Artikel Terjemahan

Sumatra Barat 1819-1825 (Bagian VIII)

Artikel ini ditulis oleh E. B. Kielstra. Diterbitkan pertama kali pada 1887 dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie No. 36 tahun 1887, hal. 7-163 dengan judul asli “Sumatra’s Westkust van 1819-1825″. Diterjemahkan oleh Novelia Musda dan diterbitkan Garak.id untuk tujuan pendidikan non-komersil.

(Sambungan bagian VII)

BAGIAN KEDELAPAN

 Raaff mengambil alih otoritas sipil-Negosiasi-negosiasi dengan pemimpin-pemimpin Bonjol-Kontrak 22 Januari 1824-VI Kota berhasil direbut, Tuanku Mensiangan menyerah-Raja Muning kembali ke Pagaruyung-Kematian Raaff-Asisten Residen GA Baud sementara ditugaskan memegang otoritas sipil-Kepala-kepala di Bonjol memutuskan perjanjian yang dibuat-Alasan-alasan yang diberikan-Negosiasi-negosiasi gagal, utusan kita dibunuh-Perselisihan-perselisihan dengan XIII Kota-Kolonel de Stuers ditunjuk menjadi Residen dan komandan militer-Verploegh dan Francis diperbantukan kepadanya-Opini Francis

 

Pada tanggal 1 Januari 1824, Raaff resmi mengambil alih pemerintahan sipil Padang en Onderhoorigheden dari du Puy dan langsung berada dalam kesempatan, untuk saat itu setidaknya, melakukan langkah penting untuk mewujudkan perdamaian di kawasan Pedalaman.

Tanggal 26 bulan tersebut Raaff menyampaikan kepada Pemerintah Hindia Belanda, bahwa dia menerima kabar berita sepihak tentang niat Tuanku Iman, Tuanku Itam dan Tuanku Nan Gapok [Nan Gapuak],  “tuanku-tuanku pemimpin Paderi daerah Bonjol” untuk membuat perjanjian perdamaian, ”kemudian mengutus pedagang Melayu Pinto Merggé[1] kepada mereka untuk melakukan penelusuran; bahwa kemudian utusan ini segera kembali dengan berita bahwa para Tuanku tersebut memang sangat berniat membuat kesepakatan-kesepakatan damai, dan meminta agar dikirim AF van der Berg kepada mereka untuk tujuan tersebut, sebab melalui relasi-relasi dagangnya pejabat tersebutlah yang paling mereka kenal; bahwa Raaff selanjutnya memberi penugasan kepada yang dimaksud yang kemudian diterima dengan senang hati,” dengan hasil melalui AF van der Berg pada 22 Januari 1824 disepakatilah perjanjian damai dan persahabatan antara Pemerintah Hindia Belanda dan Tuanku-Tuanku di atas.

Dengan memberitahukan kontrak tersebut Raaff menunjukkan keuntungan-keuntungannya kepada Pemerintah, ”Utamanya tentang perdagangan, penegakan otoritas Belanda di Sumatera Barat dan tunduknya pemimpin-pemimpin Paderi lainnya di Kerajaan Minangkabau.”

Kontrak tersebut oleh Pemerintah Pusat “disetujui dan diratifikasi”, sementara untuk Tuan van den Berg diberikan tanda terima kasih 1500 gulden.[2]

Hal tersebut tidaklah ditemui dalam arsip-arsip yang ada di sini, tapi de Stuers lah yang memberitahukannya, disertai dengan catatan-catatan, yang sebagian tidak terlalu dilebih-lebihkan atau dari penilaian sepihak, tapi sebagian lain—seperti kita lihat nanti—justru bertolak belakang dengan tindakan-tindakan dan kebijakan-kebijakan de Stuers sendiri ketika menjabat Residen Padang.

Dari satu pucuk surat dari Raaff (tanggal 2 April 1824 No. 72, terungkap dalam resolusi Gubernur Jenderal pada Raad tanggal 20 April tahun yang sama No. 17) terlihat bahwa pada bulan Desember dan Januari sebelumnya terjadi perselisihan-perselisihan antara para Paderi Bonjol dan penduduk distrik-distrik Agam yang berada di bawah kekuasaan Belanda. Hasil dari pertempuran tersebut, yang tampaknya tidak terlalu bagus bagi kaum Paderi, mungkin menjadi pemicu utama dari niat untuk membuat kesepakatan damai tersebut. Kemudian Raaff memberikan beberapa hadiah secara seremonial kepada sejumlah pemimpin pribumi atas kepercayaan yang telah mereka tunjukkan pada kesempatan itu.[3]

Sementara itu, negosiasi-negosiasi juga gencar dilakukan dengan Tuanku Mensiangan yang sering kita sebut di atas, pimpinan Paderi VI Kota yang sebenarnya telah di bawah otoritas kita sejak Juli 1822 tapi pada September tahun yang sama justru kembali berbalik menentang di bawah pengaruh Tuanku tersebut. Ketika semakin jelas Tuanku Mensiangan bertele-tele dalam negosiasi tersebut, VI Kota pun diserang dengan senjata. Guguk Sigandang diduduki tanpa perlawanan berarti; Pandai Sikek menyerah sukarela; Kota Lawas setelah gagal dibujuk berkali-kali mengikuti Pandai Sikek ditaklukkan pasukan kita (29 Februari dan 1 Maret 1824). Sehari sesudahnya Tuanku Mansiangan barulah menyerah.[4]

Tampaknya situasi berjalan mulus, dan pada 5 April lagipula Raaff memberitahukan kepada Pemerintah (surat resmi No. 14) bahwa pangeran Minangkabau yang telah berusia, Tuanku Raja Muning, yang dulu karena kekuasaan penuh di tangan Paderi terpaksa meninggalkan kerajaan, telah kembali lagi ke Pagaruyung. Dia juga memberitahu bahwa seketika dalam perjalanan pulang dari Batavia dia telah mendengar bahwa Raja Muning mungkin akan kembali, tapi tidak memberikan tindak lanjut atas artikel 6 resolusi 4 November 1823 No. 18, di mana di sana disebutkan Sutan Alam Begagar Syah ditunjuk sebagai hoofdregent Minangkabau. Fungsi ini kini justru jatuh ke tangan Tuanku Raja Muning, ”sementara Sutan Alam Begagar Shah pasti tidak dilupakan.” Raaff mengatakan bahwa dia tak lama lagi akan bertolak ke Pedalaman untuk mengurus hal tersebut.

Namun surat tanggal 5 April 1824 adalah surat terakhir yang dikirim Raaff kepada Pemerintah Hindia Belanda. Di hari yang sama dia musti terbaring karena demam berat, dan meninggal dua belas hari kemudian, di usia yang belum tiga puluh tahun.[5]

Kematian Raaff sangat disedihkan. Tidak hanya oleh Jenderal de Kock dan Gubernur Jenderal yang pada 2 November 1824 (surat resmi No. 245a) menulis kepada Menteri bahwa Raaff “yang telah menunjukkan jasa-jasa yang banyak dan penting dan yang darinya Negara masih bisa berharap banyak” dengan cara tak disangka-sangka diambil oleh kematian “hanya beberapa bulan setelah kembali ke Padang dan di tengah-tengah usahanya yang paling aktif untuk memenuhi misi penting yang ditugaskan kepadanya,”  tapi juga oleh rekan-rekan sesama prajurit, yang dalam memori mereka namanya–menurut ungkapan Michiels—harum tercatat sebagai “seorang opsir yang sangat berani dan paling bijak.” Oleh pasukan dan bangsawan di Sumatera Barat, di pantai Padang dibangun nisan memorial yang hingga kini masih menjadi pengingat hidup akan Raaff.

Tuan GA Baud, Asisten-Residen untuk distrik-distrik Minangkabau, sementara menjabat sebagai pemimpin sipil. Dalam resolusi Letnan Gubernur Jenderal (saat itu Gubernur Jenderal melakukan perjalanan ke Maluku) tanggal 13 Mei 1824 No. 11 kepadanya diinstruksikan “untuk, sebagai antisipasi penunjukan residen Padang yang baru, dengan kehati-hatian melanjutkan kebijakan Residen lama yang telah berpulang dan khususnya fokus pada permintaan Pemerintah untuk mengamankan situasi di Padang Darat dan mencoba membawa para pemimpin Paderi yang masih belum ditaklukkan untuk melakukan negosiasi.”

Tak butuh waktu lama untuk para pemimpin Paderi di Bonjol memutus perjanjian yang dibuat 22 Januari sebelumnya dengan mereka. Baud melaporkan pada 14 Juni 1824 (surat nomor 46) kepada Pemerintah Pusat bahwa para pemimpin tersebut “memandang penaklukan VI Kota sebagai suatu pelanggaran terhadap kesepakatan damai dan persahabatan yang dibuat dengan mereka, dan kemudian mengembalikan surat perjanjian kepada Tuan van den Berg yang ditugaskan untuk membuat kesepakatan tersebut.” Motif yang disampaikan para kepala tersebut diikuti begitu saja oleh de Stuers.[6] Benarkah demikian? Memperhatikan sebaliknya, bahwa poin B perjanjian dengan Paderi di Bonjol mewajibkan mereka membantu kita bila perlu untuk penaklukan VI Kota, sungguh aneh justru setelah dua atau tiga bulan kejadian di Kota Lawas baru mereka menunjukkan “rasa kecewa”!

Karenanya bagi kami lebih mungkin motif sesungguhnya dari pemutusan perjanjian sepihak adalah kematian Raaff. Sebagaimana juga, ketika beliau tahun lalu berangkat ke Batavia, kaum Paderi setelah masa damai yang panjang tampak melihat-lihat situasi; seperti juga ketika Raaff akhirnya kembali mereka tampak siap sedia untuk negosiasi—dan juga sangat mungkin kemudian setelah Raaff wafat mereka kembali melihat kesempatan untuk bersikap bermusuhan. Patut kita perhatikan catatan Nahuys[7] yang dengan izin dikutip oleh Lange,[8] bahwa Raaff “selama pertempuran di pedalaman Minangkabau di mana-mana telah memperoleh nama harum sebagai komandan paling berani, memiliki  kebijakan dan percaya diri, sehingga sebagian kaum Paderi yang paling agresif melihat kecilnya peluang memperbaiki keadaan dan memperluas wilayah kekuasaan melalui perang; sementara kaum Paderi yang cenderung berdamai menemukan jaminan tertentu dari kualitas pribadi Raaff yang baik akan ketulusan dan kelanggengan kesepakatan damai.”

Setelah itu, Tuanku Mansiangan yang tidak setia dan telah menyerah 2 Maret 1824 seperti disebut sebelumnya, kembali menjauhkan diri dari otoritas Belanda dengan cara melarikan diri; dia memprovokasi kaum Paderi Bonjol dan bukan tak mungkin akan memanfaatkan momen tidak ada laginya Raaff yang ditakuti di tengah-tengah kita.

Braud berupaya, “dengan mengungkap alasan-alasan yang memotivasi penaklukan VI Kota, agar para pemimpin Paderi Bonjol tidak berburuk sangka,” dan untuk tujuan tersebut mengirimkan kepada mereka satu surat yang cukup panjang (resolusi Gubernur Jenderal pada Raad tanggal 13 Juli 1824 No. 29), sementara tindakan-tindakan strategis telah dipersiapkan oleh otoritas militer terhadap serangan yang akhirnya terjadi. Menurut laporan lanjutan dari Baud (tanggal 6 September 1824 No. 123, dibahas dalam resolusi Gubernur Jenderal pada Raad tanggal 2 November tahun tersebut No. 36), surat tersebut dijawab dalam bulan Juli dengan pemberitahuan bahwa para pemimpin Paderi Bonjol tidak mau negosiasi apa pun jika VI Kota tidak ditinggalkan Belanda. Surat balasan ini kelihatannya tidak asli; orang yang ditugaskan membawanya mengatakan bahwa segelnya terlepas dari surat ketika di jalan.

Untuk mendapatkan kepastian Baud mengutus seorang ulama yang bersahabat dengan Belanda, bernama Chatieb Moeliën [Khatib Mulia?], dengan satu surat beserta kopi satu rangkap menuju Bonjol. Namun tak lama Baud menerima berita bahwa ulama itu dibunuh ketika menyeberang sungai kecil dekat Bonjol.

Untuk sementara kasus tersebut dalam status quo. Untuk melengkapi di sini perlu kita sampaikan bahwa Kolonel de Stuers, yang pada akhir 1824 ditunjuk sebagai Residen sekaligus Komandan Militer di Sumatera Barat, menimbang surat resminya pada 18 Februari 1825 No. 53 kepada para pemimpin Paderi Bonjol mengabarkan kedatangannya di Padang, dan kemudian (pada surat resmi 13 Mei tahun 1825 No. 360) memberitahukan kepada Pemerintah Pusat bahwa kaum Paderi Bonjol tidak mau negosiasi apa pun dengan Belanda dan menganggap tidak terikat pada kesepakatan tahun 1824 yang sebelumnya dibuat pada masa Raaff dengan mereka.

Menimbang resolusi Gubernur Jenderal pada 13 Juni 1825 No. 15, Residen sekaligus menyampaikan “bahwa, meskipun dia kecewa dengan kegagalan usahanya,[9] dia masih berpendapat sejak kejadian di VI Kota pada Februari 1824, perkembangan keadaan menunjukkan bahwa perjanjian dengan para pemimpin Bonjol kini agak kurang signifikan bagi Pemerintah dibanding di waktu kesepakatan itu dibuat,[10] karena para pemimpin tersebut, semenjak wafatnya salah satu pemimpin mereka yang ternama, paling cerdik dan paling ditakuti—Tuanku Nan Gapok [Tuanku Nan Gapuak]—yang dibunuh oleh salah satu anggota mereka, tidak hanya kehilangan banyak pengaruh, tapi juga membuat para pemimpin Paderi dari distrik-distrik lain enggan berurusan dengan mereka lagi.”

Residen dalam kesempatan itu berpendapat, ”bahwa terpecahnya para pemimpin Paderi ini sangat menguntungkan bagi otoritas Belanda, yang pelan tapi pasti akan membuat mereka semakin lemah, sehingga karenanya demi kepentingan lebih baik mempertahankan semaksimal mungkin perdamaian yang sekarang terjalin antara Paderi dan Pemerintah, daripada melakukan tindakan-tindakan agresif dan sikap mengancam yang akan memicu mereka mengesampingkan perpecahan dan kembali bersatu, yang kekuatannya saja akan menjadi masalah luar biasa bagi kita…”

Pemerintah melihat kinerja residen “secara total” bagus dan sepakat dengan pandangan-pandangan yang disebutkan di atas.

Setelah melenceng agak jauh, kini kita kembali kepada kejadian-kejadian pada masa pemerintahan transisi Baud. Pada 14 Juni 1824 (surat No. 46) para pemimpin XIII Kota menyampaikan keluhan-keluhan bahwa kebiasan-kebiasan lama yang telah berlaku tidak lagi diperhatikan oleh Pemerintah Belanda dan Tuanku Panglima (hoofdregent) di Padang serta yang terakhir disebut berlaku kurang pantas terhadap mereka. Karena Baud menganggap keluhan mereka “bukan tanpa dasar”, dia mengundang para pemimpin daerah tersebut untuk menyampaikan lebih detail apa yang dimaksudkan dan dia mengutus satu komisi terdiri dari para penghulu dan pedagang dengan seorang sekretaris pribumi kepada mereka, “dengan tujuan membuka kembali komunikasi yang diputus oleh para kepala pribumi dimaksud” (resolusi Gubernur Jenderal pada Raad tanggal 13 Juli 1824 No. 29).

Sekitar satu bulan kemudian (surat resmi 17 Juli 1824 No. 86) Baud menyampaikan bahwa dia telah menerima sebuah surat dari para kepala XIII Kota yang menuntut dipecat dan disingkirkannya Tuanku Panglima Padang yang sekarang, Soetan Mangsor Alam Shah [Sutan Mansur Alam Shah], dan memberitahukan bahwa tidak dikabulkannya permohonan ini mereka pandang sebagai pemutusan persahabatan dengan Pemerintah Belanda. Segala upaya yang dilakukan Baud untuk kembali membuka ikatan-ikatan persahabatan yang telah lama terjalin berakhir percuma; dan karenanya dia meminta otorisasi “untuk mengumpulkan para kepala tersebut dengan intimidasi militer, agar dapat didengarkan apa yang mereka mau, dan dengan persetujuan lebih lanjut dari Pemerintah membuat satu kontrak perjanjian baru, atau–jika mereka menolak dipanggil—menyerang seluruh distrik di XIII Kota.”

Pemerintah Hindia Belanda–setelah mendengar saran dari anggota Raad van Indië Chassé—menimbang “bahwa memang tidak sejalan dengan martabat Pemerintah untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dari para kepala tersebut, tapi hal ini juga penting untuk mencegah dan mengantisipasi segala bentuk permusuhan dengan XIII Kota, sebab mereka ini sejak sangat lama berhubungan baik dengan Pemerintah, dan dengan menghandel kasus ini dengan lemah lembut dan ketenangan, para kepala yang terganggu tersebut barangkali akan kembali ke sikap baik seperti dahulu kala.”

Karenanya segala usaha yang dilakukan Baud akan didukung “untuk menghubungkan kembali persahabatan yang terjalin lama dengan para penghulu di Solok, Selayo dan XIII Kota, dengan catatan tetap melanjutkan metode yang sama pada kesempatan-kesempatan yang tepat dan khususnya, selama para kepala tersebut tidak melakukan hal-hal yang di luar dugaan, berupaya menghindari segala bentuk permusuhan dan tidak menggunakan kekuatan bersenjata untuk memaksa mereka menyepakati perjanjian yang baru, tetapi tetap bertindak dalam hal apa pun dengan bijaksana” (resolusi Letnan Gubernur Jenderal tanggal 2 Agustus 1824 No. 15).

Pada 7 September 1824 Baud kemudian memberitakan bahwa dua orang penghulu yang telah memberikan laporan yang keliru kepada Pemerintah telah ditangguhkan dari fungsinya dan negosiasi dengan XIII Kota diserahkan kepada para pedagang, yang dalam tiga minggu akan menyampaikan hasil usaha yang dilakukan, yang menurut mereka cukup menjanjikan (resolusi Gubernur Jenderal pada Raad tanggal 2 November 1824 No. 37).

Masalah ini untuk sementara waktu terkatung-katung. Baru pada 22 April 1825 de Stuers (surat resmi No. 250) memberitahukan kepada Pemerintah bahwa para kepala XIII Kota telah berkumpul di Limau Manis untuk menunggu instruksi-instruksi selanjutnya dari Residen, dan dari sana dengan dijemput seorang ambtenaar (Francis) dibawa ke Padang. Di sini mereka diterima “dengan cara paling khidmat” dan kami menyepakati satu “ikatan perdamaian dan persahabatan dengan seluruh wilayah XIII Kota” yang baru. De Stuers kemudian memasang kembali dua penghulu yang disebut sebelumnya pada fungsi masing-masing.

Pemerintah mendukung tindakan-tindakan de Stuers dan mereka sangat senang “kasus tersebut diselesaikan dengan cara sedemikian” (resolusi Gubernur Jenderal pada Raad tanggal 14 Juni 1825 No. 12).

Mengenai operasi-operasi militer yang perlu dilakukan selama pemerintahan Plt. Residen Baud untuk menghadapi serbuan kaum Paderi khususnya di sekitar Saruaso, sumber-sumber kita tidak menyebut secara khusus. Karenanya, untuk ini kita hanya merujuk Lange.[11]

Dalam resolusi Gubernur Jenderal pada Raad tanggal 2 November 1824 No. 36, Kolonel HJJL de Stuers, ajudan sang Gubernur Jenderal, ditunjuk sebagai Residen dan sekaligus Komandan Militer Padang dan sekitarnya.

Kolonel de Stuers sangat terpuji oleh Gubernur Jenderal van der Capellen. Dia telah sangat sukses memimpin ekspedisi 1822 dan 1823 ke pantai Barat Borneo, dan Gubernur Jenderal menulis dalam surat resminya pada 3 Mei 1823 (surat No. 89) kepada sang Menteri [Koloni] bahwa para pasukan “mendapati pada Letnan Kolonel de Stuers, ajudan saya, seorang komandan yang dalam keberanian pribadi, ketenangan dalam segala situasi dan kepedulian terhadap bawahan seorang yang sulit dicari tandingannya dan belum ada yang mengungguli.”

Terhadap residen yang baru ditunjuk dalam artikel 3 resolusi tersebut secara khusus mengemban misi:

  1.     “Untuk, setelah memiliki pengetahuan cukup mendetail tentang situasi kondisi di Padang Darat, melakukan penyelidikan apakah, dan kemudian jika ya melalui cara apakah, terhadap permusuhan-permusuhan yang masih berlanjut dengan kaum Paderi bisa selesai sesuai yang dikehendaki, dan untuk—kecuali jika menyangkut kehormatan dan martabat Pemerintah—mencoba segala macam upaya dengan tujuan membuat suatu kesepakatan dengan mereka tentang batas-batas yang tidak boleh saling dilanggar, sehingga ketertiban dan perdamaian di kawasan tersebut bisa tercipta dan perdagangan kembali dihidupkan.”
  2.     “Untuk melakukan satu penyelidikan yang efektif dan komprehensif apakah, dan sejauh mana, dilakukan penerapan dari Reglement tentang pemerintahan di Padang, yang dimuat dalam resolusi 4 November No. 18, dan mempelajari sebab-sebab yang merintangi atau bahkan sepenuhnya menghalangi ketentuan-ketentuan yang dimuat di sana; apabila Residen, setelah memiliki pengetahuan cukup substantif tentang situasi kondisi di sana, menyampaikan temuannya kepada Gubernur Jenderal dengan menyertakan lampiran konsiderasi dan saran-saran yang dipandangnya berguna dan niscaya, sehingga Pemerintah memutuskan apakah perlu, dan jika ya, perubahan-perubahan apa dari Reglement tersebut perlu dilakukan; baik tentang pengaturan pemerintahan pribumi, tentang introduksi sistem sederhana pajak di wilayah Padang pedalaman, yang tentang itu tidak bisa dihandel terlalu hati-hati atau terlalu bijak”.[12]

Mengingat kemungkinan segeranya pengambilan alih koloni Inggris di pantai Barat Sumatera, de Stuers kemudian diminta melakukan pemberitahuan sepraktis mungkin dan kemudian menginfokan tentang “dasar dan bagaimana caranya” koloni-koloni tersebut akan diambil alih dan kita duduki serta pertahankan.

Untuk menuntaskan misi-misi tersebut Kolektor Pendapatan dan Budidaya Nasional BC Verploegh ditugaskan membantu sang Residen. Dalam resolusi selanjutnya Gubernur Jenderal pada Raad (tanggal 16 November 1824 No. 41) juga untuk maksud tersebut ambtenaar E Francis diperbantukan kepada Residen.

Sebab Tuan Francis kemudian hari juga memiliki pengaruh atas jalannya situasi di Sumatera Barat (dia nanti jadi Residen dari 1834 ke 1837) kiranya ada gunanya menyampaikan di sini apa yang ditulis tentangnya dalam resolusi dimaksud: “Selama dia menjabat supervisor pendapatan Negara di residensi Bantam [Banten], dan khususnya sejak berturut-turut diperbantukan pada Komisaris-Komisaris untuk Borneo, Palembang dan Makassar, (dia telah) menunjukkan diri sebagai seorang ambtenaar yang bersemangat, memiliki kompetensi yang unggul dalam menyelidiki perkara-perkara pemerinitahan pribumi, dan sangat cocok dalam pergaulan dengan bangsa pribumi, yang tentangnya sang Gubernur Jenderal, ketika beliau menjabat di Pemerintahan Makassar, bisa memberikan kesaksian pribadi.” (*)

(Bersambung ke bagian IX)

Ilusrtrasi @mithamiwuwu

Catatan Kaki:

[1] [Penerj, Sulit diidentifikasi nama asli yang dimaksud]

[2] Informasi ini kita Tarik dari resolusi Gubernur Jenderal pada Raad tanggal 14 Februari 1824 No. 22. Dari sini jelas bahwa informasi Lange (I hal. 109) tentang itu ta sepenuhnya benar.

[3] Secara keliru de Stuers (I hal. 85) menyampaikan bahwa hadiah ini diberikan oleh Asisten Residen Baud (setelah wafatnya Raaff), dan terkait dengan penaklukan Kota Lawas [Koto Laweh].

[4] Deskripsi penaklukan VI Kota tersebut yang tidak ada dalam data resmi, kita ambil dari paparan lebih detail pada Lange (I hal. 110), yang dikonfirmasi oleh informasi dari Nahuys (Surat tentang Bengkulu dst hal. 200 dst) yang saat itu hadir sebagai saksi mata. Keterangan Waal (hal. 124) tentang kejadian ini kurang jelas karena terlalu singkat.

[5] Raaff lahir Desember 1794 di ‘s Hertogenbosch.

[6] Idem. I hal. 85:” Para Paderi Bonjol, merasa kecewa dengan kejadian di Kota Lawas, kemudian mengembalikan kontrak tersebut pada bulan April,”…

[7] Idem 2e hal. 192.

[8] Idem hal. 109.

[9] Tentang hal itu tak disebutkan dalam karya Jenderal de Stuers.

[10] Bagaimana penilaian tentang kontrak 1824 ini sinkron dengan pernyataan Jenderal de Stuers belakangan yang menyebut isi-isi perjanjian tersebut “tidak praktis”, “tak bisa dimengerti”, “tak logis”, “egois” (lihat karya yang sering kita kutip I, hal. 78-83)?

[11] Idem I, hal. 114 – 117. Edisi 5 Volgr. I.

[12] Tugas sub b oleh Jenderal de Stuers dalam tulisannya dengan cara sangat lain ditafsirkan (I hal. 89)

 

 

About author

Penerjemah bernama lengkap Novelia Musda, SS, MA. Lahir di Rengat, Riau, tanggal 8 November 1982. Kampung Ibu di Sumanik, Tanah Datar, dan bersuku Koto Piliang, dan bako di nagari Kolok, Kota Sawahlunto. Pendidikan S1 dilakukan di IAIN Imam Bonjol Padang 2000-2005, masuk dua tahun pertama sebagai mahasiswa jurusan Perbandingan Agama, Fak. Ushuluddin dan keluar sebagai alumni jurusan Sastra Arab, Fakultas Adab. Untuk S2 dijalani 2008-2010 di jurusan Islamic Studies, Universiteit Leiden. Sejak 2011 bekerja sebagai PNS yang baik di Kementerian Agama, sekarang di Bidang Pendidikan Madrasah Kanwil Kemenag Sumbar. Minat akademis dulunya waktu kuliah filsafat eksistensialisme khususnya Nietzsche. Tapi sekarang sudah tak punya banyak waktu lagi untuk pusing memikirkan apa yang ada di antara ada dan tiada, dan lebih banyak membaca hal-hal praktis seperti sejarah serta mistisisme Islam dan Hindu serta belajar menerjemah khususnya dari karangan-karangan penulis Belanda tentang Minangkabau abad lampau dan tetap terus belajar bahasa asing sebagai cara efektif untuk menghibur sekaligus menyusahkan diri sendiri.
Related posts
Artikel Terjemahan

Kesadaran Politik Kaum Tani di Sumatera Barat: Analisis Ulang Atas Pemberontakan Komunis 1926 (Bagian II)

Artikel Terjemahan

Kesadaran Politik Kaum Tani di Sumatera Barat: Analisis Ulang Atas Pemberontakan Komunis 1927 (Bagian I)

Artikel Terjemahan

Menimbang Pemberontakan PRRI Sebagai Gerakan Kaum Tani Sumatera Barat

Artikel Terjemahan

Satu Abad Paulo Freire

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *