Hampir beriringan dengan terbitnya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Sumatera Barat dan beberapa komunitas mendeklarasikan ‘sumbar darurat kekerasan seksual’. Deklarasi itu merupakan respons atas maraknya kasus kekerasan seksual di beberapa daerah Sumatera Barat. Pemberitaan yang beredar membawa cerita kekerasan seksual yang di berbagai lingkup masyarakat, termasuk keluarga.
Namun instusi pendidikan di Sumbar seperti kampus nyaris tidak disebut-sebut. Jika ditarik sedikit ke belakang, ‘hanya’ ada satu kasus pelecehan seksual di kampus di Sumbar yang sempat mencuat pada 2020 lalu. Kasus itupun seperti dianggap selesai dengan diberhentikannya sang dosen. Setelahnya bisa dikatakan nyaris tak ada ‘berita besar’ mengenai kekerasan seksual di lingkungan kampus. Jikapun ada laporan-laporan soal kekerasan seksual, persentasenya relatif kecil.
Menurut data Forum pengaduan yang diadakan oleh BEM KM Universitas Andalas tahun 2021, sebanyak 95,33% responden mengaku tidak pernah melihat ataupun mengalami tindakan pelecehan seksual di lingkungan kampus. Sebanyak 4,67% atau 7 responden pernah melihat ataupun mengalami adanya tindakan pelecehan seksual di lingkungan kampus.
Situasi di atas menimbulkan kesan bahwa kampus-kampus di Sumbar relatif aman dari kekerasan seksual. Namun, benarkah demikian adanya?
Mengutip dari VoA Indonesia, berdasarkan data yang masuk ke Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan) tahun 2021, hanya 10% korban yang melapor ke lembaga layanan dan 10% hanya bercerita kepada orang terdekat. Sedangkan, 80% korban pelecehan seksual lebih memilih untuk diam.
Itu adalah kondisi di tingkat nasional. Di Sumbar sendiri, kondisinya tidak jauh beda. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Nurani Perempuan Women Crisis Center menyampaikan bahwa pelecehan seksual di kampus tidak banyak dilaporkan.
Mengutip dari Haluan Padang, “kami tidak merinci secara khusus untuk pelecehan seksual di lingkungan kampus, namun seingat saya dalam tahun ini laporan yang diterima dari kalangan mahasiswa yang menjadi korban pelecehan tidak sampai 10, lebih sedikit dibanding laporan kekerasan seksual lainnya,” jelas Meri Rahmi Yanti, Direktur WCC Nurani Perempuan.
Besar kemungkinan karena sedikitnya korban melapor kekerasan seksual di lingkungan kampus inilah yang membuat kampus-kampus di Sumbar terlihat seolah relatif lebih aman.
Saya lalu mencoba menelusuri berbagai pengalaman dari teman sesama mahasiswa yang pernah mendengar cerita atau mengalami kekerasan seksual di kampus. Teman-teman ini berasal dari beberapa kampus. Dan saya harap dengan hadirnya beberapa penggal cerita pengalaman ini, dapat menyalakan nyali para korban untuk berani bicara.
Dosen
Mari kita mulai dengan ceirta dari, sebut saja, Putri (nama samaran). Kebanyakan cerita yang didengar dari Putri itu berasal dari kakaknya yang juga merupakan mahasiswa di kampus yang sama.
Cerita kakak dari Putri, sebut saja Bela (nama samaran), dimulai dari seorang dosen. Sebut saja dosen X, saat itu Bela sedang menunggu temannya keluar dari ruangan dosen. Teman Bela saat itu sedang melakukan konsultasi perbaikan nilai. Bela terkejut melihat temannya berlinang air mata usai keluar dari ruangan dosen X. Temannya bercerita bahwa dirinya dilecehkan. Ia berujar bahwa dosen X meraba tubuhnya sembari merayu jika mau memperbaiki nilainya ia harus mau disentuh oleh dosen tersebut.
Bela sendiri pernah dicegat sehabis kelas dan ditawari pergi ke suatu tempat hiburan di Padang oleh dosen X. Bela tentu menolak tawaran tersebut. Kini dosen X tersebut sudah mengundurkan diri karena ada tawaran pekerjaan lain yang lebih menjanjikan.
Cerita selanjutnya, dosen Y yang saat kelas sedang berlangsung pernah melakukan hal yang tidak etis. Saat itu di kelas yang Bela ikuti, dosen Y yang tiba-tiba masuk langsung menghampiri salah satu meja mahasiswa perempuan sembari mendekatkan wajahnya ke wajah mahasiswa perempuan tersebut, sembari bertanya “kamu namanya siapa?” dengan nada menggoda. Kejadian tersebut membuat Bela dan teman-temannya heran.
Karena adanya laporan ke pihak fakultas, kedua dosen tersebut mendapat hukuman berupa pengurangan jam kelas dan bimbingan hanya kepada mahasiswa laki-laki saja. Menurut Putri, hukuman tersebut sama sekali tidak tegas.
Mahasiswa
Selain dosen, pelecehan juga terjadi di kalangan mahasiswa. Salah satunya yang dialami teman sebaya Putri. “Saat itu ada acara di kampus, kan ada tuh bagian gelap-gelap, temenku ada yang diraba dadanya,” terangnya. Ini jelas perilaku pelecehan seksual. Alih-alih melakukan kegiatan intelektual, pelaku malah memanfaatkan momen tersebut untuk melakukan pelecehan seksual.
Perlu diketahui bahwa pelaku tidak terbatas pada gender laki-laki saja. Perempuan juga bisa jadi pelaku. “Temenku cowok pernah cerita, dapat chat foto mengenakan pakaian minim dari teman cewek tanpa diminta,” ujar Putri.
Pihak Luar Kampus
Selain di lingkungan kampus, lingkungan luar kampus juga belum tentu aman. Saat magang, Putri dan teman-temannya kerap menerima komentar seksis dan pelecehan verbal yang dilontarkan pegawai tempat mereka magang.
Karena itu menurutnya, kampus juga harus menjamin ruang aman dari komentar seksis semacam ini, sebab kegiatan seperti magang dan KKN (Kuliah Kerja Nyata) masih berada dalam naungan kampus. Menurut Putri,
“Kekerasan seksual itu seperti jaring laba-laba, kita harus putus semuanya agar semua jaringnya putus, nggak cukup diputus satu aja.”
Selain pengalaman dan cerita yang didengar dari Putri, saya juga mendapati cerita lain, kali ini datang dari Bunga (bukan nama sebenarnya). Suatu subuh ia dan beberapa temannya, baru pulang dari masjid yang ada di kampusnya seusai shalat subuh. Mereka pulang lumayan telat karena berbincang-bincang dahulu sebelum memutuskan pulang.
Di perjalanan menuju asrama, Bunga dan beberapa temannya melihat lelaki paruh baya tengah memperlihatkan alat kelaminnya kepada mereka. Sontak Bunga dan teman-temannya kaget dan langsung berlari menuju asrama.
Tidak hanya kekerasan seksual yang nyata terjadi, beberapa teman mahasiswa juga ada yang mendapati pelecehan verbal.
Di antaranya sebut saja Veby (nama samaran) yang memperoleh chat berbau seks dari senior. Sebut saja pelaku ini senior Joni (nama samaran). Saat itu mereka baru sehari bercengkrama melalui WhatsApp. Veby sama sekali tidak ada membahas soal seks, tapi tiba-tiba senior tersebut menanyakan hal berbau seks kepada Veby. Veby merasa kaget bahkan ketakutan dan gemetaran jika bertemu dengan senior Joni di kampus. Saya cukup terkejut dengan pengalaman Veby, sebab senior Joni merupakan orang yang cukup tersohor dulunya di pergerakan mahasiswa.
Dari beberapa pengalaman di atas, apakah benar kasus kekerasan seksual di kampus memang sedikit? Jika pun sedikit, itu bukanlah persoalan sepele. Para korban jelas bukan data statistik belaka. Mereka manusia yang kemungkinan besar saat ini menyimpan trauma serta mengalami gangguan psikis karena peristiwa yang mereka alami.
Telah banyak kesaksian dan serta laporan-laporan yang siftanya ilmiah yang membahas betapa rentannya kondisi para penyintas kekerasan seksual. Mereka tidak hanya menderita secara mental namun kadang juga harus mendapat penghakiman dari lingkungan sosialnya.
Sekarang coba bayangkan bagaimana jika yang sebenarnya terjadi sebetulnya lebih parah, bahkan jauh lebih parah dari cerita-cerita yang saya himpun. (*)
Referensi:
Liputan6.com. (2021, November 22). LBH padang: Sumbar Darurat Kekerasan Seksual. Diambil dari https://www.liputan6.com/regional/read/4716744/lbh-padang-sumbar-darurat-kekerasan-seksual
Marak Kasus Dugaan Pelecehan Seksual Di Kampus, Komnas Perempuan: Fenomena Gunung Es. (2021, December 13). Diambil dari https://www.voaindonesia.com/a/marak-kasus-dugaan-pelecehan-seksual-di-kampus-komnas-perempuan-fenomena-gunung-es/6352132.html
Muhammad Daffa De Benny Putra. (2021, November 16). Nadiem Nilai Pelecehan Seksual Di Kampus Bak Gunung Es, Begini Faktanya Di Sumbar. Diambil dari https://padang.harianhaluan.com/fokus/pr-1061711574/nadiem-nilai-pelecehan-seksual-di-kampus-bak-gunung-es-begini-faktanya-di-sumbar
Editor: Setia Subakti
Ilustrasi: Amalia Putri