Kajian mengenai masyarakat Sumatera Barat pada akhir masa kolonial hingga 50 tahun kemerdekaan Indonesia mendapat perhatian yang sangat besar dari para antropolog Eropa, Amerika, dan Australia. Akan tetapi kajian yang dihasilkan sejarawan dalam kurun-kurun waktu tersebut, masih jauh lebih sedikit. Meskipun para penulis yang bukunya direview dalam artikel ini kebanyakan bekerja pada ranah antropologi, ketiga buku tersebut, yang ditulis oleh Ken Young, Joel S Kahn, dan Freek Colombijn sangat berharga dalam mendefinisikan serta, setidaknya, mengisi bagian-bagian kosong yang penting dalam penulisan sejarah Minangkabau.
Bagian penting dari buku Ken Young adalah pembahasannya mengenai latar belakang dan akar masalah Pemberontakan Anti Pajak tahun 1908. Di sini ia menerangkan elemen-elemen yang memainkan peranan penting dalam pemberontakan 1908, dan mungkin yang lebih penting, yaitu penjelasannya mengenai suatu fase saat kelompok sufi atau tarekat, khususnya Syattariyah dan Naqsyabandiyah, nyaris saja mengobarkan pemberontakan pada 1897. Terfokus pada kelompok tradisional islam (yang merupakan bagian dari kelompok konservatif kaum tua), buku ini secara paralel berkaitan dengan penelitian lebih awal yang dikerjakan oleh Taufik Abdullah dan Deliar Noer, yang menekankan pembahasan pada peran dari gerakan kaum muda modernis yang kemudian mengembangkan nasionalisme keindonesiaan pada awal abad 20 di Sumatera Barat. Dengan menjelaskan pentingnya peran tarekat, tidak hanya pada pemberontakan tahun 1908 namun juga secara lebih umum pada sejarah Sumatera Barat pada akhir abad 19 dan awal abad 20, Young dengan cermat menempatkan kembali secara proporsional kelompok tradisional islam ke dalam sejarah Minangkabau. Dengan begitu, Young telah memberi landasan yang kokoh bagi studi tentang Minangkabau yang lebih berfokus ke periode-periode pasca pemberontakan 1908.
Ia memperlihatkan bagaimana perkembangan tarekat, khususnya Naqsyabandiyah, pada akhir tahun 1800an telah mengkhawatirkan Belanda. Perkembangan ini juga menimbulkan tekanan bagi para alim ulama yang telah terjinakkan secara politik yang merupakan elemen esensial pembentuk tatanan nagari yang coba dikuasai dan dieksploitasi Belanda. Ia menunjukkan bagaimana Naqsyabandiyah dan, Syattariyah dalam skala yang lebih luas, bereaksi atas ancaman langsung terhadap posisi sosial dan ekonomi mereka, tidak hanya oleh menguatnya gerakan muslim moderat, tapi juga oleh upaya Belanda untuk memperkenalkan pajak perorangan sebagai pengganti dari kebijakan tanam paksa kopi yang gagal. Kelompok oposisi yang awalnya sukses, dan “persiapan yang panjang untuk pengenalan sistem pajak dihentikan pada tahun 1987” ketika pemerintahan kolonial mengetahui rencana mereka untuk melakukan perlawanan bersenjata besar-besaran terhadap rezim.” (Young,47). Tapi, ketika kepemimpinan, jaringan, dan organisasi sebagai bekal untuk melawan kolonial Belanda mulai terbentuk kembali pada tahun 1908, semua sudah terlambat. Di satu sisi, ini merupakan akibat dari merosotnya tarekat karena serangan kaum moderat. Di sisi lainya kolonial Belanda dapat mengkonsolidasikan kekuatan militer mereka di Sumatera Barat. Kekuasaan yang besar dan nyata di Sumatera Barat kini berada di tangan aparatus kolonial Belanda, setelah mereka berhenti mengerahkan militer dalam Perang Aceh. (Young,130).
Jika buku Young terfokus pada pemberontakan 1908, Kahn, dalam bukunya yang secara umum lebih pada upaya untuk menginterpretasikan Kebudayaan Minangkabau, terfokus pada sebab mendasar dari pemberontakan 1927. Keduanya memiliki ketertarikan dalam mengeksplorasi seberapa jauh gambaran sosial dan ekonomi pada awal abad ke-20 yang dikonstruksi oleh penulis Belanda seperti Schrieke dapat mewakili keadaan sesungguhnya. Kedua penelitian ini juga sama dalam soal tema yang spesifik serta pendekatan penelitian yang secara umum mirip. Mereka juga sama-sama bersepakat bahwa banyak fitur dalam masyarakat Minangkabau yang selama ini dikira berasal dari masa pra-kolonial, khususnya fitur-fitur pada level nagari, justru merupakan hasil konstruksi Kolonial Belanda pada akhir abad 19.
Berseberangan dengan kondisi di Jawa, di Sumatera Barat, masyarakat Minangkabau menolak upaya Belanda untuk mengatur besaran perkebunan, karenanya sistem tanam paksa akhirnya bergantung pada hasil kopi pertanian dalam skala kecil. Ini berarti pemerintah Belanda harus melakukan “ekstrak surplus dengan cara mengombinasikan kontrol dan insentif.” Mereka kemudian dihadapkan pada suatu paradoks, seperti yang dicatat oleh Young: “Kontrol politik dan sumber legitimasi sistem pemerintahan mereka, bergantung pada dukungan terhadap hirarki Adat. Upaya untuk mengekstrak surplus di kawasan Minangkabau menjadi sulit karena kontrol atas tanah didasari garis keturunan.” (Young,187)
Kedua penulis memberi nuansa terhadap keberbedaan dan kontradiksi dalam masyarakat di nagari-nagari. Sembari menguraikan penelitian lebih awal yang dilakukan oleh Christine Dobbin dan Elizabeth Graves, yang menurut mereka terlalu menyederhanakan perbedaan antara nagari-nagari perbukitan yang dilihatnya berorientasi komersial dan nagari dataran yang kaya akan beras, keduanya menekankan soal sejarah panjang saling ketergantungan “di antara pesatnya ekonomi beras yang berorientasi subsisten dan terutama ekonomi berorientasi pasar dengan petani pedagang, pedagang pendatang, guru-guru sekolahan, pekerja pemerintahan, pengrajin, dll.” (Kahn,42) Young melihat bahwa keragaman sumberdaya dan peluang baik di sektor ekonomi subsisten maupun komersial, tidak memungkinkan “pengelompokan sederhana antara nagari-nagari perbukitan dan nagari-nagari dataran.” Young berargumen bahwa “mayoritas dari nagari-nagari sangat mungkin tidak sepenuhnya komersial namun juga tidak sepenuhnya berorientasi subsisten,” dan “pengelompokan yang substansial” justru dapat ditemukan antar individu dan rumah tangga dalam nagari daripada antara nagari-nagari itu sendiri. (Young,174)
Kedua peneliti juga melihat nagari pada masa prakolonial, di Minangkabau awal abad ke-19, bukanlah entitas otonom yang tertutup tapi merupakan desa atau nagari berbasis sosio-ekonomi adat yang telah terikat dalam aktivitas komersial secara luas. Di samping itu, adanya suatu “supra-nagari berbasis kesukuan” membuat para penduduk nagari mampu “untuk menyatakan diri sebagai anggota dari komunitas yang cakupannya melampaui batas nagari kelahiran mereka.” (Kahn, 162). Ekonomi penduduk asli dataran tinggi Sumatera Barat yang sangat komersial, dengan perdagangan yang mengalir keluar terutama melalui pelabuhan pantai timur Sumatera, tidak hanya bergantung pada tembakau, lada, kelapa, gambir, tetapi juga pada beras (Kahn,174-80). Ketika mereka mengenalkan sistem pengiriman kopi yang sifatnya memaksa pada tahun 1847, pemerintah kolonial Belanda mencoba untuk memutuskan hubungan antara nagari-nagari, dan antara dataran tinggi dengan pantai timur, untuk menciptakan sebuah sistem di mana nagari dalam setiap wilayah akan mengirimkan produk mereka ke kota pasar tunggal dimana hasil kopi dapat dikumpulkan lalu disalurkan ke pelabuhan pantai barat Padang Pariaman yang telah dikontrol pemerintah kolonial. Kebijakan kolonial ini mendistorsi tatanan dan pola perdagangan masa pra-kolonial, memutus hubungan antara satu nagari dengan nagari lainnya dan juga dari pasar di pantai barat. Kebijakan ini juga secara khusus melarang memperdagangkan beras.
Menurut Khan dan Young, isolasi yang dilakukan pemerintah kolonial untuk memaksakan terbentuknya suatu nagari yang otonom, tidak hanya telah merusak interaksi antar-nagari yang telah ada sebelumnya, namun juga telah mendistorsi dan membuat kaku institusi adat yang sebelumnya lebih cair. Adat yang telah terdistorsi dan kaku, menjadi lebih kompromis dengan sistem administrasi kolonial. Akibatnya, para pemimpin adat yang memiliki niat bekerjasama dengan Belanda makin terbuka jalannya.
Setelah ikatan supra-nagari berbasis perdagangan diputus oleh belanda, ikatan baru berbasis agama terbentuk. Ikatan ini terbentuk terutama melalui “jaringan sekolah-sekolah agama yang bebas serta hubungan antar guru dan murid di banyak wilayah” (Young, 67-68). Potensi politik dari sekolah-sekolah ini “terletak pada perluasan jaringan organisasi yang melampaui batas-batas nagari, dan dengan independensi mereka dari struktur otoritas nagari, laras, maupun pemerintahan kolonial.” (Young, 98) sekolah-sekolah ini juga merupakan surga bagi pedagang skala kecil yang mencoba menghindari upaya Belanda untuk mengontrol perdagangan dengan jalur-jalur perdagangan yang mereka bangun.
Keterikatan antara pedagang kecil dan jaringan sekolah-sekolah agama (antara kaum tua awal abad ke 20 atau kaum muda pada 1920 dan 1930) kemudian menjadi sebuah kekuatan utama dari oposisi pemerintahan kolonial pada dekade akhir era belanda. Karena hal ini, menurut Kahn, menjadi sulit untuk mencari benang merah antara kekuatan organisasi dan pimpinan dari pemberontakan 1908 dan pemberontakan 1927 dan oposisi setelahnya. Kehadiran kaum muda membuat sedikit perbedaan ketika mereka menyatakan “kegagalan pemberontakan 1908 menyebabkan matinya bentuk perlawanan tradisional. sejak saat itu mulai berkembang kelompok-kelompok lain seperti, partai politik, sarekat, dan organisasi-organisasi keagamaan tingkat nasional (indonesia).” (Young, 130) nantinya, seberapa jauh kelompok-kelompok ini bertindak dan berbeda dari pemberontakan 1908 akan dijawab pada sesi pertanyaan. Sebagaimana yang Kahn coba ingatkan, ekspansi dari gerakan komunis di Sumatera Barat pada tahun 1920-an adalah hasil dari “asosiasi antara PKI dan, tampaknya, bentuk tradisional dari permusuhan anti-kolonial,” dan dihari pada pemberontakan komunis 1927, “agenda politik direncanakan oleh beraneka ragam kelompok dari tradisionalis, populis, dan marxis.” (Kahn,153,115)
Dalam satu hal, sebagian besar kebijakan pemerintah kolonial bisa disebut berhasil. Yaitu, memperbaharui pola perdagangan yang sebelumnya berpusat di pelabuhan timur dengan Selat Malaka sebagai jalur perlintasan menuju Singapura dan Malaysia, dan sebagai gantinya “mengarahkan mereka dengan membuka jalan dan jalur kereta api baru yang terfokus di pusat pantai barat, Padang.” (Young, 141) Pengembangkan kota pelabuhan Padang inilah yang menjadi fokus Freek Colombijn. Bukunya menapaki sejarah dan “proses perubahan spasial” antara 1906 dan 1990 di kota Padang. Setengah pertama dari volume ini bercerita tentang sejarah kota dan yang kedua mengenai faktor-faktor yang mengatur dan menentukan pengembangan spasial pada abad ke-20.
Lewat kajiannya Colombijn menjelaskan lebih jauh tema pengambangan kota yang juga muncul dalam karya Kahn dan Young. Dengan membandingkan Padang dengan kota-kota kompetitor lainnya di Sumatera yang memiliki keuntungan geografis seperti Palembang dan pelabuhan Belawan yang berada di Kota Medan, ia memperlihatkan bahwa pengembangan kota Padang terhambat oleh letak geografisnya di “sisi yang salah dari sumatera,” jauh dari jalur pusat pengiriman antara Eropa dan Asia timur yang melewati Selat Malaka. Bahkan hari ini lokasi tersebut tidak beradaptasi dengan baik untuk berdagang dengan Jepang dan negara-negara industri baru di Timur dan Asia Tenggara. Faktor-faktor geografis, seperti Bukit Barisan yang terhampar memisahkan pelabuhan dari pedalaman dan Gunung Padang yang menjulang antara Pelabuhan Teluk Bayur dan kota itu sendiri, juga turut menghambat pengembangan kota. Hal penting lainnya adalah karakter masyarakat Minangkabau yang mempengaruhi pertumbuhan Kota Padang khususnya pola kepemilikan tanah komunal di Minangkabau. Pola kepemilikan ini berdampak secara luas pada kota karena menyulitkan pendatang untuk memiliki tanah; dan fakta bahwa mayoritas dari populasi masyarakat Minangkabau yang menghuni kota adalah imigran dari dataran tinggi, yang masih sangat terikat dengan kampung di mana mereka dilahirkan. Hal ini membuat perluasan kota mengambil arah “memanjang ke utara”, sesuai dengan jalan utama yang mengarah ke jalur Lembah Anai, yang merupakan akses utama ke kota-kota dan nagari-nagari di dataran tinggi. Berkaitan dengan perubahan morfologi di Padang, Colombijn berkomentar “ini mengejutkan saya, bahwa aspek-aspek alamiah memainkan peran yang sangat penting. Tidak hanya Samudera Hindia dan Gunung Padang yang menjadi penghambat alami pengembangan kota, tapi posisi Jalur Anai yang juga ikut menentukan pola berkembangnya kota”. (Colombijn,259)
Sangat banyak informasi berguna dan hal menarik dalam buku ini, tapi pembaca harus menyesali kesenjangan yang mengejutkan dari kajiannya, yaitu absennya hal-hal spesifik dari perdagangan keluarga Minangkabau di Padang yang memainkan peran penting dalam sejarah abad 20 Sumatera Barat. Sebaliknya, Kahn dan Young memperlihatkan bagaimana pengaruh saudagar-saudagar besar Kota Padang, apakah itu belanda, Tionghoa, atau Minangkabau, dalam pengembangan kebijakan ekonomi pemerintah kolonial pada pergantian abad di masa-masa akhir berlakunya sistem tanam paksa dan pengenaan pajak langsung. Peran ekonomi dan politik pedagang pribumi ini akan terus meluas dalam dekade berikutnya. Meski Colombijn secara luas menyorot banyak aspek dalam perkembangan perdagangan di Kota Padang, ia terlihat mengabaikan betapa tergantungnya perkembangan Kota Padang pada peran para pedagang besar tersebut. Dalam bukunya, Colombijn menyediakan banyak materi menakjubkan soal klaster pedagang skala kecil di sekitar pasar, para pedagang Tionghoa yang berupaya mempertahankan posisi mereka dari tekanan orang Minangkabau yang dominan, dan keluarga Eurasian Haacke yang memiliki posisi penting dalam perdagangan Padang dari 1880 sampai depresi ekonomi tahun 1930-an dan menghilangnya keluarga ini pada masa penjajahan Jepang. Karenanya, sungguh aneh, bahwa dalam luasnya cakupan kajiannya, ia mengabaikan peran para pedagang Minangkabau (bahkan ia tidak menyinggung Basa Bandaro). Padahal mereka ini tidak hanya memainkan peranan yang krusial dalam Perkembangan Kota Padang. Aktivitas mereka di bidang ekonomi dan pendidikan, keterikatan secara komersial dengan daerah dataran tinggi, juga memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan dan karakter pergerakan nasional di Sumatera Barat. (*)
*Artikel ini merupakan ulasan Audrey Kahin atas tiga buah buku yaitu: (1) Freek Colombijn, Patches of Padang: The History of an Indonesian Town in the Twentieth Century and the Use of Urban Space. Leiden: Research School CNWS, 1994. xiii + 428. (2) Joel S. Kahn, Constituting the Minangkabau: Peasants, Culture, and Modernity in Colonial Indonesia. Providence/Oxford: Berg,1993. xi + 314. (3) Ken Young, Islamic Peasants and the State: The 1908 Anti-Tax Rebellion in West Sumatra. New Haven: Yale Southeast Asia Studies Monograph 40,1994. xviii + 361.
Diterjemahkan untuk tujuan pendidikan non-komersil oleh Luthfi Saputra dan Randi Reimena dari judul asli Minangkabau and Its Colonial Conditioning. Di unduh dari e.commons.edu (https://ecommons.cornell.edu/bitstream/handle/1813/54051/INDO_59_0_1106970728_107_110.pdf?sequence=1)
Ilustrasi Amalia Putri