Jalannya Pemberontakan (Sambungan dari Bagian I)
Salah satu insiden terpenting yang mempengaruhi jalannya pemberontakan tahun 1927 adalah pertemuan yang dipimpin Tan Malaka di Singapura pada pertengahan September 1926. Ketika ia dan rekan-rekannya memutuskan secara resmi untuk menolak seruan Partai Komunis Indonesia di Jawa untuk melakukan pemberontakan bersenjata.[1]Sadar pada saat itu bahwa rencana pemberontakan akan tetap berjalan meskipun ditentangnya, Tan Malaka mengirim perintah kepada pengikutnya di Sumatera Barat agar mereka meninggalkan daerah itu. Ia mengantisipasi bahwaBelanda akan bergerak untuk menekan gerakan komunis secara keseluruhan. Menanggapi perintah tersebut, banyakanggota komunis dan anggota radikal lainnya, terutama dari Padangpanjang dan sekitarnya melarikan diri ke bagian lain Sumatera dan melintasi Selat Malaka.[2] Anggota partai komunis yang tersisa terpecah antara kesetiaan mereka kepada organisasi komunis di Jawa yang menyerukan pemberontakan dan perintah yang bertentangan yang mereka terima dari Tan Malaka. Isu ini memisahkan bagian partai komunis di Padang yang memiliki hubungan dekat dengan partai yang berbasis di Jawa dengan bagian di Padangpanjang yang lebih kuat dipengaruhi oleh Tan Malaka dan para pengikutnya.
Sepanjang tahun 1926 ketegangan meningkat di Sumatera Barat dan aksi-aksi teroris terjadi secara sporadis.[3]Pada bulan April terjadi pembunuhan di Lubuk Basung dan Maninjau. Pada bulan Agustus, kepala daerah Sicincinterbunuh[4] dan pada bulan September seorang pemuka adat dibunuh di Kamang dan seorang kepala desa ditembak di daerah Solok.[5] Respon pihak berwenang Belanda adalah dengan mempercepat penangkapan terhadap para pemimpin Komunis yang dicurigai. Kepala komunis Padang, Sutan Said Ali, ditahan saat mengunjungi Medan pada bulan Mei dan pada tanggal 13 Oktober Belanda menangkap pemimpin Silungkang, Sulaiman Labai, dan tangan kanannya, Dt. Bagindo Ratu.[6]
Ketua baru partai komunis cabang Padangpanjang adalah Arif Fadlillah yang menjabat pada Juli 1926 setelah dua ketua sebelumnya bergabung dengan Tan Malaka di Singapura.[7] Fadlillah menghadiri konferensi Tan Malaka pertengahan September di sana dan setelah kembali ke Padangpanjang memimpin oposisi untuk tidak melakukan pemberontakan di Sumatera Barat. Komite Sentral Komunis di Jawa telah mengirim utusan, Baharuddin Saleh, ke Sumatera Barat pada awal Oktober untuk menyebarkan rencana baru mereka dan dia mendapati bahwa meskipun para pemimpin di Padangpanjang enggan memberontak, tetapi cabang-cabang partai di Padang dan Silungkang bersedia untuk melakukan pemberontakan. Namun situasi ini berubah ketika Sulaiman Labai ditangkap di Silungkang. Setelah penangkapan itu sebagian besar penerusnya yang tidak berpengalaman enggan untuk pindah haluan tanpa sepengetahuan Fadlillah di Padangpanjang. Karena penolakan Fadlillah yang terus-menerus terhadap pemberontakan, para pemimpin partai di Silungkang memutuskan untuk menunggu hasil dari peristiwa di Jawa sebelum melakukan tindakan independen.[8] Meskipun begitu, bagian partai komunis di Padang, masih berkeinginan kuat untuk melanjutkan pemberontakan. Ketika cabang tersebut direorganisasi pada 20 Oktober 1926, salah satu aktivis terkemuka di Sumatera Barat, Muhammad Nur Ibrahim, mengambil alih kepemimpinannya.[9] Namun, persiapan berubah menjadi kekacauan ketika pada tanggal 14 November dia ditangkap. Pada saat yang sama, Belanda menyitabuku catatan yang berisi rencana pemberontakan Nur Ibrahim, dan karena ini pemerintah berhasil menangkap sekitar dua puluh orang aktivis komunis penting lainnya.[10]
Pemberontakan akhirnya pecah di Batavia dan Banten pada tanggal 12 November. Para komunis Sumatera Barat mengetahui dari surat kabar bahwa Belanda dengan cepat menumpas para pemberontak di Batavia, tetapipertempuran itu terus berlanjut di Banten. Pada saat itu mereka juga menyadari bahwa sebagian besar pemimpin mereka telah ditangkap atau melarikan diri dari wilayah tersebut. Namun, dalam sebuah pertemuan di Silungkang pada tanggal 20 Desember, mereka dengan ragu-ragu memutuskan untuk melanjutkan pemberontakan. Sebagian karena ancaman dari salah satu peserta, Kamaruddin gelar Manggulung, yang digambarkan oleh Belanda sebagai “penjudi paling terkenal di Silungkang”[11] dan oleh catatan-catatan orang Indonesia sebagai “pemuda yang patriotik,”[12] yang mendominasi pertemuan, menembakkan pistol dan menyatakan bahwa itu adalah tugas anggota untuk bertindak. Meski sedikit yang berharap bahwa pemberontakan ini akan berhasil di Sumatera Barat, pertemuan itu memutuskan bahwa “ada kemungkinan bahwa jika para anggota (di Silungkang) bertindak, maka mereka yang ada di cabang lain akan mengikuti dan bergabung dengan pemberontakan” karena cabang Silungkang adalah cabang komunis yang paling besar.[13] Para peserta yang berkeberatan akan pemberontakan sedikit terhibur dengan kenyataan bahwa dua tentara Indonesia dari garnisun Belanda di Sawahlunto adalah bagian dari kelompok mereka.[14] Kedua tentara tersebut meyakinkan pertemuan itu bahwa setidaknya dua puluh rekan prajurit Indonesia di garnisun akan berada di pihak mereka ketika revolusi pecah.[15]
Dalam keadaan yang masih ragu, pihak Silungkang melakukan upaya terakhir untuk mendapatkan persetujuan dariArif Fadlillah di Padangpanjang. Namun utusan yang mereka kirim melarikan diri ke luar negeri ketika mengetahui bahwa Belanda telah menangkap Fadlillah pada tanggal 28 Desember, alih-alih memberi tahu rekan-rekannya di Silungkang.[16]
Pertemuan Silungkang telah menyusun rencana untuk menetapkan kota Sawahlunto sebagai pusat utamapemberontakan dan pada tengah malam tanggal 1 Januari 1927 sebagai waktu eksekusinya. Salah satu kontingen pemberontak akan mengebom kantor polisi kota dan ruang dansa di mana para pemimpin pemerintah dan pejabat Belanda di tambang Ombilin akan merayakan tahun baru. Pada saat yang sama, simpatisan militer pemberontak akan merebut garnisun dan penjara Sawahlunto, membebaskan semua tahanan politik dan menangkap pejabat Belanda. Pada saat yang sama mereka akan bergabung dengan kelompok-kelompok yang berkumpul dari desa-desa sekitarnya, yangkemudian akan dipersenjatai dengan senjata yang disita dari garnisun. Keesokan paginya akan diadakan demonstrasibesar-besaran di Sawahlunto, dihadiri oleh para pekerja tambang dan seluruh penduduk setempat untuk menuntut kemerdekaan dari Belanda. Sementara itu, pemberontak yang tersisa di Silungkang akan bergerak melawan pejabat lokal pemerintah Belanda dan merampas senjata mereka. Aksi gabungan ini diharapkan dapat memicu pemberontakan kaum komunis di bagian lain Sumatera, dan akhirnya mengobarkan kembali pemberontakan di Jawa.[17]
Rencana itu gagal sebelum dilaksanakan. Banyak pemberontak yang ragu-ragu, masih menunggu kabar dari Arif Fadlillah di Padangpanjang dan tidak menyadari bahwa dia sekarang berada di penjara. Tetapi yang jauh lebih menghancurkan adalah kenyataan bahwa, tanpa mereka ketahui, Belanda telah bersiaga untuk sebagian dari rencana itu. Dua hari sebelumnya Belanda telah menangkap dua pendukung pemberontak dari garnisun Sawahlunto dan dua puluh rekan militer mereka. Aksi yang direncanakan untuk Sawahlunto itu tidak pernah terjadi. Pemberontakan pecah di sekitar delapan belas desa (nagari) di sekitar Silungkang.[18] Rombongan dari Silungkang dan beberapa desalainnya menuju Sawahlunto. Dalam perjalanan, kelompok pertama dari Silungkang berbaris melewati barak tentara Belanda di Muaro Kalaban, tampaknya tidak sadar bahwa para penjaga ketika melihat prosesi bersenjata seperti itu akan memberi tahu rekan-rekan mereka di Sawahlunto bahwa mereka akan diserang.[19]
Belanda kemudian tidak hanya mampu menekan pemberontak di Sawahlunto tetapi juga memadamkan serangan yang dilakukan oleh simpatisan pemberontak di dalam barak Muaro Kalaban sebelum dimulai. Sebagian besar kelompok pemberontak utama yang maju ke Sawahlunto melarikan diri dengan panik ketika mereka menyadari bahwa rencana mereka berantakan dan beberapa dari mereka ditangkap oleh Belanda lalu dibawa ke markas mereka di Sawahlunto. Pemimpin komplotan itu, Abdul Muluk Nasution, ditangkap dan ketika diseret ke kantor kecamatan di Sawahlunto ia dihadang oleh pejabat tertinggi adat di sana, Roesad Dt. Perpatih Baringek yang mengacungkan pedang terhunus danmenginterogasi Abdul Muluk dengan pukulan dan tendangan. (Ironisnya, Dt. Perpatih Baringek adalah kakak daripemimpin pemberontakan Komunis di Batavia, Dahlan, yang telah ditangkap di sana dan kemudian diasingkan ke kamp interniran baru di Digul di Irian Barat di mana dia meninggal saat mencoba melarikan diri).[20]
Tidak sadar akan hal yang terjadi pada rombongan utama, dua kelompok yang lebih kecil dari desa-desa sekitarnya berkumpul di Silungkang, mengendarai mobil dan bus, mengibarkan bendera merah. Mereka disambut oleh tembakan dan kemudian ditahan.[21] Di dekat jembatan kereta api di Padang Sibusuk, pasukan pemberontak yang terdiri dari sekitar enam puluh hingga tujuh puluh orang dipimpin oleh “Jenderal” Abdul Munap, menyerang salah satukonvoi jalan yang membawa bala bantuan dari Fort de Kock (Bukittinggi) dan membunuh seorang komandan Belanda.[22]
Aksi paling berdarah terjadi di Silungkang sendiri. Di sana, penangkapan Suleiman Labai dan para pemimpin seniorlainnya telah membuat kekuatan radikal berada di bawah kendali orang- orang muda yang tidak berpengalaman dansekumpulan bajingan serta bandit yang beraneka ragam. Pemberontak membunuh mandor Belanda dari departemen pekerjaan umum, Mr. Leurs, dan merebut senjata dari gudangnya.[23] Balas dendam pribadi terjadi ketika kepala desa Silungkang dibunuh oleh keponakannya sendiri. Pemberontak juga mengeksekusi beberapa guru sekolah, pejabat rendah dari dinas pertanian, dua atau tiga tukang emas dan seorang pegawai kereta api. Totalnya sekitar dua puluh empat orang.[24]
Pertempuran dan pembunuhan yang tersebar terus berlanjut selama berhari-hari dan di beberapa tempat selama berminggu-minggu. Di daerah pesisir sekitar Padang dan Pariaman serta di Agam dan dataran tinggi lainnya, kepala desa masih menjadi sasaran utama pembunuhan.[25] Belanda merespons hal ini dengan bermacam tindakan. Belanda membunuh setidaknya seratus orang pemberontak dan menangkap ribuan tersangka.[26] Dari total sekitar tiga ribu orang yang benar-benar ditangkap, beberapa ratus orang dibebaskan setelah interogasi awal. Tetapi pada Agustus 1927, Belanda melaporkan bahwa 1.363 orang komunis telah diadili atau sedang menunggu hukuman oleh pengadilan di Sawahlunto.[27]
Tiga pemimpin komunis dijatuhi hukuman mati, termasuk penjudi Silungkang, Kamaruddin Manggulung, dan ia digantung di penjara Durian di Sawahlunto.[28] Pengadilan berlanjut di pengadilan Sawahlunto sampai pertengahan tahun 1928. Mereka yang dihukum kurang dari dua tahun dipenjarakan di Sawahlunto dan yang lainnya dikirim ke penjara di Jawa,[29] atau diasingkan ke Boven Digul.[30]
Dampak utama dari pemberontakan ini adalah alasan yang lebih besar bagi Belanda untuk menindak tidak hanya anggota partai komunis, tetapi semua aktivitas politik di wilayah tersebut. Dan itu juga merupakan faktor awal dalam memisahkan Tan Malaka dari Partai Komunis Indonesia, yang menganggapnya bertanggung jawab atas kegagalan pemberontakan.
Kesimpulan
Seperti yang dapat dilihat dari sejarah ini, pemberontakan di Sumatera Barat pada awal tahun 1927, meskipun berdarah dan traumatis, tidak mencerminkan kekuatan atau karakter aliran utama yang menentang kekuasaan Belanda di wilayah tersebut pada dekade awal abad ke-20. Akumulasi peristiwa dari penangkapan Belanda sebelumnya terhadapsemua musuh utama mereka di tingkat lokal dan instruksi eksplisit Tan Malaka kepada para pengikutnya telahmenghancurkan koherensi di dalam pasukan anti-Belanda. Pada saat pemberontakan pecah, beberapa pemimpin oposisi terkemuka di daerah itu tetap bebas dan aktif.
Pengaruh Tan Malaka dalam melawan pemberontakan terlihat paling jelas di Padangpanjang. Di mana hampir semua pemimpin politik radikal yang mengikutinya dalam menentang pemberontakan sebagian besar telah melarikandiri dari wilayah itu selama tahun 1926. Hanya beberapa yang tersisa ditangkap oleh Belanda sebelum pemberontakan akhirnya pecah. Kekosongan kepemimpinan diperparah oleh kenyataan bahwa sebagian besar wilayah Padangpanjang luluh lantak oleh letusan besar Gunung Merapi pada bulan Juni 1926. Akibatnya, pusat dukungan komunis bergeser kePadang dan Silungkang. Karena sebagian besar pemimpin di Padang dan Silungkang yang lebih berpengalaman ditangkap, kepemimpinan diteruskan kepada aktivis tingkat bawah dengan pengalaman politik yang masih minim. Kebanyakan dari mereka disibukkan dengan penyelesaian masalah pribadi mereka.
Seperti yang telah kita lihat, perlawanan terhadap pemerintahan Belanda di sebagian besar wilayah Sumatera Barat sangat dalam dan luas. Perlawanan ini ada pada sebagian besar kelompok sosial, ekonomi, dan agama. Komunisme hanyalah kepingan tambahan dalam luas dan dalamnya perlawanan tersebut. Ia sangat berhasil ketika dianggap selaras dengan tatanan masyarakat tradisional di Sumatera Barat dan ajaran Islam, dan pada saat yang sama menjadi lawan tanpa kompromi pemerintahan Belanda. Kriteria ini (selaras dengan ajaran Islam dan adat Minangkabau) dianut oleh Tan Malaka dan kelompok-kelompok yang bersekutu dengannya dan sebagai pribumi setempat ia memiliki pengikut terbesar di daerah tersebut. Di sisi lain, kelompok-kelompok komunis yang lebih dekat dengan kepemimpinan Jawa menawarkan daya tari yang berbeda. Mereka sangat bergantung pada reputasi partai komunis yang dianggap sebagai organisasi politik paling modern di wilayah tersebut dan alat yang paling efektif untuk menggulingkan pemerintahan kolonial. Kekacauan dalam aksi revolusioner yang sebenarnya telah merusak reputasi tersebut. Setelah itu satu-satunya aliran komunis yang tetap berpengaruh di Sumatera Barat selama sisa periode kolonial adalah yang terkait dengan Tan Malaka, yang terus bekerja dengan kelompok sosialis dan agama lainnya menentang kekuasaan Belanda.
Belanda menunjuk sebuah komisi penyelidikan, yang dipimpin oleh Dr. B. Schrieke untuk menyelidiki sebab dan akibat pemberontakan di Sumatera Barat. Komisi tersebut mengkritik kebijakan-kebijakan Belanda dan menekankan pentingnya faktor internal perubahan sosial- ekonomi dalam memicu pemberontakan. Beberapa sarjana baru-baru ini telah mengkritik temuan komisi itu dengan alasan bahwa mereka mangabaikan beban berat pajak yang diwajibkan pada penduduk Sumatera Barat dan terlalu melebih-lebihkan tingkat perubahan sosial dan ekonomi. Sementara itu komisi tersebut mengabaikan dampak ekonomi dari pemindahtanganan lahan hutan oleh pemerintah Belanda di beberapa daerah pusat di mana pemberontakan pecah.[31]
Komisi tersebut setidaknya benar dalam menekankan pengaruh penting komunikasi modern yang memungkinkan para penentang Belanda mengoordinasikan kegiatan mereka. Jalur kereta api menjadi sarana yang menghubungkan beberapa daerah pemberontak. Meskipun buruh kereta api dan pekerja tambang termasuk di antara parapemberontak, tetapi hanya sedikit dari mereka yang menjadi pemimpin pemberontakan. Tetapi sebagian besar wilayah yang disebut sebagai tempat yang kondisi ekonomi dan sosialnya cocok untuk mendorong pertumbuhan komunisme ternyata bukanlah wilayah yang gerakan antikolonialnya paling kuat. Stereotip desa Minangkabau yang dilihat sebagai wilayah yang terganggu oleh kekuatan modernisasi, tidak sama dengan tempat-tempat terjadinya kerusuhan karena memiliki struktur sosial dan ekonomi yang sangat berbeda.[32]
Namun, kesalahan paling besar dalam laporan tersebut adalah upaya komisi untuk menggambarkan pemberontakan melawan pemerintahan kolonial sebagai penyimpangan dan tindakan para pemimpinnya yangdidorong oleh keinginan pribadi, meskipun ini mungkin terjadi pada beberapa orang aktivis di Silungkang yang akhirnya memberontak. Komisi tersebut menggambarkan para pemimpin utama yang telah memimpin perlawananterhadap pemerintahan kolonial sebagai agitator yang muncul dari “berbagai kelompok orang yang kecewa secarasosial.” Para pemimpin di Padang dan Padangpanjang—Sutan Said Ali dan Arif Fadlillah—direndahkan sebagai “orang-orang yang ingin menjadi penghulu tetapi gagal.” Sedangkan Sulaiman Labai, pemimpin gerakan antikolonialdi Silungkang, digolongkan sebagai orang yang “dikucilkan secara sosial” dan digambarkan hanya sebagai pria ambisius yang bisnis berasnya menderita karena pendirian koperasi kereta api.[33] Dalam menilai validitas laporan ini mungkin perlu mengacu pada sejarah Sulaiman Labai di kemudian hari yang digambarkan oleh Schrieke sebagai orang yang oportunistik dan ambisius. Sulaiman Labai sendiri meninggal pada 15 Agustus 1945 di penjara Ambarawa, Jawa, saat ia menjalani hukuman selama dua puluh tahun.[34] Dia meninggal dalam penjara karena menolak dibebaskan oleh Jepang dan memilih untuk melanjutkan hukumannya di bawah pendudukan Jepang sebab menganggap mereka tidak lebih baik daripada Belanda sebagai penjajah di Indonesia. (*)
*Versi sebelumnya dari artikel ini diberikan sebagai ceramah untuk Program Asia Tenggara di Cornell University pada tanggal 15 Februari 1996. Penelitian untuk artikel ini dilakukan pada tahun 1995 sebagai bagian dari proyek yang lebih besar tentang sejarah modern Sumatera Barat dibawah hibah dari Dewan Riset Ilmu Sosial (Social Science Reseacrh Council). Saya ingin mengucapkan terima kasih atas dukungan mereka.
**Artikel ini diterbitkan untuk pendidikan tidak untuk tujuan komersil. Diterjemahkan oleh Alif Maulana dari Audrey Kahin, The 1927 Communist Uprising: A Reappraisal, (Indonesia, vol 62, 1996).
Ilustrasi @teawithami
Catatan Kaki:
[1] Tan Malaka sampai di Singapore dari Manila pada bulan Juni tahun 1926. Ibid., hal. 155.
[2] Diantara mereka yang melarikan diri ke Singapura sebagai tanggapan atas instruksi Tan Malaka adalah Djamaluddin Ibrahim, M. YatimLatif dan Amir Khan, ketua International Scouting Organization (Internationale Padvinders, IPO); Rivai Junus, yang jugapemimpin IPO, dikirim oleh orang tuanya untuk belajar di Kairo; dua pemuda radikal lainnya, M. Yunus Kotjek dan Asaduddin Kimin, melarikan diri ke Aceh Barat, sedangkan Alibin, Kepala Sekolah Rakyat di Padangpanjang, bersembunyi di perkebunan Belanda di Deli. Djamaluddin Tamin setelah dibebaskan dari penjara telah pergi ke Singapura, dan Mahmud, penggantinya sebagai ketua Sarikat Rakyat di Padangpanjang mengikutinya ke sana pada pertengahan tahun 1926. Menurut Leon Salim, pemuda radikal dan murid Sekolah Rakyat lainnya, sedikitnya tiga puluh pemimpin komunis dan radikal lainnya kemudian melarikan diri ke Malaya atauSingapura. Dia sendiri mampu bersembunyi di Sumatera Barat dan menghindari Belanda karena pada saat itu dia baru berusiaempat belas tahun. Wawancara dengan Leon Salim, Jakarta 1985, Payakumbuh 1995 dan dengan H. Rivai Junus, Padang, 24 Juni 1976. M. Junus Kotjek & Leon Salim, “Pergerakan Pemuda di Minangkabau,” (naskah, 1962), hal. 2 – 3.
[3] Zed, “Pemberontakan Silungkang,” hal. 104. Dia juga menyebut pembunuhan pada bulan Mei di Bukit Batabuh, Biaro Gadang dan Gaduik.
[4] Anonim, “Militaire memorie van het patrouillegebied Padang” (1928), Memories van Overgave, KIT Collectie 786, ARA.
[5] Benda dan McVey, Communist Uprisings, hal. 11 dan 150.
[6] Ibid., hal. 159. Pada tanggal 23 Oktober, kepala Sarikat Rakyat di Sawahlunto, Haji Bahaudddin ditahan. Nasution, Pemberontakan Sarikat Rakyat, hal. 91.
[7] Dia menggantikan Djamaluddin Tamin dan Mahmud yang berada di Singapura. Dia awalnya dibantu oleh Djalaluddin Ibrahim sampai pada akhirnya ia juga meninggalkan Padangpanjang untuk menyusul rekan-rekannya di Singapura. Fadlillah aktif di Padangpanjang sejak 1923, sejak ia beberapa kali pernah dihukum oleh pemerintah kolonial karena tulisan-tulisannya yang terbit di Djago-Djago. Diadihukum 6 bulan penjara pada tahun 1924. Doenia Achirat, 26 November 1923, 27 Februari dan 10 Mei 1924.
[8] Benda dan McVey, Communist Uprisings, hal. 165 – 166.
[9] Dia adalah ketua eksekutif lokal Sarikat Rakyat Sumatera Barat antara September 1924 dan Februari 1925 dan juga dilaporkan aktifdalam memperoleh senjata dari Alimin dan Muso di Malaya. Ia menjadi buronan Belanda sejak November 1925. Ibid., hal. 104, 120 dan 150.
[10] Ibid.; Anonim, “Militaire memorie,” hal. 18 – 19
[11] Benda dan McVey, Communist Uprisings, hal. 176
[12] Said, Pemberontakan Silungkang, hal. 33.
[13] Nasution, Pemberontakan Sarikat Rakyat, hal. 94 – 95. Meskipun garis besar tulisan ini sama dengan yang dituliskan dalam laporan Belanda, tulisan ini secara khusus berfokus pada Silungkang dan tidak memperhitungkan kegiatan komunis di bagian lain Sumatera Barat.
[14] Menurut Nasution, mereka adalah Pontoh dan Rumuat, yang oleh penyelidik pemberontakan digambarkan sebagai kopral yangtelah dikeluarkan dari tentara karena kecenderungan terhadap komunis pada tanggal 3 Juli 1926, dan sejak itu telah melakukan propaganda komunis di antara polisi. Benda dan McVey, Communist Uprisings, hal. 161.
[15] Nasution, Pemberontakan Sarikat Rakyat, hal. 96. Garnisun itu terdiri dari 31 orang, 27 diantaranya adalah orang Indonesia. Menurut Pontoh, 27 orang tersebut adalah anggota Sarikat Rakyat. Ibid., hal. 98.
[16] Benda dan McVey, Communist Uprisings, hal. 171. Alimin (Limin) yang diutus sebagai utusan berbeda dengan pemimpin utama Partai Komunis, Alimin Prawirodirdjo, yang ditangkap bersama Muso di Johor oleh pemerintah di sana pada 18 Desember. Sejak Mei 1926 Limin adalah kontak utama antara Arif Fadlillah di Padang Panjang dan cabang Silungkang. Ibid., hal. 121.
[17] Nasution, Pemberontakan Sarikat Rakyat, hal. 98 – 99.
[18] Termasuk Nagari Silungkang: Siaro-aro, Air Luo, Sepajang, Sijantang, Tarung-tarung, Padang Sibusuk, Pemuatan, Kampung Baru/Batu Menjulur Sehat, Kabun, Sijunjung, Sungai Batung, Sariek Laweh/Lubuk Torok, Tanjung Balik/Sangiso, Padang Laweh,Pianggu, Tak Boncah, and Tanjung Ampolu. Said, Pemberontakan Silungkang, hal. 25. Lihat juga, “Overzicht der CommunistischeOnlusten op java en ter Sumatra’s Westkust sedert Nov. 1926,” Bagian 2: “Overzicht der onlusten welke ter Sumatra’s Westkust zijn voorgevallen,” hal. 9 – 12, Mei 1927. Indisch Archief (IA70) ARA.
[19] Abdul Muluk Nasution pemimpin dari rombongan ini. Lihat Nasution, Pemberontakan Sarikat Rakyat, hal. 100 –101. Lihat juga “Overzicht der onlusten,” hal. 9. Menurut laporan ini, para pimpinan pemberontak diberitahu bahwa penjaga di Muaro Kalaban pergi memancing.
[20] Wawancara dengan Leon Salim, 4 September 1995. Rasjid – 70 (Jakarta: Panitia Peringatan Ulang Tahun Mr. Rasjid Ke-70), hal. 8. Tentang Dahlan, lihat juga McVey, Rise of Indonesian Communism, hal. 340 – 342.
[21] “Overzicht der onlusten,” hal. 10.
[22] Komandan yang dimaksud adalah Letnan W. F. H. L Simons, yang terbunuh akibat tembakan peluru di jantungnya. Telegram dari Padang bertanggal 3 Januari 1927 yang ditandatangani oleh residen Arends, Mr. 24x/27 dan “Relaas van het voorgevallene in den nacht van 2 op 3 Januarie 1927,” yang ditandantangani oleh Duboureg pada tanggal 7 Januari 1927, Mr. 197/27. Lihat juga Said, Pemberontakan Silungkang, hal. 27, yang menyatakan bahwa Munap meninggal saat pergi membantu pemberontakan di Silungkang. Menurut Abdul Muluk Nasution, yang memiliki hubungan keluarga dengannya, Abdul Munap adalah seorang guru pada sekolah pemerintah di Tanjung Ampalu dan merupakan anggota Sarikat Rakyat. Nasution, Pemberontakan Sarikat Rakyat, hal. 115 – 116.
[23] Interogasi terhadap tersangka pembunuhan Mr. Leurs ada di “Pemeriksaan Landraad Sawahloento terhadap beberapa orang pesakitan,” direproduksi dalam Zed, “Pemberontakan Silungkang,” hal. 171 – 186.
[24] Untuk daftar orang-orang yang terbunuh, lihat Benda dan McVey, Communist Uprisings, hal. 172 – 173. Menurut pihak Belanda,orang-orang yang dibunuh adalah yang dituduh sebagai antek-antek Belanda atau dibunuh karena balas dendam pribadi. Lihat juga Zed, “Pemberontakan Silungkang,” hal. 136 – 142. Abdul Muluk Nasution menggambarkan orang-orang yang dibunuh sebagai “orang sana.”
[25] Lihat contohnya pada telegram dari Padang bertanggal 3 Januari (nomor 15), 5 Januari (nomor 50), 10 Januari (nomor 102) 1927, Mr. 28x/27, Mr. 29x/27, Mr. 58x/27. ARA.
[26] Laporan FO 1927, F0371/12696, ditandatangai oleh J. Crosby, Konsul Jenderal (Public Records Office, London).
[27] Laporan kepada Procureur-Generaal tanggal 30 Agustus 1927. 805 orang telah dijatuhi hukuman dan 558 orang sedang menunggupersidangan. Menurut “Overzicht der Onlusten,” hal. 12 – 13, pada tanggal 12 Januari 1927, 1.300 orang telah ditangkap di daerahSilungkang-Muaro Kalaban-Padang Sibusuk dan sekitar 200 orang telah ditangkap di dekat Sijunjung serta sejumlah kecil orang di daerah lain.
[28] Said, Pemberontakan Silungkang, hal. 33 – 36. Nasution, Pemberontakan Sarikat Rakyat, hal. 123. Dua orang lainnya adalah M. Jusuf Sampono Kajo dan Ibrahim Melawas.
[29] Lihat Nasution, Pemberontakan Sarikat Rakyat, hal. 125 – 126. Dia dihukum 12 tahun penjara dan 70 rekannya dikirim ke penjara Glodok, Cipinang dan Pamekasan (Madura). Dia lepaskan pada tahun 1938.
[30] Kamp penjara Boven Digul didirikan pada tahun 1927 untuk menahan tahanan komunis dan keluarganya. Per Maret 1929, ada 2101 orang yang diinternir di sana (1124 laki-laki, 450 perempuan dan 527 anak-anak). Ini termasuk para pemimpin komunis dari Batavia serta orang-orang dari Banten dan Sumatera Barat. “Overzicht van den Inwendigen Politieken Toestand” (April 1928 – Mei 1929), Verslag van Bestuur en Staat van Nederlandsch-Indie, Suriname, en Curacao van 1929. (Landrukkerij, 1929 – 1930).
[31] Lihat Joel S. Kahn, “Peasant Political Consciousness in West Sumatra: A Reanalysis of the Communist Uprising of 1927,” dalam History and Peasant Consciousness in South East Asia, Andrew Turton dan Shigeharu Tanabe ed. (Osaka: Senri Ethnological Studies 13,1984), hal. 293 – 325 dan Akira Oki, “Economic Constraints, Social Change, and the Communist Uprising in West Sumatra (1926-1927),” dalam Change and Continuity in Minangkabau: Local, Regional and Historical Perspectives on West Sumatra, Lynn L. Thomas and Franz von Benda-Beckmann ed. (Athens: Ohio University Monographs in International Studies, 1985), hal. 207 – 234.
[32] Gambaran latar sosial dan budaya dari penentangan terhadap Belanda memiliki kesamaan dengan deskripsi Benda dan Mcvey soal pemberontakan yang digambarkan sebagai “kekuatan ekonomi dan sosial yang hampir tak terhindarkan yang dihasilkan oleh benturan perusahaan Barat dan pemerintahan kolonial dengan masyarakat tradisional tani Indonesia yang statis,” dimana “calon pengusaha dan buruh . . . dikontrak tidak sesuai adat dan preskriptif dari lingkungan leluhur mereka.” Communist Uprisings, hal. xx, xiii dan xiv.
[33] Benda dan McVey, Communist Uprisings, hal. 102; Schrieke, Indonesian Sociological Studies, hal. 132 – 133. Nama orang-orangyang dimaksud tidak terlampir dalam terjemahan ini tetapi muncul dalam laporan asli Rapport van de Commissie van Onderzoek, hal. 125.
[34] Said, Pemberontakan Silungkang, hal. 15 dan 37; Nasution, Pemberontakan Sarikat Rakyat, hal. 229.