Reportase

Aku dalam “What Eri Testifies at the End of the Roll”

Awal tahun 2023 ini saya dan teman-teman di Metasinema mendapat permintaan pemutaran film dari Adi Osman di Padang. Ada dua film yang akan diputarkan, salah satunya “What Eri Testifies at the End of the Roll” (2021) yang disutradarai oleh Muhaimin Nurrizqy. Film ini merupakan film dokumenter tentang sebuah bioskop di Kota Bukittinggi yang masih memutarkan film hingga sekarang. Bioskop itu bernama Bioskop Eri, tetapi dahulunya (sebelum rezim Soeharto berkuasa) bioskop itu bernama Rex. Meski masih memutarkan film, Eri sekarang tidak lebih dari seonggok bangunan tua.

Saya sangat antusias ketika mendapat kabar pemutaran film tersebut. Sejak film “What Eri Testifies at the End of the Roll” ini terpilih sebagai salah satu film yang diputar dalam program Candrawala di Arkipel Catch-22-9th Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival, tanggal 29 November 2022, saya dan beberapa teman di Metasinema telah menunggu waktu film diputarkan di Padang. Oleh karena itu, dengan senang hati kami menerima permintaan pemutaran.

Pemutaran pertama dilaksanakan di Pustaka Steva tanggal 12 Januari 2023. Pemutaran kedua dilaksanakan tanggal 19 Januari 2023 di Balai Ruang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. Pada pemutaran kedua ini, saya sudah terhitung tiga kali menonton “What Eri Testifies at the End of the Roll”. Akan tetapi, ada perasaan berbeda yang saya dapatkan setelah saya menontonnya sebanyak tiga kali.

Saya pertama kali menonton film “What Eri Testifies at the End of the Roll” saat mendapat link film untuk dibagikan kepada pemantik. Saya cenderung merasa bosan saat menontonnya. Banyak shot dalam film itu memiliki durasi yang panjang, lebih dari 9-10 detik. Gambar yang ditampilkan pada shot itu membuat jenuh, apalagi di saat saya sedang tidak dalam keadaan siap menikmati film. Saya barangkali niat untuk menonton film, tetapi tidak niat untuk menikmatinya. Jadi, yang dituntut oleh otak saya ketika itu ialah menyelesaikan film dengan cepat sehingga mengetahui ceritanya. Keadaan yang saya alami itu tentu dapat juga dialami oleh orang lain.

Setelah menonton kali kedua, saya merasa lebih bisa menikmati film “What Eri Testifies at the End of the Roll”. Durasi shot yang panjang tadi justru memberikan dampak terhadap pendalaman emosi dan perasaan ketika menonton. Salah satu shot yang berdurasi lama ialah shot bagian dalam bioskop, mulai dari bioskop tertutup sampai pintu dan jendela bioskop dibuka oleh penjaganya. Shot tersebut kurang lebih berdurasi 3 menit 50 detik. Namun, ketika dinikmati gambar tersebut masuk ke dalam hati. Saya seolah menjadi penjaga yang membersihkan bioskop Eri, yang masih menaruh harap bahwa orang-orang akan tetap datang dan menonton. Hanya harap itulah yang seakan bisa membuat Eri tetap ada.

Shot selanjutnya yang juga berdurasi panjang ialah shot yang memperlihatkan poster-poster film dibakar. Durasinya 2 menit 30 detik. Melalui gambar itu saya merasa bahwa harapan terhadap keberlangsungan bioskop Eri tadi dimusnahkan. Apalagi shot yang ditampilkan setelah itu ialah penampakan bioskop tertutup dari arah depan, kemudian dipagari oleh pita kuning hitam. Pita kuning hitam ini menurut saya menjadi simbol adanya batasan. Batasan itu ada karena adanya bahaya. Eri menjadi berdiri sendiri (dalam kesepiannya) karena penilaian buruk dari luar terhadap Eri.

Pengalaman menonton seperti ini belum pernah saya dapatkan selama saya menonton film dokumenter sebelumnya. Ketika menonton film dokumenter lain, saya merasa disuguhkan informasi-informasi yang harus diterima oleh otak saya. Cerita dalam film dokumenter lain seolah-olah hanya menyajikan fakta-fakta yang harus diketahui oleh otak penonton. Lain dengan film Eri yang lebih bisa menyentuh hati. Di samping itu, perbedaan film Eri dengan dokumenter lain, yaitu tidak ada narasumber yang ditampilkan. Film Eri justru bercerita dengan gambar-gambarnya sendiri. Dari gambar-gambarnya itulah informasi dalam film Eri didapatkan oleh penonton.

Pengalaman saya menonton film Eri untuk yang ketiga kalinya justru lebih memperkuat asumsi-asumsi itu. Lebih lanjut, saya merasa bahwa ada hubungan personal antara saya dengan Eri yang sedang di-film-kan itu. Sewaktu-waktu saya merasa Eri langsung bercerita kepada saya tentang perasaan yang sedang ia rasakan. Tentang kesepiannya; kerinduannya (kepada masa emasnya); dan keputusasaannya. Eri, menurut saya, telah menjadi subjek yang utama dalam film “What Eri Testifies at the End of the Roll”.

Hal itu juga barangkali yang membuat sutradaranya lebih sering menyebut film tersebut sebagai film Eri. Film itu memang bercerita tentang Eri sepenuhnya. Hampir seluruh gambar yang ada di dalam film itu menampilkan bagian-bagian dari bioskop Eri beserta seluruh pekerjaan yang ada di dalamnya. Jadi, Eri diceritakan dari dalam, bukan dari luar. Oleh karena itu tidak ada gambar yang memperlihatkan hal-hal di luar bioskop. Yang diperlihatkan justru bagaimana bioskop Eri dibuka, dibersihkan, film diputarkan dengan dua orang penonton pada pemutaran film pertama dan tidak ada penonton pada film selanjutnya, kemudian bioskop dibersihkan lagi, poster film dibakar, dan bioskop ditutup.

Berdasarkan plot yang ada di dalam film tersebut, Eri memang bercerita tentang dirinya sendiri melalui gambar-gambar yang direkam oleh kamera. Selain itu, ada narasi serupa puisi yang seolah-olah dibacakan Eri. Berikut narasinya:

Dari dalam bias cahaya itu aku melihat

Dinding-dinding berumur seratus tahun

Kursi-kursi patah kaki

Penjaga gerbang dengan topi bertuliskan Italia

Roll-roll sinema memutarkan adegan yang itu-itu saja

Seperti hari-hari yang melelahkan

Mataku ingin sekali menyaksikan akhir dari film ini

Tapi roll kedua tidak lagi benar-benar diputar

Dalam narasi itu terdapat kata aku. Kata aku dalam hal ini mewakilkan Eri. Eri bersaksi atas hal-hal yang ada di dalam bioskop itu. Ia melihat dinding berumur seratus tahun, kursi-kursi patah kaki, penjaga gerbang dengan topi bertuliskan Italia, rol-rol sinema memutarkan film yang itu-itu saja. Hal-hal itu disaksikannya setiap hari dengan melelahkan. Ia kemudian berharap ingin menyaksikan akhir dari film ini, tetapi roll kedua tidak lagi benar-benar diputarkan. Kata menyaksikan menjadi kata kunci dalam film ini karena di judulnya tertera “What Eri Testifies at the End of the Roll”. Kata testifies itu berarti menyaksikan. Dari narasi itu diketahui bahwa Eri ingin menyaksikan akhir dari film yang diputarkannya sendiri. Artinya, Eri ingin melihat akhir dari dirinya sendiri. Tapi saat memberikan kesaksian itu ia telah berada di akhir penghabisannya sendiri.

Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa ada ke-aku-an dalam film tersebut. Ke-aku-an yang diperlihatkan dari segi kamera. Ke-aku-an dalam film itu sama dengan aku lirik dalam puisi. Rasa yang sampai kepada saya melalui film Eri terasa seperti saya sedang membaca puisi. Lebih dalam, di waktu lain saya merasa tidak hanya memiliki hubungan personal dengan Eri, tetapi saya seolah-olah menjadi Eri. Eri yang merupakan ‘sebuah bangunan’ seperti menjadi ‘seseorang’–menjadi seorang manusia yang memiliki perasaan. Kemudian, ia menjadi saya ketika saya memposisikan diri saya mengalami keadaan seperti Eri, baik dalam hal saya dengan diri saya sendiri; dalam hubungan saya dengan orang lain; ataupun dalam hubungan saya dengan Tuhan. Itulah asumsi yang tetap saya miliki terhadap film Eri sebelum diskusi pemutaran kedua berlangsung.

Pada diskusi kedua tersebut Muhaimin Nurrizqy sebagai sutradara menyatakan ada romantisme masa lalu yang ingin ia sampaikan dalam film Eri. Hal itu juga dapat dirasakan dari lagu Hatimu Hatiku yang dinyanyikan oleh Muchsin Alatas & Titiek Sandhora sebagai pengiring film Eri.

Sejalan dengan itu, dari teknis film-nya, Donny Eros selaku pemantik menjelaskan bahwa film Eri ‘mempunyai gambar-gambar yang mahal’. Dari film Eri penonton dapat melihat cara kerja bioskop yang memakai seluloid dari dekat. Film Eri ini juga menjadi dokumentasi bioskop terakhir yang memakai seluloid di Indonesia. Di samping itu, Donny Eros juga menyatakan bahwa teknik DOP dan editing dalam film Eri tersebut bagus. Hal itu yang menjadi salah satu alasan penonton bisa menikmati film Eri meskipun memakai long take.

Pada akhir diskusi setelah pemutaran tersebut, Muhaimin Nurrizqy menyatakan bahwa ia membuat film ini menjadi lambat agar orang-orang bisa menikmatinya dengan tenang. Keadaan seperti itu jugalah yang mesti dimiliki orang-orang untuk hidup di dalam keadaan yang serba instan dan cepat ini. Hidup dengan lambat dan menikmatinya. (*)

 

Related posts
Reportase

Tunduk Pada Tanah: Mengaliri yang Kering dengan Seni Pertunjukan

Reportase

Yang Tersuruk dan Terpuruk: Kisah Transpuan di Sumbar

Reportase

Suatu Siang di Senen Bersama Ihsan Puteh 

Reportase

Menebas Jarak di Festival MenTari #3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *