Artikel Terjemahan

Pengaruh Ulama di Tengah Masyarakat Padang Darat (Bagian I)

Ilustrasi - Amalia Putri

Artikel karangan Arnold Willem Pieter (AWP) Verkerk Pistorius ini terbit pertamakali pada 1869 dengan judul “De Priester en Zijn Invloed op de Samenleving in de Padangsche” dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie/1869/3/II, hal:  423-455. Diterjemahkan oleh Novelia Musda.

***

Merah senja menghias langit serta perbukitan curam yang mengapit  lembah Silungkang[1] yang sunyi. Di dekat tepi sungai Lasi yang berkarang orang-orang beriman merendahkan dirinya, seolah tenggelam dalam kekhidmatan, menutupi wajah dengan tangan sembari mengarah ke Barat. Tiada suara yang terdengar kecuali suara kalintuang,[2] yang dari kejauhan menandai pulangnya gembalaan. Kesunyian khusyuk yang seakan dipersuci oleh suara lambaian pohon-pohon kelapa itu kentara di mana-mana. Perlahan-lahan, warna memudar menutup puncak-puncak bukit sehingga kelihatan seperti emas. Warna ungu yang memandikan lembah dan aliran sungai pun turut memucat, di kala mana kegelapan malam menyingkirkan tanda-tanda terakhir nuansa kemerahan dari langit. Dan kemudian menggema kembali suara bilal: Allahu Akbar !

Allahu Akbar ! … Marilah kita menunaikan salat malam! Di dalam bangunan luas yang menjadi tempat ibadah di Silungkang, dengan ditemani cahaya pelita, orang-orang telah membuat barisan-barisan. Dengan suara lemah agak bersenandung, imam memulai salat malam. Lalu dengan khidmat, semuanya rukuk, sujud dan bangkit kembali, sembari bertakbir mengiringi takbir sang imam, Allah! Dari manakah datangnya suasana haru dan kelabu itu yang tanpa dapat dilawan menguasai perasaan kita, betapa pun sedikitnya ekspresi pencarian menuju sesuatu yang lebih tinggi memuaskan kita di sini?

Di antara mereka yang hadir di surau[3] itu ada seorang laki-laki yang sangat dihormati penduduk karena kesalehan dan pengetahuannya tentang agama. Semenjak dia kembali dari naik haji dan mendirikan sebuah ‘sekolah’ di Silungkang,[4] datanglah murid-murid dari berbagai tempat untuk menimba ilmu darinya. Saban hari, bermacam pemberian dari kampung-kampung sekitar dibawakan untuknya. Pastinya, hanya sedikit saja ulama seperti dia di sini yang pengaruhnya begitu besar dan yang begitu dihormati orang-orang.

Haji Muhammad, atau lebih dikenal oleh penduduk sebagai Tuanku Syekh Silungkang, adalah seorang yang sedang berada di puncak perjalanan hidupnya. Wajahnya menunjukkan keseriusan dan di matanya terbaca tanda-tanda kecerdasan. Rona wajahnya agak memucat dengan tulang rahang yang menonjol, suatu sifat fisik yang umumnya kurang menarik terdapat pada kebanyakan orang Melayu. Namun, dia istimewa dari yang lain-lainnya, khususnya dari kalangan ulama, dengan pembawaannya yang berwibawa dan gaya bicaranya yang alami. Sebab, di wilayah ini juga ada mereka yang agak canggung, dengan nada suara yang bermanis-manis dan menghanyutkan, dengan kerendah-hatian yang diperlihat-lihatkan, pendeknya suatu yang khas dalam bersikap dan berbicara yang membuat kita tersenyum mengingat rekan-rekannya di garis yang lain itu.

Tidak jauh dari surau, yakni ‘sekolah’ yang dipimpinnya itu, ada sebuah tempat yang dikelilingi oleh himpunan pohon kelapa dan rumah-rumah kecil yang berhiaskan aneka warna. Di tengah-tengah tempat itu terdapat sebatang pohon kubang raksasa. Batangnya sendiri sudah ditutupi lumut-lumut kelabu dan hampir tak berdaun lagi; tapi, pucuk daun-daun segar dari batang-batang kayu lebih muda yang menopangnya di sekitar menjadi tempat berlindung yang sejuk dan rindang bagi hampir seluruh pengunjung di hari pasar. Banyak malam di tempat ini saya lewati dengan percakapan dengan Syekh Silungkang, dan sebab alur perjalanan hidupnya hampir sama dengan kebanyakan ulama lain di Padang Darat (Padangsche Bovenlanden), saya akan menyampaikan inti-intinya saja di sini, sekedar memberi gambaran bagaimana sang ulama menempuh masa kecilnya dan bagaimana posisinya dalam kehidupan sehari-hari kaum pribumi.

Dilahirkan di Silungkang di tengah orang tua yang terbilang berada, Muhammad menghabiskan masa kecilnya di kampung yang tentram itu dan juga bukit-bukit yang mengitarinya. Perbukitan di sini memiliki karakteristik yang khas. Di kala langit biru cerah, kelihatan jelas lah karang-karang gundul yang curam dengan puncak-puncak yang persegi. Puncak-puncak itu seperti piramid-piramid yang saling merapat, dipisahkan oleh jurang-jurang dalam dan di sela-selanya ditumbuhi rumput-rumput semak serta batang-batang pakis. Di antara hijau-hijauan yang memucat terdapatlah alur tanah yang berbelok-belok menuju ke bawah, tanpa tetumbuhan satu pun, merah gelap seakan menyala. Ketika ilalang menghangus karena masa kekeringan yang panjang, berliku-likulah ke atas “ular” raksasa: percikan api, yang mengenai rumput kecil, berubah menjadi api besar mengikuti alur tanah berliku itu, yang kemudian dihalau oleh angin dalam bentuk awan-awan asap, di antara mana terdengar kerisik-kerisik nyala api yang meninggi. Daerah itu terlihat gundul dan gersang ke mana pun mata memandang, mulai dari lembah hingga ke puncak perbukitan, yang juga ditumbuhi pohon-pohon anau[5] yang tenang.  Sesekali, seakan menyesali diri sendiri, alam menampakkan wajah yang keras, di saat mana aliran air perbukitan yang muncul dari semak-semak semacam sikaduduk, karamunting dan lagundi menderas ke bawah; atau ketika batang pohon beringin hijau tua yang membelintang karang, usang dan memucat, muncul dari bukit, yang dengan gerigi dan bentuk-bentuk fantastisnya seakan reruntuhan sebuah bangunan Gothic. Namun, tak dapat ditemui lagi bekas-bekas tangan manusia yang dahulu pernah mendiami kawasan yang sekarang ditumbuhi ilalang-ilalang menguning ini, tempat yang dulunya boleh jadi dipenuhi pohon-pohon tinggi. Sejak lama gema itu membisu, yang dulunya menggemakan suara-suara tebangan ketika batang-batang kayu raksasa direbahkan alat-alat manusia. Dan jika Anda jalan-jalan di sini dan tiba-tiba menemui sekawanan binatang gembalaan minum dari sebuah mangkuk trachite besar warna kelabu, di mana air mengumpul di batu karang, maka tampaklah sorang bocah penggembala yang kurus menatap Anda diam, seakan dikejutkan oleh suara Anda yang mengganggu ketenangan abadi itu. Hanya angin gunung yang berbicara di ketinggian yang hening ini, dan Anda pun akan dihanyutkan oleh berbagai pikiran, didorong oleh rasa hormat terhadap keserasian khidmat yang diperdengarkan oleh suara angin tersebut. Arus pikiran mengalir begitu murni dan segar di sini seakan mata air di tengah tanah berbatu yang merefleksikan birunya lelangit.

Mendekati kota Silungkang,[6] pemandangan pun berubah dalam sekejap. Dari ketinggian yang tegak lurus, tiba-tiba Anda melihat lembah dengan hehijauan pohon-pohon kelapa, bersebaran di kaki-kaki karang. Aliran sungai dari perbukitan yang melewati kota dengan membentuk liku-liku yang lebar, untuk kemudian menghilang di ujung biru sana, tampak seakan dihiasi oleh emas: begitu kemilaunya dasar sungai yang berpasir memantulkan cahaya mentari yang membakar. Di sepanjang beludru persawahan yang mengepung sungai itu, tampaklah orang-orang berjalan untuk mengunjungi pasar di hari ini.  Melihat sekitar dengan malu-malu, dengan memakai sarung seadanya, seorang bocah perempuan melewati orang ramai yang sibuk berbicara itu, yang sesekali menciprat-ciprati kaki mereka dengan air. Seorang tua sambil bersuara lirih menopang tubuhnya yang membungkuk dengan batang kayu bermata, yang masih ditumbuhi sedikit dedaunan. Dengan langkah yang mantap, seorang kuli melangkah sambil menjunjung beban yang berat di kepala. Lebih ribut dari sekawanan burung-burung yang terbang membelah langit dari segala arah, sekumpulan bocah bersorak sorai melompati sungai dari tepian yang rendah. Semuanya menghirup nafas hidup dan gairah, terlebih di kala pagi, ketika pohon-pohon kelapa yang meliuk-liuk seakan bergetar oleh bahagia, ketika bunga-bunga yang masih digantungi oleh embun seolah tertawa dengan air matanya, ketika bukit-bukit menyibak tirainya hingga kelihatan memerah bermandikan cahaya.

Jika orang menggambarkan masa muda seorang pribumi, pada masa-masa kecilnya setidaknya, cukuplah sketsa alam yang di tengah-tengahnya dia tumbuh melukiskan itu. Sebagai kanak-kanak, dia senantiasa berada di bawah pengaruh alam. Semenjak usia satu atau dua tahun ketika dia sudah disapih dari ibunya, kanak-kanak pribumi hampir sepenuhnya “diserahkan” kepada alam. Nyaris tanpa diawasi dia dibiarkan bermain-main di sekitar rumah, dan nanti, ketika dia sudah dapat lepas total dari mata ibunya yang awas, dia akan pergi ke sekitar kota atau ke perbukitan. Hanya anak-anak dari orang tua yang kurang mampu yang sejak usia masih kecil turut membantu di sawah atau di ladang sesuai kemampuan mereka. Orang-orang yang lebih tua tidak banyak mencampuri kegiatan anak kecil, setidaknya sampai datang masa pendidikan. Semua kesan pada periode ini dia dapatkan dari hutan atau perbukitan, berguru langsung kepada alam. Hal-hal seperti inilah yang juga dialami oleh  Muhammad kecil; tapi hal-hal yang berpengaruh khusus untuk kehidupannya nanti tidaklah terjadi pada periode ini.

Pada usia sebelas atau dua belas tahun, dan terkadang lebih awal, seorang kanak-kanak Melayu mulai menjalani situasi yang akan membawa perubahan berarti baginya. Untuk pertama kali dia belajar di surau. Muhammad pada usia yang masih kecil juga belajar di salah satu ‘sekolah’ yang ada di Silungkang, tapi seperti kebanyakan anak-anak dari orang tua yang berada, dia pun sudah meninggalkan kampung halamannya pada usia yang masih sangat muda untuk bertualang dari surau ke surau. Alasan-alasan mengapa hal ini dijalani oleh banyak pemuda pribumi sudah dibicarakan dalam kesempatan lain, dalam artikel “Het Maleische Gezin, en het Erfrecht” [Keluarga Melayu dan Hukum Waris]. Ilmu yang didapat Muhammad dengan petualangan itu, menurut pengakuannya sendiri, masih sedikit, tapi untuk pembentukan karakter dan pandangan hidupnya masa tinggal di surau-surau yang berbeda dengan segala macam karakter yang ditemuinya itu berpengaruh sangat besar. Sungguh keliru orang yang berpendapat bahwa cara mengajar di “sekolah-sekolah“ di sini, seperti di banyak tempat di mana penduduknya menganut Islam, tanpa kecuali akan mematikan gairah keilmuan. Saya mengenal seorang pemuda Melayu yang berasal dari Pamuatan di laras Padang Sibusuk, yang begitu bertekun dalam mendalami ilmu kitab, sehingga dia tidak mau meninggalkan ‘sekolah’  di dekat Solok yang sudah didiaminya sejak beberapa tahun itu, walau dengan imbalan apa pun juga. Pernah dia kembali ke kampung halamannya untuk menikah menuruti desakan keluarganya (untuk orang Timur adalah cela untuk tetap membujang ketika telah tiba usia menikah), tapi beberapa hari kemudian dia kembali lagi ke surau. Padahal, istrinya itu masih muda dan cukup menarik. Sebagaimana yang saya amati di surau itu sendiri, satu-satunya alasan mengapa murid yang pendiam dan penyendiri itu begitu lekat kepada surau adalah perasaan religiusnya yang sangat kuat. Contoh ini bukanlah satu-satunya, ada banyak kejadian lain yang seperti dia. Dan tidak hanya pada kaum pria orang dapat mengamati spirit untuk ilmu pengetahuan. Saya ingat ada seorang wanita muda yang sudah lama terus meminta kepada suaminya yang sudah tua untuk mengajarinya Alquran, suaminya ini akhirnya setuju demi kebahagiaan pernikahan mereka.

Mungkin saja di usia yang masih muda percikan api yang suci itu sudah bergelora di dada Muhammad. Sulit dijelaskan dengan cara lain mengapa dia dengan inisiatif sendiri menghabiskan waktu bertahun-tahun berturut-turut di berbagai surau, dan hanya beberapa kali meninggalkannya untuk menjalani ibadah puasa bersama sukunya atau untuk mengambil bekal yang sudah habis, sesuatu yang biasa dialami kebanyakan fakir: koerang doeit. Karena dia bukan dari kalangan keluarga ulama, pendidikan agama yang intensif sebenarnya bukanlah tuntutan baginya.

Kaum ulama di tengah masyarakat Melayu pada pokoknya terbagi dua golongan. Yang pertama adalah kaum ulama fungsionaris yang mengurus hal-hal yang berkenaan dengan ritual-ritual keagamaan. Karena mereka adalah bagian dari organisme nagari, jabatan yang mereka pegang diwariskan secara adat. Mereka lah yang dikenal dengan sebutan imam, khatib dan bilal. Fungsi dari masing-masing mereka itu cukup popular. Imam adalah apa yang kaum pribumi sebut kepala sembahyang. Khatib bertugas membacakan katobah (di sini orang tidak menyebutnya dengan kotbah) pada salat Jumat, dan bilal, yang sesungguhnya tidak begitu tepat disebut sebagai ulama fungsionaris, menyeru kaum beriman ketika datang tiap-tiap waktu sembahyang. {Adapun orang Siak bukanlah ulama, sebagaimana yang secara keliru disangkakan dalam data-data ofisial. Dia biasanya merupakan seorang yang kurang mampu, yang oleh pandita (malim) ditunjuk untuk mengurus mesjid dengan upah yang tidak besar}. Kegiatan-kegiatan yang secara turun temurun musti dilakukan oleh fungsionaris keagamaan itu terbatas pada hal-hal itu saja, sementara untuk hal-hal lain mereka tidak begitu dituntut. Sebagai misal, kehadiran mereka tidaklah harus pada saat pernikahan atau kematian, tapi keharusan itu hanya dibebankan kepada pandita nagari atau malim. Menurut adat, mereka tidak ikut dalam pemerintahan nagari, sehingga tidak boleh turut dalam pertemuan para penghulu. Mereka juga tidak secara khusus dibebankan untuk menyelenggarakan pendidikan keagamaan, meskipun sebagian ada juga yang melakukannya dengan keinginan sendiri. Untuk mencukupi nafkah sehari-hari, pekerjaan mereka sama saja seperti anggota-anggota masyarakat lainnya, sebab sedekah dan pitrah yang kebanyakan mereka terima biasanya tak menentu, tergantung kepada personalitas yang mereka miliki.

Golongan ulama kedua adalah kebanyakan mereka yang mengabdikan diri untuk pengetahuan agama, tapi tidak dibebankan dengan fungsi keagamaan seperti di atas. Sebagian mereka, seperti layaknya kaum agama, mengepalai ‘sekolah’ dan dihormati secara kekanak-kanakan oleh penduduk karena kesalehan dan pengetahuan mereka. Jika penduduk menganggapnya benar-benar ahli dalam ilmu agama, maka dia akan dipanggil dengan sebutan “Tuanku”; bila yang dipanggil Tuanku itu sudah tua usianya, maka ditambahkanlah titel “Alim” di belakangnya. Apabila mereka sudah pakar dalam hukum-hukum agama dan punya banyak murid, maka dia disebut “Tuanku Ulema” [Tuanku Ulama], dan sebagai ungkapan penghormatan tertinggi berlakulah gelar: “Tuanku Syekh”. Umumnya di daerah Bovenlanden [Padang Darat] (bukan di Benedenlanden [pesisir] ) gelar Tuanku hanyalah gelar kaum agama, tapi dengan keliru diberikan oleh pemerintah kita kepada sebagian kepala pribumi.

Karena surau merupakan khusus sekolah agama, orang bisa menyebut semua golongan murid yang belajar di surau itu sebagai kaum agama (de geestelijken). Yang pertama adalah para fakir, murid petualang, yang bukan merupakan penduduk nagari di mana surau itu berada. Sebagian mereka telah memperoleh tingkat ilmu tertentu dan bahkan telah memimpin surau-surau yang lebih kecil. Golongan lain adalah garim, yakni murid-murid surau pada usia menikah, dan terakhir: anak murid, merupakan murid-murid yang usianya lebih muda. Menurut tingkat pengetahuan yang telah mereka capai ada juga yang disebut pakih (jangan dikelirukan dengan fakir tadi), yakni mereka yang sedang belajar kitab Pakihi;[7] selain itu ada juga labei [labai], yang sudah meningkat ke pelajaran kitab Tafsir, dan semacamnya.  Saya tidak perlu minta maaf untuk detail yang kering ini, sebab bahkan di Sumatra sendiri tak semua orang mengetahuinya.

Adapun Haji Muhammad, dia tegolong kepada golongan kaum ulama kedua, atau—jika saya boleh menggunakan ungkapan ini—kepada golongan ulama yang tidak berjabatan (niet-geordineerde). Kelahirannya tidaklah menjadi penentu baginya untuk masuk dalam golongan ulama, tapi—jika semua kata-katanya dapat dipercaya—adalah dorongan batin semenjak kecil yang membawanya ke sana. Cerita-cerita penuh nuansa mereka yang pergi haji dan sangat terpandangnya posisi ulama boleh jadi juga jadi pendorong baginya dalam menentukan pilihan untuk turut melakukan ziarah ke tanah suci—meskipun banyak halangan yang menyertai—setelah menghabiskan banyak waktu secara tekun dalam studi kitab-kitab yang tidak selamanya menggoda. Bukanlah hal ringan bagi seorang penduduk dataran tinggi untuk menempuh laut menuju suatu tempat yang belum dikenal. Tak hanya biaya dari perjalanan yang panjang itu—yang sebagian karenanya tak pernah pulang, tapi ada suatu alasan yang lebih kuat mengapa banyak dari mereka tak mau pergi haji. Bagi seorang Melayu yang tinggal di pedalaman, tanah airnya hanyalah dilingkungi batas-batas kota. Di luar itu dipandangya sebagai kawasan yang asing dan lebih kurang memusuhi, dan meskipun memiliki adat, bahasa dan berbagai kepentingan yang sama, ikatan persahabatan antara penghuni-penghuni kampung-kampung yang berbeda cukup jarang. Memang sering terdengar bahwa seseorang melakukan perjalanan ke nagari lain untuk melakukan pembalasan; tapi atas dasar kecenderungan pribadi, ikatan persahabatan antar nagari hampir tak terpikirkan. Maka karena itulah terjadi saling prasangka dan curiga serta sikap permusuhan antar nagari. Pikiran yang sempit seperti itu bagi kita sulit untuk dijelaskan; tapi jika kita perhatikan situasi politis Minangkabau di zaman dulu, pertengkaran-pertengkaran yang senantiasa memecah belah antar nagari, seringnya terjadi saling perampasan, ketidak-amanan dan banyaknya federasi-federasi yang muncul karenanya; jika dipikir-pikir, memang pemerintahan kita menjaga keamanan umum dan memajukan sarana transportasi, tapi gagasan dan cara pandang rakyat yang masih lama, simpati dan antipati yang sudah berurat akar sejak dulunya, khususnya di tengah bangsa Timur, semuanya tak begitu mudah dihilangkan dan mungkin butuh waktu berabad-abad untuk itu, tapi bahkan ketika hal absurd dilakukan kaum yang kurang beradab musti terjadi di depan mata, perselisihan yang selalu terjadi antar nagari lebih mudah dijelaskan setelah menimbang hal-hal ini semua. Di antara bermacam bentuk dan keadaan yang musti dilewati dalam proses perkembangannya, nagari adalah suatu bentuk tertinggi (di luar federasi-federasi yang masih dalam tahap pembentukan) yang masyarakat Melayu secara mandiri telah capai sampai sekarang. Kebanyakan kampung, yang sebagian besar masih berdiri terisolir, sebagian masih setengah-setengah bersatu, dan setengahnya bercerai lagi, secara tak sengaja membawa kita kepada gambaran bahan-bahan kristalin, di mana proses kristalisasi tiba-tiba terhalang.

Jika seorang penduduk dataran tinggi pergi dengan agak enggan—setidaknya jika ini terjadi dengan keinginan sendiri—ke kota tetangga (pada penduduk pesisir kita menemui fenomena yang sebaliknya; mereka benar-benar dapat disebut sebagai orang Melayu), betapa banyak perjuangan dan biaya yang harus ditanggungnya untuk menuju suatu tempat yang belum dikenal sama sekali, jauh dari kenalan, teman dan suku. Pada Muhammad juga ada pertimbangan itu, tapi perintah Nabi dan barangkali hasrat untuk jadi orang terhormat serta khususnya bayangan akan memperoleh keuntungan material setelah nanti pulang kampung menjadi pertimbangan-pertimbangan yang lebih menguatkan. Aspirasi-aspirasi yang lebih tinggi jarang terdapat bahkan pada kelompok penduduk yang paling beradab di sini, sehingga orang-orang sulit menerima jika motif yang tak begitu mulia juga bisa jadi penjelasan. Timur ataupun Barat, di mana pun argumen Bartholo memang paling tak dapat dibantah, paling cepat diterima untuk menjelaskan perbuatan-perbuatan manusia. Kepentingan-kepentingan material, saya percaya, adalah motif lebih kuat pada Haji Muhammad dibanding keinginan untuk melihat Kabah yang suci dengan mata sendiri, untuk berlutut di sana dan, seperti kata Nabi,  tinggal di tempat yang diawasi oleh malaikat di langit, dengan doa yang menderas di bibir dari hati peziarah yang lelah, sembari telapak tangan mengembang tinggi, ke arah di mana  gerbang-gerbang langit yang lebih atas terbuka, dari mana doa itu terus ke atas dan ke atas, dari langit satu ke langit berikutnya dibawa oleh para malaikat ke singgasana Allah.

Saya juga akan menceritakan tentang kehidupan Haji Muhammad di Mekkah. Tentang ibadah haji sendiri sudah dilukiskan secara detail oleh seorang sarjana yang sekarang telah meninggal, Salomon Keyzer, sehingga cukuplah rasanya jika saya sarankan untuk merujuk ke tulisan beliau. Saya memang tidak begitu tahu tentang lika-liku nasib Haji Muhammad secara khusus sehingga apa yang cukup berharga untuk disebutkan saja akan diungkap di sini. Apa yang berkesan dalam ingatan seorang pribumi dalam kehidupan pribadinya tidaklah menjadi perhatian kita. Menurut sudut pandang kita, hal-hal itu kebanyakan hal-hal remeh yang hanya diberikan kilau dan warna oleh prisma imajinasi kekanak-kanakan. Perkara-perkara yang jadi perhatian kita tidaklah menarik perhatian seorang pribumi. Tiap orang tentu punya mainan favoritnya sendiri. Cuma secara sepintas saya diberi tahu bahwa dia, sesuai kebiasaan lama, ditemani oleh anggota-anggota sukunya hingga ke perbatasan kota, kemudian bersama dua puluhan orang senasib menempuh perjalanan ke Pariaman, untuk dari sana berlayar ke Pulau Pinang, seperti halnya kebanyakan peziarah haji dari dataran tinggi. Sebuah kapal Arab, dengan mana dia bersama ratusan penumpang lainnya menanggung lapar, haus dan aneka macam derita, membawanya dari sana menuju Jeddah dalam beberapa bulan. Syekh Achmat, anak seorang Melayu asal Lintau di Bua, mengiringinya dengan bayaran biasa (seringgit untuk tiap yang menggunakan jasa karavan) menuju Mekah lebih kurang selama dua malam perjalanan. Ditolong oleh Syekh yang sama, yang sejak kecil sudah tinggal di sana, Muhammad segera memperoleh tempat kos yang secara khusus diperuntukkan bagi suku bangsanya. Di sinilah mulainya kehidupan aktif yang dijalaninya cukup lama di Mekkah. Di siang hari dia membuat kerajinan untuk menafkahi hidupnya, sementara malamnya dia mengunjungi mesjid, di mana pendidikan agama diberikan kepada orang-orang Melayu. Dan meskipun suku bangsa ini tidak begitu terpandang bagi orang-orang Arab, yang dengan mengejek menyebut pulau Sumatra sebagai tanah kerbau, Muhammad tahan juga tinggal selama sepuluh tahun di Tanah Suci itu. Hatinya yang sudah lama dirundung rindu mengajaknya kembali ke tengah sukunya. Setelah tinggal sebentar di Malaka, di mana dia mengajar seorang anak Raja, akhirnya dia melihat kembali pantai Barat Sumatra. Dan di malam di mana lembah Silungkang lebih indah dari biasanya, akhirnya sebagai haji yang telah sepuluh tahun menghirup udara padang pasir yang panas, dengan pakaian haji yang indah dan dikerumuni oleh sanak famili dan kenalan, Muhammad melihat kembali lembah yang ramah dan juga kota, yang telah ditinggalnya semenjak muda.

“Kambing juga berjanggut,” kata orang Melayu, yang dengan gaya menyindir yang khas, memaksudkan dengan kata-kata itu bahwa lambang seorang ulama, yang bagi banyak orang tak lebih dari beberapa helai janggut yang panjang, meskipun tampak megah, bukanlah tanda sejati dari keunggulannya. Ya memang sorban, jubah dan sadariah adalah pakaian yang menunjukkan status yang berbeda, tapi kata-kata dan perbuatan mustilah selaras dengan pakaian Arab itu jika seorang yang telah haji ingin jadi terpandang karena ziarah hajinya itu. Mayoritas haji, jika orang percaya pada kata-kata mereka beberapa hari setelah kembali, suka sekali menjadi orang bijak dadakan. Namun, kebanyakan akhirnya balik lagi kepada keadaan mereka semula yang tidak begitu penting. Haji Muhammad pastilah juga merasakan pasang surut pandangan baik orang-orang kampung terhadapnya. Akan tetapi, kesadaran akan kelebihannya, dorongan untuk mendakwahkan ajaran Hanafi yang murni, sedikit kebanggaan spiritual dan bayangan akan kehidupan yang masyhur dan terhormat di masa depan, menjadi pengikat kuat yang memberinya kekuatan untuk menghimpun seluruh kekuatan yang dimilikinya. Dari sini mulailah dia menjadi perhatian kita. Kehidupannya, yang awalnya hanya menunjukkan bentuk dan warna yang indah, akhirnya berbuah nyata. Setelah memandang secara general tentang masa mudanya, kita sekarang akan menyoroti karya-karya dan perjuangannya. (*)

(Bersambung ke bagian II)

Ilustrasi oleh Amalia Putri

Catatan Kaki:

[1] Silungkang di pinggir sungai Lasi terletak di bagian barat district [setara kecamatan] VII Kota, dekat perbatasan dengan afdeeling [setara kabupaten] Solok. Tempat ini beberapa kali disebut dalam Oendang-Oendang dan sekarang [di masa penulis] juga terkenal dengan produk pakaian indah dari sutra, yang disulam dengan benang, dan ditenun oleh kaum hawa di sana.

[2] Kalintung adalah genta kecil yang diikatkan ke leher kerbau; di siang hari ternak-ternak merumput di perbukitan, dan malamnya kembali ke kandang.

[3] Surau adalah nama ‘sekolah’ pribumi, yang di Jawa dikenal dengan nama pesantren.

[4] [Catatan penerjemah: ‘sekolah’ di sini maksudnya lembaga pendidikan pribumi, yakni surau dalam konteks Sumatera Barat. Adapun sekolah pribumi tipe lain adalah sekolah yang keberadaannya merupakan inisiatif dari pemerintah Belanda, yang meng-khususkan diri dalam ilmu-ilmu non agama].

[5] Anou [anau] adalah nama pohon, yang di Jawa disebut areng, yang sifatnya yang somber (tenang) dilukiskan dengan sangat baik oleh Reinwardt.

[6] [Catatan penerjemah: kota di sini maksudnya koto dalam bahasa Minangkabau, yakni kawasan pemukiman dalam suatu nagari].

[7] [Catatan penerjemah: Kitab Pakihi adalah nama lain dari Minhaj at-Talibin karya Nawawi, sebuah kitab fiqih mazhab Syafi’i yang juga digunakan di Mekkah dan Jawa pada periode yang sama, berdasarkan keterangan dari Snouck Hurgronje dalam Een en ander over het Inlandsch Onderwijs in de Padangsche Bovenlanden, halaman 41-2].

About author

Penerjemah bernama lengkap Novelia Musda, SS, MA. Lahir di Rengat, Riau, tanggal 8 November 1982. Kampung Ibu di Sumanik, Tanah Datar, dan bersuku Koto Piliang, dan bako di nagari Kolok, Kota Sawahlunto. Pendidikan S1 dilakukan di IAIN Imam Bonjol Padang 2000-2005, masuk dua tahun pertama sebagai mahasiswa jurusan Perbandingan Agama, Fak. Ushuluddin dan keluar sebagai alumni jurusan Sastra Arab, Fakultas Adab. Untuk S2 dijalani 2008-2010 di jurusan Islamic Studies, Universiteit Leiden. Sejak 2011 bekerja sebagai PNS yang baik di Kementerian Agama, sekarang di Bidang Pendidikan Madrasah Kanwil Kemenag Sumbar. Minat akademis dulunya waktu kuliah filsafat eksistensialisme khususnya Nietzsche. Tapi sekarang sudah tak punya banyak waktu lagi untuk pusing memikirkan apa yang ada di antara ada dan tiada, dan lebih banyak membaca hal-hal praktis seperti sejarah serta mistisisme Islam dan Hindu serta belajar menerjemah khususnya dari karangan-karangan penulis Belanda tentang Minangkabau abad lampau dan tetap terus belajar bahasa asing sebagai cara efektif untuk menghibur sekaligus menyusahkan diri sendiri.
Related posts
Artikel Terjemahan

Kesadaran Politik Kaum Tani di Sumatera Barat: Analisis Ulang Atas Pemberontakan Komunis 1926 (Bagian II)

Artikel Terjemahan

Kesadaran Politik Kaum Tani di Sumatera Barat: Analisis Ulang Atas Pemberontakan Komunis 1927 (Bagian I)

Artikel Terjemahan

Menimbang Pemberontakan PRRI Sebagai Gerakan Kaum Tani Sumatera Barat

Artikel Terjemahan

Satu Abad Paulo Freire

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *