Siang itu yang saya lakukan hanya mengeluh karena teriknya cuaca Kota Padang. Setiap bertemu orang saya selalu berkata “ndeh, angek hari lai ko”. Tidak ada satupun yang menanggapi, memang karena semua orang di kota ini merasakan terik yang sama dan ya udah aja, begitu, terima saja hawa panas itu menembus kulit, terima saja dan memang begini adanya.
Sepanjang mengeluh soal cuaca di hari Sabtu 21 Januari 2023 itu, ada satu waktu saya teringat akan ada perhelatan musik cadas di Menace Space. Beberapa line up-nya diisi oleh band-band cadas senior, katakanlah Ghost Buster yang ketika masalah hidup saya masih seputar bagaimana caranya agar selalu menang dalam bermain kelereng, mereka sudah bercita-cita untuk tour dan punya album. Lalu ada The Pestol yang ketika saya masih SMP, saat persoalan hidup saya masih berkisar soal cara-cara keluar dari asrama lalu kabur ke warnet, mereka sudah naik turun-panggung di sana-sini. Saya mendengar nama The Pestol dari teman-teman yang mengaku sebagai anak punk dan mengatakan kalau The Pestol itu adalah band abang-abangannya, tapi saya tidak percaya ketika itu. Setidaknya dua band ini saya dengar di masa menjelang baligh. Bagaimana bisa saya tidak menyebut mereka band senior?
Saya memang berencana untuk datang ke panggung yang dipersembahkan oleh sindikat jamu gendong ini, tapi saya ragu karena cuaca panas ini pasti membuat saya akan mandi keringat di dalam ruangan Menace Space. Dugaan saya terbantahkan ketika sore hari, setelah adzan Ashar, hujan turun. Melihat hujan yang turun dan berhenti setelah maghrib, saya senang sekali. Saya mandi dan haqqul yaqin meracak kuda besi ke Tarandam, ke Menace Space.
Setelah memarkirkan motor, saya cukup kaget ketika melihat di skate park Menace ramai sekali anak-anak bermain. Mereka bermain bola, main sepeda, lari-larian, dan ada juga yang berkeliling saja melihat gambar-gambar di tembok Menace Space. Heboh sekali. Mereka menambah suasana ceria di Menace Space malam itu. Setelah memerhatikan sekitar, saya jadi tahu kalau bocil-bocil itu adalah anak dari personil band senior tersebut. Bukan hanya personil band, tapi orang-orang yang terlibat dalam skena underground pada masanya. Saya pikir juga tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa memang mereka adalah bagian dari generasi awal yang membentuk sub kultur musik cadas di Kota Padang. Jadi, malam itu saya rasanya melihat pemandangan reuni satu keluarga besar. Dalam hati saya takjub, dan mereka layak bersenang-senang malam itu.
Sesampainya di sana, saya menyapa beberapa teman yang saya kenal. Berbincang dalam suasana udara malam yang lembab setelah hujan, sedikit candaan, lalu menyalai rokok, rasanya syahdu. Ketika sedang asik ngobrol dengan teman saya mendengar dari dalam ruangan suara musik dimainkan, saya pikir itu masih check sound, jadi biarlah dulu. Lama-lama kok rasanya check sound ini musiknya terkonsep rapi. Ternyata Ghost Buster sudah membuka pertunjukan dengan riff gitar yang cadas dan saya merasa ketinggalan momen. Memang dalam acara seperti ini agak susah membedakan check sound dengan pertunjukan sebenarnya.
Akhirnya saya memutuskan untuk masuk ke ruang pertunjukan dengan membayar tiket sebesar Rp35.000. Lalu tangan saya di stempel, dikasih tiket, dan air mineral. Ketika masuk ke ruangan itu tubuh saya serasa dihipnotis oleh riff gitar yang terdengar megah dan cadas, ditambah gebukan drum yang membuat semua orang di ruangan itu minimal headbang. Di luar headbang? Apa lagi kalau bukan moshing.
Ghost Buster membuka pertunjukan malam itu dengan sangar dan apik. Semua orang menikmati headbangdan moshing dalam ruangan tersebut, bahkan ada yang merebut microphone di panggung untuk ikut berteriak. Alunan musik hardcore yang dibawakan oleh Ghost Buster akan membuat kamu nyaman dengan musik keras. Band ini memang magis dan saya juga harus bilang musik keras mereka ini begitu sopan di telinga saya.
Ketika lampu utama dinyalakan semua orang berteriak dan bertepuk tangan. Lampu utama yang menyala menandakan kalau band tersebut sudah mengakhiri alunan musik kerasnya. Semua orang puas tapi candu dan ingin lagi.
Selanjutnya giliran The Pestol yang beraksi di hadapan penikmat musik cadas. Ada satu hal yang membuat saya terpaku dengan gitaris sekaligus vokalis The Pestol: dia tidak menggunakan pedal efek apapun, langsung colok ampli. Di mata para gitaris hal seperti itu adalah sangat beresiko dan hanya dilakukan oleh para pemberani, ibaratnya supir truck besar mengemudi di jalan setapak yang di kanan tebing di kirinya jurang. Ijinkan saya nobatkan gitaris The Pestol sebagai seorang gitaris pemberani.
Sebagaimana band punk rock pada umumnya, gebukan drum cepat, riff gitar dengan distorsi tipis atau mungkin agak fuzzy dibawakan oleh The Pestol. Semua orang headbang (atau pogo?) dengan tempo yang lebih cepat pula. Yang membedakan penampilan Ghost Buster dengan The Pestol adalah di penampilan The Pestol lebih banyak penonton yang ikut bernyanyi karena memang lagu-lagu yang dibawakan oleh The Pestol lebih jelas liriknya dan banyak part lagunya yang terasa enak buat sing along. Kalau Ghost Buster menciptakan moshing, The Pestol membuat penonton olahraga secara individual.
Di penampilan The Pestol pula saya melihat seorang gadis kecil menonton band punk rock dengan serius dan saya harus katakan bahwa tempat itu aman untuk anak-anak, hanya saja persoalannya panas lagi pengap. Sekitar 20 menit The Pestol di panggung, lalu lampu utama menyala. Tepuk tangan meriah ditujukan pada ketiga personil The Pestol.
Penampilan selanjutnya datang dari Raze. Band yang menurut saya mengusung musik metal yang modern. Riff dan lick gitar yang disuguhkan Raze cukup variatif secara teknik, ditambah eksplorasi sound yang menurut saya sangat apik. Menyuguhkan sound yang cadas, keras, sangar tapi tetap dengan tone jelas. Ini pasti band yang sudah menyiapkan setiap pertunjukannya dengan matang.
Tidak sampai di sana, kalau kamu mencoba menghitung ketukan drumnya, saya pikir kamu akan cukup kerepotan dengan hitungan yang disuguhkan oleh sang penggebuk drum. Saya kira ini juga menjadi alasan mengapa headbang yang diciptakan oleh musik Raze terasa berbeda. Kamu pasti tahu penonton perhelatan musik semacam ini banyak metalhead gondrong dengan kaos hitamnya, kamu harus melihat mereka headbang di hadapan Raze, putaran kepalanya akan berbeda. Raze menyuguhkan musik yang kelam dengan eksplorasi nada-nada yang cukup miring, ditambah ruangan Menace Space juga dibuat gelap dengan minim penerangan. Untuk menciptakan suasana kelam seperti ini Raze memang juara. Semua orang terpaku kepada mereka di panggung. Ketika musik mulai keras barulah headbang dan moshing dimulai. Raze bisa menciptakan fluktuasi dinamika dalam range yang lebar pada penampilannya.
Selanjutnya adalah Divinecult. Ini adalah satu-satunya band yang malam itu membawa sequencer. Band kalau sudah bawa sequencer berarti sudah masuk ke level professional. Begitu mitosnya di kalangan pelaku musik. Kalau tidak salah, pertama kali saya menonton band ini di tahun 2019. Band ini, sejak awal saya melihat, sudah bermain dengan sangat rapi dan sangar. Band ini mampu membuat penonton patuh dengan vokalisnya. Ini salah satu indikator band magis; seberapa mampu band itu menguasai penonton. Sepanjang saya menonton Divinecult belum pernah saya melihat mereka gagal menguasai penonton. Meskipun malam itu sang gitaris terkendala secara teknis panggung namun suasana masih bisa dikendalikan oleh personil lain. Lagi-lagi, saya minta ijin, menobatkan pemain bass Divinecult sebagai yang paling energik malam itu, bahkan ia mendikte tarian penonton. Malam itu dalam penampilan Divinecult saya melihat kerja sama yang baik dalam band, kendala teknis yang mendera sang gitaris mampu ditutupi oleh personil lain. Good job as a band
Setelah lampu utama menyala dan pergantian band terjadi di panggung, ruangan kembali menjadi gelap. Sekarang waktunya Trance yang menyuguhkan sajian musik keras. Band ini sebetulnya adalah band baru yang diisi oleh orang-orang lama. Jujur saja, saya tidak tahu banyak soal musik underground ini, saya hanya penikmat biasa, saya sedikit ragu tapi saya merasakan Trance pada malam itu sedikit banyaknya memberi sentuhan emo dalam pertunjukan malam itu. Sang vokalis memperlihatkan aksi panggung yang depresif dan penontonpun ikut terhipnotis oleh musik dan aksi panggung band tersebut. Beberapa penonton berusaha untuk merebut mic ke atas panggung dan bernyanyi meskipun dengan suara sumbang, itu bukan masalah, suasana yang dihadirkan band tersebut tidak berubah, tetap cadas dan depresif.
Saya merasa gerah sekali meskipun di luar udara lembab, di dalam ruanganpun AC berasa tidak berarti. Panas, pengap. Tapi memang begitu keadaan skena underground karena berbagai macam alasan, salah satunya, mungkin, dari pada diamuk warga karena berisik. Karena gerah, saya memutuskan untuk keluar untuk mendapat udara segar dan minum sedikit air. Sayangnya, karena keluar, saya ketinggalan lebih dari separuh pertunjukan Some Die Young. Hingga band terkahir inipun, saya melihat di menit-menit akhir pertunjukan mereka, penontonnya masih saja moshing. Saya saja yang tidak ikutan moshing merasa gerah dan butuh udara segar, kenapa mereka mashing sanggup untuk menari dengan ekstrem seperti itu. Lain kali saya akan menonton Some Die Young secara lengkap.
Setelah pertunjukan usai semua orang keluar dan boom, hujan. Semua orang yang datang ke Menace Space terkurung hujan. Saya pikir tidak apa. Saya memesan teh hangat dan melihat beberapa koleksi buku yang ada di pustaka Menace. Menarik juga koleksi buku yang disuguhkan Menace. Saya berdiam diri menunggu hujan, dengan teh hangat di hadapan dan memutuskan mengambil buku terjemahan esai-esai Emma Goldman. Ketika sedang asik dengan diri sendiri, meski riuh di sana-sini, saya melihat air tergenang. Saya bergumam dalam hati “walah, ini masalah Menace ternyata”. Karena terbatasnya saluran air dan minimnya daerah resapan air, Menace yang sekarang bermasalah dengan hujan. Memang di daerah sana persoalan banjir seperti ini sudah umum dihadapi warga sekitar. Untunglah hujan malam itu hanya sebentar. (*)
Foto: Bakti & Fajri