Sejak awal digagas oleh seniman, budayawan, dan akademisi di kota Padang tahun 2016, Dinas Kebudayaan Sumatra Barat (DKSB) sudah mengandung watak dominasi. Hal tersebut dapat dilihat dari representasi masyarakat yang hadir, baik dari segi persebaran kelompok etnis, persebaran wilayah administratif, ataupun persebaran perwakilan masyarakat.
Azwar (2016) melaporkan bahwa pembentukan sebuah Dinas Kebudayaan yang terpisah, baik dari Dinas Pendidikan ataupun dari Dinas Pariwisata, telah menjadi keinginan seniman dan budayawan Sumatra Barat sejak lama. Diskusi tentang pembentukan Dinas Kebudayaan tersebut dilakukan antara pihak DPRD Sumatra Barat dan seniman, budayawan, serta akademisi di Sumatra Barat dalam suatu “Forum Ramah Tamah” di gedung DPRD Sumbar. Dalam forum tersebut sudah dibayangkan bahwa Dinas Kebudayaan tersebut nantinya akan berfokus pada kebudayaan Minangkabau di seluruh wilayah administratif Sumatra Barat.
Pertama, watak dominasi tersebut dapat ditelisik embrionya dari komposisi perwakilan masyarakat yang hanya dari sebagian kecil kalangan seniman, budayawan, dan akademisi. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa persoalan arah kebudayaan yang begitu kompleks hanya dikelola oleh kaum intelektual. Kedua, bila dilihat dari pembagian wilayah administratifnya, Sumatra Barat terdiri dari 12 Kabupaten dan 7 Kota. Setiap wilayah adminsitrasi tingkat II tersebut mempunyai corak, gejala, dan kebutuhan yang tidak selalu sama. Namun, dalam forum tersebut, perwakilan wilayah administratif hanya berasal dari kota Padang. Terakhir, dalam wilayah administratif Sumatra Barat, selain etnis Minangkabau, juga berdiam etnis lain seperti Mentawai, Tionghoa, Nias, Mandailing, dan seterusnya. Namun, pembentukan Dinas Kebudayaan hanya digagas dan kemudian ditentukan orientasinya oleh perwakilan etnis Minangkabau.
Masih berdasarkan laporan Azwar (2016), pada forum ramah tanah tersebut sempat diusulkan penambahan kata “Adat” dalam nama dinas yang akan dibentuk nantinya sehingga namanya menjadi “Dinas Kebudayaan dan Adat”. Namun usul tersebut ditolak oleh sejarawan Gusti Asnan dengan pertimbangan bahwa hal itu akan memunculkan resistensi dari kelompok etnis lain. Akhirnya, berdasarkan pertimbangan tersebut, nama yang diusulkan tetap “Dinas Kebudayaan Sumatra Barat”.
Artinya, dari nama yang akhirnya dipilih itu tampak suatu usaha untuk menunjukkan bahwa keberadaan Dinas Kebudayaan Sumatra Barat nantinya mesti mempertimbangkan keberadaan etnis lain. Tahun 2017 DKSB secara resmi berdiri berdasarkan Peraturan Gubernur Sumatra Barat No. 24 Tahun 2017 dengan Kepala Dinas Taufik Effendi yang kemudian mengundurkan diri tanggal 9 Juli 2018 dan digantikan oleh Dra. Gemala Ranti, M.Si. Pada gilirannya, kesepakatan akhir perihal nama lembaga tersebut berbanding terbalik dengan orientasi kebudayaan yang dibangun oleh lembaga itu sendiri.
Tulisan ini mencoba menelusuri potensi dominasi yang mengendap dalam orientasi kebudayaan DKSB. Orientasi yang dimaksud ditelisik dari deskripsi resmi visi dan misi lembaga tersebut. Pembacaan atas visi dan misi lembaga pemerintah ini perlu untuk dikaji karena itu adalah rujukan utama dari setiap program-program yang akan dibuat nantinya. Program-program yang telah dijalankan nantinya pun pada akhirnya akan dilihat batasan keberhasilannya berdasarkan visi dan misi lembaga itu sendiri. Dengan kata lain, visi dan misi DKSB penting dikaji karena berfungsi sebagai dasar penciptaan kebijakan budaya sekaligus sebagai instrumen evaluatif dari kebijakan yang dijalankan.
Tulisan ini berpendapat bahwa visi dan misi Dinas Kebudayaan Sumatra Barat menyimpan potensi untuk menjadi instrumen dominasi etnis mayoritas terhadap etnis minoritas. Potensi dominasi tersebut menjadi mungkin terkandung dalam orientasi kebudayaan DKSB disebabkan oleh peran dominan intelektual dari etnis mayoritas di dalam wacana yang dijalankan oleh DKSB. Dengan kondisi tersebut, pada akhirnya, tulisan ini menegaskan bahwa DKSB sebagai lembaga kebudayaan milik pemerintah mempunyai watak intelektual-sentris, suatu watak yang sama dengan model lembaga kebudayaan yang berlaku semenjak Orde Baru, yang akarnya pun sudah muncul sejak era kolonial.
Untuk menjabarkan hal tersebut maka pada bagian awal makalah ini akan menunjukkan hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti terdahulu perihal cara kerja lembaga kebudayaan di Indonesia sejak era kolonial sampai Orde Baru. Penjabaran tersebut kemudian dilanjutkan dengan analisa atas orientasi kebudayaan yang dijalankan oleh Dinas Kebudayaan Sumatra Barat dan kemungkinan dominasinya dalam wacana kebudayaan di Sumatra Barat.
Sentralisasi dalam Lembaga Kebudayaan di Indonesia
Tod Jones (2015) melalui studi kasus yang dilakukannya terhadap lembaga kebudayaan sejak era kolonial sampai Orde Baru menunjukkan bahwa budaya otoritarian adalah cara utama yang dipraktikkan dalam penyelenggaraan lembaga kebudayaan. Kebijakan kebudayaan yang dipraktikkan dengan cara otoritarian itu, menurut temuan Jones, tidak mempedulikan keberadaan afiliasi kelompok-kelompok yang berbeda di Indonesia. Alasan utama yang digunakan oleh sekian banyak lembaga kebudayaan di sepanjang abad 20 itu adalah bahwasanya subjek-subjek yang berkembang di masyarakat tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk memajukan diri mereka sendiri, menilai mana yang terbaik untuk mereka, baik secara rasional ataupun secara matang. Dalam pandangan seperti itulah kemudian negara ataupun penyelenggara kebijakan budaya mengarahkan pembangunan nasional secara otoriter.
Pemerintah kolonial Belanda menerapkan model budaya komando dalam menjalankan kebijakan budaya untuk para pribumi Indonesia. Pihak penjajah tidak membiarkan berdirinya lembaga kebudayaan selain yang dikendalikan oleh pemerintah kolonial itu sendiri. Balai Pustaka adalah salah satu contoh lembaga kebudayaan yang dikendalikan oleh pemerintah kolonial dan bertujuan untuk melanggengkan wacana kolonial dalam kehidupan pribumi. Penyediaan bacaan untuk masyarakat dari balai Pustaka merupakan suatu bentuk intervensi kolonial secara tidak langsung dalam menentukan cara pandang pribumi terhadap diri mereka sendiri. Sedangkan pada masa penjajahan Jepang, model kebijakan budaya lebih menunjukkan watak otoriter. Sebagaimana di era penjajahan Belanda, pihak kolonial Jepang menjadikan kebijakan budaya untuk mengendalikan pandangan pribumi terhadap masa depan terbaik bagi mereka. Dalam konteks Jepang, lembaga kebudayaan berfungsi untuk melayani kebutuhan Kekaisaran Jepang yang disampaikan melalui istilah budaya Pan-Asia. Dengan begitu, baik era Belanda ataupun Jepang, sama-sama menerapkan kebijakan otoritarian dalam pengertian bahwa kedua pemerintahan tersebut secara sengaja melakukan intervensi yang sangat besar dan kontrol yang kuat terhadap setiap kebijakan budaya yang dilakukan dengan asumsi bahwa pribumi belum bisa melakukan sendiri suatu bentuk kebebasan yang bertanggung-jawab (Jones, 2015). Masa depan masyarakat jajahan, dengan demikian, dalam dua era penjahahan tersebut, hanya sebagai objek kuasa dari wacana kolonial dengan menjadikan kebudayaan sebagai medianya.
Sementara itu di era pasca kemerdekaan Indonesia sampai akhir Orde Lama (1950-1965), menunjukkan beberapa perubahan penting dalam kebijakan budaya di Indonesia. Model penerapan kebijakan budaya pada era ini sangat jelas menunjukkan karakter poskolonial, yaitu dengan menggerakkan kerja kebudayaan yang berada dalam wacana kebudayaan nasional. Peran pemerintah, dengan begitu, menjadi penyedia bagi struktur kelembagaan yang dapat digunakan masyarakat untuk menciptakan suatu kebudayaan yang bercirikan Indonesia. Pemerintah dalam model seperti ini mengambil fungsi kepemimpinan dengan memanfaatkan mobilisasi massa. Pada awal 1950an, peran serupa itu berusaha mengikis model budaya komando yang kentara di era kolonial. Tapi semenjak 1957, model budaya komando kembali digunakan pemerintah Demokrasi Terpimpin untuk menerapkan kebijakan di ranah kebudayaan. Meskipun banyak perubahan penting di ranah kebudayaan pada era ini, seperti munculnya perhatian pada “Kebudayaan Nasional” dan adanya pertimbangan akan keberagaman budaya di Indonesia, era ini tetap memposisikan masyarakat sebagai sekumpulan massa yang digunakan untuk kepentingan politik pemertahanan negara Indonesia baru merdeka (Jones, 2015). Dengan kata lain, di balik beberapa perubahan berarti, masyarakat masih diposisikan sebagai entitas yang perlu ditentukan orientasinya oleh negara dalam menentukan arah kebudayaan di masa depan.
Di bawah rezim diktator Orde Baru, model budaya komando semakin lebih besar dan kontrol negara sangat kuat. Sebagai rezim yang berdiri di atas ideologi anti-komunis, Orde Baru turut melanggengkan kekuasaanya melalui pembangunan pusat kesenian dan kebudayaan. Di pusat kesenian itulah wacana kebudayaan Orde Baru mendapat tempat penerapannya. Taman Ismail Marzuki (TIM) yang didirikan tahun 1968 merupakan sebuah lembaga kebudayaan yang menjadi simbol kemenangan wacana humanisme universal dan di saat yang sama wacana tersebut tidak bertentangan dengan wacana Orde Baru. TIM kemudian menjadi pusat legitimasi sekaligus sumber wacana kesenian dan kebudayaan di Indonesia. Lembaga ini bahkan lebih lanjut menjadi rujukan utama pembangunan lembaga kesenian di daerah-daerah, seperti pembangunan Taman Budaya dan Dewan Kesenian di berbagai daerah di Indonesia. Di era Orde Baru, negara tak hanya bersifat otoritatif terhadap kebudayaan, tetapi lembaga kebudayaan yang diwadahi negara seperti TIM juga bersifat otoritatif terhadap subjek-subjek yang berbeda di berbagai wilayah di Indonesia. Lembaga kebudayaan di daerah pun menerapkan formula yang tak jauh berbeda terhadap subjek-subjek lain yang tak sesuai dengan orientasi mereka (Jones, 2015). Artinya, watak lembaga kebudayaan di daerah tak bisa dilepaskan dari watak lembaga kebudayaan yang dijadikan rujukan di tingkat nasional.
Desentralisasi Posisi Intelektual
Salah satu watak khas lembaga kebudayaan Orde Baru adalah posisi sentral kaum intelektual yang sangat otoritatif dalam menentukan orientasi kebudayaan Indonesia ke depannya. Kondisi itulah yang menjadi salah satu kritik yang diberikan Nirwan Dewanto di tahun-tahun akhir Orde Baru.
Dalam Kongres Kesenian Indonesia tahun 1991, Nirwan Dewanto membacakan Pidato Kebudayaan yang berjudul “Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991”. Pidato tersebut tak hanya suatu evaluasi atas model kebudayaan sentralistik yang berlaku umum di era Orde Baru, tetapi juga menunjukkan akar-mula pandangan sentralistik tersebut sejak ide tentang “Kebudayaan Indonesia” diperdebatkan.[1]
Polemik kebudayaan Indonesia paling awal, tahun 1908, terjadi di antara Radjiman Wediodiningrat dan Tjiptomangunkusumo. Polemik ini merupakan pertentangan antara padangan konservatisme dan radikalisme. Radjiman menawarkan suatu model kemajuan yang tetap mempertahankan kebudayaan Jawa. Barat, baginya, bukanlah jawaban untuk model kebudayaan di masa depan. Sementara itu Tjipto menolak untuk melanjutkan kebudayaan Jawa sebagai kebudayaan di masa depan. Ia lebih menawarkan suatu usaha menciptakan kebudayan baru, yaitu kebudayaan Indonesia, dengan cara mengambil manfaat dari perkembangan ilmu-pengetahuan Barat. Pada gilirannya, pandangan Tjipto lebih diterima luas oleh masyarakat, hingga kemudian polemik kedua dan paling terkenal itu terjadi di awal dekade 1930-an, dengan isu perdebatan yang pada sisi tertentu masih melanjutkan topik sebelumnya (Dewanto, 1996).
Sepanjang 1934-1939, Polemik Kebudayaan Indonesia terjadi di mana salah satu pertentangan terkuat antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane dengan membawa kembali dikotomi antara Barat dan Timur. Sebagaimana Tjipto, Takdir menyampaikan pandangan yang menjadikan Barat sebagai rujukan utama kebudayaan Indonesia di masa datang. Dan sebagaimana Radjiman, Sanusi mempertahankan bahwa kebudayaan Timur tak bisa ditingal begitu saja dan kebudayaan Barat bukanlah acuan terbaik untuk Indonesia (Dewanto, 1996).
Poin utama yang menarik dari evaluasi Nirwan Dewanto dalam penelusuran historis tersebut bukan soal apakah pada akhirnya kebudayaan Indonesia berhasil menjadi kebudayaan yang maju seperti Barat atau sebagainya, melainkan suatu usaha menunjukkan watak intelektual-sentris dari kedua polemik tersebut, yaitu posisi intelektual sebagai penentu utama ke mana arah kebudayaan Indonesia.
Bila Jones (2015) telah membuktikan bahwa semenjak era Kolonial sampai Orde Baru, pola pengelolaan lembaga kebudayaan di Indonesia bersifat otoritarian, maka Nirwan Dewanto menunjukkan bagaimana di belakang model yang seperti itu terdapat peran terpusat yang dijalankan oleh kaum intelektual. Dari Pembukaan Pidato Kebudayaan 1991 tersebut dapat dilihat bagaimana Nirwan Dewanto sudah memberikan pertanyaan evaluatif terhadap mode intelektual-sentris dari pembangunan kebudayaan di Indonesia: “Wewenang apa yang kita miliki untuk menentukan desain kebudayaan? Benarkah kita berdiri di ketinggian dan merasa tahu apa yang terbaik bagi orang-orang nun di bawah sana?” (Dewanto, 1996)
Kaum intelektual, dalam pandangan Nirwan, telah begitu lama memposisikan diri sebagai kelompok yang paling berhak menentukan masa depan. Kebudayaan, suatu ekosistem yang sangat kompleks, tidak dilihat oleh kaum intelektual tersebut sebagai komponen yang berbeda satu sama lain, melainkan sebagai arena bagi suatu penerapan dari apa yang sudah ditetapkan oleh kaum intelektual untuk kemudian dijalankan oleh masyarakat yang lebih luas.
Dengan kritik terhadap intelektual-sentris tersebut Nirwan kemudian mendorong untuk melepas kaum intelektual dari peran otoritatifnya selamanya. Kaum intelektual, dengan begitu, tak punya kewenangan sepenuhnya untuk menentukan gejala-gejala baru dalam kebudayaan sebagai kemunduran. Alih-alih bertindak sebagai pemegang kendali atas apa yang baik dan apa yang buruk untuk Indonesia, peran intelektual mesti dipahami sebagai peran yang sama pentingnya dengan peran lain dalam kehidupan yang sangat luas. Para intelektual, dengan demikian, tak lebih tinggi posisinya dibanding halnya fisikawan ataupun petani sekalipun. Dengan kata lain, kritik Nirwan tersebut dapat dibaca sebagai usaha untuk melakukan desentralisasi peran intelektual dengan cara menghidupkan suara dari afiliasi kelompok yang berbeda-beda, yang selama abad 20 lalu telah disamaratakan oleh kepentingan lembaga kebudayaan yang bekerja dengan cara ototarian, sebagaimana dikatakan Jones (2015) sebelumnya.
Visi dan Misi DKSB: Orientasi dan Potensi Dominasi
Bagian ini akan membedah visi dan misi Dinas Kebudayaan Sumatra Barat (DKSB) tahun 2016-2021. Visi dan misi tersebut adalah rujukan yang selalu digunakan dalam mendasari sekaligus membatasi setiap program yang akan dibuat serta dikelola oleh institusi itu sendiri. Oleh karena itu, visi dan misi tersebut perlu ditelisik kembali, untuk menemukan paradigma apa yang mengejewantah di dalamnya. Dengan kata lain, melalui visi dan misi tersebut, kita bisa melihat persoalan mendasar arah kebudayaan yang sedang direncanakan di Sumatra Barat, dan melihat apakah keberadaan DKSB sudah berada di luar model lembaga kebudayaan Orde Baru atau masih berada di dalamnya.
Dalam situs resmi DKSB, dinyatakan bahwa visi institusi tersebut adalah: terwujudnya tata kehidupan yang berbudaya berdasarkan falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Yang dimaksud dengan “tata kehidupan” dalam visi tersebut—sebagaimana juga dijabarkan dalam situs DKSB—adalah:
(1) Praktik kehidupan dalam rumah tangga atau keluarga, suku atau kaum, nagari dan masyarakat pada umumnya yang teratur.
(2) Hasil cipta karsa dan rasa, serta nilai-nilai luhur atau norma-norma masyarakat Sumatera Barat, khususnya Minangkabau.
(3) Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah nilai-nilai luhur keminangkabauan yang mendasarkan perikehidupannya pada agama Islam disebut adat nan sabana adat (adat nan babuhue mati), dan adat nan babuhue sentak (terdiri dari adat istiadat, adat nan teradat, serta adat nan diadatkan).[2]
Selanjutnya, untuk mencapai visi tersebut, DKSB mengartikulasikan misinya sebagai berikut:
(1) Meningkatkan penguatan dan pelestarian adat & nilai-nilai tradisional.
(2) Mewujudkan penelusuran dan penulisan sejarah Minangkabau.
(3) Meningkatkan pengembangan dan pelestarian budaya.
(4) Meningkatkan pengembangan dan perlindungan bahasa Minangkabau.
(5) Meningkatkan perlindungan warisan budaya dan cagar budaya.[3]
Dari visi dan misi tersebut dapat kita temukan beberapa kecendrungan yang muncul perihal model kerja kebudayaan yang dijalankan oleh DKSB. Dalam hal komposisi etnis dan agama, kebudayaan di Sumatra Barat diartikan sebagai kebudayaan Minangkabau saja. Karena Minangkabau berafilisasi dengan Islam, maka itu artinya kebudayaan Sumatra Barat adalah kebudayaan Minangkabau dan Islam sekaligus. Dalam kaitannya dengan sejarah, sejarah Sumatera Barat dimaknai sebagai sejarah Minangkabau. Padahal sejarah Sumatera Barat dan sejarah Minangkabau adalah dua hal yang berbeda, meski beririsan di sisi tertentu. Dalam hal komposisi waktu, pengertian kebudayaan mengacu pada warisan kebudayaan tradisional, yaitu segala produk kebudayaan masa lalu yang sudah dibakukan sebagai tradisi Minangkabau. Usaha pelestarian dan perlindungan bahasa, warisan benda, dan sebagainya, akan berkaitan dengan wacana yang menguatkan hubungan Minangkabau dan Islam saja.
Kecendrungan di atas menunjukkan suatu model sentralisasi yang dilakukan oleh DKSB dengan menjadikan kebudayaan Minangkabau sebagai titik pusatnya. Sumatra Barat dikulturalisasi sebagai daerah Minangkabau. Daerah administratif dimaknai sebagai daerah kultural. Cara pandang seperti ini menyingkirkan kenyataan bahwa suatu hamparan wilayah geografis seperti Sumatra Barat akan menghasilkan gejala yang tidak sama yang karenanya membutuhkan suatu cara pembacaan yang berbeda satu sama lain, meski sekalipun dengan suatu dan lain cara ada suatu hubungan kausalitas yang mempertemukan semuanya. Akibatnya, suatu orientasi kebudayaan yang sudah mengandung watak sentralisasi pada akhirnya tak bisa dilepaskan dari praktik dominasi. Afiliasi-afiliasi etnis lain atau gejala-gejala berbeda yang muncul di Sumatra Barat tidak hanya akan dilihat menggunakan sudut pandang Minangkabau saja, tetapi juga berpotensi diposisikan sebagai entitas yang mengganggu ke-minangkabau-an. Pada gilirannya, segala entitas yang berada di luar wacana Minangkabau akan menjadi objek kuasa dari mayoritas.
Selanjutnya, kerja kebudayaan yang dijalankan oleh DKSB hanya sebatas pada tataran pelestarian dari apa yang sudah diwariskan. Kebudayaan hanya dipahami sebagai masa lalu yang mesti diperpanjang ke masa sekarang ataupun ke masa depan. Kebudayaan dalam pengertian Dinas Kebudayaan, dengan begitu, tidak menyentuh wilayah yang bersinggungan dengan persoalan-persoalan kontemporer, yang tidak sepenuhnya berkaitan langsung dengan “tradisi”. Sebagai suatu entitas yang dinamis, persoalan yang disebut gejala kontemporer akan selalu muncul dalam arena kebudayaan mana pun. Masalah akan muncul ketika persoalan kontemporer tersebut tidak sepenuhnya bisa diwadahi oleh kerangka kebudayaan tradisional dalam orientasi kebudayaan DKSB. Alih-alih menjadikan dinamika yang sedang berkembang sebagai tegangan yang evaluatif di kedua sisi, paradigma kebudayaan seperti DKSB justru berpotensi memposisikan segala perkembangan yang tak terjawab oleh konseptualisasinya sendiri sebagai suatu krisis dan kemudian memposisikan perkembangan terbaru tersebut sebagai gangguan yang harus diberantas.
Dari penjabaran di atas dapat dirangkum bahwa dalam konseptualisasi Dinas Kebudayaan Sumatra Barat atas kebudayaan jelas-jelas mempersempit pengertian kebudayaan menjadi persoalan etnosentrisme dan tradisionalisme. Dampak dari pengertian yang serupa itu, apalagi bila dijadikan suatu rujukan utama suatu institusi negara yang bertanggung-jawab atas kerja kebudayaan di Sumatra Barat, adalah potensi dominasi yang dikandungnya. Hal ini akan menjadi persoalan penting karena wilayah admistrasi Sumatra Barat tidak hanya diisi oleh etnis Minangkabau dan sekaligus umat Islam saja.
Komposisi tersebut dapat dilihat menggunakan tiga pendekatan yang akan memperlihatkan populasi kelompok minoritas dalam komposisi masyarakat di Sumatra Barat. Pertama menggunakan pendekatan masyarakat berstatus migrasi, pendekatan etnis, dan pendekatan penganut agama. Tiga pendekatan tersebut digunakan karena persoalan sentralistik dalam melihat kebudayaan akan berkaitan dengan perkara latar belakang etnis, status pendatang atau pribumi, dan pilihan agama yang dianut. Artinya, sebagai lembaga kebudayaan pemerintah di wilayah administratif Sumatra Barat, orientasi DKSB pada etnosentris dan tradisionalisme akan berhadap-hadapan dengan tiga persoalan tersebut.
Dalam Sensus Penduduk tahun 2010, total masyarakat Sumatra Barat adalah 4.848.909 jiwa.[4] Sebanyak 16 % dari total penduduk Sumatra Barat, yaitu sejumlah 775.603 jiwa, merupakan masyarakat dari luar Sumatra Barat yang bermigrasi dari wilayah administratif lain dan menetap di berbagai wilayah di Sumatra Barat. Kelompok masyarakat migrasi ini dengan begitu bukanlah penduduk asli, namun mereka adalah penduduk legal. Selanjutnya, kalau dilihat dari komposisi etnis, Mentawai adalah salah satu kelompok masyarakat non-Minangkabau yang terdapat di Sumatra Barat. Jumlah penduduk Mentawai hanya 1,57 % dari total penduduk Sumatra Barat, yaitu sebanyak 76.173 jiwa. Penduduk Mentawai bukanlah kelompok masyarakat migrasi, melainkan penduduk asli yang mendiami kepulauan Mentawai yang berada dalam wilayah administratif Sumatra Barat. Terakhir, dari komposisi penganut agama, sebanyak 2.58 % atau 113.897 penduduk Sumatra Barat adalah penganut agama non-Islam. Sebagaimana kategori sebelumnya, kelompok penganut agama minoritas ini merupakan warga legal di dalam wilayah administrasi Sumatra Barat.
Sebagai wilayah administratif, Sumatra Barat adalah wilayah yang berkaitan dengan hukum negara. Dalam wacana kewarganegaraan, migrasi penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain, sejauh sesuai dengan aturan yang ditetapkan, tidak membuat suatu kelompok masyarakat menjadi warga negara kelas dua. Status migrasi suatu penduduk tersebut tidak membedakan hak dan kewajibannya di bawah setiap lembaga milik negara di dalam suatu wilayah adminsitratif. F. Benda-Beckmaann dan K. Benda-Beckmaann (2011) mengatakan sistem hukum beroperasi melalui klarifikasi dan kategori yang dikaitkan dengan hak-hak dan kewajiban yang sama bagi pengguna kategori tersebut. Dengan begitu, status Warga Negara Indonesia adalah salah satu klarifikasi yang mensyaratkan hak dan kewajiban yang sama. Sebagai Warga Negara Indonesia yang legal di wilayah administrasi Sumatra Barat, tiga kategori kelompok minoritas di atas berhak mendapat hak yang sama di dalam lembaga negara, apalagi lembaga kebudayaan negara yang menggunakan nama administratif Sumatra Barat.
Orientasi kebudayaan DKSB, dengan begitu, semestinya mempertimbangkan keberadaan afiliasi-afiliasi minoritas di luar kelompok Minangkabau sebagai mayoritas. Sekumpulan gejala dan problem kultural yang muncul dari keberadaan kelompok tersebut di wilayah administratif Sumatra Barat mesti menjadi bagian dari ruang lingkup program DKSB. Tapi, pada kenyataannya, tidak satupun program DKSB[5] yang menyediakan ruang ekspresi dari afiliasi minoritas. Ketika ke-minangkabau-an menjadi wacana tunggal yang diproduksi, dituju, dan dikonsumsi oleh DKSB, maka tak dapat dihindari bahwa kerja-kerja kebudayaan yang berkaitan dengan institusi ini akan cenderung menjadi suatu model usaha untuk menegakkan identitas Minangkabau di atas identitas lainnya. Kompleksitas kebudayaan di Sumatra Barat direduksi menjadi sebatas masalah identitas Minangkabau dan persoalan mendasar dari potensi politik identitas seperti itu adalah terbatasnya ruang gerak bagi kelompok etnis lain untuk mengekpresikan kelompok mereka di wilayah administratif Sumatra Barat. Dengan kata lain, status legal suatu kelompok masyarakat minoritas sebagai warga administratif Provinsi Sumatra Barat menjadi tidak berguna ketika kelompok tersebut tidak mempunyai ruang setara dalam mengekspresikan corak kebudayaan yang berbeda dari kelompok mayoritas.
Di sinilah potensi dominasi yang terkandung dalam orientasi kebudayaan yang digunakan oleh Dinas Kebudayaan Sumatra Barat. Minangkabau sebagai etnis mayoritas akan mendominasi keberadaan etnis lainnya yang berada di wilayah Sumatra Barat. Dampak dari dominasi ini bisa saja, mulai dari hilangnya representasi kelompok lain dalam setiap agenda kebudayaan di Sumatra Barat sampai terjadinya penerapan model-model ideal dalam kebudayaan Minangkabau kepada kelompok-kelompok non-Minangkabau. Bila pun terjadi peleburan ekspresi kebudayaan, hal tersebut lebih berpotensi terjadi secara politis daripada terjadi secara kultural.
Selain itu, dominasi kelompok mayoritas Minangkabau juga terjadi kepada kelompok yang berstatus migrasi. Dominasi tersebut berpotensi terjadi dalam dikotomi pribumi dan pendatang di mana kelompok pendatang mesti mengikuti segala hal yang ditentukan oleh penduduk pribumi atau penduduk pendatang mendapatkan keterbatasan melakukan suatu aktivitas yang tidak sesuai dengan pandangan umum kelompok pribumi. Dengan kata lain, alih-alih terjadi suatu konsensus yang menguntungkan bagi kedua belah pihak, potensi dominasi yang dikandung orientasi kebudayaan DKSB justru akan lebih cenderung menempatkan penduduk pendatang sebagai objek kuasa. Pola dominasi seperti ini bisa terjadi dalam bentuk konflik-konflik sosial yang tak terelakkan ketika suatu ketimpangan terjadi di mana antara penduduk pribumi dan penduduk pendatang berada dalam hubungan tertentu yang tidak setara.
Terakhir, potensi dominasi kelompok mayoritas Minangkabau beragama Islam kepada kelompok bergama non-Islam bisa terjadi dalam bentuk penerapan wacana agama mayoritas dalam membaca dinamika kehidupan dalam masyarakat beragama minoritas. Kelompok agama mayoritas sangat berpotensi memposisikan kelompok agama minoritas sebagai sekumpulan penduduk yang mesti dibawa ke agama mayoritas. Ekspresi agama minoritas akan sangat potensial dilihat sebagai suatu ancaman terhadap persebaran agama mayoritas. Orientasi kebudayaan DKSB yang terpusat pada wacana Minangkabau tak bisa menjawab persoalan seperti itu. Kelompok agama minoritas, dengan demikian, hanya bisa tampil sebagai warga Sumatra Barat dalam ruang yang sangat terbatas ketika sebagian besar ruang ekspresi sudah berada dalam kuasa wacana agama mayoritas.
Dengan demikian, dapat dilihat bagaimana pada mulanya suatu posisi sentral kaum intelektual beretnis Minangkabau mempunyai dampak yang luas bagi dinamika kebudayaan di Sumatra Barat. Kosongnya representasi kelompok lain dalam perencaan lembaga negara tersebut mempunyai dampak langsung pada dinamika kebudayaan di masa selanjutnya. Visi dan misi kebudayaan Minangkabau yang diorientasikan sebagai wacana kebudayaan utama di seluruh wilayah adminsitratif Sumatra Barat pada akhirnya menghasilkan suatu potensi dominasi bagi kelompok-kelompok yang berada di luar wacana Minangkabau itu sendiri. Praktik intelektual-sentris yang dijalankan mulai dari pembentukan Dinas Kebudayaan Sumatra Barat sampai penciptaan visi-misi sebagai oritensi kebudayaan lembaga tersebut telah mengaburkan batas antara wilayah administratif dengan wilayah kultural. Kekaburan tersebut tak hanya mengacaukan antara status legal suatu kelompok sebagai Warga Negara Indonesia dan status kultural suatu kelompok masyarakat yang tidak bisa dilihat melalui wilayah administratif.
Sumatra Barat atau Minangkabau
Dinas Kebudayaan Sumatra Barat (DKSB) menggunakan nama “Sumatra Barat” sebagai nama resmi institusinya. Sumatra Barat adalah nama untuk wilayah administratif. Dalam setiap tindakan yang menggunakan nama administratif tersebut, aturan yang berlaku adalah hukum negara. Tidak ada kategori etnis tertentu yang diprioritaskan dalam posisi sebagai Warga Negara Indonesia. Setiap etnis dalam wilayah administratif yang sama, idealnya mendapatkan hak dan kewajiban yang sama.
Dalam merumuskan visi dan misinya, Dinas Kebudayaan Sumatra Barat hanya memfokuskan orientasi kebudayaannya pada kebudayaan Minangkabau. Orientasi tersebut menunjukkan bahwa wilayah administratif Sumatra Barat diberlakukan sebagai wilayah kultur Minangkabau. Dengan beralihnya garis administratif menjadi garis kultural maka DKSB telah mereduksi posisi setara yang didapatkan oleh setiap kelompok etnis sebagai hak Warga Negara Indonesia. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sebagai sebuah institusi kebudayaan pemerintah, DKSB mempunyai potensi sebagai instrumen dominasi dari etnis Minangkabau terhadap etnis lainnya di wilayah administratif Sumatra Barat.
Terdapatnya potensi tersebut tak bisa dilepaskan dari beberapa praktik kebudayaan yang diterapkan semenjak awal-mula rencana pembentukan Dinas Kebudayaan Sumatra Barat itu sendiri. Rencana pembentukan institusi tersebut dijalankan dengan praktik intelektual-sentris. Kaum intelektual, dalam hal ini seniman, budayawan, dan akademisi di kota Padang, menjadi pemegang otoritas dalam hal menentukan wacana kebudaayan yang akan diusung oleh DKSB. Karena kaum intelektual tersebut berlatar belakang etnis Minangkabau, maka wacana yang menjadi orientasi kebudayaan DKSB adalah wacana Minangkabau, yang secara lebih khusus hanya menyentuh wilayah tradisionalisme.
Praktik yang seperti itu membuat DKSB masih berada dalam kecendrungan yang tak jauh berbeda dengan praktik dari lembaga kebudayaan yang dijalankan semenjak era kolonial dan mendapatkan bentuk paling kuatnya di era Orde Baru, yaitu suatu praktik sentralistik yang menempatkan kaum intelektual sebagai pemegang kewenangan dalam menentukan orientasi kebudayaan suatu masyarakat. Dengan kewenangan seperti itu, sebagaimana dalam contoh kasus DKSB, tak hanya meniadakan posisi-posisi lain dalam kehidupan ini yang mempunyai hak yang sama untuk ikut-serta dalam perencanaan kebudayaan, tetapi juga melegitimasi kuasa etnis yang diwakili oleh sekelompok intelektual tersebut atas etnis-etnis lain yang tidak mendapatkan ruang untuk mengekpresikan kelompok mereka. (*)
*Tulisan ini pernah dimuat di Lembaran Kerja Budaya, edisi 1. April 2020. Dimuat kembali di garak.id untuk tujuan pendidikan.
Ilustrasi oleh: Talia Bara
Catatan kaki
[1]Lihat salinan naskah pidato tersebut di buku Senjakala Kebudayaan (Bentang, 1996). Cetakan kedua buku tersebut diterbitkan dengan judul yang sama oleh Penerbit Oak, 2017.
[2]Lihat situs resmi Dinas Kebudayaan Sumatra Barat: http://disbud.sumbarprov.go.id/details/pages/8
[3]Ibid.
[4]Data persentase diolah dari situs resmi Badan Pusat Statistik (BPS), yaitu https://sp2010.bps.go.id
[5]Untuk program-program Dinas Kebudayaan Sumatra Barat, lihat: http://disbud.sumbarprov.go.id/#
Daftar Referensi
Azwar, Nasrul (2016, 4 Oktober). DPRD Sumbar Setujui Berdirinya Dinas Kebudayaan. Sumbar Satu. Diambil kembali dari http://www.sumbarsatu.com/berita/13714-dprd-sumbar-setujui-berdirinya-dinas-kebudayaan.
Benda-Beckmann, F. & Benda-Beckman, K. (2011) Identitas dalam perselisihan di Minangkabau. In: Ramstedt, M. & Thufail, F. I. (eds.) Kegalauan identitas: agama, etnisitas, dan kewarganegaraan pada masa pasca-orde baru. Jakarta: Kompas Gramedia.
Dewanto, Nirwan. (1996)Kebudayaan Indonesia: Padangan 1991.Senjakala Kebudayaan. Yogyakarta: Bentang.
Jones, Tod. (2015) Kebudayaan dan Kekuasaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.