Beberapa waktu lalu saya diajak berdiskusi melalui Zoom oleh Tim Festival Musikal Indonesia (FMI) terkait bagaimana pembacaan sementara saya terhadap konsep musikal dalam kesejarahan tari di Indonesia. Diskusinya berlangsung ringkas dalam format sederhana, bukan diskusi publik, hanya dihadiri oleh Rusdi Rukmarata, Reda Gaudiamo, Yola Yulfianti, Alim Sudio dan beberapa orang tim lain dari FMI. Tentu saja, mereka paham kapasitas saya dalam diskusi tersebut bukanlah sebagai seorang akademisi ataupun praktisi tari. Saya hanya berlaku sebagai seorang periset, jika boleh dikatakan begitu, yang melakukan pembacaan singkat terhadap beberapa arsip Dewan Kesenian Jakarta mengenai kegiatan-kegiatan tari yang pernah diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki.
FMI sebenarnya sudah mempunyai konsep cukup matang untuk memberi ruang dan turut memberikan gairah pada musikal (tari) di Indonesia yang belakangan mulai marak kembali melalui konsep film tari. Pandemi sejak 2020 memungkinkan berbagai bentuk konsep musikal dihadirkan melalui beragam teknik sinematografi dan teknik green screen melalui pengeditan CGI (computer-generated imagery) atau pencitraan hasil komputer oleh digital artist sesuai dengan kebutuhan musikal.
Untuk teknik sinematografi ini mungkin kita dapat melihat salah satunya melalui Serial Musikal Nurbaya (2021), adaptasi dari novel Kasih Tak Sampai Marah Rusli, yang disutradarai oleh Garin Nugroho dan diproduksi oleh Djarum Foundation. Serial musikal ini memang tampak lebih condong menghadirkan dramaturgi pertunjukan (film) musikal. Sementara itu untuk teknik CGI salah satunya dapat dilihat melalui pertunjukan musikal Race for Destiny, The Legend of the Twelve Animals in Chinese Horoscope (2022). Musikal produksi Ibu Giok Hartoyo dan EKI Dance Company tersebut sepenuhnya dimainkan dengan latar green screen.
Namun pelaksanaan FMI di bulan Agustus nanti agaknya memang tidak berfokus untuk tari musikal dengan konsep virtual. FMI dihadirkan untuk melakukan pembacaan kembali, atau mungkin pembacaan awal, mengenai bagaimana perkembangan tari musikal di Indonesia melalui premis dasar: musikal dengan gaya Indonesia itu ada! Untuk itu agaknya penyelenggara FMI memberikan tawaran kepada beberapa kelompok tari yang pernah atau sudah terbiasa menggarap pertunjukan musikal dengan memberikan tawaran untuk menghadirkan musikal “rasa Indonesia”.
Tentu saja, hal mendasar dan paling elementer yang dapat dilakukan pada tahap pertama adalah dengan menghadirkan musikal berdasarkan cerita-cerita rakyat atau kesejarahan sebagai landasan penceritaan. Kemudian dapat pula dihadirkan bentuk atau konsep tarian daerah nusantara dalam musikal tersebut. Cara ini, dalam pandangan saya, adalah bentuk paling memungkinkan untuk kemudian dapat diteruskan ke tahapan menggali ragam teknik musikal selanjutnya.
Dari Randai Sampai Tari Adok
Musikal dengan “rasa” (atau mungkin cara pandang) Indonesia mengingatkan saya jauh ke masa kecil–mungkin usia tujuh atau delapan tahun–dimana ketika Sabtu malam tiba saya bersama kawan-kawan bermain Randai. Saya menggapnya sebagai sebuah permainan, sebab konsepnya seni pertunjukan di Minang memang begitu adanya. Terlebih waktu itu saya bersama kawan-kawan memainkan randai dengan pengetahuan terbatas tentang kesenian tradisional itu. Kami tidak ada pelatih, benar-benar hanya memainkan pola randai, bernyanyi bersama-sama dengan dendang yang kami ciptakan sendiri, dan tanpa dialog.
Saya memandang konsep musikal ini ada dalam hampir dalam keseluruhan seni pertunjukan Minangkabau, dan Randai sebagaimana saya memahaminya, adalah salah satunya. Jika dibandingkan dengan konsep musikal barat semisal gaya Broadway, tentu akan berbeda. Namun secara keseluruhan instrumen dasar musikal yang dimaksud dalam konsep Barat tersebut ada dalam seni pertunjukan di Minangkabau semisal Randai. Pada catatan saya sebelumnya berjudul “Musikal Gaya Indonesia” saya menuliskan bahwa seni pertunjukan tradisional pada dasarnya mengandung instrumen musikal sebagaimana dipahami dalam perspektif Barat. Semisal pertunjukan dengan penceritaan yang dihadirkan bersamaan dengan musik, nyanyian, akting dan dialog sekaligus. Jika dalam konsep musikal Barat struktur penceritaan hadir dengan bantuan naskah, dalam konsep pertunjukan tradisional penceritaan hadir secara lisan, bahkan dalam sebuah pertunjukan pemain sering melakukan improvisasi untuk merespon situasi ruang pertunjukan.
Selain itu, konsep pertunjukan tradisional di Indonesia tidak mengenal bentuk panggung modern seperti proscenium, namun hadir melalui panggung terbuka. Inilah salah satu bentuk yang membedakan musikal dalam konsep Barat dengan konsep pertunjukan seni tradisi di Indonesia, termasuk di Minangkabau. Panggung terbuka sendiri dalam konsep seni pertunjukan tradisional dapat dipandang sebagai sebuah usaha untuk mendekatkan pertunjukan dengan masyarakatnya.
Pada Randai dapat kita lihat instrumen musik, nyanyian, dan akting sekaligus terdapat dalam sebuah pertunjukan. Seorang pemain randai sekaligus dapat bernyanyi dan menari dengan gerak dasar silat. Seorang tokoh dalam penceritaan randai dapat bergabung bersama pemain lain menjadi penarinya. Bahkan hari ini model penceritaan randai yang berdasarkan pada kaba-kaba tradisional Minangkabau sudah dituliskan seperti naskah drama yang mempunyai alur yang jelas. Hampir semua struktur randai ini dapat dikategorikan pada musikal meskipun secara teknik tentu sangat jauh berbeda dengan musikal Barat. Juga bagaimana ia dihadirkan: randai lebih bersifat egaliterdengan pertunjukan yang diadakan di ruang terbuka, pola permainannya yang melingkar memungkinkan penonton bisa menonton dari sudut manapun.
Satu seni pertunjukan lain yang secara instrumen mengandung pola musikal adalah pertunjukan tradisional Tupai Janjang. Seni pertunjukan yang terkadang dipandang sebagai teater tradisional ini berangkat dari salah satu sastra lisan Minangkabau. Dalam Tupai Janjang seorang tukang cerita (tukang kaba) bercerita sambil menari dan memperagakan tokoh yang ia bawakan dalam pertunjukan. Berbeda dengan seni pertunjukan lain yang dimainkan secara beramai-ramai, Tupai Janjang dimainkan sendiri oleh tukang cerita, diiringi oleh dua orang yang memainkan musik melalui tepukan tangan. Terkadang, bentuk kesenian tradisional ini sudah ditambahkan dengan musik saluang. Namun instrumen dasar musikal ini hadir melalui dendangan yang dihadirkan oleh pemain dibantu tepukan tangan dari dua pengiring tadi.
Sebagaimana seni pertunjukan tradisional lain, Tupai Janjang dimainkan dengan menggunakan bahasa Minangkabau, dan dimainkan di ruang terbuka. Pertunjukan pun biasanya dimainkan malam hari dan sifat dari pertunjukan tradisional ini lebih kepada hiburan. Selain itu, dalam penceritaan Tupai Janjang terdapat bagian dari penceritaan yang menggambarkan bagaimana seharusnya manusia dapat selaras hidup dengan alam dan lingkungan sekitarnya.
Satu bentuk kesenian lain yang dapat digolongkan sebagai musikal adalah Tari Tan Bentan atau Tari Adok. Berbeda dengan randai dan Tupai Janjang, pada seni pertunjukan ini pemain tidak ikut bernyanyi dan hanya menari, sedangkan untuk nyanyian dan musik dihadirkan melalui pemusik yang berada di luar ruang permainan. Tari Tan Bentan dimainkan oleh tiga orang penari yang menggambarkan satu babakan penceritaan dalam kaba Minangkabau tentang pertempuran Cindua Mato dengan Imbang Jayo yang disaksikan oleh Puti Bungsu.
Tari Tan Bentan memiliki lima babakan secara kronologis dalam pertunjukannya. Kelima babakan tersebut meliputi, (1) Pado-pado yang merupakan gerak pembuka tari Tan Bantan. Gerakan ini pengungkapan filosofis; babuek baik pado-padoi, babuek buruak sakali jaan; yang akan mengantarkan kisah permulaan tari. Dilanjutkan babakan (2) Dendang-dendangan, penggambaran dendang menyenangkan yang dibawakan Cindua Mato ketika menyamar menari di hadapan Imbang Jayo yang sedang mempersiapkan pesta pernikahannya dengan Puti Bungsu. Dendang itu dimainkan Cindua Mato agar Imbang Jayo tak curiga bahwa orang yang sedang menghiburnya adalah musuhnya.
Babakan selanjutnya, (3) Adau-adau, menceritakan tentang usaha Cindua Mato untuk membuat Imbang Jayo tertidur melalui dendangnya. Pada tahapan ini Puti Bungsu digambarkan tersadar, ikut menari, dan membuat makin Imbang Jayo makin terhibur. Saat Imbang Jayo tertidur, ia digambarkan takicuah, tak sadar bahwa Cindua Mato hendak membawa Puti Bungsu.
Setelah Imbang Jayo terkecoh, maka dimulailah babakan (4) Din-din. Ini merupakan usaha yang dilakukan Cindua Mato untuk mendinginkan atau menyejukkan hati Imbang Jayo dan masyarakat Sungai Ngiang yang sedang mempersiapkan pesta; baik yang sedang memasak di dapur, menghias, atau mengadu ayam di galanggang, supaya mereka tidak curiga sama sekali pada rencana Cindua Mato. Di sini digambarkan Cindua Mato mempunyai ilmu batin yang kuat, mampu mengelabui orang banyak, sehingga secara tak sadar ia telah lari membawa Puti Bungsu bersama kerbau saktinya, Si Binuang. Terakhir babakan (5) Jundai, berkisah tentang serangan yang dilakukan Cindua Mato terhadap Imbang Jayo dari jarak jauh. Imbang Jayo kalah, tersadar telah dikelabui terbangun dari tidurnya dalam keadaan gila (jundai).
Tiga contoh seni pertunjukan di atas dapat menggambarkan betapa unsur musikal yang dimaksud dalam konsep Barat tersebut ada dalam bentuk kesenian-kesenian tradisional di Indonesia, khususnya tradisi Minangkabau. Meskipun, sebagaimana saya tegaskan, beberapa instrumen dan kelengkapan di dalamnya tidak sama persis adanya. Namun, bentuk-bentuk kesenian tersebut dapat dieksplorasi lebih lanjut dan dapat dijadikan bahan dasar untuk mengolah musikal dengan pendekatan lain. (*)
Ilustrasi oleh Amalia Putri