Artikel ini ditulis oleh Arnold Willem Pieter (AWP) Verkerk Pistorius pada Februari 1868. Diterjemahkan oleh Novelia Musda dan diterbitkan Garak.id untuk tujuan pendidikan non-komersil.
***
“Ada satu kemenangan dalam masa kita yang akan dicatat dalam sejarah sebagai reputasi baik abad 19: kita menginginkan penghapusan perbudakan; tapi walau ada kemenangan dalam abad kita ini di mana perbudakan mendapatkan pukulan-pukulan mematikan, tapi perbudakan masih belum lenyap dari muka bumi. Kemenangan umat manusia masih belum genap.“ René Laboulage (l’Esclavage du Brazil).
Salah satu ketetapan peraturan Pemerintah yang terindah adalah yang termuat dalam artikel nomor 105. Selambat-lambatnya pada tanggal 1 Januari 1860 perbudakan di seluruh Hindia Belanda akan dihapuskan, begitulah bunyi alinea pertama dari artikel tersebut, dirinci dan diterapkan dalam Staatsblad tahun 1859 nomor 46 dan 47. Kita makin dibuat gembira dengan hal tersebut, karena aturan yang manusiawi itu berasal dari kita sendiri, dan bukan diberikan pada akte parlemen di bawah pemerintahan perantara Inggris.
Bertahun-tahun semenjak tanggal yang ditetapkan itu berlalu, perbudakan di seluruh wilayah koloni kita masih jauh dari terhapuskan sampai ke akar-akarnya. Peraturan pemerintah itu, yang tampaknya berkembang pada koloni inti kita melalui akumulasi elemen Eropa, dalam banyak aspek musti menunggu untuk diterapkan di wilayah-wilayah pendudukan luar[1] untuk pertama kalinya. Masalahnya bukan pada kurangnya niat baik, tapi kekuasaan yang tak memadai, tiadanya pengaruh dan seringkali juga kurangnya pengetahuan mendalam tentang situasi kondisi pribumi adalah sebab-sebab utama mengapa banyak ketetapan, yang dibuat dengan kerjasama yang baik dengan wakil-wakil rakyat, masih menunggu penerapan yang menyeluruh pada wilayah-wilayah yang jauh tersebut.
Perbudakan di Padang Darat adalah salah satu contohnya. Memang pemerintah kita masih memiliki pengaruh dalam menerapkan penghapusan bertahap, dan lembaga perbudakan di wilayah ini, walaupun tidak asli pribumi tapi tampaknya dibawa bersama Islam, taklah dicirikan dengan kekejaman yang membuat perbudakan di tempat-tempat lainnya jadi suatu hal yang menakutkan. Betapa pun beban perbudakan ringan di sini, ya bahkan nama perbudakan sedikit sekali dapat dialamatkan kepada lembaga yang masih ada tersebut, tapi masih banyak individu yang kemerdekaannya terampas, dan yang keadaannya di tengah masyarakat mendatangkan rasa tak enak.
Men-sketsakan nasib dan keadaan dari anggota-anggota masyarakat itu, khususnya di distrik Kota VII (Sijunjung), di mana pengaruh pemerintahan kita tak sebesar di tempat-tempat lainnya, saya akan mencobanya pada halaman-halaman berikut.
Perbudakan di Padang Darat mencapai puncaknya pada zaman Paderi, atau seperti dinamakan oleh orang-orang pribumi berdasar pakaian putih yang diperkenalkan oleh kaum Wahabi, pada masa putih, dan umumnya orang dapat mengatakan bahwa perbudakan di wilayah ini ada karena peperangan Paderi. Tapi sebelum periode tersebut perbudakan taklah sepenuhnya tak dikenal di sini. Pada masa hadat jalihah[2] (begitu orang menamakan adat pribumi murni yang diikuti sebelum zaman Paderi dan secara metaforis merupakan periode sebelumnya yang utuh dari sejarah Melayu) tampaknya penduduk Padang Darat, dan bangsa-bangsa beragama Islam di pulau ini pada umumnya, dari waktu ke waktu menyerbu rekan-rekan mereka yang masih kafir dan juga pulau-pulau tetangga serta membawa dan menjual laki-laki, wanita dan anak-anak yang jadi rampasan perang, sehingga sekarang masih ada keturunan budak-budak yang dari raut wajah menunjukkan bahwa mereka berasal dari ras Batak dan Nias, atau orang-orang Kubu dan Ulu yang masih hidup primitif. Namun penyerbuan perampokan jarang terjadi, dan setidaknya hanya dilakukan terhadap suku-suku yang belum menganut Islam.
Untuk pertama kalinya di bawah pemerintahan kaum agama yang despotis dan di saat perselisihan religius yang hebat, di mana para pengikut ajaran yang ortodoks turut ambil bagian dalam hal itu, muncullah peraturan bahwa semua nagari yang berkeras mengikuti kepercayaan nenek moyang, dan juga mereka yang telah masuk Islam tapi tak mau tunduk pada ajaran Wahabi yang keras, mereka akan dibinasakan dengan api dan pedang oleh kaum Paderi, bahwa tiap orang yang berusaha melawan atau kabur akan dirubuhkan, barang-barang yang ada dan yang berharga akan dirampas, dan siapa yang meminta belas kasihan agar tetap hidup, di samping para wanita dan anak-anak, akan dibawa sebagai tahanan. Hanya nagari-nagari yang membuta mengikuti ajaran baru itu dan yang membayar uang tebusan yang mahal (oewang minoh) akan dikecualikan dari perlakuan kejam (Vandal) tersebut. Merampok dan merampas pada zaman ini begitu sering terjadi, sehingga kata yang digunakan orang Melayu untuk mengungkapkan hal itu: jarah, awal pemakaiannya muncul sejak masa Paderi.
Dengan cara itulah Tuanku Lintau yang terkenal menjadi tuan dari banyak orang malang, yang sebagian disuruhnya bekerja, sebagian dijual di tempat, dan sebagian lagi dikirim dan dijual ke tempat-tempat makmur yang kekurangan tenaga. Biasanya untuk budak laki-laki nilainya 30 gulden, dan perempuan 60 gulden, sementara orang yang melaluinya sang Tuanku menjual budak (agen budak), mendapatkan sepertiga atau seperempat dari jumlah tersebut.
Dua nagari di distrik Kota VII, yang pertama Padang Sibusuk, dulu berpenduduk padat dan makmur tampaknya, dan yang lain Silungkang, sekarang masih merupakan kampung yang paling terkenal dan terkemuka di III Luak, dengan cara itulah sampai memiliki banyak budak, yang jumlah keturunan mereka sampai saat ini kira-kira mencapai sepertiga dari seluruh penduduk di sana.
Di antara orang-orang yang terampas kemerdekaannya ini hanya beberapa saja sekarang yang dibeli dan dirampok. Dan hanya mereka inilah yang menurut adat, juga barangkali sesuai dengan Islam, merupakan budak dalam arti kata itu yang biasa kita kenal, atau seperti dinamakan oleh kaum pribumi: budak atau lacih, menurut dialek di sini lacieh. Hanya atas orang-orang seperti inilah tuannya berkuasa seperti kuasanya atas ternak yang tak berakal; dia dapat menggunakannya untuk kerja apa pun yang dia mau, dapat memperlakukannya dengan buruk sesuai selera, dan hanya jika dia membunuhnya saja maka si tuan musti, menurut adat, membayar denda 20 real (32 gulden) pada penghulu-penghulu nagari!
Betapa menyedihkannya keadaan orang-orang malang ini, tepatnya terutama di waktu dulu, karena sekarang ada juga sebagian yang hidupnya bahagia; bertahun-tahun lalu banyak di antara mereka yang dimerdekakan oleh pemiliknya, setidaknya oleh penghulu-penghulu yang kita gaji, karena merasa hormat terhadap pemerintahan kita, dan perlakuan buruk terhadap para budak saat ini hanya sedikit sekali terjadi—meskipun nasib mereka buruk, tapi keadaan mereka jauh lebih baik dibanding budak-budak di tempat lain yang mengalami kemalangan karena jatuh ke tangan orang-orang Eropa. Tak hanya jarang mengerjakan pekerjaan yang amat berat, mereka biasanya hanya melakukan kerja di lapangan yang ringan-ringan, menggembala ternak dan kerja-kerja rumah tangga, mereka bahkan menikmati hak-hak yang bagi [budak-budak] Afrika masih menjadi hal yang asing. Misalnya si ibu tak boleh dipisahkan dari anak-anaknya selama anak-anak itu masih membutuhkan bantuan dan pengawasannya, dan apa yang terjadi nanti barulah berdasar kerelaan kedua belah pihak—sebab itulah budak perempuan lebih tinggi nilainya—dan jika si budak meminta dirinya dijual pada yang lain, si pemilik musti mengizinkannya, setidaknya jika jumlah uang pembeli budak itu kembali kepadanya. Di luar itu, banyak budak dimerdekakan saja oleh pemiliknya setelah menunjukkan kesetiaannya selama bekerja, yang dapat terjadi melalui dua cara: lapas oenggei [lapeh unggeh] dan lapas ajam [lapeh ayam]. Dalam lapas ayam, si mantan budak musti tetap tinggal bersama tuannya yang dulu, untuk membantunya bekerja jika perlu.
Namun budak-budak sesungguhnya, saya ulangi lagi, sangat jarang dijumpai sekarang ini [1868], dan tak lama lagi tak satu pun budak akan ditemui di Padang Darat.
Jadi bukanlah tentang budak-budak esai ini terutama ditulis, tapi tentang keturunan mereka, atau menurut ungkapan plastis dari orang Melayu: kamanakan di bawah lutut, arti harfiahnya: anak-anak saudara perempuan di bawah lutut, tapi makna sebenarnya: anak-anak di bawah lutut; sebab bagi orang Melayu [lelaki Minangkabau] anak-anak saudari adalah anak-anaknya yang sebenarnya. Secara ironis, kaum pribumi juga menamakan mereka: kamanakan dengan sebab.
Keadaan mereka berbeda pada banyak segi dari keadaan orang-orang yang merdeka [dari lahir]. Hak-hak yang orang terakhir ini nikmati tak mereka dapatkan; mereka dan keturunan mereka senantiasa ditundukkan pada banyak kebiasaan dan aturan yang merendahkan, dan jika orang memperhatikan seluruh himpunan peraturan mengenai mereka, jika melihat keadaan sosial mereka, maka yang orang akan dapat amati dari sana tak beda dengan perbudakan yang tersamar.
Mari kita ke tengah penduduk yang memiliki budak (saya untuk sementara tetap menggunakan kata budak, walaupun kata itu tidaklah tepat). Marilah kita ke pusat dari suatu kawasan, di mana tinggal banyak budak dalam distrik Kota VII, untuk menyaksikan keadaan mereka lebih dekat dan mengamatinya dari lingkungan mereka sendiri. Kita turuti jalan dari Padang Sibusuk, senantiasa menurun dan mendaki, yang mengikuti batang air kaya emas Sungai Lasi dengan segala kelok-keloknya hingga mencapai kota Silungkang yang jauhnya 5 pal [kira-kira 7,5 km]. Segera kita akan mendekati gerbang batu karang. Dinding bukit yang tenang dan tinggi menjulang di kedua sisi, dan dengan kesusahan batang air yang terkadang melimpah itu mencari jalan melalui terusan yang sempit. Baringin, kubang dan jenis-jenis ficus lainnya yang di sana-sini tertanam pada dinding batu karang yang curam itu, meraba-raba ke segala arah dengan cabang-cabang dan akarnya yang tak terhitung, dan memanjat tinggi hingga ke puncak perbukitan, menutupi bebatuan keabu-abuan dengan daun-daunnya yang segar dan selalu hijau. Terkadang, setelah hujan deras, ketika air yang terkumpul di puncak bukit menderas ke bawah dan berpencar karena terhalang batang-batang pohon dan dedaunan, serta menyebar seperti selayar perak pada pepohonan yang gelap, kesan dari pemandangan alam ini sungguh tak tertandingi.
Di ujung “gerbang“ itu menantilah sebuah lembah yang tertawa; perbukitan karang pasir, pada kedua sisinya, bertahap-tahap mulai tampak berkilau, dan segera pemandangan diganti oleh bentuk-bentuk aneh dan fantastis dari batu-batu karang yang tersusun satu sama lain; hutan yang tenang telah tersingkirkan—di dataran oleh hehijauan sawah yang ramah, pada lereng perbukitan oleh warna cerah pakis-pakis dan tanaman-tanaman semak; dan batang air, yang terbebas dari halangan-halangan yang menekan, dengan gembira menderas dari batu ke batu pada bantalan berkarang, di sini dengan bebas tanpa terganggu mulai mengambil lagi alirannya yang berkelok-kelok. Di mana-mana terdapat kehidupan, air yang sejenih kristal itu seakan diliputi oleh tanam-tanaman segar dan harum, oleh bunga-bunga aneka warna yang ceria. Tumbuhan cassia alata [?] gemetar dengan pandan-pandan emasnya di tengah tanaman-tanaman pakis dan semak-semak, rhodomyrtus kemerahan bersembunyi di balik daun-daun harum lagundi, dan mendengar ocehan ceria riak-riak yang bermain, angin sepoi menundukkan kepala di atas pinggiran sungai yang berkarang.
Pada lembah ini, di tengah sawah-sawah, atau pada ngarai-ngarai dan belahan dinding bukit yang kemilau, tersebarlah rumah-rumah banyak budak, yang dimiliki oleh penduduk pribumi kampung Silungkang dan di sini, di lingkaran terluar dari nagari, bekerja di sawah-sawah, di ladang-ladang, atau pada perbukitan di tambang-tambang emas skala kecil milik pribumi. Penduduk yang merdeka lebih suka tinggal di kota [koto] itu sendiri dan bekerja di sawah-sawah sekitar. Juga di sini, seperti halnya di kampung itu, rumah kediaman separo tersuruk di bawah daun-daunan rimbun, di antara variasi tak terhitung dari warna cerah dan coklat, dari berbagai macam pohon buah-buahan, dan pohon kelapa yang ramping juga tampak di sana, pendamping setia rumah pribumi, sebagai puncak anggun-nya yang menjulang ke langit biru.
Pada pandangan mata beberapa rumah tak memiliki tanduk-tanduk [gonjong] yang biasa dibuat orang Melayu untuk membentuk hiasan atap rumahnya. Di kawasan ini hanya orang-orang merdeka saja yang atapnya boleh bertanduk. Juga di sini seperti di tempat-tempat lainnya, rumah seorang budak atau keturunannya lebarnya tak boleh lebih dari tiga tiang, atau memiliki lebih dari satu anjung, yakni struktur bangunan pada kedua bagian ujung dari rumah yang lebih tinggi dari lainnya. Dia juga tak diizinkan memiliki tipe rumah gajah maharam atau surambi, yakni rumah yang lebarnya empat sampai lima tiang—tapi interior rumah tidaklah berbeda dengan orang-orang lainnya. Secara longitudinal rumah itu dipisah jadi dua bagian oleh sebuah dinding atau kain warna-warni, di mana yang satunya yang lebih luas jadi ruangan tamu/keluarga, yang satu bagian sebagai kamar tidur. Jika kita masuk ke dalam kita akan mendapati perabotan yang sama, ditaroh tak beraturan satu sama lain, seperti yang kita dapati pada kediaman pribumi yang kekurangan.
Seperti pada bentuk rumah, pada segi pakaian pun seorang budak dapat dibedakan dari seorang merdeka. Jika kita melihatnya di ladang, pakaiannya seperti pakaian pribumi lainnya yang sedang bekerja; celana katun biru lebar, pada bagian pinggang ada ikatan yang lebar tempat memasang sebuah pisau pendek, dan sebuah tutup kepala yang terkadang ditaruh lagi tudung besar di atasnya adalah pakaian umum jika di ladang. Namun, pada hari-hari pasar atau pada kesempatan pertemuan bersama, di mana pribumi tampil dengan pakaiannya yang terindah, maka mudah terlihat perbedaan antara mereka. Sebab destar berenda dua, destar banting anting, atau seperti disebut di tempat lainnya: destar api-api, berhiaskan kelip-kelip emas, dan destar palangei, yang berstrip merah, hitam dan biru, hanya boleh dipakai oleh orang-orang merdeka. Demikian juga halnya baju jubah, semacam baju panjang, dan celana, selendang, baju, ikat pinggang (kabeh [kabek] pinggang) orang merdeka; semua ini boleh jadi dibuat dari bahan sutra dan dihiasi dengan pinggiran atau kancing-kancing emas. Pada umumnya, para budak dan keturunannya dilarang memakai sutra, emas dan juga pakaian berwarna kuning.
Diskriminasi merendahkan di antara kedua status itu paling jelas terlihat pada beberapa kebiasaan yang dilegitimasi oleh adat. Jika seorang dari keturunan budak berjalan dengan seorang merdeka—sudah cukup populer diketahui bahwa orang-orang pribumi kalau berjalan selalu seorang demi seorang di belakang yang lainnya—maka yang pertama senantiasa yang paling belakang; dia juga tak boleh naik kuda; pada rapat dia duduk khidmat dengan bersila, dan kehormatan yang diberikan pada orang merdeka [setelah wafat] dengan dipanggul dengan hosongan menuju kuburan tak diperkenankan bagi budak dan keturunannya. Orang membawanya di atas sebuah papan menuju kuburan dan jirah (semacam tanda peringatan berupa balai-balai kecil) tak boleh dibangun di atas pembaringan terakhirnya.
Posisi dalam hukum bertalian erat dengan kondisi sosial mereka. Dalam kasus hukum, dia tak boleh jadi saksi; jika dia dilukai, dia hanya boleh menuntut setengah dari denda, dan dalam kasus dibunuh, hanya setengah bangoen [diat] boleh diminta. Saya hanya menyinggung ketentuan-ketentuan yang paling mencolok, sebab dari sanalah dapat dilihat jelas bagaimana betul keadaan mereka.
*Diterjemahkan dari judul asli Iets over de Slaven en de Afstammelingen van Slaven in de Padangsche Bovenlanden dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie/ 1868/ 2 edisi I halaman 434 sampai 443.
Catatan Kaki:
[1] [Catatan penerjemah: koloni Belanda di Nusantara selain Jawa]
[2] Ini pastilah maksudnya jahiliah, yakni keadaan kebodohan, seperti yang dinamakan oleh orang-orang Arab terhadap masa sebelum Nabi Muhammad?