Artikel ini ditulis oleh A. E. Croockewit.Terbit pertamakali pada 1866 dalam De Gids (Amsterdam)/1866/ III halaman 278-331 dengan judul asli Twee Maanden in de Padangsche Boven en Benedenlanden. Diterjemahkan oleh Novelia Musda dan diterbitkan Garak.id untuk tujuan pendidikan non-komersil.
**
I. Padang-Priaman-Bangsa Cina-Kajoetanam-Padang Pandjang
Di antara wilayah-wilayah pendudukan luar (buitenbezittingen)[1] pemerintahan Sumatra’s Westkust [Sumatera Barat] menduduki tempat pertama, dan karena keluasan wilayahnya, kekayaan alamnya, kejayaan masa lalunya di masa kita serta juga–bagi banyak orang boleh jadi merupakan pertimbangan utama–pemasukan yang besar dari sana sehingga daerah ini telah dapat dikatakan, seperti orang bilang dalam pepatah umum, zich zelf te bedruipen [mandiri]. Selain pulau Bangka dan beberapa afdeeling [setara kabupaten] dalam pemerintahan kepulauan Maluku, Sumatera’s Westkust adalah satu-satunya wilayah pendudukan luar yang memberikan hasil-hasil yang begitu memuaskan.
Selama saya tinggal di Hindia,[2] saya sangat berkeinginan mengunjungi wilayah tersebut, dan niat saya diperkuat oleh salah seorang kerabat dekat saya yang tinggal di sana, serta juga oleh kemungkinan bagus bahwa saya barangkali dalam kesempatan itu dapat juga mengunjungi Padang Darat dan keresidenan lain yang jarang dikunjungi orang-orang pribadi,[3] yakni Tapanuli di Utara Sumatera.
Di tengah lebatnya hujan, pada tanggal 23 Februari tahun lalu[4] kapal Tjiliwong[5] meninggalkan apa yang disebut pohon kecil (kleinen boom) di Batavia untuk mentransfer sejumlah besar penumpang, beserta jongos-jongos muda dan babu-babu yang sangat dibutuhkan di Hindia, ke Macassar, nama kapal uap yang akan membawa kami ke Padang. Kapal Macassar boleh dibilang suatu kapal yang bagus karena dia tak punya satu kekurangan yang dimiliki hampir semua stoomboot [kapal uap] milik perusahaan pengangkutan Cores de Vries, yakni terlalu lambat. Dalam kondisi normal kecepatan kapal ini tak lebih dari lima mil (15 per satu derajat) per empat jam; hanya dengan angin yang bagus, jika seluruh layar terpasang, kecepatannya dapat ditingkatkan jadi enam mil, tapi lebih dari itu tak mungkin. Selebihnya harus saya akui bahwa pelayanan di kapal sangat baik dan personil-personil bangsa Eropa umumnya sangat terdidik dan tanggap. Kira-kira pukul sembilan pagi kami pelan-pelan melewati pulau Onrust dengan galangan-galangan kapalnya, dok-doknya serta gudang-gudang senjata, serta Kuipereiland dengan benteng-bentengnya, juga beberapa pulau kecil lain yang tak hanya diberi nama-nama Belanda, tapi juga beberapa menampakkan suasana Belanda.
Siapa yang pernah melakukan perjalanan ke Hindia dengan menggunakan kapal layar, ketika akan memasuki Selat Sunda pasti akan memperoleh kesan-kesan yang sangat menyenangkan dari daratan yang telah lama dinantikan, saat dia memandang bukit-bukit yang tinggi di distrik-distrik dalam wilayah Bantam [Banten] dan Lampung, pulau-pulau Krakatau, Dwars in den Weg, Sibesi dan sebagainya yang senantiasa ditutupi bukit-bukit hijau, saat Anyer yang ramah seolah menyampaikan padanya ucapan selamat datang yang pertama. Bahkan setelah perjalanan keliling saya di pulau Jawa yang indah pemandangan di Selat Sunda masih terasa mempesona.
Pada tanggal 25 Februari jam 10 pagi menjelang tengah hari kami memasuki pantai Benkoelen [Bengkulu] (pantai Poeloe yang indah sepenuhnya berlumpur). Bagi orang-orang yang tinggal di Bengkulu tampaknya kedatangan sebuah kapal pos menjadi satu kejadian penting: dalam beberapa jam kapal kami telah dikelilingi oleh perahu-perahu dari segala penjuru, tapi hampir semuanya personil Eropa, meskipun jauhnya jarak yang ditempuh di tengah cuaca yang sangat panas. Di Bengkulu yang dapat dilihat hanyalah pantai yang menghijau, benteng besar Marlborough yang dibangun bangsa Inggris serta sejumlah rumah putih, yang di belakangnya terdapat bukit Suikerbrood yang penting, berfungsi sebagai sinyal alam bagi mereka yang sedang berlayar di laut.
Dari sini ke Padang yang bisa dilihat dari pantai hanyalah rangkaian pegunungan yang tak putus-putusnya, di atas mana hampir tiap hari awan-awan tebal menggumpal, yang kemudian di waktu sore membebaskan diri dengan disertai kilat-kilat yang hebat, biasanya serentak di sejumlah titik.
Kami telah melewati perjalanan menyenangkan dan pada malam pada tanggal 27, sekitar pukul sembilan, kami menurunkan jangkar di pantai Padang, sementara dengan beberapa tembakan meriam kedatangan kami diberitahukan kepada para penduduk, yang melalui itu memperoleh kepastian bahwa di pagi harinya mereka akan mendapatkan surat-surat dan berita-berita dari seluruh penjuru dunia. Di bawah langit berbintang yang indah, sebagaimana orang dapat saksikan hanya di kawasan tropis, ditemani cahaya terang bulan yang menerangi pohon-pohon tinggi di Pulau Pisang serta pantai berbukit-bukit, dengan angin darat yang sejuk menyegarkan kami, kami habiskan bagian terbesar dari malam itu di atas dek kapal Macassar.
Tak ada kemiripan antara labuhan kapal di Batavia dengan yang ada di Padang. Yang pertama, terletak di antara pantai rendah berawa-rawa dan dilingkungi sejumlah pulau kecil yang sama rendahnya, memberikan kesan tak menyenangkan bagi seorang asing serta membuatnya khawatir apakah daratan yang akan dimasukinya berada dalam harmoni. Labuhan di Padang, terletak sekitar satu jam men-dayung dari pusat kota, memiliki pemandangan yang sangat berbeda; di suatu sisi orang dapat saksikan Pulau Pisang yang berbukit-bukit, di antara mana kapal-kapal menurunkan jangkar, di sisi lainnya daerah pantai berbukit-bukit, yang terdapat persis di muara sungai Padang dekat Apenberg (bukit kera) yang berketinggian sekitar 300 kaki—suatu nama bukit yang asal usulnya mudah sekali dijelaskan. Dari kejauhan tampaklah suatu pantai yang tinggi, disela oleh sungai-sungai kecil, senantiasa dihempas oleh ombak besar dan terakhir di sana sini muncullah batu-batu karang tajam dari permukaan laut, sebagai tempat istirahat bagi bermacam elang laut dan burung hering. Meskipun labuhan di Padang sangat aman, perhubungan dengan pusat kota tak menentu, sebab sepenuhnya tergantung pada angin dan cuaca, suatu ketidak-nyamanan bagi perdagangan karena semua barang musti diangkut ke kapal-kapal dengan menggunakan tongkang.
Perahu pelabuhan, diawaki dua belas pribumi yang tangkas, dengan komando syahbandar di Padang, Tuan D, seorang opsir laut yang telah tua, yang tinggal di Hindia lebih dari 40 tahun berturut-turut, dalam waktu singkat membawa kami dari labuhan menuju pusat kota.
Kedatangan di Padang dalam segala aspek membawa kesan baik pada saya. Saya makin diperkuat dalam keyakinan bahwa Sumatra’s Westkust merupakan suatu koloni Belanda dengan adanya jembatan tutup buka yang benar-benar ala Belanda yang dipasang di atas sebuah anak sungai, tak jauh dari muara sungai Padang. Dari tempat turun sampan mulailah suatu jalan indah yang ditanami pohon-pohon cemara dan aru (casuarinen) sepanjang pasir pantai– yang di sana dengan penahan-penahan terlindung menghadap tempat melabuh sampan—dan sepanjang dua buah asrama di Padang, mengarah ke Michielsplein, suatu lapangan rumput yang bentuknya tak beraturan, dihiasi sebuah tugu peringatan terhadap Jendral Michiels, seorang yang berjasa besar kepada Sumatra’s Westkust dengan tindakan-tindakannya yang kuat dan efektif. Di sisi lain lapangan ini terdapat hunian sementara dari Gubernur, di depannya terdapat societeit yang terkemuka serta barak-barak infantri batalion ke-15, sementara di kedua sisi ada gereja Protestan dan Katolik.
Seperti kebanyakan kota-kota di Hindia, Padang dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama, sepanjang dan sekitar hiliran sungai, merupakan tempat biro-biro berbagai macam administrasi, gudang-gudang dan kantor-kantor dagang bangsa Eropa, kawasan orang-orang Cina serta orang-orang Timur asing lainnya, pasar, rumah-rumah kaum pribumi dan hanya beberapa rumah dari bangsa Eropa yang tidak kaya serta orang-orang yang disamakan statusnya. Bagian lainnya, sepanjang pasir pantai dan sekitarnya, menjadi tempat kediaman dari orang-orang Eropa yang berada serta juga pemukiman orang-orang Melayu, Jawa, Nias dan etnis-etnis pribumi lainnya. Bagian ini merupakan labirin bagi seorang asing, sebab semua jalan kelihatan mirip, sama-sama bagus tatanan dan perawatannya serta sama-sama dihiasi dengan pohon-pohonan, sementara rumah-rumah hampir tanpa kecuali memiliki bentuk yang sama. Rumah-rumah nyaris seluruhnya dari kayu atau material yang lebih ringan (bambu) dan dibangun di atas tiang-tiang dengan ketinggian beberapa kaki dari tanah, kata orang karena takut terhadap gempa bumi yang sering dialami di Sumatra’s Westkust. Dari luar, dengan atap-atap rumbia yang curam, tersembunyi di balik batang pohon kelapa, rumah-rumah ini tampak sangat indah, meskipun interiornya saya lebih suka dengan rumah-rumah yang dapat dijumpai di Batavia.
Padang mempunyai banyak bangunan umum, tapi tak satu pun yang mencolok dalam hal keindahan dan keanggunan bentuk. [Bangunan umum] yang paling penting adalah barak-barak, rumah sakit militer[6], kantor gubernur, magistrate [lembaga peradilan] dan sebagainya, kantor uang, gudang-gudang, gereja Protestan—reruntuhan yang tak menarik, kebaktian dilakukan di sebuah gereja pembantu–, gereja Katolik, dan bangunan yang didiami sementara oleh Kolonel, komandan militer dari Sumatra’s Westkust, meskipun dibeli dengan maksud untuk dijadikan hotel bagi Gubernur.[7]
Rumah sewaan, didiami sementara oleh Gubernur, merupakan sebuah bangunan besar, nyaman, tapi kurang menarik; tapi di dalamnya jauh lebih baik dibandingkan yang orang sangka dari luar. Furniture-nya megah. Bangunan ini memiliki pekarangan yang luas, di gerbang masuknya ditempatkan pos jaga personil militer bangsa Eropa, sementara di depan dan sekeliling rumah itu sejumlah opas [polisi] pribumi senantiasa menjaga atas perintah Gubernur sendiri. Dari tahun 1837, Gubernur yang sekarang adalah ambtenaar [pegawai pemerintah] pertama dari kalangan sipil yang ditempatkan sebagai kepala pemerintahan Sumatra’s Westkust, jika pemerintahan-pemerintahan sementara tidak diperhitungkan. Orang-orang yang tak berprasangka musti mengakui bahwa pemisahan antara pemerintahan sipil dan militer akan membawa hasil-hasil positif, khususnya di bawah kepemimpinan Gubernur yang sekarang. Tangannya yang kuat telah nampak mengurangi banyak penyimpangan dan mendatangkan banyak perbaikan, dan di bawah kepemimpinannya, sebagaimana nanti kita lihat, telah diletakkan landasan untuk reformasi radikal sistem hukum (rechtswezen) di wilayah yang penting ini.
Sebagai deskripsi lebih detail dari Padang yang anggun: di kedua sisi jalannya yang mulus ditanami pohon-pohonan rindang, terutama kawasan Belantong yang cantik—titik yang paling sering dikunjungi di Padang—dan Kampong Java [Kampung Jawa]; lapangan-lapangannya yang luas ditumbuhi rumput, tempat-tempat jalan kakinya yang mempesona, Muara yang megah, yang di pagi hari begitu sibuk, sementara menjelang malam jadi titik tujuan orang-orang Eropa terkemuka dengan pakaian-pakaian mereka yang elegan untuk menghirup udara segar; pemandangan bagus yang orang dapat lihat dari tiang sinyal yang ditempatkan 400 kaki tingginya dari permukaan laut bukanlah tujuan saya.
Rencana saya adalah, sebelum mengunjungi Padang Darat, menghabiskan beberapa hari di afdeeling Priaman [Pariaman], di mana di sana ada saudara saya yang ketika itu menjabat sebagai asisten-residen, dan pada tanggal 1 Maret berangkatlah kami dengan sebuah bendi Amerika (Amerikaansche bendie) menuju tempat yang terletak 32 pal (sekitar 10 jam perjalanan) arah Utara Padang.
Kondisi jalan di Sumatera bagus, bahkan amat bagus, jika orang melihat keadaan tanahnya, meskipun alat transportasi jarang, atau tepatnya sulit didapat. Jika orang tak memiliki bendi pribadi (bendi adalah semacam tilbury) atau kereta Amerika yang ringan, maka perjalanan dapat dilakukan dengan naik kuda. Dalam kasus pertama, bagi orang pribadi yang tak memiliki kenalan seorang ambtenaar, perjalanan akan sangat sulit meski dapat juga dilakukan, karena orang musti mengurus penempatan kuda-kuda di stasiun-stasiun yang berbeda, yang jaraknya satu sama lain antara 4 hingga 8 pal,[8] tergantung kondisi jalan. Hanya pada bagian kecil dari jalan pos yang besar, yakni dari Payakumbuh ke Padang yang berjarak sekitar 82 pal, terdapat pos-pos kuda skala kecil, dibangun oleh Gubernur yang sekarang, di mana orang dapat memperoleh kuda dengan sewa 60 sen per pal dan per tim kuda. Mungkin orang mengira harga sewa ini terbilang mahal, tapi harga ini jauh lebih murah daripada di Jawa dan mencukupi untuk menutupi biaya-biaya perjalanan.
Pantai Barat Sumatera dibelah oleh banyak sungai. Namun karena perbukitan kebanyakan mendekati pantai, hampir semua sungai adalah aliran-aliran air perbukitan (bergstroomen), dengan arus yang pendek dan deras, dan hanya menjelang muara menjadi lebar. Ketika hujan lebat, yang di sini begitu sering terjadi, sungai-sungai itu tak jarang menjelma menjadi amat deras tak tertahan, menyeret apa pun yang dijumpainya dalam perjalanannya, dan karena tak dapat menelan aliran air dari perbukitan, seringkali meluap keluar tepi sungai. Banyak contoh dari berubahnya arah badan sungai, terutama dapat diamati di dekat pantai. Pada saat berhembusnya angin Barat Laut yang terus menerus dan kencang sejumlah besar massa pasir diaduk-aduk oleh laut: muara sungai lalu terhambat dan kemudian sungai itu terpaksa mencari jalan keluar yang lain. Memperhatikan semua ini, tidaklah mengherankan jika tak di semua tempat jembatan dapat dibangun, dan di beberapa tempat rakit harus digunakan sebagai penghubung antara pinggir sungai, sebagaimana halnya dalam perjalanan kami dari Padang ke Pariaman: pada sungai Oedjong-Karang, Pandjalinan, Djamba [Jambak] serta Batang Aneh [Batang Anai] yang lebar.[9] Pada dua sungai yang disebut pertama dulu pernah dibangun jembatan permanen, yang pada tahun 1852 dihancurkan oleh suatu banjir yang luar biasa besarnya, tapi sekarang dikonstruksi kembali.
Dari Jambak ke Pariaman, orang hampir selalu melewati daerah pantai sepanjang jalan yang baik, suatu jalan berumput yang sangat mudah dilewati kuda-kuda. Jalan-jalan rumput kerap dijumpai di Sumatera. Jalan jenis ini lebih mudah dibuat dan dirawat daripada jalan kerikil, asalkan tidak digunakan untuk kendaraan-kendaraan yang ditarik oleh kerbau. Sebab itulah jalan berumput hanya cocok untuk trayek-trayek di mana sedikit atau tak ada transportasi barang-barang.
Dari Padang ke Pariaman hanya satu tempat yang patut disebutkan di sini, yakni Oelakkan [Ulakan], tempat kedudukan seorang Toewankoe [Tuanku] pribumi serta seorang opziener [pengawas] bangsa Eropa. Ulakan memiliki beberapa komoditi perdagangan pantai, khususnya buah kelapa, yang amat banyak dihasilkan kawasan ini. Kata orang daerah ini sulit diatur dikarenakan sifat penduduknya yang keras serta suka bertengkar.
Pariaman, yang namanya bahkan tidak dikenal oleh banyak rekan sebangsa saya, adalah sebuah tempat yang bersih dan sibuk, yang sejak 1859 dibuka untuk perdagangan umum. Jumlah orang Eropa yang tinggal di Pariaman sangat sedikit dan terbatas pada para ambtenaar, asisten-residen, kommies [semacam klerk], penerima bea cukai, kepala gudang penjualan garam, dan beberapa pegawai lebih rendah, beserta seorang aannemer (kontraktor) untuk transportasi kopi, dan sebagainya. Rumah-rumah serta kantor-kantor orang Eropa, juga penjara, dibangun di kedua sisi dari sebuah lapangan persegi empat, yang di ujung paling Utaranya terdapat redoute [asrama/markas militer] kecil Vredenburg, dengan kekuatan seorang opsir serta lebih kurang 50 opsir rendahan (onderofficieren) serta prajurit. Di sepanjang jalan yang mengarah pantai dapat dijumpai gudang-gudang garam yang baru serta tempat-tempat penyimpanan dari aannemertranspor kopi. Di Pariaman ada banyak orang Cina yang mendiami sebuah kamp yang terpisah; lalu ada juga beberapa orang Keling, Bengali, serta sejumlah orang Timur asing lainnya.
Sejak pembukaan pelabuhan, impor dan ekspor langsung di Pariaman senantiasa menunjukkan peningkatan, yang barangkali akan mengarah ke kesimpulan bahwa perdagangan lokal akan lebih besar juga dibanding yang sudah-sudah. Namun, tidaklah demikian halnya. Semenjak diperkenalkannya monopoli kopi oleh pemerintah (pada 18 Oktober 1847) Pariaman menjadi mundur dalam hal perdagangan. Alasannya mudah ditebak. Bagi sebagian besar wilayah Padang Darat, Pariaman merupakan daerah pantai yang paling mudah dihampiri. Ke sanalah para petani Melayu beserta pedagang perantara membawa hasil-hasil produk mereka, terutama kopi; di sini mereka bertemu dengan pedagang-pedagang Cina ke mana mereka dapat menjual produk-produk mereka dan dari mana mereka dapat membeli apa pun yang cocok untuk konsumsi di Padang Darat. Dengan cara ini di Pariaman terdapat suatu perdagangan perantara yang sangat sibuk, meskipun ketika itu tidak ada atau hanya sedikit sekali impor dan ekspor langsung terjadi. Monopoli kopi membawa perubahan drastis di sini. Kopi, yang dibeli langsung di pedalaman [Padang Darat], memang datang juga ke Pariaman, tapi hanya untuk dikapalkan lagi ke Padang. Perdamaian yang senantiasa terjaga, jalan yang lebih bagus serta sebab-sebab lainnya lebih membuat Padang Panjang yang begitu strategis—tentang mana nanti kita akan bicarakan—sebagai pusat perdagangan di pedalaman, menggantikan Pariaman. Bahkan perusahaan yang dijalankan oleh Nederlandsche Handelmaatschappij [NHM] di Pariaman beberapa tahun lalu musti ditutup. Sementara itu, Pariaman tetap menjadi suatu tempat yang sangat hidup dan aktif, terutama disebabkan oleh transit kapal kopi pemerintah beserta khususnya produksi beras lokal yang berjumlah besar. Labuhan kapal di Pariaman memang aman, tapi proses penurunan dan pemuatan menemui hambatan-hambatan yang sama seperti yang di Padang.
Seperti telah disinggung sebelumnya, Pariaman adalah ibukota dari sebuah afdeeling yang bernama sama. Afdeeling ini, yang luasnya kira-kira hampir sama dengan provinsi Noord-Holland, diperintah oleh seorang Asisten-Residen, ditolong oleh beberapa controleur (di Kajoetanam [Kayutanam] dan Loeboebassong [Lubuk Basung]), beberapa opziener budidaya tanaman (di Ulakan dan Tikoe) serta seorang kommies. Penduduk pribumi diperintah oleh pemimpin-pemimpin dari kalangan mereka sendiri, yang sebagian diangkat serta digaji oleh pemerintah, dengan title Regent— hanya di Pariaman—Tuanku, Pamuncak, Penghulu dan sebagainya. Orang-orang Cina, yang mengendalikan hampir semua perdagangan di sini, dipimpin oleh seorang kepala bertitel Luitenant.
Daratan ini sebagian datar dan sebagian berbukit-bukit, dan meskipun dibelah oleh banyak sungai serta aliran-aliran air perbukitan kawasan ini memiliki jalan-jalan yang bagus, sementara pada semua titik seberang di sungai-sungai, dengan beberapa pengecualian, dibangun jembatan-jembatan. Untuk memberi gambaran betapa banyaknya jembatan di wilayah ini saya tunjukkan di sini bahwa hanya dari Pariaman ke Tiku, yang jaraknya sekitar 24 pal, terdapat tak kurang dari 43 jembatan. Namun, jembatan yang paling istimewa di afdeeling Pariaman orang dapat jumpai di jalan utama ke Kayu Tanam; jembatan ini melintangi sungai Sampang, yang pada titik seberang mencapai lebar kira-kira 300 kaki.
Hasil utama afdeeling ini adalah beras dan buah kelapa (ada yang menyebut bahwa wilayah ini memiliki tak kurang dari satu setengah juta batang kelapa). Budidaya kopi agak terlambat dan masih tak banyak menghasilkan, meskipun menjanjikan hasil yang baik di masa depan, khususnya di kawasan-kawasan perbukitan. Lalu, orang dapat menemukan rempah-rempah, buah pinang, rotan dan sebagainya.
Saya tadi menyinggung bahwa orang-orang Cina mengendalikan hampir semua perdagangan di Pariaman. Hal ini juga terjadi di seluruh tempat lain di Sumatra’s Westkust, terkecuali Padang, di mana terdapat sejumlah kamar dagang bangsa Eropa, dan orang-orang Cina, dalam hal perdagangan-perantara, mendapati pesaing-pesaing tangguh dari kalangan orang-orang Arab dan Keling. Pernyataan saya ini memberikan kesempatan yang tepat bagi saya untuk menceritakan tentang kelas orang asing ini yang begitu banyak ditemui di daerah-daerah koloni kita.
Menurut saya, orang-orang Cina biasanya dinilai secara bias, sehingga vonis yang diberikan pada mereka umumnya tidak benar. Saya sendiri setidaknya memiliki pandangan sangat berbeda tentang orang-orang Cina dibanding yang saya bawa dari Eropa, setelah melewatkan waktu tinggal yang lama bagi seorang yang bukan ambtenaar, setelah mendiskusikan tentang hal ini dengan sejumlah pakar, serta setelah berkenalan dengan sejumlah orang Cina itu sendiri. Sebagian penulis dipenuhi kebencian ketika menulis tentang orang-orang Cina di Hindia, sehingga mereka bersikap tidak peduli dengan memperlakukan mereka di karangan-karangan untuk umum menggunakan nama-nama singkatan yang menurut saya tak pantas mereka dapatkan. Bahwa di antara orang-orang Cina ada yang memiliki karakter yang jelek, tak bermoral, serta dikatakan tak punya prinsip, siapa yang akan membantah? Namun, tidakkah orang-orang seperti itu juga ada di antara bangsa Eropa? Tak adakah juga di antara bangsa terakhir ini orang yang berpendapat bahwa tujuan menghalalkan segala cara, yang baginya ambisi untuk kekayaan, yang didapat melalui cara apa pun, merupakan hasrat yang paling berkuasa? Dibanding kaum pribumi, orang-orang Cina merupakan orang-orang yang benar-benar tabah dalam bekerja. Tak ada pekerjaan yang bagi orang Cina terlalu berat atau terlalu ringan baginya untuk mendapatkan untung. Dia pelit dan hemat, tapi tidak serakah; dermawan, tapi tidak boros; dan sejumlah kebajikan, seperti cinta orang tua, cinta anak-anak, kesetiaan terhadap pasangan, kasih serta kesediaan untuk menolong tidaklah lebih jarang di kalangan bangsa Cina dibanding pada orang-orang Kristen yang memandang begitu rendah dan meremehkan terhadap mereka. Mereka adalah pedagang yang cakap dan sangat cocok untuk tiap pekerjaan yang menuntut perhatian serta pengawasan yang jelimet. Ini ditunjukkan oleh pekerja-pekerja Cina di tiap pabrik gula dan nila serta hampir di tiap perkebunan teh yang ada di Jawa. Sebagai kasir mereka disenangi dan bekerja sangat memuaskan, dan saya percaya tidaklah berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa proporsi antara kasir-kasir Cina yang jujur dengan yang tidak lebih baik dibanding dengan kasir-kasir bangsa Eropa. Orang-orang Cina juga tidak banyak menyusahkan polisi, tidak hanya di wilayah koloni kita tapi juga di tempat-tempat lain, misalnya di Singapore [Singapura], di mana tinggal kurang lebih 60 ribu anak-anak Kerajaan Langit—yang kata orang bahkan dari tipe yang terjelek—dan di sana kekuatan 200 personil sudah cukup untuk menjaga rust en orde [keamanan dan ketertiban]. Setiap orang Cina terlahir sebagai pedagang dan aturan bahwa seni dagang terletak pada membeli semurah-murahnya lalu menjual semahal-mahalnya dipraktekkannya tanpa pernah mendengar atau membaca tentang aturan itu sendiri. Lagipula, dia bekerja dengan menggunakan banyak pertimbangan dan kecerdikan sehingga orang-orang menyebut karena merekalah tidak ada lagi orang-orang Israelieten [Yahudi] di koloni kita ini; orang-orang Cina mengungguli orang-orang Yahudi dalam kecerdikan dan jiwa dagang! Orang-orang Cina memanfaatkan semuanya, baik ketidaktahuan Anda maupun rasa malu Anda; tapi sifat ini juga dimiliki orang-orang lainnya. Juga dia memberi kesan bahwa setiap orang harus tunduk pada kekuatan uang dan tak jarang musti terjadi contoh-contoh di mana dia berusaha untuk membeli ambtenaar-ambtenaar; tapi apakah orang-orang Cina saja yang berpikir dan berbuat sedemikian rupa?
Dua tuduhan yang biasanya dialamatkan kepada orang-orang Cina akan saya bahas juga di sini. Orang-orang Cina menghisap para penduduk, kata orang, dan mereka adalah lintah darat/tukang riba (woekeraars). Sehubungan dengan menghisap penduduk, hanya sebagai penyewa-penyewa tanah orang-orang Cina dapat disalahkan dengan tuduhan itu. Sistem kita yang buruk yang memberikan beberapa pajak atau monopoli kepada penawar tertinggi adalah penyebab dari keburukan yang diperbuat oleh penyewa, yang orang tak dapat sebut jahat jika dia menggunakan segala cara agar tidak rugi karena telah mengambil resiko dengan menawarkan nilai sewa yang tinggi. Hapuskan sistem verpachting [leasing/ kontrak-sewa], maka keburukan itu akan hilang sampai ke akar-akarnya. Dengan adanya argumen yang bagus dalam karangan yang tak lama ini diterbitkan Brief aan de Hoogleraar Dozij [“Surat kepada Profesor Dozij”],[10] rasanya saya tak perlu berpanjang lagi dalam tema ini.
Tentang tuduhan lainnya, saya yakin bahwa banyak orang Eropa, yang ada di sini maupun yang di Hindia, bertanggung jawab dalam hal apa yang orang namakan riba (woeker). Satu contoh di Hindia yang saya kenal akan saya uraikan di sini untuk melerai keingin-tahuan. Seorang Cina minta pinjaman 1000 gulden dari seorang Eropa. Permintaan ini diluluskan, tapi dengan syarat dia akan membayar bunga 4 persen per bulan (dalam setahun bunganya saja mencapai 480 gulden!) dan bahwa bunga ini dalam jumlahnya setahun penuh akan langsung dipotong dari jumlah uang yang akan dipinjamkan! Syarat ini diterima, dan si Cina menerima 520 gulden dan menyerahkan surat hutang (obligatie) senilai 1000 gulden? Bukan, tapi malah 1200 gulden!! Si peminjam telah menimbang-nimbang sebelumnya bahwa orang Cina itu tak akan meminjamkan uang dengan syarat yang sama yang membuatnya tak banyak dapat untung, dan dalam keuntungan itu lah [yang diperoleh si Cina nantinya] si peminjam mau dapat bagian. Coba saja bayangkan apa jadinya jika seorang pribumi meminjam uang dari orang Cina yang sama.
Untuk menyampaikan kata akhir tentang orang-orang Cina, saya hanya akan mengatakan ini: saya pandang sebagai suatu situasi yang bagus di mana di dekat koloni Hindia kita terdapat suatu kerajaan yang memiliki penduduk yang rajin, tapi terlalu banyak jumlahnya untuk dapat tetap hidup di negeri sendiri sehingga terpaksa melakukan emigrasi dalam skala besar. Bagian yang besar dari penduduk yang over-populated ini, bagaimanapun juga, hijrah ke kepulauan Hindia di mana mereka mendapati lahan yang luas untuk dikerjakan. Bahkan musuh bangsa Cina yang paling keras kepala takkan menyangkal bahwa penduduk ini memiliki karakter rajin yang istimewa; bahwa energi mereka dapat dipertahankan di mana-mana, juga di bawah matahari kawasan tropis yang membakar; bahwa mereka mudah menguasai bahasa dan menyesuaikan diri dengan norma-norma dan kebiasaan-kebiasaan tempat di mana mereka tinggal; bahwa mereka sangat cocok untuk semua pekerjaan berat yang untuknya penduduk pribumi terlalu lemah atau lamban, seperti misalnya di tambang-tambang timah di pulau Bangka; bahwa orang-orang Cina karenanya akan menjadi unsur penting dalam rumah tangga kolonial, dan ini khususnya akan terjadi jika sistem tanam paksa yang tak wajar dan merugikan dihapus selama-lamanya serta dibuka jalan untuk usaha-usaha agraria yang bebas. Usaha-usaha ini, terutama di masa-masa awal, akan mustahil tegak tanpa adanya bantuan dari orang-orang Cina. Karena itulah tiap tindakan yang menentang kedatangan orang-orang Cina ke Hindia Belanda saya anggap sangat merusak dan tidak politis. Orang hanya perlu fokus pada bagaimana mempertahankan suatu kebijakan yang bagus, terutama menjaga agar orang-orang Cina tidak mendirikan imperium in imperio,[11] seperti dulu pernah terjadi di Westkust van Borneo [Kalimantan Barat], kemudian menghapuskan sistem leasing properti tanah—barulah kemudian baik Negara maupun penduduk pribumi tak perlu takut pada orang-orang Cina.
Bagaimanapun, inilah waktunya bagi saya untuk memulai perjalanan menuju Padang Darat. Gubernur Sumatra’s Westkust dan komisaris pemerintah untuk reformasi sistem hukum di wilayah pendudukan luar Jawa (buitenbezittingen), yang juga akan berkunjung ke Padang Darat, akan tiba pada tanggal 13 Maret di Kayutanam, dan saya mendapat sebuah undangan untuk hadir pada hari itu di sana guna ikut serta dalam rombongan orang-orang terkemuka tersebut. Di pagi-pagi tanggal 13 Maret saya meninggalkan Pariaman yang ramah tapi sangat panas. Dengan sebuah bendi yang bagus, saya mengikuti jalan kerikil yang datar dan terawat bagus sampai ke jembatan sungai Sampang yang kita sebut tadi[12], di mana saya harus menukar kuda. Dari sini mulailah lanskap yang berpemandangan indah. Sesekali jalan itu membawa saya sepanjang lereng yang datar menuju puncak sebuah bukit, dari mana saya dapat menyaksikan pemandangan jauh yang indah berupa hamparan sawah-sawah, yang dibelah sungai-sungai kecil dari pegunungan, dan juga rumah-rumah pribumi yang tersuruk di balik pohon-pohon buah; lalu kadang jalan itu berbelok-belok sepanjang hutan yang sepi atau rumpun-rumpun bambu yang tinggi. Meskipun jalan ini biasanya sangat sibuk dilewati oleh kendaraan-kendaraan pengangkut serta para pejalan kaki, saya berpapasan dengan hanya seorang pejalan, seorang yang sebenarnya tidak saya sangka-sangka akan ketemu di sini, yakni seorang juru sita, yang di Kota Mombang menekan seorang peminjam hutang dari kantor lelang yang lalai untuk membayar hutangnya. Di tempat kecil di mana Wijshijer –demikian nama juru sita itu—menjalankan tugasnya yang menyedihkan itu, saya mendapati seekor kuda lain yang dalam waktu cepat membawa saya berkendara di jalan utama dari Padang ke Kayutanam dan Padang Darat. Di sini semuanya sedang dihiasi. Di tiap kampung, baik besar atau kecil, berkibarlah bendera-bendera berwarna-warni yang dipasangkan ke bambu-bambu; bahkan rumah-rumah yang berdiri sendiri diberi hiasan-hiasan hijau; semua penduduk tampaknya datang dari mana-mana ke jalan utama untuk melihat Gubernur yang akan lewat, yang dinanti oleh kepala-kepala pribumi dalam pakaian-pakaian kebesaran mereka. Di antara massa yang berkumpul orang dapat amati fenomena yang sama yang dapat dilihat juga di Eropa dalam kesempatan-kesempatan serupa; tanda peringatan pura-pura, bahwa Gubernur akan segera tiba, sudah cukup untuk menggerakkan mereka semua. Alat-alat musik—gamelan, gong, canang (bekken)—dimainkan, tembakan-tembakan dilepaskan; rakyat bergembira, anak-anak berteriak, semua jadi ribut, hingga akhirnya sadar bahwa mereka telah keliru. Kaum pribumi, juga orang-orang Melayu dari Sumatra, meskipun dalam banyak hal lebih berkembang dibanding orang-orang Jawa, dalam hal ini masih lah seperti anak-anak bertubuh besar (groote kinderen). Bila misalnya diberitahukan kepada penduduk bahwa Gubernur akan tiba sekitar jam tiga sore, orang-orang tetap saja menunggu dari pagi dan, sebagaimana halnya sekarang, melewatkan sepenuh hari dalam penantian menegangkan, yang sesekali dibuat hidup oleh tanda-tanda peringatan palsu.
Akhirnya saat yang penting pun datang juga; kedua pengunjung yang terkemuka itu pun sampai di Kayutanam, selain diiringi oleh ambtenaar-ambtenaar dari afdeeling, juga oleh prosesi besar berkuda kepala-kepala pribumi, yang tiap melewati suatu kampung bertambah banyak. Mereka turun kuda di sebuah penginapan kelas menengah yang sejak saat itu seakan dikepung oleh banyak kaum pribumi; ini ibarat skala kecil dari tonil yang dapat disaksikan di Dam Amsterdam ketika sang Raja datang. Di Kayutanam, sebagai penghormatan bagi tamu-tamu yang mulia, dinyanyikanlah beberapa nyanyian bersuara lemah diiringi oleh musik yang lebih lemah lagi, disela oleh tarian-tarian dan pertunjukan yang bagi saya tidak istimewa. Saya menginap di tempat controleur Kayutanam yang ramah, Tuan S—ambtenaar yang sama yang sering disebut-sebut oleh Ida Pfeiffer dalam lukisan perjalanannya di tanah Batak—di sebuah rumah tua yang rusak dan sejak lama ditinggalkan, tapi dilingkungi oleh sebuah taman yang sangat cantik dengan hamparan bunga-bunga mawar yang indah, sementara di depan rumah sebuah kolam kecil menghiasi halaman yang luas.
Bagi mereka yang tahu sedikit banyak tentang Sumatra’s Westkust, siapa yang tidak pernah mendengar atau membaca tentang de Kloof [Lembah][13] dan tentang jalan buatan, yang dibangun oleh keinginan kuat otoritas Belanda? Tidak hanya di Sumatra, tapi di Jawa juga saya dengar bahwa de Kloof adalah suatu objek paling menarik yang terdapat di Sumatra’s Westkust, dan saya menanti-nanti datangnya hari ketika saya dapat menyaksikan jalan yang terkenal itu dengan mata kepala sendiri.
Pagi esoknya, sekitar pukul tujuh, dengan berkuda kami meninggalkan Kayutanam, dari mana jalan yang ditempuh langsung mulai melereng naik pelan-pelan. Dalam jarak sekitar tiga pal, jalan itu silih berganti melewati sawah-sawah, semak-semak, kampung-kampung dan bukit-bukit, dan setelah itu barulah sampai di jalan masuk menuju de kloof , di mana saya untuk pertama kalinya mendengar jeritan melankolis dari siamang, sejenis kera hitam, yang katanya hanya dapat dijumpai di Sumatera. Jalan itu dibangun benar-benar indah di sepanjang lereng perbukitan dan nyaris tanpa putus-putus sepanjang kira-kira tujuh pal mengikuti aliran Batang Anai, sungai yang asalnya dari pegunungan yang masih beberapa pal lagi di atas Padang Panjang. Dasar sungai itu seakan ditaburi oleh batu-batu karang besar di mana air mengalir dengan kekuatan yang tak dapat ditahan, sehingga di sana sini terbentuk sejumlah air terjun. Tak sengaja saya terpikir akan Okerthal di Hartz, meskipun jalan di de kloof lebih terlindung dari bencana-bencana yang mungkin terjadi dengan dibangunnya dinding setinggi dua kaki yang dibangun sepanjang jalan di sisi sungai tersebut. Namun, gaya bangunan khas rumah-rumah yang di sana sini dijumpai melalui jalan itu , yang sangat berbeda dengan rumah-rumah di daerah pesisir (benedenlanden), flora yang kaya, terkadang dipercantik oleh daun-daun merah pohon kassia [kulit manis] dan ketinggian menakutkan dari perbukitan membuat saya segera lupa akan Okerthal. Pada jarak sembilan pal kami mendaki sepanjang jalan berkelok-kelok, dari mana selalu dapat disaksikan pemandangan menakjubkan, sampai ketinggian 2000 kaki, hingga orang mencapai suatu titik di mana laut dapat dilihat. Baik oleh karena longsor yang kerap terjadi maupun oleh lalu lintas yang sangat sibuk, jalan di de kloof mudah rusak; karena itulah ada sekitar 100-an pekerja tetap yang khusus bertugas untuk perawatan jalan.
Menjelang jam sebelas kami mencapai Padang Panjang yang strategis dalam banyak hal, ibukota afdeelingSapoeloh Kota, dalam Aardrijkskundig Woordenboek van Nederlandsch Indië [Kamus Geografi Hindia Belanda] secara keliru disebut sebagai Fort van der Capellen dan sebagai ibukota Tanah Datar. Terletak di jalan keluar de kloof, tempat ini merupakan titik strategis yang amat penting; sebab di titik inilah akses menuju Padang Darat dibuka dan dipertahankan. Juga bagi operasi militer di Padangsche Bovenlanden [Padang Darat] Padang Panjang begitu siginifikan, karena jalan-jalan utama dari Residentie yang indah dan padat penduduk itu bertemu di sini. Di titik di mana terletak redoute [markas militer], jalan utama dari Padang dan Pariaman bercabang dua, satu ke arah Barat Laut menuju Fort de Kock, ibukota Residentie [Padang Darat] dan juga ibukota Agam yang penting, sementara yang lainnya ke arah Tenggara, yang untuk beberapa pal lagi bercabang dua juga, yakni ke Timur menuju afdeeling Tanah Datar yang besar dan ke Selatan mengarah ke Doeapoeloh Kota [XX Kota] serta afdeeling Tigablas [XIII Kota] yang luas; dan sebab cabang Barat Laut tadi yang menuju ke tempat lebih tinggi juga akhirnya bercabang dua, yakni di Fort de Kock sendiri, di mana yang satunya menuju ke afdeeling Limapoeloh [50 Kota] yang kaya, jadi jelas lah bahwa semua yang dari Padang Darat menuju Padang atau Pariaman, ataupun sebaliknya, mustilah melewati Padang Panjang. Memang ada jalan-jalan lain yang lebih singkat untuk mencapai pantai dari daerah pedalaman—khususnya di Selatan seringkali digunakan—tetapi lalu lintas di sepanjang jalan-jalan– atau katakanlah jalan-jalan setapak—itu tak dapat dibandingkan dengan yang via Padang Panjang, setidaknya selama jalan pedati/kereta (karrenweg) dari Solok (Tigablas Kota) menuju Padang yang sudah dibuat begitu lama tak kunjung selesai juga. Di Padang Panjang terdapat aktivitas yang barangkali tak dapat diamati di daerah-daerah pedalaman lainnya di Hindia Belanda. Tidak hanya merupakan wilayah transit yang penting, tapi di sini juga terdapat perdagangan yang besar, dan ini juga hampir seluruhnya dikuasai orang-orang Cina.
Kejayaan Padang Panjang dicapai baru-baru ini saja. Tak sampai dua puluh tahun lalu hanya ada sejumlah rumah pribumi yang miskin di sini; seorang onderpachter [sub-penyewa] opium barangkali satu-satunya wakil dari Kerajaan Langit[14]; sementara garnisunnya terdiri dari 50 orang dengan satu opsir, tinggal di redoute. Sekarang semuanya jauh berubah. Rumah-rumah—hampir semuanya dibangun di sepanjang dua cabang jalan utama—kini membentuk suatu jalan yang panjangnya hampir dua pal; jumlah orang Cina-nya cukup besar sehingga perlu ditunjuk seorang kepala untuk bangsa asing ini dan garnisun-nya terdiri dari satu batalion infanteri utuh (lebih kurang 700 personil) serta satu seksi artileri-gunung, sementara jabatan komandan militer dipegang oleh seorang Letnan Kolonel. Lalu, di sini orang dapat jumpai banyak gudang kopi, sebuah sekolah pemerintah, satu societeit [perkumpulan/klub] yang besar dan suatu penginapan yang sangat bagus.
Padang Panjang punya andil penting dalam peperangan yang melanda Sumatera dari tahun 1819 hingga 1845 dengan jeda-jeda singkat.[15] Khususnya dalam pemberontakan Batipuh (Februari 1842) daerah ini banyak menderita. Pasukan kecil dari kamp Goegoermalintang yang luas dan tanpa pertahanan hanya punya waktu untuk melakukan penyelamatan diri yang terakhir ketika mereka telah dikepung oleh para pemberontak. Tanpa bahan makanan, tak mengerti dengan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, tak yakin akan adanya kesempatan untuk lolos, mereka jatuh dalam keadaan putus asa. Mereka harus memilih antara mati kelaparan, menyerah kepada musuh yang takkan memberi ampun terhadap nyawa lawannya, atau lari diam-diam dari benteng. Mereka mengambil pilihan ketiga, meski peluang untuk lolos sangat kecil, bahkan jika dapat menghindari kesiagaan musuh sekali pun. Tapi tak semua anggota pasukan dapat menyelamatkan diri; tiga orang malang—dua Eropa dan seorang Jawa—karena luka-luka serta sakit yang diderita tak dapat turut serta dalam usaha itu; mereka tak bisa dibawa, mereka harus ditinggalkan! Mereka bersembunyi di dalam gudang rempah-rempah, dan berbekal senjata yang berpeluru serta sumbu mesiu, dan ketika musuh, yang telah menyadari bahwa tak ada lagi pasukan di sana, menyerbu masuk ke dalam benteng, ketiga orang ini kemudian membakar rempah-rempah dan meledakkan diri mereka sendiri bersama sejumlah penyerbu. Di tempat di mana peristiwa ini terjadi lalu dibangun sebuah tugu peringatan sederhana, yang mengabadikan nama-nama ketiga pejuang yang setia tersebut– Schelling, Marion dan Sosmito.
Selama kehadiran saya di sana, distrik Batipuh dan Sapoeloh Kota, yang ber-ibukota-kan Padang Panjang, diperintah oleh seorang controleur. Sekarang [saat penulis menulis artikel ini] distrik itu dipisah dari Agam dan ditingkatkan statusnya jadi afdeeling, dikepalai oleh seorang Asisten-Residen.
Cuaca di Padang Panjang amat sejuk—banyak personil militer yang dikirim ke sana untuk pemulihan kesehatan—tapi sangat berkabut; hujan turun hampir tiap hari, dan awan-awan tidak jarang bergantungan melalui rumah-rumah; Cuaca berkabut ini, kata orang, merupakan akibat dekatnya posisi gunung Singgalang dan Merapi serta de Kloof [Lembah Anai].
Juga di Sumatera saya memiliki kesempatan luas untuk mempelajari dan menghargai kesopanan ala Hindia; hal itu terutama saya rasakan di Padang Panjang, di mana saya menginap di rumah teman saya yang terhormat, Dr. J, dan di tengah keluarganya yang amat baik menghabiskan hari-hari yang begitu menyenangkan.
(Bersambung ke Bagian II)
Ilustrasi Amalia Putri
Catatan Kaki:
[1] Koloni Hindia Timur kita lazimnya dikelompokkan dua macam, yakni, Jawa dan apa yang disebut wilayah-wilayah pendudukan luar (buitenbezittingen).
[2] [ Catatan penerjemah: Indië (Hindia) maksudnya wilayah Nusantara jajahan Belanda].
[3][ Catatan penerjemah: maksudnya orang bebas, bukan pegawai pemerintah atau tentara].
[4] [ Catatan penerjemah: maksudnya tahun 1865].
[5] Perahu uap kecil yang menghubungkan pelabuhan dan kapal.
[6] Rumah-rumah sakit, seperti umumnya dinas kesehatan militer di Nederlandsch Indie, memiliki ketenaran Eropa karena strukturnya yang efektif serta personil-nya yang cakap.
[7] Jika benar apa yang saya dengar tentang hal ini, maka bangunan itu tidak akan pernah dijadikan hotel bagi Gubernur Sumatra’s Westkust.
[8]Pal yang dimaksudkan di sini setara dengan satu setengah mil Belanda (sekitar 1506 Nederlandsch ellen) [Catatan penerjemah: 1 pal kira-kira 1,5 km].
[9] Batang, arti lazimnya batang pohon, juga digunakan untuk sungai.
[10] Halaman 30 dan seterusnya.
[11] [ Latin: negara dalam negara].
[12] [Catatan penerjemah: pada halaman 8-9].
[13] [Catatan penerjemah: maksudnya Lembah Anai sekarang].
[14] [Catatan penerjemah: maksudnya orang-orang Cina].
[15]Tentang peperangan ini, bacalah dalam “De vestiging en uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatera” oleh Jendral HJJL Ridder de Stuers; “Het Nederlandsch Oost-Indisch leger ter Westkust van Sumatera” oleh Let. Kol. HM Lange, juga dalam karangan PJ Veth,”Geschiedenis van Sumatera”, dalam lima bagian muncul dalam “De Gids” edisi 1849 dan 1850.
[16] [Catatan penerjemah: penulis artikel ini merujuk ke apa yang sekarang lebih dikenal dengan Ngarai Sianok].
[17]Menurut sebagian orang, karang ini sepenuhnya terdiri dari abu vulkanik; sejauh mana kebenaran hal ini saya tak bisa memastikan, meskipun peristiwa longsor dan ambruk yang terus menerus memberi suatu dasar atas teori ini.
[18]Jaksa sebenarnya adalah titel dari opsir-opsir bangsa pribumi di Pengadilan (Justitie) yang bagaimanapun masih belum dikenal di Padang Darat. Pejabat pribumi yang dimaksud di sini menyandang titel itu sebagai penghormatan saja.