Sudut Pandang

Industrialisasi, Pilkada, dan Ancaman Kehidupan Pertanian Sumbar

Apa lawan dari bentuk ekonomi industrialis? Saya tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk menjawabnya tuntas. Secara teoritik saya membutuhkan ahli ekonomi, atau ilmuan ekonomi politik untuk membahas ini secara mendalam, terlebih di tengah makin beragamnya varian penjelasan sebagai akibat merasuknya pendekatan ini pada segala tingkatan bentuk ekonomi dalam berbagai cara.

Tapi barangkali bentuk usaha “ekonomi mikro” bisa menjadi petunjuk awal. Skala-nya yang kecil dan heterogen oleh pelaku atau kelompok kecil yang juga beragam menjadi ciri utama yang jelas tampak untuk yang terakhir ini, relatif demokratis dan bersanggakan relasi sosio kultural yang juga relatif kuat. Ia tidak hanya pada tertopang pada logika ekonomi semata.

Sementara ekonomi industrialis sebaliknya. Menempatkan modal sebagai piranti utama, ekspansif dan berorientasi pada “pertumbuhan”. Jangan dulu melulu melihat “pertumbuhan” sebagai kosa kata yang positif. Ia memiliki harga. Pertumbuhan di sini merekat erat pada apa yang disebut akumulasi kapital, terus dan terus. Implikasi segera dari industrialisasi ini adalah menekan–kalau tidak sama sekali menghilangkan–keragaman yang mikro, yang kecil tadi itu, selain hancurnya relasi sosial.

Kenapa pembicaraan dua hal di atas muncul, tidak lepas dari spam news yang terus masuk menjejal layar handphone belakangan, dan makin lantang. Tentang seorang “perantau sukses” yang ingin pulang kampung membawa industrialisasi pertanian peternakan di dalam tentengannya. Barangkali terpengaruh pendekatan ala new deal paska resesi ekonomi dipertengahan paro pertama abad 20, negara diperlukan ter/dilibatkan, atau “didekati/kan”. Tentengan industrialisme saja tidak cukup, lebih dari itu, perlu “jamba” yang menyambut, yang menjaga, yang memberikan ruang dan jalan, sehingga kemudian industri terhidangkan dengan baik. Tabiat, gayung bersambut, mutual interest bertemu. Kapal gula tak akan di tolak. Kita tahu siapa nanti yang duduk bersila menikmatinya.

Pertanian Sumatera Barat

Saya masih berbesar hati, setidaknya pasar-pasar yang kita sebut “tradisional” masih berjaya hingga kini di pusat-pusat koto dan nagari. Sebut saja pasar Padang Lua, Aur Kuning, Pasa Bawah, Koto Baru, dan lain seterusnya. Memang telah beragam upaya “pemoderenan” pasar-pasar ini dicobakan, tapi agaknya karakter tradisi-nya belumlah lekang. Karakter tradisi yang menyolok adalah di mana kios-kios atau petak-petak di pasar diisi oleh produsen keluarga petani dari sudut-sudut nagari–alih-alih kekuatan dominan beberapa wirausahawan industri saja.

Dalam porsi yang besar, penjual hasil pertanian (seperti yang ada di pasar induk Koto Baru atau Padang Lua, misalnya) saya kira adalah juga para petani itu langsung, atau pihak pengumpul tangan pertama yang biasanya adalah petani juga. Mereka datang membawa hasil tani dan kebun dari atas tanah kaum keluarga sendiri, diolah oleh tangan dan peralatan mereka sendiri. Tentu saja dimungkinkan ada pelaku-pelaku sebagai produsen pertanian skala menengah yang turut serta berkompetisi, di antara puluhan bahkan ratusan kios yang ada di satu pasar itu. Namun keberadaan sebuah industri pertanian, agak sulit dibayangkan eksis mendominasi. Terus semaraknya pasar-pasar lawas ini, mengindikasikan bahwa aktivitas pertanian (dan peternakan) masih digairahi dengan dominan oleh pelaku-pelaku pertanian lokal yang kecil dan mikro tadi, hingga sekarang.

Praktik laku dan kondisi pertanian yang relatif kecil atau mikro tadi berseiringan dengan faktor sosio-kultural masyarakat Sumatera Barat–yang mengakar kuat pada budaya Minang yang konon egaliter, relatif otonom, dan yang membuat sebuah ide menghomogenkan mereka pada satu cara saja, sulit mewujud.

Pertimbangan masih kuat dan hidupnya “kepemilikan” tanah–sekaligus sirkulasi pengelolaan ladang dan sawah–yang didasarkan pada norma adat dan ulayat (as a common property), semakin memperkecil logika dan praktek industri mampu menembus–ini terutama berlaku di daerah darek. Baca saja betapa rumitnya mekanisme sosial budaya pengelolaan tanah ulayat oleh “investor/pihak ketiga” pada Perda No.6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya (walaupun perlu digarisbawahi, melalui perda ini pulalah, secara legal formal, tangan-tangan industrialis dimungkinkan mengakses tanah-tanah adat, tapi ini bisa didiskusikan di lain waktu). Siapa spekulan yang mampu menghadapi tembok matrilineal itu?

Jangankan mengakses tanah sebagai instrumen produksi utama pertanian, dalam menguasai sektor distribusi saja, tidak banyak logika dominatif yang sampai pada singgasana. Sebagai contoh, beberapa tahun lalu–barangkali masih ada sisa-sisanya hari ini saya kira–sebuah usaha memonopoli distribusi kebutuhan harian masyarakat Sumatera Barat, pernah diinisiasi melalui Gubernur berkuasa. Tidak tanggung-tanggung, kebijakan ini disampul dengan gimmick “minang mart”, bisnis retail murni yang men-demagogi ritail serupa indo-alfa-mart, dan mengedepankan simbol kultural sebagai penangkalnya.

Di satu sisi Gubernur berusaha membendung masuknya ritel-ritel kelas kakap ke Sumbar, di saat yang bersamaan, gerakan “warung modern” ini cenderung memanfaatkan kekosongan ekspansi modal luar tersebut dengan memainkan dan memakai substansi ekonomi yang relatif sama. Ia sama sekali tidak akan menguntungkan petani Sumatera Barat (produsen), tidak juga konsumen apalah lagi existing distributor. Tidak seperti yang digadang-gadangkan (terkait persoalan tersebut, baca ulasan saya di sini). Usaha di level distribusi ini gagal, setidaknya hanya mucul beberapa saja dari 1000 yang diangankan. 

Jika di level distribusi saja–yang dalam praktiknya tidak bersinggungan langsung dengan fondasi budaya agraris, tanah, misalnya–tidak terbayang bagaimana tandasnya usaha yang sama di level produksi.

Industrialisasi dan Ancamannya

Si perantau sukses barangkali menganggap ini peluang. Boleh saja. Saya juga tidak berpretensi mengatakan bahwa wacana industrialisasi pertanian Sumatera Barat tidak akan berjalan mudah. Bisa saja kedepan sebaliknya. Namun bagi masyarakat Sumatera Barat dan petani secara khusus, atau siapa saja yang peduli pada kehidupan petani dan pertanian, industrialisasi harus betul-betul dipikirkan dengan serius. Sebagaimana Bernstein (2015) nukilkan, “begitu negara-negara menempuh industrialisasi, proporsi tenaga kerja di sektor pertanian mengalami penurunan”. Seiring dengan itu, rezim korporasi pangan, telah melucuti kepemilikan petani sebagai suatu syarat untuk mengukuhkan kekuasaan pertanian korporat (Philip McMichael: 2006)–yang mana cara ini dalam bahasa Harvey adalah contoh dari accumulation by dispossession, sebuah pertumbuhan di atas bentang kesengsaraan petani. Industrialisasi pertanian tentulah bukan penyebab dimulainya “proses yang mengantar pada matinya kaum tani”, tetapi sangat mungkin mengantar kaum tani Sumatera Barat pada akhir.

Lain daripada itu, saya juga tidak ingin bermaksud mengatakan bahwa kehidupan pertanian di Sumatera Barat hari ini baik-baik saja. Bahwa betul, ada persoalan pada struktur agraria–sebagaimana di banyak tempat di negara ini–bersoal pada model pertanian yang tengah berlangsung, ketergantungan petani yang tinggi pada hulu usaha dan ketidakmerdekaan terhadap hilir, persoalan regenerasi petani, dan lain sebagainya. Tapi industrialisasi bukanlah jawaban. Industrialisasi pertanian adalah ancaman nyata bagi para petani, ancaman langsung bagi setengah dari jumlah masyarakat Sumbar (Sutas 2018, BPS Sumbar).

Penutup

Kontestasi pimpinan daerah tengah bergulir lagi. Sebagaimana resahnya kita mengikuti perkembangan dinamika eleksi, wacana industrialisasi pertanian di Sumatera Barat, jauh lebih meresahkan. (*)

 

Editor: Randi Reimena

Related posts
Sudut Pandang

Kalera, Wabah, dan Rasa Sakit

Sudut Pandang

Individu dan Ketidakberdayaan

Sudut Pandang

Sastraku Sayang, Sastraku Malang

Sudut Pandang

Bungkus Baru, Isi Lama: Kritik Soedjatmoko atas Penulisan Sejarah di Indonesia (1957-1965)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *