Artikel

Hilangnya Ruang Aman Anak PKL Pantai Purus

Ambisi Pemerintah Kota Padang untuk jadikan Pantai Purus padang sebagai kawasan wisata andalan, mahal sekali ongkos sosialnya. Demi pariwisata dan pendapatan kota, Pemko Padang melarang warga pantai purus berjualan karena dinilai akan menjadi citra buruk bagi pariwisata.

Upaya menciptakan kawasan wisata yang indah itu menyebabkan para pedagang sering terlibat bentrok dengan aparat Pemko yang hendak menggusur mereka. Sepanjang 2021 hingga kini, telah belasan kali terjadi bentrok di sekitar Pantai Purus yang berlangsung di depan anak-anak para pedagang. Mungkin juga anak-anak para pengunjung ikut menyaksikan kekerasaran tersebut.

Dikutip dari laman tirto.id, bentrokan paling parah terjadi pada 17 Agustur 2022. Saat itu, kurang lebih 150 personel Satpol PP Kota Padang datang ke Pantai Purus mencoba menggusur para pedagang. Upaya penggusuran yang represif disertai kekerasan verbal terhadap PKL, segera menyulut kerusuhan. Aksi saling lempar batu antara petugas dan massa terjadi

Menurut laporan LBH Padang dalam jumpa pers pasca kericuhan tersebut, masih ada korban lain dari pihak pedagang pantai purus dan warga yang enggan melapor. Masih mengutip tirto.id, pasca bentrok anak-anak pedagang Pantai Purus mengalami trauma. Hal tersebut terjadi karena hak anak masih diabaikan dalam kebijakan penggusuran.

Persoalan ini juga dapat dilihat sebagai bentuk abainya pemerintah terhadap UU perlindungan anak. Hak anak untuk mendapat ruang aman, seolah tidak ada diatur dalam Undang-undang. Padahal Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada abstraknya menegaskan:

bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia; bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia; bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap anak perlu dilakukan penyesuaian terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.”

**

Setelah lebih dari satu tahun, trauma anak-anak pedangan Pantai Purus belum hilang. Seperti dikatakan psikolog anak, efek trauma tersebut menimbulkan kecemasan dan mengganggu kesehatan mental pada tumbuh kembang anak. Saat saya berkunjung ke Pantai Purus belum lama ini, di sekitar simpang tiga dekat pasar Ikan, salah satu anak pedagang dengan inisial K yang berumur sekitar 9 tahun, masih teringat dengan beberapa kerusuhan dan kekerasan yang ditontonnya langsung.

“Takut sekali om, jualan mama di tumpahkan dan diseret oleh bapak berseragam dan meja jualan mama diambilnya dan dimasukkan ke mobil truk, mama rebut tapi bapak itu maksa mengambilnya,” tutur K.

“Takut om, takut kalau om-om berseragam itu datang lagi dan mengambil jualan mama. Kalau mama gak jualan aku gak jajan om,” lanjutnya saat saya tanya apa yang ia rasakan saat ini.

Mama K sendiri menegaskan bahwa “sejak penertiban itu, pedagang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup.” Bahkan saat K sakit, ia harus berhutang untuk biaya pengobatan.

Saat ini Mama K masih mencoba bertahan, berjualan dengan cara sembunyi-sembunyi, karena tak ada pilihan. “Masih dengan cara kucing-kucingan, kalua ndak jualan gimana kami untuk makan, karena hanya ini usaha kami untuk membeli beras supaya dapur kami tetap berasap,” katanya.

Pedagang kaki lima di pantai purus itu berjualan hanya untuk memenuhi kehidupan agar mereka dapat membeli beras dan mencari biaya untuk berobat keluarganya dari hasil jualannya dan agar supaya dapat memberi jajan anak.

Tindakan ini tidaklah harus dilakukan dengan cara represif, masih ada acara-cara lain yang humanis dapat ditempuh. Aparat pemerintah yang selayaknya memikirkan Kesehatan mental anak-anak, malah melalaikan itu.

Pemerintah melalui Satpol PP telaH mengabaikan  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dimana penting dalam kerangka hukum Indonesia yang menetapkan hak-hak asasi manusia. Undang-Undang ini memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sesuai dengan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan, keadilan, kebebasan, martabat, dan kemuliaan manusia. Undang-Undang ini menetapkan bahwa setiap orang memiliki hak-hak dasar yang tidak dapat dicabut, dikecualikan, atau ditangguhkan dalam keadaan apa pun dan negara harus menghormatinya.

Rangkaian upaya penggusuran dengan kekerasan merupakan pelanggaran HAM. Dalam hal ini  Negara telah mengabaikan Undangan-Undang Nomor 39 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Selain itu perlu ditegaskan bahwa kepala daerah memiliki tanggung jawab dan wewenang dalam melindungi hak-hak dasar warga negara. Ia mencakup sejumlah aspek penting yang mencakup Penegakan Hukum dimana kepala daerah memiliki peran penting dalam menegakkan hukum di tingkat lokal. Mereka bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk mencegah dan menindak tindakan kriminal yang melanggar hak-hark warga.

Aspek Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di mana kepala daerah bertanggung jawab untuk memastikan perlindungan HAM di wilayahnya. Mereka dapat memfasilitasi penyelidikan dan penegakan hukum terkait kasus-kasus pelanggaran HAM.

Juga ada aspek Pendidikan dan Kesadaran HAM di mana Kepala daerah dapat mempromosikan kesadaran dan pendidikan mengenai hak-hak warga negara di komunitas lokal. Mereka sejatinya wajib mendukung program-program pendidikan yang memperkenalkan konsep HAM kepada masyarakat.

Dalam aspek Kesejahteraan Sosial dan Ekonomi, kepala daerah memiliki tanggung jawab untuk merancang kebijakan yang mendukung kesejahteraan sosial dan ekonomi warga negara. Ini termasuk hak atas pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan akses layanan sosial.

Sementara di aspek Pengelolaan Konflik dan Kebijakan Inklusi,  dalam menghadapi konflik sosial atau etnis, kepala daerah berperan dalam mempromosikan kerukunan dan inklusi sosial. Mereka merancang kebijakan yang memastikan semua warga negara diperlakukan secara adil dan setara.

Yang tak kalah pentingnya ialah aspek Kolaborasi dengan Pemerintah Pusat. Kepala daerah semestinya berkolaborasi atau memperkuat kolaboasi yang telah ada dengan pemerintah pusat untuk memastikan implementasi kebijakan nasional yang melindungi hak-hak warga negara. Kerjasama ini penting untuk menciptakan lingkungan yang aman dan adil bagi semua.

Dalam konteks tulisan ini, semua aspek tesebut mesti dikerahkan untuk mendorong terbentuknya ruang aman untuk anak-anak pedagang Pantai Purus.

Semua itu  bisa dilakukan karena sejalan dengan wewenang kepala daerah dalam melindungi hak-hak warga negara yang harus selaras dengan konsitusi negara dan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui secara internasional.

Saya rasa pemerintah daerah bisa melakukannya dengan mudah. Mereka punya sumber daya yang cukup dan relasi birokrasi dengan pemerintah pusat. Tak akan sulit rasanya mewujudkan wisata dengan ruang aman untuk anak pedangang dan anak wisatawan. Kecuali pemerintah memang sengaja mengabaikan hak anak? (*)

Ilustrasi: Amalia Putri @yyumemiru

About author

Aktivis LBH Padang
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *