Gerakan penolakan pembunuhan KPK yang dilakukan secara sistematis makin melemah seiring dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Aksi demonstrasi yang sempat mewarnai gedung DPR RI dan jalanan di berbagai daerah di Indonesia sepanjang Bulan September mulai mundur secara teratur. Pelbagai faktor mempengaruhi mengendurnya semangat massa aksi dalam menolak Revisi terhadap UU KPK
Salah satu faktornya adalah beredarnya berita palsu (fake-news) dan fakta yang dipelintir (hoaks) yang menyudutkan KPK serta individu yang memiliki komitmen untuk memperkuat gerakan pemberantasan korupsi. Seperti hoaks yang beredar di media sosial tentang tuduhan bahwa beberapa kelompok mahasiswa digerakan oleh internal KPK. Pada informasi yang disebarkan tersebut digambarkan bahwa mahasiswa sebelum melakukan demontrasi di depan gedung DPR RI dikumpulkan di salah satu ruangan di gedung merah putih, kemudian diberikan arahan tentang apa yang harus dilakukan.
Foto yang digunakan oleh penyebar hoaks merupakan salah satu aksi dari beberapa kelompok mahasiswa dalam menolak calon pimpinan KPK untuk periode 2019/2024 yang memiliki rekam jejak bermasalah pada Tanggal 12 September 2019. Setelah melakukan aksi simbolik dengan menyalakan lilin dan mendirikan tenda di depan gedung KPK, mereka meminjam salah satu ruangan di gedung merah putih. Ruangan tersebut digunakan oleh mahasiswa agar dapat berdiskusi dengan beberapa orang akademisi tentang permasalahan pemberantasan korupsi serta carut-marut proses seleksi calon pimpinan KPK.
Dipelintirnya fakta tentang aksi dan diskusi yang dilakukan oleh sekeelompok mahasiswa di KPK pada malam itu memiliki dampak yang buruk. Seperti menurunnya simpati dan dukungan masyarakat pada gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa dalam melakukan aksi membela KPK. Karena publik menganggap bahwa gerakan mahasiswa telah “ditunggangi” oleh kelompok politik tertentu. Hal tersebut terjadi karena berita-berita palsu dan hoaks itu tidak hanya disebarkan oleh akun anonim, namun juga oleh akademisi serta praktisi.
Tidak hanya kelembagaan KPK, salah satu penyidiknya yaitu Novel Baswedan juga coba untuk dijatuhkan. Diawali oleh pelaporan yang dilakukan oleh salah seorang politisi PDI-P yaitu Dewi Tanjung, yang menuding Novel merekayasa kasus penyiraman air keras terhadap dirinya. Padahal telah terdapat saksi serta bukti pemeriksaan mata Novel yang rusak akibat penyiraman air keras. Diedarkannya berita palsu itu bertujuan untuk menjatuhkan muruah dan kepercayaan publik kepada KPK. Kemudian hal tersebut juga membantu menenggelamkan KPK dalam kubangan post-truth.
Steve Tesich sebagai seorang penulis dan novelis merupakan orang pertama yang menggunakan istilah post-truth. Istilah tersebut muncul pada artikelnya The Government of Lies yang terbit pada pada Tanggal 6 November Tahun 1992. Artikel tersebut menggambarkan dan menceritakan skandal Watergate di Amerika Serikat pada Tahun 1972-1974 serta Perang Teluk Persia yang menunjukan bagaimana masyarakat pada saat itu terlihat nyaman dan lebih menerima kebohongan-kebohongan dalam sebuah informasi. Ia menuliskan pandangannya yang melihat masyarakat yang tidak terlalu peduli dengan kebenaran dan fakta kemudian lebih memilih untuk hidup dalam ayunan berita palsu dan hoaks.
Istilah post-truth kembali populer pada saat periode kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) pada Tahun 2016 hingga terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden yang ke-45 di AS. Selama kampanye, Trump dianggap menggunakan berita palsu dan hoaks seperti dengan adanya tiga puluh juta imigran dan deportasi massal, moderator debat calon presiden dan wakil presiden yang tidak netra, hingga tuduhan bahwa ISIS didirikan oleh Barack Obama dan Hillary Clinton. Sehingga kemenangannya dalam pemilihan Presiden AS dianggap sebagai kemenangan post-truth.
Hal yang tak jauh berbeda terjadi di Indonesia. Hantaman berita palsu menerjang sejak pemilihan umum Tahun 2014 dan kembali terulang pada pemilihan umum serentak Tahun 2019. Serangan secara sistemik terlihat menyerang kedua pasangan calon presiden-wakil presiden, terutama di media sosial.
Tidak jelasnya sumber informasi dan kemudahan untuk membagikan berita palsu serta hoaks menjadikan media sosial sebagai ladang yang baik untuk menumbuh-kembangkan post-truth. Mudahnya publik mempercayai informasi palsu menjadi salah satu alasan mundurnya gerakan pro-demokrasi dan upaya untuk mencegah pelemahan KPK.
Melihat dari pola perkembangannya, serangan melalui berita palsu dan hoaks yang dilakukan kepada KPK melalui media sosial merupakan imbas dari polarisasi selama pemilihan umum serentak Tahun 2019. KPK dituduh menggerakan mahasiswa dengan dalih penolakan pelemahan gerakan pemberantasan korupsi namun sebenarnya bertujuan untuk mengganggu pemerintahan. Hingga informasi palsu tentang gerakan-gerakan yang mencoba untuk menggagalkan pelantikan anggota DPR-RI dan presiden-wakil presiden terpilih.
Apabila perkembangan informasi palsu tentang KPK tidak dilawan, maka bersama kita harus siap menghadapi kematian gerakan pemberantasan korupsi dan harus mempersiapkan pemakaman yang layak untuk lembaga anti-rasuah tersebut. Karena hancurnya sebuah lembaga pada abad ke-21 tidak lagi disebabkan oleh cara klasik seperti serangan kelompok militer maupun pembubaran oleh pemimpin yang otoriter. Cara yang dilakukan adalah dengan menyebarkan informasi palsu, sehingga publik akan memaklumi hingga mendukung apabila lembaga tersebut dikontrol secara penuh oleh pemerintah.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk melawan post-truth adalah membuat sebuat mesin ataupun aplikasi yang dapat menyeleksi dan memverifikasi informasi yang beredar di media sosial. Sehingga masyarakat langsung dapat mengetahui apakah informasi yang diterimanya adalah fakta atau palsu. Seperti yang telah dilakukan oleh KPK dengan menyediakan kanal khusus di website-nya yang bernama “Klarifikasi Informasi Hoaks”. Sehingga akan membantu masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar perihal berita palsu yang menyerang KPK.
Selain itu juga dibutuhkan sebuah regulasi yang dapat menjerat pelaku pembuat dan penyebar berita palsu dan hoaks. Karena ketentuan yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik belum mampu untuk melawan disinformasi. Malah ketentuan dalam UU tersebut dijadikan sebagai alat untuk menyerang individu-individu yang bergerak pada upaya pemberantasan korupsi di Indonesia seperti yang menimpa Novel Baswedan.
Ilustrator: Talia Bara