Sejumlah pengelana yang melintas di pantai barat Sumatera pada kuarter pertama abad ke-20 sangat terkesan dengan jalan negara yang ada di sana; mereka menulis pantai barat Sumatera sebagai wilayah dengan jalanan terbaik dan terpanjang yang ada di luar Jawa. Mereka juga mencatat masyarakat di sana sudah terbiasa dengan berbagai macam transportasi (Asnan 2001a:4). Sarana dan prasarana transportasi di Sumatera Barat adalah aset yang paling penting pada abad ke-20. Jalanan itu tidak hanya menghubungkan berbagai wilayah dan kota di Sumatera Barat, tetapi juga menghubungkan Sumatera Barat dengan daerah lainnya di Sumatera. Sarana transportasi ini tidak hanya dimiliki oleh sekelompok orang; ia bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
Semenjak 1900, sebuah jalan menghubungkan Sumatera Barat dengan Tapanuli dan medan. Lalu pada 1916, sebuah jalan lainnya menghubungkan Bukittinggi (Sumatera Barat) dan Pekanbaru (Riau), dan pada 1921 jalan yang menghubungkan Sumatera Barat dengan Jambi dan Kerinci dibuka (Colombijn 1996:390-4).
Pedati dan oto-mobil menjadi moda transportasi yang paling umum. Sumatera Barat dikenal sebagai salah satu dari sedikit wilayah di luar Jawa yang memiliki banyak oto-mobil. Total jumlahnya di Sumatera Barat pada awal 1920-an diperkirakan lebih dari 3.000-an dan pada akhir 1920 jumlah meningkat dua kali lipat menjadi 7.000 (Harahap 1926:114-5; Willink 1931:755; Schrieke 1955:270).
Kondisi transportasi darat pada abad ke-20, baik dari infrastruktur dan kendaraannya tidaklah muncul tiba-tiba. Banyak sumber sejarah pada awal abad-20, seperti laporan bulanan pemerintah daerah—memories van overgave (laporan dari pegawai pemerintah yang akan pensiun untuk pengganti mereka), laporan dari kamar dagang dan industri di Padang dan koran—menunjukan kemajuan transportasi pada saat itu merupakan hasil dari perkembangan dari apa yang terjadi pada masa sebelumnya sebelumnya (Asnan 2001a:5). Artikel ini menjelaskan perkembangan dan kondisi transportasi jalan di pantai barat Sumatera pada abad ke-19. Abad ini dianggap penting karena pada masa-masa itu lah embrio dari wilayah administratif Sumatera Barat hari ini dibentuk. Formasi dari unit administrasi Sumatera Barat dan kemakmuran kawasan ini pada abad ke-19, berkaitan erat dengan perkembangan transportasi.
Terdapat empat pertanyaan yang dimunculkan. Pertama, bagaimana kondisi transportasi darat, terutama jalan setapak, sebelum perkembangan jalanan? Kedua, bagaimana jaringan jalan terbentuk pada abad ke-19 dalam interaksinya dengan perubahan politik dan ekonomi pada waktu itu? Ketiga, apa saja jenis transportasi yang menggunakan jalanan itu? Keempat, apa dampak sosial dan kultural akibat jaringan jalan-jalan itu? Sebelum mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya akan menjelaskan kondisi geografis Sumatera Barat dan kemunculannya sebagai unit sosial dan politik; dua aspek yang memainkan peranan penting dalam perkembangan transportasi darat.
Kondisi geografis
Pantai barat Sumatra, atau Sumatera Barat, adalah nama yang diperkenalkan dan dipopulerkan oleh orang-orang Barat, khususnya oleh para pegawai Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Pada awalnya nama ini hanya berarti geografis, tetapi setelah VOC membuka kantor di sana, nama ini memperoleh signifikansi politiknya. Wilayah ini menjadi unit administrasi bernama ‘Hofdcomptoir van Sumatra’s Westkust’. Pada saat yang sama, daerah administrasi itu hanya terdiri dari beberapa kota pantai yang terbatas dalam lingkungan kekuasaan mereka.
Setelah kebangkrutan VOC, East India Company secara singkat menguasai daerah ini, tetapi pada 1819 Inggris menyerahkannya kepada pemerintah Hindia-Belanda. Pada 1825, Belanda membentuk wilayah administrasi setingkat residentie di Padang, Residentie Padang. Pada 1837, statusnya dinaikan menjadi gouvernement dan dinamakan Gouvernement Sumatra’s Westkust. Satu perbedaan penting antara pemerintahan VOC dan Hindia-Belanda adalah pada daerah kekuasaannya. Pada masa kolonial Hindia-Belanda, kekuasaannya membentang jauh sampai ke pedalaman dan hampir seluas apa yang dikenal dengan Provinsi Sumatera Barat sekarang.
Gouvernement Sumatra’s Westkust terdiri atas dua bagian; pantai, bernama Padangsche Benedenlanden dan pedalaman, Padangsche Bovenlanden. Terdapat perbedaan yang signifikan antara pantai dan pedalaman. Ketinggian rata-rata wilayah pantai adalah 50 meter sedangkan pedalaman sekitar 650 meter di atas permukaan laut. Hampir semua pemukiman di daerah pedalaman berlokasi di perbukitan dan lereng gunung. Secara geografis Padangsche Benedenlanden berada di pantai dataran rendah. Dataran rendah adalah carik sempit, karena di beberapa tempat gunung membentang sampai ke laut. Beberapa sungai mengalir ke pantai yang di muaranya terdapat sejumlah desa nelayan dan kota-kota pantai.
Wilayah pedalaman atau Padangsche Bovenlanden, membentuk bagian-bagian Bukit Barisan, terbentang dari Utara sampai ke Selatan Sumatera. Wilayah ini lebih subur dan diberkahi dengan simpanan mineral dibandingkan dengan pantai. Kesuburan tanah membuat masyarakat bisa hidup dengan bertani. Sawah dan beberapa komoditi pertanian, emas dan tambang besi dan kerajinan dari hasil hutan membuat daerah itu menjadi wilayah penting dalam rute perdagangan di Sumatra pada abad ke 14 (Miksic 1985).
Karena kondisi itu, sungai-sungai yang berhulu di wilayah pedalaman dan mengalir ke barat memiliki aliran deras dan tidak dapat dilayari. Untuk waktu yang lama, cara untuk bisa mencapai pedalaman dari pantai dan sebaliknya hanyalah melalui jalan setapak.
Jalan setapak
Sampai pertengahan abad ke-19, jalan setapak adalah satu-satunya infrastruktur, yang memungkinkan hubungan antara kawasan pantai dan pedalaman, untuk transportasi darat. Semenjak awal sejarah kawasan ini, jalan setapak telah digunakan orang-orang dari pedalaman untuk memperoleh garam dari pantai. Berbicara mengenai ‘awal sejarah’, menyinggung tambo, historiografi lokal Minangkabau, saya merujuk pada periode sebelum kehadiran kerajaan Minangkabau pada 1340 (Toeah 1989:53).
Sampai pertengahan abad ke-19, terdapat paling tidak lima kelompok jalan setapak yang menghubungkan kawasan pedalaman dengan pantai (Asnan 2000:131-3). Dimulai dari utara, yang tergolong dalam kelompok pertama, yaitu Pasaman. Terdapat dua jalan setapak yang dikenal di daerah ini: satu yang menghubungkan Air Bangis dan Rao, yang lainnya Sasak dengan Lundar dan Bondjol. Kelompok kedua ada di Agam dan terdiri dari sebuah jalan dari Danau Maninjau ke Bukittinggi. Kelompok ketiga adalah kelompok Padang Panjang. Jalanan ini menghubungkan kota pantai Pariaman, Ulakan, Koto Tangah dan Padang via Kayu Tanam di ujung Lembah Anai dengan Padang Panjang di puncak lembah. Di Padang Panjang, jalan ini bercabang menuju Bukittinggi dan Tanah Datar. Kelompok keempat adalah Tanah Datar, menghubungkan kota-kota pantai seperti Koto Tangah dan Padang ke Tanah Datar, via Danau Singkarak. Thomas Stanford Raffles pada 1818 menggunakan rute ini. kelompok kelima adalah Solok, terdiri dari dua jalan. Pertama menghubungkan Padang dan XIII Koto Solok, ketika Raffles memasuki Padangsche Bovenlanden pada 1818, ia mengikuti jalan ini. Jalan kedua menghubungkan Bandar X dan wilayah selatan Solok.
Pembagian jalan setapak ini menjadi lima kelompok tidak hanya berdasarkan posisi geografisnya, tetapi juga karena jenis hubungan antara masyarakat di pantai dan pedalaman. Kelompok pertama, misalnya, berlokasi di Pariaman, juga merepresentasikan hubungan darah antara orang-orang yang hidup di Air Bangis dan Sasak di pantai dengan mereka yang tinggal di Rao, Lundar dan Bondjol di pedalaman. Tambo dari Air Bangis dan Sasak menceritakan nenek moyang mereka berasal dari Rao, Lundar dan Bondjol (Tambo Air Bangis n.d.:4-5) dan para pedagang di Air Bangis dan Sasak mewakili anggota suku yang berhubungan dengan berbagai tempat di pedalaman. Sepanjang garis yang sama, orang-orang di Pariaman, Koto Tangah, Padang dan Bandar X berhubungan dengan nenek moyang mereka dari Agam, Tanah Datar dan Solok (Saleh 1965:160; Amran 1981:312; Tambo Kambang n.d:1).
Pada awalnya, sampai abad ke-15, jalanan setapak hanya digunakan oleh orang-orang pegunungan yang membutuhkan garam. Mereka bepergian ke wilayah pantai untuk membuat dan memperoleh garam. Hal ini sebagian menjelaskan mengapa orang-orang yang hidup di pantai secara umumnya berasal dari pedalaman dalam jangkauan garis ini.
Dengan kemunculan beberapa pos dagang di kawasan pantai, hubungan antara wilayah pantai dengan pedalaman berubah menjadi hubungan ekonomi. Muncul jalan setapak yang dikenal dengan ‘jalan dagang’ dan dilalui oleh para pedagang. J.A van Rijn van Alkemade (1985:321) menyatakan pergantian fungsi utama jalan setapak dari jalan jalan garam menjadi jalan dagang terjadi pada abad ke-14 atau 15. Beberapa komoditi diangkut melalui jalan dagang ini. Emas menjadi produk pertama dan yang paling penting yang diangkut di hampir semua jalan; kemudian terdapat beberapa komoditas lainnya seperti kayu lignum aloe, kamper, damar, lilin, madu dan hasil-hasil hutan lainnya. Dari pantai diangkut kain, katun, sutra dan ikan kering dan tentu saja garam.
Jalanan setapak ini hanya bisa dilalui manusia dan kuda. Mereka yang biasa menggunakan jalan adalah para pedagang yang membawa sendiri barang dagangannya atau dibawa oleh kuli. Para kuli ini biasanya adalah warga setempat, atau budak dari Pulau Nias. Barang-barang ini biasanya dibawa dengan cara dipikul. Rata-rata, setiap orang dapat mengangkut sampai 20-30 kilogram,[1] sementara kuda dapat mengangkut 100 sampai 150 kilogram.[2]
Penduduk lokal dan pedagang umumnya berjalan pada siang hari. Perjalan dimulai pada subuh sekitar pukul 5 atau 6 pagi dan mereka berjalan berkelompok untuk menghindari perampokan. Sebuah kelompok pedagang biasanya berasal dari desa yang sama atau sebuah kawasan, baik di pedalaman atau pantai. Mereka dapat berjalan sejauh sekitar 30 kilometer sehari, rata-rata perjalanan dari pedalaman ke pantai atau sebaliknya membutuhkan waktu enam sampai 10 hari (De Stuers 1850:148). Satu kelompok biasanya terdiri atas sepuluh sampai dua belas orang dan dipimpin oleh seseorang dari golongan sosial-ekonomi yang lebih tinggi dari yang lainnya, seperti seorang penghulu, yang merupakan seorang pedagang kaya dan menguasai seni bela diri dengan kekuatan majis. Kebiasaan berkelompok para pedagang tetap dilanjutkan meskipun di kemudian hari keamanan di jalan telah ditegakan.
Penduduk lokal, pedagang dan pengelana yang menggunakan jalan setapak ini harus membayar uang jalan pada pos tertentu, biasanya berlokasi di perbatasan nagari. Dibayarkan kepada penghulu setempat. Karena banyaknya nagari yang ada di sepanjang jalan, mereka harus membayarkan uang jalan beberapa kali. Raffles, misalnya, ia mencatat telah membayar uang jalan sebanyak 26 kali dalam perjalanannya pada 1818 ke Padangsche Bovenlanden (Raffles 1830: 344-62). Tidak diketahui pasti berapa yang harus dibayarkan pada setiap tempat. Namun jumlahnya tidak selalu sama, di beberapa tempat bisa lebih mahal, di tempat lainnya bisa saja lebih murah. Bayarannya tidak harus dengan uang tunai; dalam beberapa contoh pembayaran dalam bentuk barang juga diterima. Jumlahnya ditentukan oleh orang-orang di nagari tersebut. Jika bayarannya dengan uang tunai, maka digunakan untuk keperluan nagari. Jika dibayarkan dengan barang, maka barang tersebut harus memiliki signifikansi dan arti penting bagi nagari bersanhkutan. Sebagai contoh, seorang wakil dari Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) di padang dalam perjalanannya dari Air Bangis ke pedalaman diminta untuk membayar dengan kain. Penghulu nagari itu menjelaskan nagari mereka membutuhkan kain untuk sekelompok warga miskin yang kehilangan properti mereka dalam sebuah kebakaran (Asnan 2001a:11).
Sejumlah pasar didirikan di beberapa nagari yang ada di sepanjang jalan setapak. Hal ini adalah sebuah perkembangan alami, karena hampir semua para pengelana adalah pedagang. Mereka mengunjungi hampir semua pasar pada rute tertentu. Untuk meningkatkan perkembangan fungsi pasar, nagari-nagari yang dilewati jalan setapak menyediakan tempat bernaung dan istirahat dimana para pengelana bisa makan dan bermalam (Iskandar 1990:66-70).
Terpisah dari jalan setapak di antara lembah pegunungan dan pantai barat, ada beberapa jalan setapak yang menghubungkan pedalaman dengan bagian timur Sumatera. Tetapi, berbeda dengan yang ada di Barat, jalanan di kawasan itu tidak mencapai pantai. Orang-orang hanya bisa menempuhnya sampai ke tempat-tempat yang dikenal dengan pangkalan, panambatan dan pamuatan. Ketiga jenis tempat ini memiliki akses transportasi sungai. Secara harfiah, ketiga kata tersebut adalah tempat dimana perahu berhenti, bersandar, memuat dan membongkar barang. Tempat-tempat itu adalah pasar dalam arti sosial, ekonomi dan kultural. Pangkalan, panambatan dan pamuatan adalah tempat dimana para pedagang dari ujung hilir sungai dengan perahu bertemu dengan para pedagang yang berjalan dari pedalaman untuk berdagang. pangkalan, panambatan dan pamuatan berlokasi di pinggir sungai di hulu sungai yang mengalir ke pantai timur Sumatra (Asnan 2001b:329). Beberapa jalan setapak yang popular dari pedalaman ke pangkalan, panambatan dan pamuatan adalah, dari utara ke selatan; jalan dari Rao ke Pamuatan Rambah (di Sungai Rokan), jalan dari Payakumbuh ke Pangkalan Koto Baru (di Sungai Kampar Kanan) dan jalan dari Tanah Datar ke Sijunjung ke Pangkalan Kureh (di Sungai Kuantan).
Hubungan antara orang-orang di pedalaman dengan mereka yang di pantai barat lebih dekat dibanding hubungan dengan Sumatera Timur. Orang-orang di pantai, mewakili penghulu mereka, bertindak sebagai wakil antara pedagang pedalaman dengan orang asing. Dobbin menyebut mereka adalah broker di pantai (Dobbin 1983:71). Ketika hubungan Sumatra dengan dunia luar semakin meningkat, jalan setapak memperoleh arti politis melebihi makna ekonomi yang telah dimiliki sebelumnya. Arti politis ini menjadi jelas ketika Belanda meluaskan pengaruhnya dari pos mereka di kota-kota pantai ke daerah pedalaman.
Perkembangan jalan
Belanda menaklukan Sumatra Barat dalam sebuah pertarungan berkepanjangan yang dikenal dengan Perang paderi. Pasukan Belanda melaksanakan beberapa kampanye militer menggunakan jalan setapak. Jalan setapak yang pertama digunakan pasukan Belanda adalah jalan dagang via Sumawang ke Tanah Datar, setelah melanjutkan pergerakannya dari Tanah Datar ke Agam dan Limapuluh Koto via Tabek Patah dan Baso (juga termasuk dalam kelompok Tanah Datar).
Namun, jalanan itu dianggap tidak memadai bagi pergerakan militer Belanda. Jalanan sempit itu harus diubah menjadi jalan yang lebih lebar. Peningkatan jalan setapak itu dilakukan setelah Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengunjungi pantai barat pada 1833. Van den Bosch, yang juga dikenal sebagai pencetus tanam paksa, berkeinginan kuat agar tentaranya memenangkan perang secepat mungkin. Salah satu cara untuk mewujudkan keinginannya, ia memerintahkan pemerintah kolonial setempat untuk membangun jalan yang menghubungkan pelabuhan utama, Padang, dengan pedalaman.
Maka pembangunan jalan pertama di Sumatera Barat yang menghubungkan Padang dengan pedalaman, dengan Padang Panjang khususnya, via Lembah Anai. Jalan ini dibangun di atas bekas jalan dagang dari kelompok Padang Panjang yang telah disebutkan sebelumnya. Pembangunan dimulai pada 1833 dan selesai pada 1841. Pada saat yang sama, pemerintah juga membangun sebuah jalan antara Padang Panjang dan Bonjol, pusat dari perlawanan Padri, via Padang Luar dan Matua. Di Padang Luar, jalanan bercabang ke Bukittinggi dan Payakumbuh; dua kota ini memiliki peran penting dalam tahun-tahun akhir Perang Padri. Bukittinggi (atau Fort de Kock) adalah pusat kedudukan militer Belanda di pedalaman; sedangkan Payakumbuh adalah pusat aktivitas ekonomi Belanda. Belanda membuka kantor kedua NHM di Payakumbuh, disana mereka juga membangun rantai perbentengan dimana merupakan batas Padangsche Bovenlanden dengan hulu sungai yang mengalir ke timur. Tujuan dari pendirian benteng-benteng ini adalah untuk mengekang perdagangan orang-orang pedalaman di beberapa pangkalan, panambatan dan pamuatan di timur Payakumbuh. Perdagangan ini dianggap merusak tujuan Belanda.
Pada pertengahan 1830-an, pemerintah dengan serius memperhatikan pengembangan jalan, baik dalam hal kualitas maupun kuantitas. Jalan yang membentang dari Padang ke Padang Panjang via Lembah Anai menjadi yang paling diperhatikan. Pemerintah menyediakan beberapa fasilitas untuk para pengguna jalan, dengan membangun rumah singgah, di beberapa lokasi dimana mereka dapat beristirahat dan mendapatkan kuda baru serta pengamanan militer. Sepuluh tahun setelah proyek pengembangan jalan dilaksanakan, telah terdapat empat rumah singgah dan pos militer antara Padang dan Padang Panjang (Pruys van der Hoeven 1864:12). Proyek yang sama juga dikerjakan di jalan dari Padang Panjang ke Bukittinggi dan Payakumbuh dan dari Padang Panjang ke Batusangkar. Pada akhir 1860-an, total jumlah rumah singgah dan pos militer di Sumatera Barat meningkat menjadi 12 buah.
Pengembangan berbagai fasilitas di sepanjang jalan berkaitan dengan status jalan utama untuk jalan Padang-Padang Panjang-Bukittinggi-Payakumbuh dan Padang Panjang-Batusangkar. Status ini berdasarkan kenyataan bahwa jalanan itu adalah rute yang sering dilalui baik oleh pemerintah dan para pedagang. Seperti yang akan kita lihat nanti, jalan yang sama menjadi jalan utama digunakan untuk mengangkut kopi dari pedalaman ke pelabuhan di barat, Pariaman dan Padang.
Setelah 1848, pemerintah mulai membangun jalanan sekunder. Jalan tipe ini digunakan terutama untuk menghubungkan beberapa kota dalam sebuah kawasan di Sumatera Barat atau memfasilitasi proses pengangkutan kopi dari beberapa nagari ke gudang penyimpanan kopi pemerintah di ibukota distrik. Contohnya, rute Solok-Alahan Panjang, Solok-Batipuh, Solok-Sijunjung, Sijunjung-Batusangkar dan Buo dan Air Bangis-Lundar. Semua rute itu selesai pada awal 1860-an. Para pekerja yang membangun jalan itu terdiri atas kuli-kuli dan masyarakat lokal yang sedang melakukan kerja paksa (herendiensten).[3]
Peningkatan dalam kualitas dan kuantitas jalan setelah 1848 berhubungan dengan perintah penanaman kopi dan sistem pengangkutan, yang diimplementasikan pada 1847. Setiap keluarga petani dalam sebuah wilayah dengan iklim dan tanah yang cocok diminta untuk menanam dan memelihara setidaknya 150 batang kopi. Semua kopi yang dihasilkan harus diangkut ke gudang pemerintah. Kopi-kopi itu dibayar dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah kolonial. Gudang-gudang ini dibangun di hampir seluruh distrik di pantai barat. untuk pembayaran, petani menerima pembayaran dengan uang tunai dengan harga yang telah ditentukan sebelumnya.
Semua jalanan sekunder ini menghubungkan gudang kopi ke ibukota atau kota penting di wilayah itu. Kopi yang diproduksi di Limapuluh Koto, sebagai contoh, dibawa ke Payakumbuh, kopi yang diproduksi di Agam diangkut ke Bukittinggi dan kopi di Tanah Datar ke Batusangkar. Semua kopi dari wilayah itu dibawa ke Padang atau Pariaman dengan jalan utama dari Padang Panjang, via Lembah Anai dan Kayutanam.
Petani memikul kopi ke gudang dan diangkut ke pelabuhan oleh transportaanemers; orang-orang yang menekan kontrak monopoli dengan pemerintah untuk mengatur pengangkutan barang-barang tertentu melalui rute tertentu, setelah memenangkan tender. Lie Saaij, kapitein Cina di padang, menekan kontrak dengan pemerintah untuk mengangkut kopi dari pedalaman ke Padang Panjang dan Kayu Tanam. W. Townsend, pedagang dari pantai di Padang, memperoleh hak untuk mengangkut komoditas dari Kayu Tanam ke Padang atau Pariaman.[4] Pada seperempat terakhir abad ke-19, jumlah transportaannemers itu meningkat secara signifikan. Terpisah dari pengangkutan kopi mereka juga menangani beberapa barang lainnya seperti kain, garam, minyak, ikan (ikan asin dan kering) dan barang-barang hutan seperti juga uang tunai. Transportaannemers yang terkenal pada awal 1880-an adalah Duemler, Townsend, Lie Joe Teng, Mak Tong, Lie Eng Hoa, Li Khong Haan, Abdul Gani Rajo Mangkuto dan Si Nurut (Sumatra-Courant 25-8-1881).
Pembangunan jalan mencapai puncaknya pada akhir abad ke-19. Pembukaan beberapa perkebunan besar pada 18870-an menopang ekspansi pembangunan itu. Jalan sampingan cabang dari jalanan sekunder di Solok, Tanah Datar, Lima Puluh Kota dan Pasaman dibangun ketika beberapa perkebunan besar dibuka di daerah tersebut. Pembukaan sejumlah perkebunan baru itu juga meningkatkan jumlah transportaannemers.
Sebagai hasil dari semua aktivitas pembangunan ini, Gouvernement van Sumatra’s Westkust pada 1900 menjadi provinsi dengan jalan terpanjang dan jembatan terbesar di luar Jawa. Jalanan kelas I (standar jalan tertinggi) membentang sekitar 153 km, sedangkan jalan kelas II sekitar 651 km dan 2.525 km jalan kelas III.[5] Terdapat enam jembatan lengkung (broogbruggen) dengan panjang lebih dari sepuluh meter dan 115 jembatan lengkung dengan kepanjangan kurang dari sepuluh meter. Terdapat 1.783 jembatan kompleksitas teknik sedang (ligger dan vakbruggen), dengan rata-rata panjangnya 8 meter. Selain itu terdapat 792 jembatan temporer (noodbruggen) dan 2.092 gorong-gorong (kleine doorlaten) (Asnan 2000:231).
Moda Transportasi
Sejalan dengan perkembangan infrastruktur jalan dan jembatan, jenis kendaraan baru muncul, menambah variasi moda transportasi di daerah ini. Selain kuli dan kuda, moda transportasi populer lainnya adalah pedati dan bendi (S…X 1881:921). Dari kedua jenis moda transportasi ini, pedati menjadi lebih penting karena digunakan secara luas di daerah ini. Pedati terdiri dari sebuah bagian beratap di atas dua rodanya, ditarik oleh seekor kerbau. Seekor kerbau dapat menarik beban 8-10 pikul (500-620 kg). biaya transportasi per pedati dari pantai ke pedalaman berkisar dari f 0.20 sampai f 0.40 per ton per km. Harga ini dianggap tinggi, disebabkan karena, pertama, monopoli yang dilakukan oleh transportaannemers dan, kedua, ketidakpastian menemukan barang untuk membayar biaya saat perjalan turun ke pantai (Kamerling 1895:1078).
Variasi harga per ton per km berhubungan dengan tujuan. Terdapat tiga standar harga di Sumatra Barat: pertama, dari kota pelabuhan di pantai ke kota di perbatasan pantai dan pedalaman: kedua, dari perbatasan ke kota pertama yang ditemui di pedalaman dan ketiga, perjalanan di antara kota-kota di pedalaman. Contoh terbaik dari variasi ini adalah jalan utama menuju Lembah Anai. Harga untuk seekor pedati dari Padang atau Pariaman ke Kayu Tanam adalah f 0.20 per ton per km. Harga untuk seksi kedua, antara Kayu Tanam dan Padang Panjang, dengan pendakian curam dan berliku, adalah f 0.40. Seksi ini terkenal dengan perampokannya. Seksi ketiga, dari Padang Panjang ke Batusangkar atau Bukittinggi ke Payakumbuh dan harganya f 0.30 per ton per km. Jalan-jalan di lembah dataran tinggi yang datar lebih aman dan relatif mudah untuk dilewati oleh pedati. Rute antara Padang dan Pariaman dan Kayutanam dilayani pedati dari pantai; seksi dari Kayu Tanam dan padang Panjang dilayani pedati dari pantai dan Padang Panjang. Jalur Padang Panjang-Batusangkar, Padang Panjang-Bukittinggi dan Bukittinggi-Payakumbuh dilayani oleh pedati dari masing-masing daerah itu (Buys 1886:20-4). Gerobak-gerobak yang ditarik kerbau itu dimiliki oleh orang-orang lokal atau transportaannemers.
Pedati dikendarai dalam kelompok, dengan kuli dan orang-orang menuntun kuda beban. Sebuah perjalanan biasanya dimulai pada subuh, sekitar pukul 5 atau 6 pagi. Perjalanan dalam kelompok mengurangi resiko perampokan (Kielstra 1886:274). Meskipun beberapa pos penjagaan militer telah dibangun, pada paruh kedua abad ke-19, sejumlah perampokan sering dilaporkan di rute ini. Contohnya, pada 1868, beberapa perampokan terhadap pedati dilaporkan di Lembah Anai (Sumatra-Courant 12-12-1868). Setelah sebuah rel kereta dibangun dekat jalan utama Padang-Padang Panjang-Solok, frekuensi penyerangan pada pengguna jalan secara signifikan menghilang.
Dampak sosial dan kultural
Jalanan setapak sangat berkontribusi dalam perkembangan Sumatera Barat; ia membantu menghubungkan kawasan pantai dan pedalaman. Jalanan setapak menyediakan kesempatan migrasi ke bagian Barat dan Timur Sumatera bagi orang-orang yang tinggal di pedalaman. Dalam bahasa daerah Minangkabau, jalan setapak membantu perkembangan Rantau (daerah migrasi) melampaui darek (daerah pusat Minangkabau di jantung Sumatera Barat). Perpindahan populasi ini disertai dengan diseminasi adat-istiadat, yang berasal dari pedalaman, ke rantau. Sebaliknya, beberapa ide, terutama Islam, yang pertama kali hanya mempengaruhi kawasan rantau, masuk ke pedalaman melalui jalanan setapak ini. Pergerakan kultural sepanjang jalanan setapak dicatat dalam pepatah adat menurun, syarak mendaki.
Pembangunan jalan semasa Perang Padri tidak hanya penting terhadap pembentukan militer dan hegemoni politik Belanda, tetapi juga dalam kepentingan ekonomi lebih lanjut bagi pemerintah dan masyarakat lokal. Jaringan jalanan baru di dataran tinggi dan jalan utama dari Padang dan Pariaman adalah alasan bergantinya orientasi perdagangan masyarakat pedalaman dari timur ke pantai barat. Setelah 1833, pemerintah kolonial lokal mendorong kota-kota pantai untuk memainkan peran kunci dalam perdagangan Sumatra.
Perubahan pola perdagangan dari timur ke pantai barat didukung oleh kemunculan Padang, Pariaman, Air Bangis dan Painan sebagai bandar di Sumatra. Pada akhir abad-19, Padang merupakan pelabuhan terbesar dan tersibuk di Sumatra, kota itu setara dengan Batavia, Semarang, Surabaya dan Makassar. Lima pelabuhan ini dikelompokan sebagai pelabuhan kelas A, yang melayani pelayaran nasional dan internasional dan mengurus ekspor-impor berbagai macam komoditas. Pariaman, Air Bangis dan Painan masuk dalam pelabuhan kelas B, yang melayani pelayaran antar pulau dan pelayaran pantai dan diizinkan untuk menangani ekspor-impor beberapa komoditas tertentu. Kesuksesan banda-bandar itu, seperti yang dicatat oleh sejumlah penulis, berhubungan dengan kehadiran jalan (Bickmore 1868:414; Pruys van der Hoeven 1864:59; Willink 1931:758-8).
Selain itu pembangunan jalan juga memfasilitasi kemunculan pusat-pusat populasi. Banyak nagari yang berlokasi strategis, contohnya di dekat rumah singgah pemerintah, pos penjagaan militer atau persimpangan, berkembang menjadi kota-kota kecil atau bahkan kota besar. Sicincin, Kayu Tanam, Padang Panjang, Matua, Bonjol, Bukittinggi dan Payakumbuh sebagai contohnya. Padang Panjang, Bukittinggi dan Payakumbuh adalah pusat aktivitas militer Belanda sampai akhir masa kolonial. Padang Panjang merupakan ibukota Residentie Padangsche Bovenlanden selama beberapa tahun, sebelum dipindahkan ke Bukittinggi.
Seperti jalan setapak, pembangunan jalan telah mempengaruhi pergerakan manusia. Jalan yang baru dibangun menyediakan kesempatan baru untuk melakukan perjalanan. Ketika masa jalan setapak, orang-orang pergi dari nagari mereka di pedalaman ke daerah berpopulasi jarang di rantau, pada masa jalan pergerakan itu adalah dari nagari ke kota. Pergerakan ke perkotaan itu diinspirasi dari motif-motif ekonomi (orang-orang ingin menjadi pedagang atau untuk mendapatkan pekerjaan) dan pertimbangan sosial (mereka yang ingin mendapatkan pendidikan lebih tinggi).
Jalan mendorong perpindahan dalam arti kiasan. Salah satu contoh dari perubahan vertikal adalah kemunculan jenis baru wiraswasta (Cina dan Melayu) yang dikenal dengan transportaannemers pada seperempat terakhir abad ke-19. Contoh lainnya adalah kemunculan elit-elit sosial baru pada daerah urban, yang dihasilkan oleh kesuksesan ekonomi dan pendidikan. Dari perspektif ekonomi, jalanan meningkatkan jumlah pasar, mengubah metode distribusi sejumlah komoditas dan juga memperburuk dan menghancurkan hubungan antar pedagang.
Setelah perluasan jalanan, jumlah pasar di Sumatra Barat meningkat secara signifikan. Pada 1820 dan 1830-an hanya ada sekitar 80 pasar, tetapi antara 1850 dan 1880an, jumlah ini meningkat tajam menjadi lebih dari 120. Hampir semua dari pasar baru ini berlokasi di sepanjang jalan atau persimpangan (Dobbin 1983:48; Buys 1886:59,63).[6]
Metode distribusi barang-barang juga turut berubah. Untuk waktu yang lama orang-orang dan para pedagang membawa minyak kelapa dari pantai ke pedalaman dengan dipikul, dalam bambu yang berongga. Dalam perjalanan ke pedalaman mereka akan menjual minyak itu langsung pembeli di setiap pasar yang mereka lewati. Setelah jalan selesai, distributor minyak kelapa mulai menggunakan pedati. Minyak tidak lagi dijual langsung kepada pembeli di pasar kecil, tetapi ke agen-agen di kota-kota yang relatif besar seperti Sicincin atau Padang Panjang; para agen ini yang kemudian akan menjualnya kepada pembeli kecil.
Dengan adanya infrastruktur transportasi dan moda transportasi baru juga menyentuh keseimbangan persaingan para pedagang yang telah ada sebelumnya. Contoh terbaiknya adalah rivalitas antara pedagang Cina dan Melayu di Pariaman. Cia Biauw, seoran Kapitein Cina di Pariaman, menjadi pemegang hak untuk mengangkut garam dan sejumlah komoditas lainnya dari Pariaman ke Padang Panjang di pedalaman. Pada akhir abad ke-19, pemerintah mencabut monopoli ini, memberikan kesempatan terhadap semua pedagang untuk mendistribusikan dan menjual garam serta komoditas yang dilindungi lainnya, setelah banyak pedagang yang ingin mencoba peruntungan mereka dalam bidang ini. Regulasi baru ini mendistribusikan hubungan antara pedagang Cina dan Melayu. Kedua pihak sepenuhnya mengangkut garam dan komoditas lainnya dari Pariaman ke Padang Panjang, sebagai contoh, dengan mengumpulkan sebanyak mungkin pedati. Awalnya, Cia Biauw dan rekan-rekannya memenangkan persaingan, mereka merekrut semua pedati di pasar Pariaman. Namun selalu ada pedati yang datang terlambat ke pasar dan harga mereka lebih murah dari pedati yang datang lebih pagi. Pedagang Melayu menyewa pedati yang terlambat itu, hal ini mengurangi biaya produksi pengangkutan yang membuat mereka dapat menjual barang dengan lebih murah. Tentu saja, pedagang di pedalaman menunggu pedati Melayu yang datang terlambat, untuk mencari harga yang lebih murah. Akhirnya, garam dan barang-barang pedagang Cina lainnya menumpuk di gudang, menjadi kering dan kehilangan nilainya. Setelah enam bulan, pedagang China mundur dari kompetisi dan seluruh penjualan garam dan komoditas lainnya antara Pariaman dan Padang Panjang yang jatuh ke tangan para pedagang Melayu (Saleh 1965: 217-22).
Kemunduran transportasi jalan pada akhir masa kolonial
Transportasi jalan sangat berpengaruh dengan perkembangan baru bentuk lain transportasi. Pada akhir abad ke-19, rel kereta api telah dibangun dan berujung di pelabuhan Emmahaven yang baru dibuka di selatan Padang. Awalnya kereta api digunakan untuk mengangkut batu bara ke Padang, tetapi segera moda transportasi ini juga digunakan untuk mengangkut orang dan komoditas, menghubungkan semua kota-kota penting di Sumatra Barat. pelabuhan Emmahaven terkenal sebagai stasiun pemuatan batubara terbaik di Asia Tenggara pada saat itu (lihat Reitsma 1943; Amran 1985:303-15; Colombijn 1992:437-58).
Sayangnya, ketiga jenis transportasi ini, yang memberikan kontribusi dalam perkembangan kawasan ini hanya berjaya sampai pada 1920-an. Terdapat empat faktor yang menyebabkan kemunduran tiga jenis transportasi ini. Pertama, transportasi darat di kawasan lain, terutama di bagian timur Sumatra mulai berkembang. Kedua, kecenderungan pembangunan jalan berganti dari barat ke timur. Dimulai sejak awal abad ke-20, Sumatra Timur menjadi pusat perkembangan ekonomi dan politik pulau ini. ketiga, ekspor dari pantai barat Sumatra yang menurun. Keempat, krisis ekonomi yang menghantam dunia pada 1930-an membawa kemandekan dalam aktivitas ekspor-impor di pantai barat.
Dari 1930-an sampai 1980-an, pembangunan rute transportasi darat di pantai barat Sumatra mulai mengendur. Tetapi tidak berarti ia mati. Setelah kemerdekaan, transportasi jalan kembali diminati ketika harganya menjadi lebih menarik dibanding kereta api. (*)
Ilustrasi oleh: Amalia Putri
* Artikel ini terbit pertama kali di Bijdragen tot de Taal-, Land- en Voleknkunde, On the Road The Social Impact of New Roads in Southeast Asia 158 (2002), no: 4 Leiden, 727-741 dengan judul Transportation on the West of Sumatra in the Nineteenth Century. Dialihbahasakan oleh Haldi Patra. Diterbitkan kembali oleh Garak.id atas izin penulis, Gusti Asnan, untuk tujuan pendidikan non-profit.
Catatan Kaki:
[1] Kielstra 1889:235. Lihat juga Arsip Nasional Indonesia, Jakarta (ANRI), Sumatra’s Westkust (SWK) 125/3, jaarlijks Verslag van Sumatra’s Westkust 1819-1827.
[2] Algemeen Rijksarchief, Den Haag (ARA), Nederlandsche Handelmaatschappij (NHM) 9465/ 23a, Verslag betreffende de bevindingen in de Padangsche Bovenlanden door L.M.F. Plate, agent te padang, 1834.
[3] Pruys van der Hoeven 1864:11, 32. Lihat juga ANRI, SWK 128/22, Algemeen Verslag van Sumatra’s Westkust 1874)
[4] ANRI, SWK 152/1. Main Rapporten 1853.
[5] Klasifikasi jalan berdasarkan kapasitas maksimum jalan. Pada awal abad 20, semua kelas memiliki lebar 3 meter, dengan maksimum berat kendaraan yang dapat melintasi masing-masing 2.750 kg, 2.000 kg dan 1.500 kg untuk kelas I, II dan III.
[6] Lihat juga ANRI, SWK 125/3. Jaarlijks Verslag van Sumatra’s Westkust 1819-27; ANRI, SWK 127/1, Algemeen Verslag van Sumatra’s Westkust 1857.
Referensi
Amran, Rusli. 1981. Sumatra Barat hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Amran, Rusli. 1985. Sumatra Barat; Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Asnan, Gusti. 2000. Trading and shipping activities; The West Coast of Sumatra 1819- 1906.Jakarta: Yayasan Rusli Amran.
Asnan, Gusti. 2001a ‘Catatan para pengelana tentang daerah, sejarah dan masyarakat Sumatera Barat’, Paper, Seminar Outsiders Write about West Sumatra, Padang, 14 August.
Asnan, Gusti. 2001b. ‘Dari sungai ke jalan raya; Perubahan sosial ekonomi di daerah perbatasan Sumbar-Riau pada awal abad XX’, in: Edi Sedyawati and Susanto Zuhdi (eds), Arung Samudra; Persembahan memperingati sembilan windu A.B. Lapian, pp. 323-37. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya-LPUI.
Bickmore, Albert S. 1868. Travel in the East Indian Archipelago. London: Murray.
Buys, M. 1886. Twee jaren op Sumatra’s Westkust. Amsterdam: Akkeringa.
Colombijn, Freek. 1992. ‘Uiteenlopende spoorrails; De verschillende ideeën over spoorweg-aanleg en ontginning van het Umbilin-kolenveld in West Sumatra, 1868-1891’, Bijdragen en Mededelingen betreffende de Geschiedenis derNederlanden 107:437-58.
Colombijn, Freek. 1996. ‘The development of the transport network in West Sumatra from pre-colonial times to the present’, in: J.Th. Lindblad (ed.), Historicalfoundations of national economy in Indonesia, 1890s-1990s, pp. 385-400.Amsterdam: North-Holland.
Dobbin, Christine. 1983. Islamic revivalism in a changing peasant economy; Central Sumatra, 1784-1847, London/Malmö: Curzon. [Scandinavian Institute of Asian Studies Monograph Series 47.]
Harahap, Parada. 1926. Dari pantai ke pantai; Perdjalanan ke Soematra, October- Dec. 1925 dan Maart-April 1926. Weltevreden: Bintang Hindia.
Iskandar, N. St. 1990. Hulubalang Raja; Kejadian di Pesisir Minangkabau 1662-1667. Jakarta:Balai Pustaka.
Kamerling, Z.H. 1895. ‘De vroegere en tegenwoordige toestand van den handel, nijverheid en landbouw op Sumatra’s Westkust en de vooruitzichten daarin voor de volgende jaren’, De Indische Gids 17,11:1059-88.
Kielstra, E.B. 1886. ‘Ter Westkust van Sumatra’. De Gids 50 [vierde serie 4], 11:268-75.
Kielstra, E.B. 1889. ‘Sumatra’s Westkust van 1833-1835’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 38:467-514.
Miksic, John N. 1985. ‘Traditional Sumatran trade’, Bulletin de l’École Française d’Extrême-Orient 74:423-67.
Pruys van der Hoeven, A. 1864. Een woord over Sumatra. Volume II: Sumatra’s Westkust en Palembang.Rotterdam: Nijgh.
Raffles, Sophia. 1830. Memoirs of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles, F.R.S. &c. particularly in the government of Java, 1811-1816, and of Bencoolen and üs dependencies, 1817-1824, London: Murray.
Reitsma, S.A. 1943. De Staatsspoorweg ter Sumatra’s Westkust {S.S.S.). Den Haag: MoormansPeriodieke Pers. Rijn van Alkemade, J.A. van, 1885. ‘Een verbinding tusschen de West- en Oostkust van Sumatra’, DeIndische Gids 7,1:59-67.
Saleh, Mohammad. 1965. Riwajat hidup dan perasaian saja; Moehammad Saleh Datoek Orang Kaja Besar [edited by S.M. Latif]. Bogor: Penerbit Dana Buku MoehammadSaleh. [First impression 1933.]
Schrieke, B. 1955. Indonesian sociological studies; Selected writings ofB. Schrieke (Part One).The Hague/Bandung: Van Hoeve.
Stuers, H.J.J.L. de. 1850. De vestiging en uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra.Volume II. Amsterdam: Van Kampen.
S…Z. 1881. ‘Wegen op Sumatra 1, De Indische Gids 3,1:921-4.
Tambo Air Bangis n.d. [mimeo]
Tambo Kambang n.d. [mimeo]
Toeah, Datoek [1989] Tambo Alam Minangkabau [thirteenth print, reedited by A. Damhoeri].Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
Willink, W.1931. ‘Het Autoverkeer ter Sumatra’s Westkust’, Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap 48:753-9