Menjelang akhir Abad 19 terjadi perubahan signifikan di dataran tinggi Minangkabau. Perubahan tersebut berawal dari berakhirnya perang antara Kolonial Belanda dengan Paderi. Penguasaan penuh dataran tinggi Minangkabau oleh pemerintahan Kolonial Belanda berarti monopoli atas komoditas-komoditas berharga yang terdapat di kawasan tersebut, terutama kopi. Untuk menyokong semua aktivitas itu, pemerintah Kolonial memerlukan infrastruktur yaitu kereta api.
Dimulailah rencana untuk membangun rel dan stasiun kereta api yang akan menghubungkan dataran tinggi dengan pantai barat, dengan pasar global. Jejaring transportasi ini tentu saja berada di bawah pengawasan penuh Kolonial Belanda. Dengan menguasai lajur baru ini, Kolonial Belanda tidak hanya menguasai jalur perdagangan namun dengan sendirinya mematikan jejaring jalur perdagangan yang sudah ada sebelumnya yang sudah menghubungkan dataran tinggi mingakabau dengan dunia luar setidaknya semenjak abad 15. Pada awalnya, rencana pembangunan rel kereta api di Sumbar digunakan untuk distribusi kopi dari daerah pedalaman (Bukittinggi, Payakumbuh, Tanah Datar, Pasaman) ke Pusat perdagangan di Kota Padang. Ide ini muncul saat pemerintahan Kolonial Belanda sudah mulai kokoh di kawasan tersebut. Hal ini terlihat setelah penandatangan Plakat Panjang tahun 1833 ( Rusli Amran, 1985 : 11-15). Akan tetapi, rencana ini berubah semenjak ditemukannya batu bara di daerah Ombilin. Pemerintah Hindia Belanda tertarik untuk melakukan penambangan dan pengangkutan batu bara karena kualitasnya tinggi dan jumlahnya cukup banyak. (Lihat Arsip Perumka Eksploitasi Sumatera Barat Mengenai Sejarah Perkeretaapian). Sejak penemuan pertambangan batu bara di Sawahlunto dan tambang emas di Mangani Lima Puluh Kota, dilakukanlah pembangunan dan pengadaan kereta api sebagai fasilitas pendukung pendistribusian hasil tambang ke Pelabuhan Teluk Bayur.
Penelitian untuk rencana pembuatan jalan kereta api ini selesai pada tahun 1876, dan ditetapkan pembuatannya dengan dana sebesar f.19.400.000,-. Rencana pembuatannya dimulai dari Pulo Aie lewat Kayutanam, Lembah Anai, Padang Panjang terus ke Sawahlunto melalui Danau Singkarak. Namun rencana pembuatan jalan kereta api dari Pulo Aie hingga Sawahlunto tertunda sampai tanggal 6 Juli 1887, sedangkan lintas Bukittinggi-Payakumbuh diselesaikan tahun 1896, dilanjutkan sampai Limbanang yang diselesaikan tahun 1921. Dalam kurun waktu 22 tahun dapat diselesaikan pembangunan jalur kereta api sepanjang 230 km. Jalur lintas Lubuk Alung–Pariaman selesai pada tahun 1908, Pariaman–Naras selesai pada Januari 1911, dan jalur dari Padang, Bukitinggi, Payakumbuh–Limbanang sepanjang 72 km. Sedangkan jalur Muarakalaban–Muarasijunjung selesai pada tahun 1924.
Pada tahun 1892 diresmikan jalur kereta api dari Kota Sawahlunto sampai ke Pelabuhan Emma Haven atau Teluk bayur. Tentunya dipergunakan untuk mengangkut batu bara. Terhitung selama hampir setengah abad sampai akhir masa kekuasaan Hindia Belanda, jalur kereta api telah mencapai daerah-daerah penting di Sumatera Barat masa kolonial, sebut saja Padang, Pariaman, Padangpanjang, Solok, Sawahlunto, Bukittinggi, Payakumbuh dilalui rel kereta api.
Namun, ada satu daerah yang tidak kalah pentingnya oleh Hindia Belanda yakni Van der Capellen atau Kota Van der Capellen. Kota dimana Pusat kerajaan Pagaruyung yang sempat diyakini oleh Belanda sebagai pusat kekuasaan Minangkabau. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda Fort Van der Capellen dinamai dengan nama Fort Van der Capellen. Nama diambil dari nama seorang jenderal Belanda yaitu Godert Alexander Gerard Philip baron Van der Capellen Kota ini menjadi salah satu kota penting bagi Belanda, Fort Vander Capellen mempunyai peran ganda yaitu menjadi ibu kota Afdelling dan ibu kota District. Sebagai ibu kota Afdeling Tanah Datar Van der Capellen menjadi pusat pemerintahan sipil tempat pemerintahan kolonial mengatur birokrasi pemerintahan pribumi sekaligus mengawasi pelaksanaan sistem tanam paksa kopi. Sebagai kota yang penting bagi kolonial, maka didirikanlah benteng yang kuat dan kokoh untuk pertahanan.
Sejak kemunculan kota-kota modern di dataran tinggi, daerah ini sudah menjadi medan pertempuran dalam peran paderi. Dinamika setelah perang paderi, kota ini juga menunjukan aktivitas perlawanan terhadap Kolonial Belanda dalam perang Belasting di Lintau Buo.
Namun cukup mengherankan kenapa jalur kereta api tidak sampai ke Vander Capellen. Jejak kereta api di Kota Van der Capellen hanya ditemui dalam dokumen Belanda tentang pembangunan jalur baru kereta api pada tahun 1902. Secara terselubung, jalur kereta api yang dibangun oleh Kolonial Belanda merupakan sel aktif untuk mengontrol pergerakan masyarakat lokal. Terlepas itu untuk pengangkutan batu bara dari kota Sawahlunto ke Pelabuhan Teluk Bayur, kereta api juga dipergunakan untuk angkutan massa baik itu sipil termasuk pejabat teras Belanda, Militer Belanda, serta orang-orang yang dicap penjahat oleh Belanda.
Catatan mengenai pembangunan jalur kereta api ke kota Van der Capellen dapat ditemui dalam dokumen Belanda “Staatsspoorweg ter Sumatra’s Westkust en Ombilin Kolenvelden” De Ingenieur. 17e Jaargang Nomor 34 tahun 1902. Dalam tulisan ini diterangkan bahwa Jalur kereta api baru di Fort Van der Capellen ini menawarkan keuntungan besar, dengan panjang sekitar 25 KM, kontur yang landai dan fakta bahwa wilayah tersebut padat penduduk. Dengan tersedianya rel kereta api dikatakan bahwa kemakmuran akan menyelimuti Van der Capellen. Sedangkan untuk jarak tentunya agak jauh karena harus dilewati ketinggian +890 M harus dilampaui. Rencana untuk membuka jalur kereta api ini seiring dengan terbukanya jalur penjualan batu bara melalui Singapura yang lebih menguntungkan dari pada di Emma Haven. Selain itu, keuntungan besar ini harus diiringi dengan pembukaan tambang baru. Daerah yang lebih memungkinkan yakni di sepanjang daerah aliran batang Ombilin dan daerah Rantiah.
Sebuah rencana untuk meningkat produksi penambangan batu bara mencapai 365.000 ton dengan membuka lahan baru di sekitar batang omblin. Rencana itu akan tercapai dalam waktu sekitar delapan tahun. Jika rencana ini dilaksanakan, maka penjualan batu bara tidak lagi di Emma Haven sebagai daerah tempat ekspor reguler. Akan tetapi dalam perdagangan terbuka di tempat lain, mungkin dijual secara eksklusif di Singapura. Masih dalam catatan Belanda di atas, perdagangan batu bara tidak hanya di bawah pengawasan Kepala penambangan, namun juga membuka peluang untuk perusahan swasta. Penambangan batu bara akan diserahkan kepada swasta sedangkan Pemerintah Hindia Belanda melakukan manajemen kereta api sebagai sarana pengangkutan. Gagasan ini dilakukan karena permintaan batu bara dari Jepang sedang masif sehingga pasar Singapura harus menjadi tujuan dari Pemerintah Hinda Belanda.
Oleh karena itu jalur kereta api kian dirasa penting. Selanjutnya setelah rencana jalur kereta api yang dirancang oleh Kolonial Belanda pada saat membuat jalur kereta api dari Tanjung Barulak/Buo, Fort Van der Capellen terus ke Padang panjang melalui celah bukit di Simabur, diusulkan juga jalur kereta api yang ada harus dibuat mengikuti sungai Sello ke Fort Van der Capellen dan dari sana melewati jalan utara Boekit Pandjang ke Padang Pandjang.
Masih dalam sumber yang sama, diterangkan bahwa dari Desa rantiah, kota Sawahlunto ke kota Van der Capellen biaya konstruksi dan peralatan pembuatan jalur kereta api dari desa Rantiah kota Sawahlunto ke Fort Van der Capellen sampai ke Padangpanjang memakan biaya 3.490.000 gulden dengan perkiraan ada 2 stasiun dan 2 stopplaat. Dari Kota Sawahlunto dengan 1 stasiun dan 1 stopplaat. Jarak desa Rantiah ke Kota Sawahlunto sepanjang 29 KM memakan biaya 1.740.000gulden, dan untuk 2 stopplat masing jarak 6 km 300.000 gulden dan jarah 4 km biaya 400.000 Gulden dan jarak dari Fort Van der Capellen sepanjang 14 km sebanyak 1.050.000 gulden serta ditambah dengan penambahan stasiun Kereta api Padangpanjang dengan biaya 100.000 gulden, penggandaan rel kereta api di Lembah Anai dengan biaya 750.000 gulden, perluasan instalasi di Emma Haven dengan biaya 250.000 gulden, serta pembuatan instalasi dan persiapan pertambangan di desa Rantih dengan biaya 1.000.000 gulden sehingga total biaya yang diperlukan sebanyak 5.608.000 gulden.
Tentang tidak adanya jalur kereta api ke Fort Van der Capellen sendiri disebabkan oleh beberapa faktor. Secara hitungan ekonomis, daerah ini tidak begitu menjanjikan daripada daerah lain. Fort Van der Capellen lebih menguntungkan jika dipergunakan tempat transit untuk mengangkut hasil tambang yang akan dibuka di daerah Rantiah, Sawahlunto. Perkebunan kopi yang berada di lereng gunung merapi dan Gunung Sago mulai menurun produktifitasnya. Pada sisi lain, pada awal abad ke 20, pemerintah Hindia Belanda disibukkan untuk menata pemerintahan yang biayanya juga tidak sedikit. Semua itu ditambah dengan biaya besar yang harus dikeluarkan oleh Belanda jika ingin meneruskan rencana pembangunan rel kereta api ke Van der Capellen. Pada akhirnya jalur kereta api ke Fort Van der Capellen hanyalah sampai pada kertas kerja.
Editor : Randi Reimena
Ilusitrasi oleh: Amalia Putri
Daftar Pustaka
Arsip Perusahaan Kereta Api Eksploitasi Sumatera Barat, 2004.
Aulia Rahman, Pasang Surut Perusahaan Kereta Api di Sumatera Barat Tahun 19632010, Skripsi (Padang: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, 2014).
—————–. Menikam Jejak Kereta api di Sumatera Barat. (Batusangkar: BPCB Sumatera Barat, 2018)
BPCB Sumatera Barat. Cagar Budaya Kabupaten Tanah Datar, Laporan (Batusangkar: BPCB Sumatera Barat, 2017).
Erniwati, Modernisasi Transportasi: Pembangunan dan Revitalisasi Kereta Api di Sumatera Barat, Jurnal Diakronik, 1 (1), 2013: 2437.
Rafki R, Marjohan Syarif, Yendri Suharni, Yusril, “Survei Pendataan Stasiun Kereta Api Provinsi Sumatera Barat Tahap II”, Laporan (Batusangkar : BPCB Batusangkar, 2014).
Rusli Amran, Sumatra Barat hingga Plakat Panjang (Jakarta : Sinar Harapan, 1986).
S.A. Reitsma, De staatsspoorweg ter Sumatra’s Westkust (S.S.S.) (Den Haag : Moormans Periodieke Pers, 1943).
“Staatsspoorweg ter Sumatra’s Westkust en Ombilin Kolenvelden” De Ingenieur. 17e Jaargang Nomor 34 tahun 1902