Artikel

Dulu, Rumah Bisa jadi Bioskop

Panggilannya Jef. Teman sepermainan. Sampai sekarang saya tak tahu nama panjangnya. Di 80-an, ia berdiri di depan pintu rumah sambil menampungkan tangan pada orang yang masuk. Tampang sedikit garang, mata jelalatan menghitung kepingan logam Rp100.

Itu jumlah uang yang mesti dibayar agar bisa menonton film tertentu. Di Perumnas I Indarung, keluarganya termasuk yang memiliki pemutar kaset video. Termasuk barang mewah. Dan seingat saya, itu satu-satunya rumah yang berlokasi di Mutiara Indah Padang Besi yang beralih wujud jadi ‘bioskop’ di perumahan milik PT Semen Padang itu.

Jadwal tayangnya pukul 13.00 dan 15.00 WIB. Kalau terdengar azan, di-pause dulu. Kalau saat adegan lagi seru, berkata-kata juga hati ini.

Saya tentu saja sering ke sana. Pulang sekolah, ganti baju, langsung duduk-duduk di beranda rumah Jef. Bersama teman-teman lain menunggu pengumuman film apa yang diputar. Kalau Indonesia atau India, saya balik kanan.

Penonton dibatasi maksimal 20 orang. Duduk di lantai. Meski ruang tamunya luas, tapi harus ditambah kipas angin mengurangi hawa panas. Kerai dan jendela ditutup mati. Menghindari cahaya berlebih dan mata-mata yang mencuri lihat. Saat kerai ditutup, ruangan tiba-tiba gelap, sensasinya memang beda.

Penontonnya tak hanya remaja lelaki tanggung seperti saya. Ada yang putri atau ibu-ibu. Makanya, film yang diputar kadang-kadang disesuaikan dengan permintaan. Film diputar kalau penonton lebih dari sepuluh. Batas waktu tambahan penonton hanya 10 menit setelah pemutaran. Itu pun diiringi suara “Lambek bana!”, “Kama ang tadi?”, atau yang paling ekstrem, “Mangocok lo dulu?

Jef tak hanya bertugas jadi penjaga, termasuk mengawasi suara berlebih dari penonton, tapi sekaligus penyensor. Remote control di tangannya. Pas adegan ‘panas’, ia akan memijit tombol forward. Saya dan teman-teman cemburu. Tentu, Jeff sudah menonton adegan itu lebih dulu.

Saya juga tahu berapa keuntungan yang didapat. Sewaktu memiliki pemutar video sendiri, saya sempat mengusul pada Ama agar mengubah rumah jadi bioskop. Ayah yang melarang.

Di sana saya kenal dengan Bruce Lee. Sempat pula punya nunchaku. Sewaktu SMA selalu mengisi tas saya.

Mulai dari The Big Boss sampai Tower of Death yang sudah diperankan Bruce Lee Kawe, saya tonton.  Yang jadi perbincangan kami tentu Fist of Fury atau saya mengenalnya sebagai The Chinese Connection.

Adegan terakhirnya membingungkan kami. Lee melompat, gambar membeku, tapi ada letusan pistol. Mati atau tidak? tanya kami pada Jef. Ia bingung, meski sudah menonton beberapa kali.

Dalam beberapa kesempatan, sembari merokok dengan sembunyi-sembunyi, kami membahasnya. Kesimpulan paling tak terbantahkan: Lee tidak mati. Tepatnya, kami tak ingin ia mati. Harus ada kelanjutannya.

Seorang teman membantah. Lee sudah mati, katanya. Tidak mungkin bantah kami. Lee sudah mati di dunia nyata, bagaimana mungkin ada lanjutannya? ujar teman itu lagi. Kami terpana.

Tak dinyana, setahun kemudian kami memang mendapatkan kelanjutannya. Saya tak ingat apa judulnya. Yang pasti, Lee memang mati. Namun, tokoh adik seperguruannya muncul dan melanjutkan balas dendam Lee yang masih tersisa. Cukuplah mengobati luka kami waktu itu.

Akan tetapi, rumah Jef, bukan rumah pertama, ruang tamu jadi bisokop. Sewaktu SD saya sudah mengalami. Tidak satu, tapi dua.

Pertama kali di rumah Wakil Kepala SPN (Sekolah Polisi Negara) Padang Besi, Lubuk Kilangan Padang. Siapa nama bapaknya, saya lupa. Lagi pula jarang melihatnya tapi ia suka melihat anak-anak berkumpul. Tentu hanya untuk ‘anak kolong’, sebutan untuk anak polisi. Keluarga saya tinggal di Blok F No 8 waktu itu.

Jadwal tayangnya Pukul 21.00 WIB, setiap malam minggu. Bukannya si Bapak tak mau memutar tiap hari, tapi karena keterbatasan listrik. Di asrama polisi itu, kami hanya punya satu generator yang melayani hampir seratus rumah. Belum lagi kantor atau asrama bagi calon polisi.

Arus listrik baru ‘bebas’ di atas pukul 9 malam. Saat ibu-ibu tak lagi menyerika. Tak mungkin putar video selain sabtu malam. Takut terganggu jam belajar anak-anak sekolah.

Film yang diputar adalah serial Mandarin. Sekali putar hanya tiga kaset. Selesai itu, hari sudah tengah malam. Yang jadi penjaga, seorang polisi keturunan Batak. Jadi, kami juga tahu diri tak buat keributan selama pemutaran berlangsung.

Tak jarang, saat menonton, televisi tiba-tiba mati. Spanning turun, alasan Pak Polisi bermarga Simangunsong itu. Atau Pak Muslim, penjaga generator akan menambah minyak.

Di sana saya kenal dengan Pendekar Empat Alis, Pendekar Pisau Ganda, dll. Pisau Ganda jadi favorit saya. Film serinya dibuat dengan gaya detektif.

Ceritanya, penjahat-penjahat kelas kakap terbunuh secara misterius. Beberapa orang ditugaskan untuk menyelidiki, tapi sulit menemukan pembunuhnya. Ternyata pembunuhnya ada di antara penyelidik. Ia menyembunyikan dua bilah pisau di lengan tangan yang dibalut kain sehingga pisau tidak terlihat. Ia ingin balas dendam karena penjahat itu membunuh keluarganya.

Saat kelas 4 SD, si Bapak pindah tugas. Jadilah kami terombang-ambing mau kemana malam minggu. Dari seorang teman, saya dengar ada tempat pemutaran video yang masih dalam lingkungan SPN.

Rumahnya tak jauh dari gerbang, tapi yang punya sipil. Rumah mewah untuk ukuran waktu itu. Jam tayangnya sore dan malam.

Ayah saya punya kedai di depan gerbang. Saya sering menolong sepupu yang ditugaskan menjaga kedai. Seringnya, saya ‘menolong’ menghabiskan rokok dan uang. Uang itu yang saya gunakan untuk menonton.

Film yang diputar kebanyakan Indonesia. Terutama aksi. Dibintangi Barry Prima dan Advent Bangun. Kadang agak esek-esek. Sehingga saya tak diperbolehkan masuk. Soalnya tak pakai remote control. Namun, di situ saya nonton Secangkir Kopi Pahit.

Pertengahan 1985, ayah saya pindah ke Polda Sumbar. Kami sekeluarga pindah ke Mutiara Indah. Di situlah rumah Jef jadi sasaran tontonan.

Setahu saya, masa itu banyak rumah-rumah yang jadi bioskop. Namun, di akhir 80-an, pemutar video sudah murah. Hampir setiap keluarga memilikinya.

Saya juga tak mau tahu apakah masih ada rumah/bioskop waktu itu. Ekspansi ke bioskop lebih mengasyikkan. Sekarang, saya ragu, apakah hari ini masih ada yang menjadikan ruang tamunya sebagai bioskop.

 

*tulisan ini sudah pernah terbit sebelumnya di ranah.id

About author

Budayawan dan sutradara
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *