Jika kau hidup di tahun 70 sampai 90-an di Bukittinggi dan sekitarnya, tentu kau tidak akan asing dengan yang namanya Bioskop Sovya, Gloria, dan Eri. Tahun-tahun segitu adalah ‘masa emas’ perbioskopan, dan tidak hanya di Bukittinggi, tapi hampir di seluruh Indonesia. Salah dua penyebabnya ialah maraknya impor film dari luar negeri, terutama dari Amerika Serikat, dan pada masa itu bioskop adalah industri hiburan yang menjanjikan dan mewah.
Jika memang benar kau hidup di masa itu, tentu umurmu sekarang antara 40—50 tahun. Dan jika kutanyakan apa pengalaman yang paling berkesan bagimu ketika menonton di bioskop pada masa itu, kau pasti akan menceritakan bagaimana bioskop pada masa itu adalah standar kekerenan anak muda; atau bagaimana tokoh-tokoh di dalam film itu, terutama film aksi, begitu menginspirasi orang-orang untuk bergaya dan beraksi seperti si tokoh; atau bagaimana film G30SPKI membuatmu ngeri, mual, dan membenci para pembunuh maniak psikopat yang di diri mereka dipenuhi sifat iblis raja neraka. Aku tahu. Kau akan menceritakan kisah-kisah di atas sambil tersenyum kecil dan memandang jauh sampai menembus waktu sehingga jiwamu akan zoom out dari tahun 2021 dan zoom in ke masa lalu. Kemudian ketika kau cut to ke tahun 2021 lagi, kau tentu akan berkata, “Betapa menyenangkannya masa itu.” Dengan mata yang berbinar-binar, efek dari melewati galaksi waktu.
Tetapi ketika kutanya mengapa kau tak lagi sering menonton di bioskop pada tahun 90-an ke atas, kau pasti menjawab, “Untuk apa lagi menonton di bioskop, ketika kita sudah bisa menonton film di televisi?” Pasa masa itu, kau dan teman-temanmu yang kurang beruntung akan menyumbang seratus rupiah sebagai tiket menonton film di rumah salah satu temanmu yang kaya, yang tentu saja memiliki televisi. Uang yang terkumpul itu digunakan untuk membeli cemilan agar kalian tidak kelaparan selama menonton.
Jika kutanya tentang masa-masa itu secara detil, tentu kau akan termenung dan menghela napas sebelum memulai jawabanmu dengan kata ‘ya’ yang panjang dan pasrah, karena di umurmu yang mulai mencapai dewasa tanggung, waktu melaju bagai pantulan cahaya di cermin, begitu cepat. Sekelebat saja, televisi hadir di pasaran dengan beragam jenis; hampir di setiap rumah ada televisi; stasiun swasta mulai membuat film episode sendiri atau bisa juga disebut Sinema Elektronik (Sinetron). Kau menganggap hal itu sudah sepatutnya, karena perubahan adalah hal yang wajar. Begitu juga dengan dirimu. Pada akhirnya kau menjadi PNS lalu menikah dan tidak ada hal yang lebih penting bagimu selain kemaslahatan keluarga.
Bagaimana dengan bioskop? Di titik ini, kau mulai berpikir hanya orang-orang yang punya uang lebih dan begitu haus akan hiburan saja yang mau pergi menonton film di bioskop.
Kehilangan rasa cinta dari para penontonnya dan merasa tidak menjadi sesuatu yang penting lagi bagi kehidupan manusia membuat bioskop-bioskop itu jadi lesu dan ambruk secara perlahan. Hingga kini hanya ada satu bioskop yang masih aktif di Bukittinggi, yaitu Bioskop Eri. Ia hidup tetapi dengan tubuh yang sekarat.
***
Bertahun-tahun kemudian, tepatnya tahun 2015, generasi sesudahmu yaitu anak-anakmu, generasi Bukittinggi yang tidak merasakan masa kejayaan bioskop, berkumpul dan membuat sebuah komunitas bernama Ladang Rupa. Suatu forum yang berfokus pada edukasi pengetahuan pengembangan seni dan budaya dalam ranah tradisi dan kontemporer. Kehasuan mereka terhadap dunia visual dan absennya ruang pemutaran film di Bukittinggi membuat mereka menggagas sebuah program pemutaran film alternatif yang bernama Bioskop Taman di tahun berikutnya.
“Program itu diciptakan untuk belajar, karena selama ini yang saya tahu hanya menonton film di laptop, tapi kalau pengetahuan mengenai pemutaran film yang baik dan benar saya tidak tahu sama sekali. Ya, niatnya cuma satu, ingin membuat ruang yang asyik untuk menonton film,” kata Cugig (panggilan akrab dari Ogy Wisnu Suhandha), salah satu pendiri Ladang Rupa dan penggagas program Bioskop Taman, ketika kami bertemu di sekretariat Ladang Rupa, Anak Aia, Bukittinggi.
Ide mengenai pemutaran film sebenarnya sudah jauh hari ada di benak Cugig. Namun, karena belum ada wadah dan teman yang sepemikiran, ide itu baru terlaksana ketika Komunitas Ladang Rupa didirikan oleh sebagian besar kawan-kawan yang berasal dari Bukittinggi dan sekitarnya yang tengah berkuliah di jurusan Seni Rupa di Universitas Negeri Padang.
Pengetahuan yang minim tidak membuat Cugig dan kawan-kawan merasa santai dan lantas mengadakan pemutaran film dengan modal hati yang keras saja. Selama hampir setahun, Cugig belajar ke sana-sini, membaca, serta berdiskusi dengan para sineas. Itu pula yang membuatnya bertemu dengan Albert Rahman Putra, pendiri Komunitas Gubuak Kopi, di Solok.
Komunitas Gubuak Kopi sendiri adalah komunitas yang berfokus pada penelitian dan pengembangan pengetahuan seni dan media di lingkup lokal kota Solok, Sumatera Barat. Setahun sebelum Bioskop Taman lahir, Komunitas Gubuak Kopi telah menelurkan program pemutaran film alternatif yang bernama Sinema Pojok.
“Setelah mengetahui itu, saya langsung ke Solok untuk berdiskusi dengan komunitas tersebut,” kata Cugig.
Cugig pun menjadikan Sinema Pojok sebagai objek studinya. Menganalisa bagaimana teknis pemutaran film di sana dan mencari tahu bagaimana cara mendapatkan film, dan lain sebagainya. Cugig, yang tidak sabar melakukan hal serupa di Bukittinggi bertanya kepada Albert apakah ia boleh meminta koleksi film yang dimiliki Sinema Pojok. Alih-alih memberikan film-film itu, Albert malah bertanya siapa target penonton Bioskop Taman. Tentu pertanyaan Albert itu adalah sesuatu yang penting. Sebagai pihak penyelenggara pemutaran film alternatif, kita semestinya paham kepada siapa film itu akan kita lempar. Kita harus mengurasi film-film tersebut dengan baik, supaya terjalin sebuah keseimbangan antara penonton, film, dan pihak penyelenggara.
Sebagian besar film-film—rata-rata film hitam putih yang sudah bebas copy right—yang dimiliki oleh Sinema Pojok didapatkan dari hasil kerjasamanya dengan Forum Lenteng, organisasi yang juga mendalami film dan seni media di Jakarta. Albert pun memberikan kontak Manshur Zikri, salah seorang peneliti di Forum Lenteng, kepada Cugig.
Selanjutnya, melalui aplikasi Whatsapp, Cugig berkenalan dan berdiskusi perihal film dan penonton dengan Zikri. Karena tidak pernah menonton film di luar indrustri mainstream, Cugig dan kawan-kawan sering shock ketika menonton film yang dikirim dan direkomendasikan oleh Zikri.
“Misalnya film La Terra Trema. Itu film apa sih? Sudahlah hitam putih, temponya lambat pula,” kata Cugig sebelum ia tertawa terbahak-bahak. ”Karena bingung, saya tanya ke Zikri tentang film itu. Dari sana saya tahu, kalau film itu ternyata adalah film penting dari gerakan Neorealisme Italia.”
Keterkejutan yang dirasakan itu membuat Cugig dan kawan-kawan sadar bahwa jenis film yang selama ini mereka tonton hanya sebagian kecil saja dari luasnya semesta perfilman itu sendiri. Semenjak itu, Cugig dan kawan-kawan terus menambah pengetahuan dengan membaca artikel-artikel dan menonton film dari berbagai belahan dunia.
Menurut Cugig, program Bioskop Taman dijadwalkan sekali dua minggu. Seminggu sebelum pemutaran, Cugig dan beberapa anggota Ladang Rupa akan menonton beberapa film yang ada di bilik database. Selanjutnya, mereka melakukan diskusi dan menimbang film apa saja yang akan diputarkan seminggu berikutnya.
“…meski, tidak selalu begitu. Karena kalau film dari kawan-kawan di Sumatera Barat atau film kerjasama dengan komunitas lain, biasanya kami langsung putarkan saja tanpa menontonnya terlebih dahulu,” lanjut Cugig. Sedangkan untuk teknis pemutaran, mereka swadaya saja. Alat pemutaran dipinjam dari punya teman dan ada juga yang dibuat sendiri.
Akhirnya pada 29 Januari 2016, Bioskop Taman yang bekerjasama dengan Forum Lenteng dan akumassa mengadakan pemutaran pertama mereka di Biguro Bungo, Bukittinggi, sekretariat Ladang Rupa yang juga rumah Cugig. Ada tiga film yang diputarkan, Andang dan Sarjo (Another Story from Jakarta), RONIN, dan ALKISAH DI AMPEL garapan Hafiz Rancajale dan akumassa. Pemutaran pertama itu bisa dikatakan sukses karena warga setempat juga ikut menonton dan ikut berkomentar tentang film-film tersebut.
“Tapi yang paling berkesan itu pemutaran film Home karya Yan Arthus Bertand, karena warga ramai sekali hingga ada yang berdiri karena saking menumpuknya,” kata Hidayatul Azmi alias Ami, sekretaris Ladang Rupa, ketika kami bertemu di Treeli Coffee, Bukittinggi.
Kata Ami pula, salah seorang warga berkomentar kalau pemutaran film seperti itu mengingatkan mereka akan masa lalu, ketika menonton film di Lapangan Kantin, Bukittinggi. Bisa jadi maksud warga tersebut adalah layar tancap atau Misbar yang jamak diadakan pada tahun 70-90an awal.
Faiz, anggota Ladang Rupa dan juga yang bertangung jawab atas program Bioskop Taman, punya cerita lain. Ketika mereka memutarkan film Usmar Ismail yang berjudul Tiga Dara, salah seorang warga berkomentar bahwa film itu pernah ditontonnya ketika ia masih muda. Film itu membawanya bernostalgia ke masa kejayaan bioskop.
Namun, makin ke sini jumlah penonton mulai berkurang. Salah satu faktornya adalah karena Ladang Rupa sering berpindah-pindah sekre karena faktor jarak dan finansial. Sibuk berpindah membuat rancangan program-program mereka terganggu. Penonton Bioskop Taman juga tidak seramai dulu karena setiap saat harus menyesuaikan kondisi sekitar. Selama enam tahun ini, Ladang Rupa telah mengalami empat kali pindah. Dalam waktu dekat ini, mereka juga akan menyiapkan perpindahan yang kelima.
***
Dari waktu ke waktu, Bioskop Taman berpindah dari satu kawasan ke kawasan lainnya di pinggiran kota Bukittinggi, dari pinggiran yang satu ke pinggiran lainnya. Kawasan-kawasan pinggir kota tersebut bukanlah kawasan perumahan elite namun kawasan perkampungan yang sebagian besar dihuni oleh kelas menengah ke bawah. Mereka adalah konsumen televisi dengan sinetronnya, atau youtube untuk warga usia mudanya. Bisa dikatakan, merekalah yang disasar oleh Bioskop Taman.
Dilihat dari sudut pandang ini, hadirnya Biokop Taman menjadi penting. Ia tidak berhenti memaknai film sebagai hiburan semata dan memposisikan penonton sebagai konsumen belaka. Lebih dari itu, terlepas dari berhasil atau tidaknya, Bioskop Taman mengupayakan agar kegiatan menonton film menjadi sesuatu yang lebih produktif, sebagai sumber pengetahuan alternatif. Ringkasnya, mereka mencoba menawarkan suatu laku menonton yang berbeda. Setelah film diputar, penonton diajak berdiskusi dan mengungkapkan pikirannya, membincangkan isu-isu di film tersebut, dan seterusnya. Adanya dialog dan saling-tukar pikir antar penonton ini, setidaknya bisa memecah kekakuan bahwa film adalah sesuatu yang diciptakan sebatas hiburan, bersifat top-down, dan harus ditelan mentah-mentah begitu saja. Hal ini tentu tidak bisa kita dapatkan ketika menonton di bioskop atau televisi.
Hal itu juga yang membuat, misalnya, sekelompok ana-anak datang ke Sekre Ladang Rupa dan memutuskan untuk menggambar salah satu shot di dalam film yang mereka tonton pada malam sebelumnya sebagai sebentuk refleksi atas film tersebut. “Dari situ saya melihat kalau anak-anak ini antusias dengan film yang diputar, padahal itu film hitam-putih dan bukan kartun seperti yang biasa mereka tonton di televisi”. Terang Cugig. Juga ketika Bioskop Taman memutar film “La Terra Trema”, seorang warga mengomentari film itu dari pengalamannya yang pernah menjadi seorag nelayan. Ia membandingkan bagaimana kondisi nelayan di film itu dengan apa yang dahulu dialaminya sambil berkisah tentang serba-serbi kehidupan nelayan. “Kalau film itu tidak diputar, kami, terutama saya, tidak akan tahu ada warga di sini yang dulunya bekerja sebagai nelayan. Bagi saya yang orang darek ini, tentu dunia nelayan adalah sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya”, lanjut Cugig.
Semenjak pemutaran pertamanya, kini Bioskop Taman telah berusia lima tahun. Selama lima tahun itu pula mereka menghidupi Bioskop Taman dan Bioskop Taman menghidupi mereka. Diundangnya Cugig dan Anggy Rusidi (untuk menyebut beberapa contoh anggota Ladang Rupa) sebagai kutaror di beberapa festival film adalah bukti proses simbiosis mutualisme tersebut.
Bioskop Taman adalah sebuah bioskop yang, tidak hanya berbeda dari bioskop yang kau datangi dulu, tapi membuka kemungkinan baru dari sebuah ruang pemutaran film. Dari sisa-sisa reruntuhan bioskop di Bukittinggi, ia tumbuh dan merambat di sekitarnya. (*)
Ilustrasi: @bioskoptaman
Editor: Randi Reimena