Rengat, ibukota Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau, dikenal sebagai “Kota Para Raja” karena di sinilah bertahta raja-raja Indragiri—dalam bahasa Sanskrit berarti Raja Bukit. Kerajaan yang berdiri akhir abad ke-13 ini menyilang dari barat laut semenanjung Malaya hingga ke daratan tenggara Sumatera. Merengkuh kawasan terkaya di muka bumi, dengan hutan, aneka komoditi, emas, gas dan minyak bumi.
Raja pertama Indragiri, Raja Merlang, semula bertahta di Malaka. Waktu itu wilayah Indragiri masih diurus oleh seorang patih. Baru pada raja keempat, bergelar Narasinga II, seiring masuknya agama Islam dari Samudera Pasai abad ke-15, ibukotanya dipindahkan ke Rengat. Masyarakat adat Talang Mamak, suku asli Indragiri yang hidupnya kini tergencet perkebunan sawit, ikut menjemput Raja Narasinga dan mendudukkannya di Rengat Lama.
Rengat pernah jaya ketika transportasi air masih menjadi andalan utama. Sungai Indragiri merupakan urat nadi penghubung dengan sumber komoditi di hulu dan membawanya ke pasar dunia melalui kuala di Selat Berhala.
Dalam kehidupan mutakhir, Rengat harus berbagi peran sebagai ibukota kabupaten. Sebelumnya, sejak tahun 1950-an, ada Kabupaten Indragiri Hilir beribukota di Tembilahan. Pada era otonomi, berdasarkan UU No. 53 tahun 1999, Kabupaten Indragiri Hulu dimekarkan lagi menjadi Kabupaten Kuantan-Singingi beribukota Teluk Kuantan.
Seiring surutnya peran transportasi sungai, Kota Rengat pun mulai ditinggalkan. Sebagian orang kembali ke hulu, ke kawasan di mana Sungai Indragiri masih bernama Batang Kuantan. Banyak pihak memilih bergerak ke daerah otonomi baru yang dianggap juga menjanjikan harapan baru. Ironi otonomi. Bahkan kantor bupati dipindahkan ke Pematang Reba di tepi Jalan Lintas Timur Sumatera, sekitar 20 km dari pusat kota.
Kota Rengat terbilang bersih dan rapi. Hanya saja satu hal tak terhindarkan: sepi. Dipindahkannya pelabuhan sungai ke Batang Cenaku, salah satu anak Sungai Indragiri, telah lebih dulu menggerus keramaiannya.
Sebuah jembatan ke Rengat Seberang melintas cantik di atas kota lama. Namun, meminjam selarik puisi Chairil, ia seolah “iseng sendiri”. Padahal di atasnya kita bisa memandang keindahan lanskap kota. Mulai perkantoran, rumah dinas bupati dan Polres di timur; ruko, pasar, kelenteng di tengah, hingga Masjid Raya Kampung Dagang di barat.
Malam hari suasana lebih lengang lagi. Itu saya rasakan saat berjalan-jalan keluar Hotel Imperial tempat saya menginap. Padahal saya memilih ngopi di kawasan ikon kota: jembatan, pasar, dan bekas pelabuhan. Suatu tempat yang saya bayangkan akan semarak. Saya bertanya kepada pelayan warung kopi, apakah suasananya begini setiap malam. Ia mengangguk, seolah meminjam selarik puisi Sutardji,“sepi yang menjawab”.
Saya coba menghidupkan suasana keramaian sungai dalam kepala. Berbagai dialek seakan terdengar bertukar-tangkap, mempertegas jiwa-raga lingua-franca. Realitas bahasa Melayu yang dikemudian hari menjadi konsepsi asal-usul bahasa Indonesia ini, tercermin dari bandar Indragiri. Maklum, ini kota persinggahan segala puak dari pantai barat ke pantai timur maupun negeri jiran yang berjarak hanya seufuk mata.
Saya bayangkan perantau Minangkabau jadi pelintas paling banyak. Sebagian tinggal menetap. Rengat termasuk jalur rantau tradisional Pagaruyung bersama kota-kota kecil di kawasan hulu Kuantan: Lubuk Jambi, Baserah, Pangian, Peranap, Batu Rijal terus ke Air Molek. Saya kerap mendengar sebagian nama itu disebut dalam dendang klasik Taluak Rengat karya Ajis Sutan Sati. Pemberontakan PRRI 1958, menyusul kekalahannya 1961, membuat orang Minang bejibun ke luar “ranah bunda” melalui kota ini.
Maka banyak tempat di Rengat menyimpan kenangan. Salah satunya Kedai Kopi Pantai yang legendaris. “Sanakharus coba ngopi di situ,” kata Andiko Sutan Mancayo, kawan saya seorang pejalan yang juga senior AsM Lawyer Office, saat kami bertemu di Pekanbaru. Kantornya yang memfasilitasi saya keliling Indragiri dan sampai ke Rengat. Ia menceritakan kedai kopi itu punya pelanggan tetap dari kalangan akar rumput.
Setiap pagi, katanya, mereka datang dan duduk di tempat masing-masing, tempat yang sama dengan sebelumnya. Mereka sudah seperti komunitas. Jika ada satu orang tak datang lebih dari sekali, maka yang lain akan menanyakan kabarnya. Kalau sakit atau ada hajatan, mereka biasa datang menengok bersama-sama. Termasuk Cece—sapaan akrab si pemilik kedai—ikut bergabung.
Begitulah, ketika keesokan pagi saya datang, saya menemukan kenyataan serupa. Saya tiba terlalu pagi, dan kedai belum buka. Tapi pelanggan tetapnya, abang-abang becak, tukang ojek, laki-laki tua bersepeda jengki, satu-dua orang berjalan kaki, sudah berada di depan kedai.
Kedai Kopi Pantai menghadap sungai, tak jauh dari bekas dermaga. Boleh dikata kedai ini saksi kehidupan pelabuhan sungai era 80-an. Cece melanjutkan mengelola kedai ini setelah orang tuanya undur diri. Dinding-dinding kedai masih menyisakan cat minyak yang biasa dipakai pada masa itu.
Begitu kedai buka, mereka yang menunggu segera masuk. Menyusul rombongan lain tak putus-putusnya datang dan pergi. Gelas-gelas kopi pesanan mereka terhidang tanpa diminta. Cece sendiri yang menghidangkannya. Perempuan berdarah Tionghoa itu sudah hapal kopi pelanggannya, apakah kopi pahit, manis, atau kopi susu. Kecuali ada pengunjung baru, seperti saya. Juga ketika Pinto Anugrah, penulis novel Segala yang Diisap Langit menyusul tiba. Untuk sarapan lontong, itu tugas pelayan. Ada dua atau tiga orang perempuan berjilbab ikut membantu Cece.
Suasana kedai seolah hidup dalam diam. Seolah ada yang diam-diam diisap langit. Sesama pengunjung sebenarnya terlihat akrab, sangat akrab, sebagian saling bercakap, tapi tak ada suara yang dikeraskan. Atau gelak-tawa yang bergelora. Apalagi sambil memukul meja sebagaimana jamak terlihat di lapau-lapau kampung kita. Tentu banyak soal mereka percakapkan. Satu hal yang mungkin luput dibicarakan, bahkan kurang disadari banyak orang, adalah persentuhan dua penyair besar tanah air dengan Rengat: Sutardji Calzoum Bachri dan Chairil Anwar!
Keduanya disebut kritikus Dami N. Toda (1977) secara metaforis: “Kalau Chairil diibaratkan sebagai mata anda yang kanan, maka Sutardji adalah mata anda yang kiri,” sebagaimana dikutip Faruk dalam Humaniora III/1996: 24.
Sutardji, Ibu dan Sahabatnya
Bagi saya, saat berkunjung ke suatu tempat, katakanlah sebuah kota, selain nyaman membayangkan latar historisnya, tak kalah penting adalah mengingat siapakah sastrawan atau penulis Indonesia yang lahir di sana, atau pernah tinggal. Setidaknya ada hal tertentu menghubungkannya dengan kota itu. Misalkan sajak “Rakyat” Hartojo Andangdjdja selalu mengingatkan saya pada kota kecil Simpang Empat, Pasaman Barat. Sebab puisi itu ditulis sebagai “hadiah di hari krida buat siswa-siswa SMA Negeri Simpang Empat, Pasaman” (1973: 31), di mana dulu Hartojo yang kelahiran Solo itu pernah mengabdi sebagai guru.
Saya kira inilah konsekwensi (berkah?) dari biografi sastrawan Indoesia yang selalu mencantumkan nama kota kelahiran. Seakan mereka membawa kota atau tempat mengoak ke dunia itu ke mana-mana. Tapi tak jarang pembaca sendiri menghubungkan biodata tersebut dengan sebuah alamat. Begitulah ketika saya sampai di Rengat, awal tahun 2003 yang, pinjam Sapardi Djoko Damono, belum ditinggalkan penghujan; saya langsung teringat dua penyair kita tadi. Seorang memang lahir di Rengat sebagaimana tercantum di biodatanya, seorang lagi saya sendiri yang merengkuhnya ke mari.
Ya, penyair pertama adalah Sutardji Calzoum Bachri. Ia lahir di Rengat, 24 Juni 1941. Ayahnya Mohammad Bachri berasal dari Prembun, Kebumen, Jawa Tengah. Sejak remaja sang ayah merantau ke Riau, masuk akademi polisi hingga menjadi Ajun Inspektur. Sedangkan ibunya orang Tambelan, Bintan, Kepri. Selulus SMA, Sutardji melanjutkan kuliah ke Bandung, masuk Fakultas Sospol, Universitas Pajajaran (lihat Wikipedia).
Tapi tidak disebutkan di mana ia menamatkan sekolah menengah atasnya. Apakah di Rengat atau kota lain. Sebagai anak polisi, ia berpindah-pindah mengikuti ayahnya bertugas: Bengkalis, Pasirpengarayan, Pekanbaru dan Tanjungpinang. Jadi tak banyak hal tercatat dari kehidupan Tardji di Rengat.
Taufik Ikram Jamil pernah menulis buku biografi Sutardji (2021). Kabarnya cukup lengkap. Tapi saya belum pernah membacanya sehingga tak tahu apakah jejak Tardji di Rengat ada diceritakan. Yang jelas, latar sosiologis kota kelahiran, banyak atau sedikit, pastilah membekas sebagai unsur ekstrinsik seorang penyair.
Lamriau.id (30 Oktober 2018) mencatat bahwa Tardji sangat tergugah oleh cerita-cerita ibunya menjelang tidur. Dari situ ia menyerap banyak tradisi dan khazanah Melayu. Selain aneka kisah, juga pantun, gurindam dan mantra. Kelak, kenangan akan suasana itu mendorong Tardji secara otodidak mempelajari dan menafsir kembali karya-karya Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Meskipun ketika kuliah di Bandung ia mengambil jurusan Administrasi Negara, tapi ia malah intens menulis puisi.
Momentumnya tepat: saat itu sastra Indonesia digayuti semangat “kembali ke akar, kembali ke sumber”. Salah seorang penggagasnya adalah Abdul Hadi W.M. Berbagai eksprimentasi berbasis lokal muncul ke permukaan. Tardji pun tanpa ragu menghidupkan pantun, mantra dan segala hal yang ia serap dari khazanah Melayu dan tuturan cerita ibu.
Puisinya mulai dimuat berbagai ruang kebudayaan surat kabar seperti Sinar Harapan dan Berita Buana, termasuk majalah Horison dan Budaya Jaya. Kredonya yang kontroversial (1973)—“membebaskan kata dari makna dan mengembalikannya kepada mantra”—terterima dengan sikap publik mendua; ada yang menganggap monumental, sebagian menyebut sembrono. Apa pun, Tardji jalan terus. Guyonan pelukis Hardi yang menyebutnya “Presiden Penyair Indonesia” melekat abadi sampai kini.
Jelas proses kreatifnya menambah lekat sosok ibu dalam diri Tardji. Tapi saya tidak tahu apakah nama sang ibu di belakang namanya, Calzoum, memang nama bawaan atau ditambahkannya sendiri. Kalau ia yang menambahkan, boleh jadi representasi kesan mendalam itu. Sebab lazimnya yang bertengger pada nama seorang anak adalah nama ayah. Dan nama Sutardji menggandeng keduanya, “Calzoum” (ibu) dan “Bachri” (ayah).
Keluarga besar Tardji kembali ke Bintan dan bermastautin di Tanjungpinang, mungkin sekali saat si ayah purnatugas. Seorang kawan penyair di Tanjungpinang pernah bercerita kepada saya bahwa di ruang tamu rumah keluarga Sutardji semua foto saudaranya mengenakan pakaian dinas dengan tampilan rapi. Saudaranya memang banyak yang menjadi pejabat (ia anak kelima dari sebelas bersaudara). Hanya Tardji saja yang mengenakan kaos oblong berjaket lusuh sedang beraksi baca puisi. Tapi kata kawan saya itu, foto Tardjilah yang acap kali dipandang-pandang sang ibu.
Sajak Tardji “Buat Idrus Tintin” (2003) menyebut Rengat di baris pembuka:
Berkalang di tanah Rengat
Meluluh tubuh menjadi debu
Lesap mendekap di emak tanah
Kugaligali kau di sekujur waktu
Sajak ini ditulis sebagai “in-memoriam” Idrus Tintin. Tokoh teater dan penyair Riau itu lahir di Rengat, 10 November 1932, dan meninggal 14 Juli 2003. Namanya diabadikan sebagai nama gedung kesenian di Pekanbaru, Anjung Seni Idrus Tintin. Ia dimakamkan di kompleks makam raja-raja Indragiri (“Berkalang di tanah Rengat,” tulis Tardji), dekat Masjid Raya Rengat (potretnews.com 3 September 2016).
”Lesap mendekap di emak tanah,” lanjutnya. “Emak tanah” bisa diartikan sebagai tanah asal, tanah kelahiran. Ke sana Idrus pulang. Kepada semua itu pula Sutardji meminta supaya sahabatnya diterima kembali. Sebagaimana terlihat pada bait penutup ini:
Mak Tanah
Pak Langit
Tuk Laut
Nek Jadi
Sal Diri
Terimalah kembali
Nak Jati
Tak tahu, apakah ke “emak tanah” Rengat juga Tardji kelak akan kembali? Entahlah. Meski puisi Tardji banyak menyoal hidup dan mati, awal dan akhir, semisal “Hemat” (1977): maut menabungKu/segobang segobang. Tapi tak ada penanda signifikan sebagaimana Chairil menulis, ”di Karet, di Karet, daerahku y.a.d.”
Chairil Anwar dan Ayahnya
Sementara itu, penyair Chairil Anwar yang lahir di Medan, 26 Juli 1922, tidak punya kaitan langsung dengan Rengat. Setidaknya tak ada catatan “Si Binatang Jalang” pernah menginjakkan kaki di sini, seperti informasi keluarga besar ayahnya tentang masa kecil Chairil di Taeh. Atau bagaimana Chairil sendiri menulis,”dalam perjalanan di Jawa Timur” dan “d/a R.M. Djojosepoetro di Paron” di kartu pos untuk H.B. Jassin.
Namun terlepas dari itu semua, Chairil terhubung melalui ayahnya, Tulus bin Manan. Si ayah pernah menjadi Bupati Indragiri dan berkedudukan di Rengat.
Lahir di Taeh, 50 Kota, saat remaja Tulus merantau ke Medan. Ia menumpang tinggal di rumah seorang perantau Minang dari Koto Gadang, sambil memulai karir di kantor pemerintahan. Seiring karirnya mulai naik, si induk semang yang masih kerabat Sutan Syahrir itu, menjodohkan Tulus dengan anaknya, Saleha. Dari perkawinan itulah lahir Chairil dan seorang kakak perempuannya, Siti Chairani. Sesudahnya, rumah tangga Tulus-Saleha mulai goyah, hingga mereka memutuskan bercerai.
Tulus lalu menikah lagi dengan seorang perempuan asal Guguak, daerah dekat Taeh, kampung halaman Tulus. Tapi ia masih bertugas di Pangkalan Brandan, sampai anak pertama dengan istri keduanya lahir. Chairil memberinya nama Nini, toponim nama kecil Chairil: Ninik. Sang ayah menggenapi jadi Nini Turaiza Tulus. Konon Chairil datang sendiri ke Pangkalan Brandan menjenguk kelahiran adik lain ibunya itu.
Ini berseberangan dengan pendapat umum yang mengatakan Chairil tak suka ayahnya kawin lagi. Toh ia cukup dekat dengan ibu tirinya, Syariah Ramadana atau Mama Dona. Chairil bahkan pernah diajak Mama Dona pulang kampung ke Guguak. Waktu itu mungkin belum ada acara “pulang basamo”.
Sebagai pangrehpraja, ayah Chairil juga pindah-pindah tempat tugas. Sebelum di Rengat, Tuan Tulus pernah bertugas di Medan, Pangkalan Brandan, Tanjung Balai, Siak dan Pekanbaru. Dalam sebuah edisi khusus majalah ibukota disebutkan bahwa sejak umur lima tahun Chairil ikut ayahnya berpindah-pindah tugas dari satu kota ke kota lain: Siak Sri Indrapura, Tanjung Balai, Pangkalan Brandan. Pernah pula ia dititipkan tinggal bersama neneknya di Medan (Tempo,Agustus 2016: 53).
Tapi tak ada catatan atau informasi mengabarkan bahwa Chairil pernah ke Rengat, baik ikut si ayah maupun sekadar menjenguknya. Sangat mungkin periode ayahnya masih di Pangkalan Brandan itu, saat si ayah sedang hangat-hangatnya berbini baru, merupakan kesempatan terakhir mereka bertemu. Setelah itu, 1940, Chairil hengkang ke Batavia, disusul ibunya tak lama kemudian.
Pada masa penjajahan Jepang, Tulus sekeluarga sempat mengungsi ke Bukittinggi. Di sana ia dengar anak lelaki kesayangannya jadi penyair di Jakarta. Info itu disampaikan Hamka. Tulus konon menangis menahan sebak air mata, sebagaimana dapat dibaca lebih lanjut dalam laporan Majalah Tempo Edisi Khusus Chairil Anwar (Agustus 2016).
Setelah Indonesia merdeka, pertengahan November 1948, Tulus diangkat sebagai Bupati Indragiri yang berpos di Rengat. Namun pada tahun 1949 Belanda melancarkan agresi militer. Rengat jadi sasaran karena kota ini dekat ladang minyak Lirik. Posisinya juga strategis: jalur penghubung Riau daratan dan pulau-pulau lepas pantai. Unit Komando Belanda, Korps Speciale Troepen (KST), mendarat di Sekip Sipayung.
Pada 5 Januari 1949 terjadilah Tragedi Rengat Berdarah. Kompi I parasut KST dengan 180 personil pimpinan Letnan Rudy de Mey mengumpulkan masyarakat umum dan pegawai negeri, termasuk polisi dan tentara yang tertangkap. Bupati Tulus jelas paling dicari. Waktu itu tentu ia sudah mengabdi sebagai “orang Republik”.
Semua tawanan dibawa ke tepi Sungai Indragiri. Di sana mereka diinterogasi dan ditembaki. Ratusan warga meninggal dan dihanyutkan begitu saja. Malang, Bupati Tulus ditembak di hadapan istri dan anaknya, Nini Turaiza, adik kesayangan Chairil. Trauma membayangi mereka sepanjang waktu dalam pelarian di Pekanbaru.
Kini di tempat kejadian didirikan Tugu Peringatan Korban Agresi Kedua. Tercatat 186 nama tercantum di prasasti tugu setinggi lima meter itu. Nama Bupati Tulus tertulis di nomor urut pertama. Setelah itu berturut-turut, antara lain Komisaris Polisi Koreng, Letnan H. Dahlan Bermawi, Sersan Soekarno, Sersan Lapulalang, Letnan Husin, Kopral Bero, Serma Yohanes, Gunung Pendapatan (PNS), Yohanis Simatupang (PNS), Mandor Rasimin dan Yatinah (PMI), hingga masyarakat umum seperti Sulaiman Jenggot dan Sarempin,
Dari beberapa nama yang disebutkan terlihat latar belakang, pangkat dan jabatan korban sangat beragam—simbol keberagaman penduduk Rengat. Sementara di relief monumen terdapat sejumlah panel gambar memuat rangkaian tragedi. Satu panel tampaknya menggambarkan ayah Chairil di mana ia dipegangi dua orang opsir dan kepalanya ditusuk pedang. Sangat mungkin itu sang bupati, orang penting, sebab di panel lain adegan penyiksaan ditampilkan secara massal.
Puisi Kematian dan Jalan Bupati Tulus
Sejauh ini tak ada catatan apakah Chairil Anwar dapat kabar ayahnya meninggal dalam Tragedi Rengat Berdarah. Jika ditilik sajak-sajak Chairil bertitimangsa 1949 memang banyak menyebut tentang mati, kematian dan ajal. Atau ungkapan senada seperti burung-burung asing, buah-buah hutan ganjil, khatulistiwa lain, matari lain. Semuanya dekat dengan asosiasi kematian atau “alam lain”.
Sebut saja dalam puisi “Mirat Muda, Chairil Muda”: Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras,/menuntut tinggi tidak setapak berjarak/dengan mati.
Dalam puisi “Buat Nyonya N”: …Sepanjang jalan dia terkenang akan jadi satu/Atas puncak tinggi sendiri/berjubah angin, dunia di bawah dan lebih dekat/kematian.
Dalam “Aku Berkisar Antara Mereka”: Kami pulang tidak kena apa-apa/ Sungguhpun Ajal macam rupa jadi tetangga.
Dalam “Aku Berada Kembali”: …Banyak yang asing: air mengalir tukar warna, kapal-kapal, elang-elang/serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;//rasa laut telah berubah dan kupunya wajah/juga disinari matari/lain.
Atau dalam sajak “Yang Terampas dan Yang Putus”:
kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa
berlalu beku
1949
Dan puncaknya ada dalam “Derai-Derai Cemara”: hidup hanya menunda kekalahan/…./sebelum pada akhirnya kita menyerah.
Masa itu maut merajalela. Revolusi sedang menyala. Korban jatuh di mana-mana. Dari Krawang, Bekasi, Gombong di garis demarkasi, ibukota Yogya, gerbang maut Bondowoso, Situjuh Batur dan pembantaian pemuda Payakumbuh yang menorehkan nama teramat pedih: Jembatan Ratapan Ibu. Belum pembantaian ribuan orang di Sulawesi oleh gembong Westerling.
Tapi banyak orang menghubungkan ungkapan atau tema kematian dalam sajak Chairil pada akhir-akhir hidupnya itu adalah tentang kematiannya sendiri. Chairil, anak lelaki kebanggaan Tulus, meninggal tahun itu juga di rumah sakit CBZ, Jakarta, hanya berselang tiga bulan dengan kematian sang ayah, 28 April 1949.
Tapi siapa tahu sajak-sajak kematian itu terkait juga dengan kabar kematian ayahandanya di Rengat? Bukankah Chairil cukup sensitif merespon kabar orang-orang terdekat? Lihat saja sajak pertamanya, “Nisan”. Itu benar-benar menanggapi kematian sang nenek yang ia sayangi.
Ia juga membuat sajak + surat-surat untuk Ida Nasution, Karinah Moordjono, Sri (Ayati), L.K. Bohang atau Basuki Resobowo. Sejumlah sajaknya mengatensi kelompok tertentu atau sebagai persembahan secara kolektif: kepada nasrani sejati, kepada pemeluk teguh, kepada angkatanku, kepada perempuan…
Bahkan tak kalah banyak sajak Chairil lahir dari peristiwa aktual. Semisal “Diponegoro”, “Karawang-Bekasi”, atau “Persetujuan dengan Bung Karno”.
Apa pun, perlu penelusuran lebih jauh. Baik soal sajak-sajak “kematian” Chairil, hal-ihwal Sutardji maupun tentang kota Rengat sendiri yang memendam banyak kisah dan sejarah. Salah satunya Tragedi Rengat Berdarah yang menelan ratusan korban jiwa, termasuk Tulus bin Manan, ayahnda Chairil Anwar.
Untuk mengenang orang berhati tulus itu, kini namanya diabadikan sebagai nama jalan utama di Kota Rengat: Jalan Bupati Tulus. (*)
Foto: Raudal Tanjung Banua.