Tapi belum tentu akan dilarang lagi atau bagaimana,” katanya, sambil menggoreng kerupuk untuk dagangan esok hari.
“Anak-anak Uni harus makan.”
Lina, Pak Edi serta Bu Erna, dan sekitar 50-an pedagang lainnya di sepanjang Pantai Purus punya kondisi yang kurang lebih sama. Mereka berada dalam ketidakpastian. Hari ini bisa saja mereka menang dan berjualan untuk beberapa jam, esoknya tidak ada yang tahu: bisa saja mereka digulung ombak gadang pembangunan pariwisata.
Lina dan Rika sejatinya tidak menolak rencana mempercantik Kampung Nelayan Purus menjadi destinasi wisata. Keduanya hanya menginginkan adanya aturan yang membuat mereka bisa mencari nafkah di bibir Pantai Purus dengan aman, tidak jauh dari biduk-biduk suaminya. Mereka menolak direlokasi jika ujung-ujungnya hanya akan mempersulit usaha seperti kasus LPC.
Ketika mengingat lagi aroma rendang dan teh talua yang dimasak orang-orang besar itu menguar di udara Purus, di antara kemelaratan, dan betapa kebudayaan dipawaikan di samping orang-orang kecil yang dihinakan martabatnya, saya tidak tahu lagi apa yang akan ditulis. (*)
Editor: Rona Nirmala
Ilustrasi: Muhaimin Nurizzqy