Satu lagi buku tentang sejarah yang enak dibaca lahir. Itulah pikiran yang terlintas saat pertama kali saya membaca Merengkuh Djaman Kemadjoean: Dinamika Modernitas Kota Kecil. Dengan piawai Deddy Arsya menjahit sumber demi sumber sejarah (kebanyakan sumber primer) menjadi satu buku yang sangat renyah. Buku ini termasuk buku yang bisa habis dibaca sekali duduk. Kamu bisa membacanya sambil menikmati kopi di kedai kopi favorit sambil bertualang ke masa lalu.
Kepiawaian Deddy menyusun kata-kata, dan pemilihan diksi yang arkaik, percayalah, akan membawamu masuk ke masa lalu, ke Padang Panjang di abad 19; bertemu orang-orang pribumi yang tercengang-cengang melihat auto; semaraknya Pakan Jumat yang penuh pakaian warna-warni; mula-mula kamera diperkenalkan di kota hujan itu; arsitektur; pacuan kuda; hingga sepakbola (Ini berbeda sekali dengan kebanyakan buku sejarah tentang Padang Panjang yang biasanya didominasi kisah soal pendidikan serta kaum pergerakan). Ringkasnya, selain enak dibaca buku ini penuh dengan beragam informasi menarik menyangkut Padang Panjang era 1900-an yang selama ini jarang-jarang ditemui.
***
Terbagi atas empat bagian, buku ini secara lebih khusus membahas mengenai proses pembaratan di Padang Panjang yang kemudian melahirkan modernitas. Modernitas di sini dilihat sebagai “pengaruh barat,” “’pendatang baru dalam wujud budaya Eropa yang melangsungkan ‘proses pembaratan/pemodernan’ yang terjadi sejak pemerintahan kolonial Belanda menaiki punggung kota itu hampir dua abad silam” (hal. 4).
Pada bagian pendahuluan, Deddy memaparkan asal-usul Kota Padang Panjang yang disebutnya sebagai kota “yang lahir karena perang” (hal.25). Bagaimana kota kecil yang dilihatnya sebagai kota yang paling termodern kan di Minangkabau itu berkembang dari lahan kosong luas yang menjadi tempat seteru aliansi dua nagari lalu berubah menjadi basis militer kolonial saat hendak menaklukkan pejuang paderi. Padang Panjang kemudian memasuki “djaman madjoe” yang diperkenalkan oleh Barat untuk “menggantikan zaman Padri yang kelam” (Hal. 6). Dimulailah era modern di Padang Panjang, ketika kota itu memainkan peran sebagai kota dagang hingga menjadi kota pendidikan.
Di bagian-bagian selanjutnya Deddy mencoba melihat bagaimana proses-proses pembaratan terjadi di Padang Panjang pada tiga aspek: fisik-material, perilaku-aktivitas, dan ide-gagasan. Ia juga mencoba melihat bagaimana modernitas itu direspon oleh masyarakat yang dilihat sebagai “muslim yang masih cukup taat memegang nilai-nilai lokal dan Islam.”
Lebih jauh, Deddy mencoba menunjukkan bagaimana ide-ide mengenai “Kemodernan” disosialisasikan secara langsung dan tidak langsung melalui berbagai saluran seperti pameran sains, film-film bisu di bioskop, atau sekolah gubernemen. Lewat saluran-saluran itulah anak-anak Pribumi “menatap dunia yang baru, yang berarti juga djaman kemadjoean,” yang “merupakan sebuah zaman yang tentulah dibawa dari dan diukur dengan timbangan” Barat (Hal. 147).
Akhirnya, mengamini Denys Lombard, Deddy menulis “modernitas sepertinya hanya arsir tipis di atas kertas tebal berlapis-lapis bernama tradisionalitas.” Modernitas di Padang Panjang hanya menyentuh dan lebih berbekas pada minoritas elit. “Mungkin hanya segelintir orang yang menikmati kemodernan dan termodernkan” (hal.160), tulisnya. Di antara segelintir orang itu adalah elit adat serta kaum “terdidik baru yang tercerahkan secara intelektual” yang terkonsentrasi di perkotaan. Dan karena hanya arsir tipis, Jepang yang belakangan datang dengan mudah mengikisnya. Meski begitu, proses pembaratan itu “tampaknya terus berlanjut sampai ke zaman kita kita kini (juga) di kota yang dingin ini” (hal. 166).
***
Penulisan sejarah kota di Indonesia punya sejarah tersendiri. Seperti ditulis Purnawan Basundoro (2011), sejarah kota-kota di Hindia Belanda mula-mula ditulis oleh kelas penguasa untuk melegitimasi kekuasaan mereka atas ruang kota. Kota dalam penulisan sejarah macam ini pada hakikatnya dilihat sebagai produk orang Eropa dan karenanya hanya pantas dimiliki dan dibergunakan bagi orang Eropa saja. Setelah kemerdekaan, mulai muncul penulisan sejarah kota yang sifatnya akademis serta penulis-penulis sejarah kota yang bekerja karena hobi.
Di samping itu, juga perlu dicatat sejak 1980-an muncul juga buku-buku sejarah kota yang ditulis untuk ‘menyesuaikan’ alur sejarah daerah dengan alur sejarah nasional Indonesia. Buku-buku seperti ini biasanya didominasi kisah-kisah perjuangan militer di sebuah kota.
Di Sumatera Barat sendiri, sudah ada beberapa buku tentang sejarah kota. Buku karya Deddy adalah satu di antaranya. Sebelumnya sudah ada Sejarah Kota Padang (Mardanas Safwan, 1987), Kota Padang Tempoe Doeloe (Meztika Zed, 2009), Pajacombo (Fenny Efendi,2021), Bukittinggi Tempoe Doloe (Zulqayim, 2006), Sejarah Sosial di Daerah Sumatera Barat (Taufik Abdullah & Budisantoso, 1984), Padang Riwayatmu Dulu(Rusli Amran, 1984), Paco-paco Kota Padang (Freek Colombijn, 2006), dst.
Karya Rusli Amran dan Fenny Efendi bisa dikategorikan sebagai sejarah kota yang ditulis karena dorongan hobi. Karya Mardanas Safwan serta karya Taufik Abdullah & Budisantoso bisa diletakkan dalam penulisan sejarah kota di daerah demi menggenapi sejarah nasional. Sedangkan karya Mestika Zed, Zulqayyim, serta Freek Colombijn merupakan karya yang sifatnya akademik.
Secara umum, karya-karya tersebut, kecuali karangan Colombijn, melihat perkembangan kota sebagai sesuatu yang alamiah saja.
Buku Deddy Arsya berbeda dengan buku-buku di atas karena dua hal yang saling berkaitan. Pertama Deddy melihat Padang Panjang sebagai konstruksi kolonial, sebagai sesuatu yang tidak alamiah; ia melihat cikal bakal Padang Panjang modern sebagai “kota garnisun” yang dibangun demi kepentingan Belanda. Dari garnisun itulah kemudian berkembang sebuah kota modern dengan “orang-orang Eropa berada di puncak tertinggi sistem sosialnya” (hal. 30).
Kedua, buku ini berbeda karena topiknya: modernisasi/pembaratan. Tak sama dengan karya-karya yang telah ada, Deddy melihat proses pembaratan sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah sebuah kota dan penaklukan masyarakat jajahan.
Dua hal ini adalah perkembangan yang menggembirakan dalam penulisan sejarah kota di Sumbar. Sayangnya Deddy berhenti sampai di sana.
***
Dalam buku ini, seperti telah disinggung di atas, djaman madjoe, kemadjoean, diartikan sebagai modernisasi atau proses pembaratan. Dalam proses tersebut, orang-orang Eropa dengan segenap infrastruktur yang dikuasainya menjadi agen utama penyebar modernitas dengan pribumi sebagai sasaran. Dan di tengah-tengah proses itu, ada dua jenis golongan pribumi yang memberi respon: orang ramai dan segelintir elit.
Mayoritas pribumi atau orang ramai cendrung digambarkan sebagai objek yang hanya bisa terperangah, menetap penuh pesona laju modernisasi di Padang Panjang, meski mereka berupaya ditampilkan aktif juga sebagai pengamat. Dan tanpa sebab yang begitu jelas, mereka tak terserap sepenuhnya dalam modernitas itu. Walau mereka memandang takjub aneka alat-alat modern yang dibawa orang Eropa dan pada batas tertentu menikmatinya, dalam kesehariannya, menurut Deddy, mereka masih mempraktekkan cara-cara hidup yang lama. Mereka digambarkan tak punya keinginan untuk merespon secara kreatif datangnya djaman madjoe. Ini bisa dimaklumi karena sumber-sumber sejarah yang terbatas.
Deddy memberi gambaran yang sedikit berbeda saat menjelaskan bagaimana segelintir elit merespon djaman madjoe. Segelintir elit ini, yang terutama terdiri dari kaum berpendidikan barat ditampilkan sebagai subjek yang tak sepenuhnya pasif dalam proses pembaratan itu. Mereka turut aktif mereformasi sistem pendidikan atau terlibat dalam penyebaran gagasan-gagasan baru seperti gagasan soal keperempuanan. Lebih dari itu, secara implisit Deddy menggambarkan upaya mereka dalam membuat pemaknaan sendiri mengenai djaman madjoe atau modernitas.
Hanya saja, pemaknaan yang ditampilkan itu masihlah pemaknaan yang direstui pemerintah kolonial: kemadjoean yang sama dengan yang diinginkan pemerintah konial—maju menuju zaman baru di bawah bimbingan kerajaan Belanda. Akhirnya kemadjoean di buku ini menjadi wacana yang tak punya daya dobrak sama sekali.
Kemadjoen lebih tampak sebagai aksesoris bagi Deddy, bahkan di kalangan paling progresif pada masa itu yang dilihatnya hanya mengartikulasikan kemadojean sebagai cara berdandan belaka. Padahal, sebagian elit seperti kelompok Dt Batuah, memaknai “kemadjoean” dan “djaman madjoe” sebagai pecahnya kolonialisme.
Cara pakaian Dt Batuah yang mengikuti patron Sovietnya, yang oleh Deddy cendrung digambarkan sebagai sekedar aksi gaya-gayaan atau lebih ke sikap membeo, untuk konteks zaman itu adalah pernyataan politik anti-kolonial yang selaras dengan aktivitas politik anti-kolonialnya. Di Hindia Belanda, bagi kalangan seperti Dt Batuah, orang madjoe tidak sebatas sebagai orang yang mampu baca tulis atau bergaya bak orang Eropa, melainkan orang-orang berpikiran maju yang menginginkan hengkangnya penjajah. Kemadjoen tak mungkin dicapai jika kolinalisme masih bercokol.
Akibatnya, pertentangan-pertentangan yang timbul sebagai akibat langsung dari datangnya djaman madjoe itu juga absen dalam buku Deddy. Upaya Dt Batuah dan kaum intelektual sepertinya untuk mendefinisikan kemadjoean sebagai zaman baru tanpa kolonalisme, adalah akibat langsung dari modernitas yang nyatanya menindas serta memperdalam ketimpangan sosial.
***
Dalam peluncuran buku Merengkuh Djaman Madjoe di Pustaka dan Toko Buku Steva, Deddy menyebut bahwa bukunya tidak ia niatkan sebagai sebuah buku sejarah kota. Menurutnya, bukunya lebih pada sejarah budaya di Kota Padang Panjang. Karena itu pula, seperti dikatakannya sendiri, bukunya mengabaikan banyak segi dalam perkembangan Padang Panjang sebagai sebuah kota. Deddya misalnya, sama sekali tidak menyentuh sejarah ekonomi-politik serta politik ruang kolonial di Padang Panjang.
Hal itu tak ada salahnya. Namun hadirnya buku sejarah tentang suatu kota di Sumatera Barat, yang disadari atau tidak telah mengabaikan dimensi-dimensi lain dari perkembangan kota, hanya menunjukkan satu hal: bahwa penulisan sejarah kota di Sumatera Barat perlu didorong lebih jauh.
Absennya pertentangan-pertentangan dalam masyarakat kolonial dalam penulisan sejarah kota mencerminkan kondisi penulisan sejarah kota di Sumbar. Padahal asal-usul persoalan sosial perkotaan hari ini, seperti intoleransi di Padang Panjang, mesti ditelusuri jauh ke masa tersebut, ketika kolonial menerapkan politik ruang kotanya. Termasuk juga sejarah ketimpangan pemilikan ruang atau soal pengusiran kaum miskin dari ruang-ruang kota di kota-kota di Sumbar, yang juga mesti diteliti akarnya hingga zaman kolonial.
Sebagai sedikit perbandingan, kondisi di Sumbar sangat berbeda dengan di Jawa, terutama Surabaya. Di sana tersedia kepustakaan yang cukup memadai agar para peneliti, jurnalis, serta penulis umumnya bisa mendapat gambaran lebih utuh mengenai masalah-masalah perkotaan. Misalnya ada buku Perkotaan, Masalah Sosial, dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial karya John Ingelson (2016) yang terbit pertama dalam pada 1985). Juga ada karya-karya Purnawan Basundoro tenang sejarah kota Surabaya, di antaranya Merebut Ruang Kota, Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960-an (2013).
Akhir kata, terbitnya buku terbaru Deddy Arsya ini telah turut menyediakan bahan untuk penulisan sejarah kota-kota di Sumatera Barat yang lebih komprehensif, yang tidak hanya berguna untuk memahami masa lalu tapi juga berperan dalam perubahan sosial di masa datang. (*)