Artikel

Tanpa Judul

Saya membaca dengan penuh minat tulisan Ramadhani tentang pameran “Halaman Depan Multikulturalisme”, berikut dengan komentar turunan dari para sahabat lainnya dalam rangka menyemarakkan terbitnya tulisan itu. Di tengah semakin apatisnya umat manusia dengan apapun yang tidak sesuai dengan keinginan serta kepentingan mereka, Ramadhani dan teman-teman lain dengan baik hati masih meluangkan waktu untuk memberikan tanggapan. Tentu saja hal ini tak terlepas dari perkawanan yang sudah terbangun sejak lama, baik dengan saya ataupun kawan-kawan penyelenggara pameran lainnya.

Saya mencoba memahami tulisan tersebut dan komentar-komentar setelahnya satu per satu. Intinya adalah menyampaikan bahwa pameran tersebut banyak kekurangan. Di antaranya disebabkan oleh kurator yang bukan seorang fotografer, strategi pemajangan karya yang tidak efektif, dan keberadaan foto lain yang bukan karya Muhaimin Nurrizqy.

Meskipun tidak semua bagian tulisan + komentar turunan yang dapat saya pahami maksudnya, setidaknya saya masih bisa membedakan mana tanggapan dan mana yang bukan tanggapan. Namun begitu, ijinkan saya tetap ingin memahami semua yang bukan tanggapan itu sebagai kebaikan. Kalau tidak kebaikan yang terselubung, berarti kebaikan yang tertunda.

 

Sedikit dari Belakang

 

Sudah sejak lama, apalagi satu dekade terakhir, banyak orang (termasuk teman-teman yang ikut menyelenggarakan pameran “Halaman Depan Multikulturalisme) mempunyai minat yang sama untuk merespons isu multikulturalisme di Sumatra Barat. Saya yakin hal itu salah satunya disebabkan oleh pengalaman nyata kita semua menghadapi banyak peristiwa di Sumatra Barat yang secara diskursif dilakukan di bawah pemosisian Provinsi Sumatra Barat sebagai “Provinsi Minangkabau”. Dan bila kita bicara “Minangkabau”, itu pun hanya dari wilayah tertentu saja.

Karena akan terus melahirkan tindakan intoleran dalam berbagai skala, wacana dominatif “Provinsi Minangkabau” yang jelas-jelas mendasari praktik sosial-budaya-politik di Sumatra Barat tersebut layak untuk diperbaiki. Sebagian bagian dari upaya memperbaikinya, sekecil apapun itu, saya bersama teman-teman pun ikut mendukung dan menyebarkan narasi ataupun menunjukkan bukti bahwa “Sumatra Barat bukan cuma Minangkabau saja” dan “Minangkabau bukan cuma wilayah tertentu saja”.

Sekali lagi, perlu saya tegaskan, banyak orang lain yang memperjuangkan isu toleransi ini di Sumatra Barat, bahkan dengan gerakan yang serius dan terukur. Saya dan teman-teman hanyalah bagian yang sangat kecil dan tak terhubung dengan kuat dengan kelompok lain. Semua itu kami lakukan sesuai kapasitas dan kesanggupan masing-masing dan tidak melakukannya atas nama kelompok apapun, bantuan dana apapun, atau semacamnya. Hanya kemauan.

Sekadar contoh, pernah suatu kali saya dapat kesempatan ikut seminar tentang Sumatra Barat, maka saya angkat isu “Provinsi Minangkabau” tersebut dengan contoh kasusnya. Lalu ada kawan dari kawan yang membuat lembaga toleransi di Padang, kami dukung bersama-sama dan bantu apa yang bisa dibantu. Kalau ada yang bikin kegiatan, teman-teman yang lain ada pula yang hanya bisa membantu lewat tulisan pendek, foto dari kamera, video pendek, dan sebagainya. Kemudian ada lagi teman dari luar pulau yang menulis novel tentang Mentawai dan kami dukung secara sukarela karena isunya sesuai dengan upaya kami tersebut dan lain sebagainya. Singkat kata, apa yang dilakukan kawan-kawan tersebut hanya aktivitas sederhana saja. Menjangkau sepanjang tangan. Terlalu sederhana jika dibandingkan dengan orang-orang lain yang punya gerakan besar dan massa yang militan.

Lalu, tahun lalu, untuk pertama kali, beberapa kawan mengajukan pengajuan bantuan kegiatan di salah satu platform dana budaya. Ada keinginan dari teman-teman untuk mengangkat isu soal toleransi. Selama ini, secara sporadis, teman-teman sudah membahasnya melalui tulisan pendek atau pembicaraan dalam sekali webinar saja. Terbersit ide untuk menulis catatan yang lebih variatif dan panjang. Soal isunya, setelah dipikirkan berkali-kali, tentang rumah tradisional sebagai jejak keberagaman budaya di masa lalu. Rencana awal tulisan itu cukup dipublikasikan di sebuah website. Dan karena itu mesti ada foto juga yang sekiranya dapat memperjelas atau memperdalam apa yang dituliskan.

Di tengah jalan, terjadi perubahan rencana. Rencana publikasi tulisan secara online harus diubah menjadi pameran foto narasi dan penerbitan buku kecil agar memenuhi syarat administratif. Dengan bertambahnya medium yang digunakan, kami berharap narasinya bisa menjangkau lebih luas. Kami menyadari bahwa foto adalah salah satu medium yang harus dicoba, meskipun kami tidak akan berambisi besar akan membuat pameran foto sekaliber profesional. Karena sadar ilmu kami sedikit, maka tim mengajak fotografer yang berpengalaman, dengan pembagian fungsi dan peran masing-masing.

Setelah sepakat, barulah tim bekerja sesuai pembagian tugas dan kesanggupan masing-masing. Saya mendapat dua tugas: sebagai pengampu wacana (di sini kami menggunakan definisi kurator sebagai pengampu wacana; karena itu bisa dilakukan oleh non-seniman) dan bersama beberapa teman lain sebagai penyusun daftar rumah tradisional yang akan dikunjungi. Karena keterbatasan biaya dan waktu, kami sepakat hanya memilih beberapa saja dulu yang sudah diketahui dan paling mudah diakses. Yang jelas, bagi kami saat itu, kami tidak memperlakukan pilihan itu sebagai perwakilan semuanya. Bahkan kami belum tahu seberapa kaya rumah tradisional beragam etnis di Sumatra Barat. Tidak sejauh itu kapasitas kami untuk meneliti. Itu sebabnya diberi judul “Halaman Depan”. Ini masih sangat awal-mula. Pemilihan beberapa rumah tradisional dilakukan yang jelas bukan untuk menonjolkan satu hal di atas yang lainnya.

 

Tanggapan Balik

 

Ramadhani mengatakan bahwa “betapa sulit menemukan motif kuratorial tentang pemilihan sepuluh ragam arsitektur tradisional ini dari begitu banyaknya kekayaan arsitektur tradisional di Sumatera Barat.” Ada banyak jawaban untuk pernyataan ini. Namun, saya ingin menjawab dari sisi alur kerja. Metode yang kami terapkan bukan bergerak dari umum ke khusus, misalnya seperti memastikan “total rumah tradisional” di Sumatra Barat dan baru kemudian mencari “rumah tradisional pilihan”, melainkan menggunakan pendekatan studi kasus dalam bentuk “cherry-picking”, yakni mengambil beberapa contoh rumah tradisional di sebaran tertentu sebagai gambaran awal untuk membuktikan isu yang kami sampaikan. Jadi “motif kuratorial tentang pemilihan sepuluh ragam arsitektur tradisional dari begitu banyak kekayaan arsitektur tradisional di Sumatera Barat” tidak relevan dengan kerja-kerja di balik pameran ini. Untuk menunjukkan apa saja yang kami gali dengan menerapkan metode studi kasus tersebut, silakan baca buku kecil yang juga difungsikan sebagai katalog.

Tak ada rencana yang tidak ada kendala. Rumah Mentawai masuk salah satu daftar. Karena ada banyak kendala, tim kemudian mengajak Uyung Hamdani dan membeli fotonya, dan beliau mengatakan namanya tidak perlu dicantumkan. Tim yang bekerja melakukan sesuai dengan apa yang mereka dengar dari Uyung Hamdani. Ternyata baru kemudian disadari bahwa terjadi perbedaan penafsiran antara apa yang disampaikan Uyung Hamdani dan apa yang diterapkan tim kerja. Uyung Hamdani dalam hatinya bermaksud agar ia ditulis cukup sebagai Tim Fotografi saja sedangkan tim kerja memahaminya sebatas “tidak dicantumkan nama”. Mungkin karena suara bising atau hari hujan, fotografer Zhu tak mendengar penjelasan yang disampaikan teman-teman saya di acara diskusi.

Namun begitu, ini tetap mesti diakui sebagai kesalahpahaman. Kami tidak akan saling menyalahkan. Kami semua salah karena tidak saling memperhatikan. Namun begitu, sejauh saya memahami sikap teman-teman, saya tidak yakin bahwa ada semacam niat buruk dalam diri teman-teman untuk merampas hak intelektual Uyung Hamdani. Saya kira sejauh ini kami masih sadar soal itu dan masih menjunjung tinggi hak itu. Apa yang terjadi di pameran ini memang karena kami semua sama-sama salah memahami maksud satu sama lain. Jadi kalau Ramadhani mengatakan bahwa “Halaman Depan Multikulturalisme menjadi pameran yang mengorbankan fotografer lain agar muncul satu fotografer saja. Di mana si representasi mengklaim diri sebagai presentasi. Yang penting halaman depan terlihat indah… Para penyelenggara pameran ini, mereka dengan bahagia melakukan apa yang mereka kritik dengan keras. Mereka dengan sadar memangkas hak intelektual seorang fotografer atas karya-karyanya. Jadinya seperti memakan tahi sendiri.” Maka menurut saya, ini jelas keliru. Kalau pameran “Halaman Depan Multikulturalisme” dikatakan banyak kekurangan, kami menerima dengan senang hati. Apalagi dihinakan dengan penyebutan memakan tahi sendiri, saya kira tidak ada masalah walau sejujurnya saya tidak percaya Ramadhani akan menulis seperti itu. Tapi kalau dituduh telah sengaja memangkas hak dan sengaja melenyapkan Uyung Hamdani untuk memunculkan satu orang saja, saya dengan tegas menolak.

Ramadhani juga mengatakan bahwa “menurut Iggoy pameran foto seharusnya jadi pesta fotografer. Namun dia tidak melihat sang fotografer duduk di depan forum bersama kurator dan penulis, sesuatu yang janggal bagi Iggoy. Setelah komentar Iggoy barulah sang fotografer Muhaimin Nurrizqy duduk di depan forum.” Secara pribadi, saya mengucapkan terima kasih atas komentar fotografer Iggoy dan penyebutan kembali komentar itu oleh Ramadhani. Komentar itu adalah contoh yang sangat tepat untuk menunjukkan semangat pameran ini. Saya kira Muhaimin sudah menunjukkan sikap rendah hati yang tepat. Pameran ini memang bukan pameran tunggal karya Muhaimin Nurrizqy dan saya kira itu sebabnya ia merasa sungkan untuk menonjolkan diri seakan-akan itu adalah pameran karya dirinya saja.

“Halaman Depan Multikulturalisme” bukan pameran karya tunggal dan karenanya terlalu jauh bila dibayangkan menjadi pesta para fotografer. Justru Iggoy ataupun Ramadhani, sebagai dua fotografer berpengalaman, yang lebih layak untuk menunaikan ekspektasi itu, bukan? Pameran yang kami buat hanyalah pameran yang menampilkan foto-foto yang digunakan sebagai penguat narasi hasil riset rumah tradisional di Sumatra Barat. Semua itu dibuat dengan semangat “belajar bersama” untuk mengusung isu yang diminati bersama. Tidak lebih. Itu sebabnya kami jelas-jelas sadar diri dengan menggunakan nama “pameran foto narasi” dan itu sebabnya kami tidak memosisikannya sebagai pameran karya foto Muhaimin. Dan pernyataan kuratorial saya yang diolok-olok itu memang sengaja ditulis dengan nada ekspresif terkait konteks saat ini di mana kasus intoleran masih kita alami bersama di Sumatra Barat. Saya bersama teman-teman yang menyelenggarakan pameran ini sudah menyadari kapasitas dan posisinya masing-masing.

Selanjutnya, Ramadhani mengatakan bahwa “saya meyakini setiap pameran menawarkan suatu gagasan tertentu. Pada pameran foto misalnya, bagaimana cara gagasan itu diketengahkan akan sangat bergantung pada cara foto dihadirkan di hadapan publik, termasuk pada hal-hal teknis dan detil-detil kecil.” Saya juga meyakini itu semenjak saya mulai terlibat dalam urusan pameran. Persoalannya, kapan hal semacam itu benar-benar bisa terwujud di Sumatra Barat dengan segala kondisi saat ini? Bukankah kita selalu bernegosiasi dengan keterbatasan ini dan itu? Saya kira Ramadhani dan rekan-rekan seniman di Sumatra Barat sangat paham kondisi serba terbatas kita dalam membangun ekosistem seni budaya. Dalam pengalaman kita selama ini, apakah ada acara seni yang bisa dibuat ideal seperti itu jika diselenggarakan di Sumatra Barat? Saya tidak hendak menyanggah kekurangan pameran yang kami kerjakan. Saya hanya perlu mengingatkan kembali bahwa meletakkan standar “pameran foto profesional” atas suatu pameran foto dari “bukan fotografer profesional” yang dilakukan di tengah keterbatasan Sumatra Barat adalah tindakan yang patut direnungkan kembali.

 

Permohonan Maaf

 

Apakah saya masih disebut peneliti ataupun kurator? Saya kira pertanyaan penting ini lebih layak dijawab oleh Ramadhani sendiri atau orang lain ataupun pihak yang biasanya menggunakan istilah itu untuk saya. Ada dua sebabnya. Pertama, saya tak pernah menggunakan istilah itu secara sengaja atas keinginan personal dan justru pihak lain yang pertama kali melabelkannya pada kerja-kerja yang saya lakukan dalam tahun belakangan. Selain itu, nomenklatur pekerjaan seni budaya membuat saya harus menerima istilah itu sesuai tugas yang diberikan kepada saya. Seiring perkembangan zaman, definisi peneliti dan kurator terus berubah dan semakin bercabang, sementara itu saya tak punya otoritas untuk memaksakan orang menjawab perihal kerangka apa yang mereka pakai ketika meminta saya untuk bekerja menggunakan istilah-istilah tersebut. Jadi, sesekali kita memang perlu meragukan peran yang kita ambil dalam kehidupan ini.

Artinya, bila kekurangan pameran itu sudah menjadi alasan yang cukup bagi orang lain untuk membatalkan kerja saya sebagai peneliti, saya tentu saja menerima dengan sepenuhnya ketidaklayakan saya disebut peneliti, kurator, atau apapun itu. Apalagi secara personal menjadi peneliti dan kurator bukan sesuatu yang saya cari dalam hidup, sehingga saya tidak perlu mempertahankannya mati-matian, bukan? Bagaimanapun juga masyarakat, termasuk seniman, dengan suatu dan lain cara sangat berhak membatalkan apa-apa yang mereka anggap tidak sepatutnya. Ramadhani pun punya hak untuk membatalkan istilah “peneliti” dan “kurator” atas kerja yang saya lakukan.

Demikianlah, karena keterbatasan waktu dan tenaga, saya mesti segera mengakhiri tulisan ini. Sekali lagi terima kasih atas kritik yang diberikan. Ijinkan saya menegaskan kembali bahwa kritik Ramadhani atas kualitas pameran tersebut dengan senang hati saya terima. Penghinaan dan olok-olok lainnya juga saya terima dengan tangan terbuka. Tapi, untuk tuduhannya, sekali lagi dengan tegas saya tolak. Dan hanya ini yang dapat saya sampaikan dalam upaya menjelaskan hal-hal yang patut dan bisa saya jelaskan.

Saya meminta maaf kepada handaitolan, khususnya para sahabat saya para fotografer di Padang, atas kekurangan yang ditemukan dalam memandang pameran “Halaman Depan Multikulturalisme”. Seberapapun banyak kekurangannya, saya berharap sekali itu tidak akan merusak nama baik dan cita-cita luhur dunia seni-budaya Padang. Saya akan lebih banyak mempelajari cara-cara terbaik menyelenggarakan sebuah pameran. Mungkin karena sudah jarang bersua, kesempatan saya untuk belajar langsung kepada para sahabat jadi semakin tipis. Namun begitu, bila suatu saat nanti para para sahabat fotografer menyelenggarakan pameran tunggal di Padang, saya ingin sekali langsung belajar di tempat, baik tentang hal-hal kecil maupun yang besar. Ini bukan basa-basi. Semoga ekosistem seni-budaya di Sumatra Barat semakin baik dari hari ke hari.

About author

Sastrawan dan Peneliti Budaya.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *