Sewaktu saya kecil ada satu mitos menakutkan berkembang di kampung saya soal perjalanan malam hari dari Solok ke Padang. Bukan soal penampakan hantu, mambang, atau orang jadi-jadian. Melainkan kisah tentang pencegatan bus-bus Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) dan truk-truk di sekitar Lubuk Selasih hingga Ladang Padi.
Konon bila melewati daerah tersebut malam hari ada segerombolan penjahat yang kerap melakukan pencegatan dengan memaksa penumpang bus masuk ke sekitar Taman Hutan Raya (Tahura) Bung Hatta, memaksa penumpang menanggalkan pakaian (hanya menyisakan pakaian dalam), mengambil isi dompet serta perhiasan, lalu mereka akan mengikat dan meninggalkan penumpang di dalam hutan. Mitos tersebut berkembang dan terus terngiang di telinga saya sampai hari ini. Sementara tidak sekalipun bentuk kejahatan sejenis itu pernah saya temukan beritanya di media cetak atau disiarkan di televisi.
Sampai suatu waktu ketika saya sedang melakukan penelitian untuk kepentingan tesis, saya menemukan sebuah cerita pendek (cerpen) berjudul Di Luar Dugaan (NV Nusantara, 1963) karangan Soewardi Idris (1930-2002), yang ceritanya persis sama dengan mitos masa kecil yang kerap membuat saya takut setiap melewati daerah antara Lubuk Selasih dan Ladang Padi bila hari sudah malam.
Cerpen Di Luar Dugaan secara keseluruhan berkisah mengenai pergulatan batin seorang tokoh bernama Hadi yang merupakan anggota pasukan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Hadi ikut bertualang ke rimba-rimba bersama pasukan PRRI lain untuk menghindari kejaran pasukan “Tentara Pusat” atau Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Ia digambarkan sebagai seorang tokoh dengan ‘pikiran terbelah’, di mana ia dengan sadar mendukung PRRI dan meninggalkan keluarganya, sementara ia juga merasa bahwa tindakannya mendukung PRRI sudah menghancurkan moralnya dan menghancurkan kehidupan masyarakat.
Keterlibatan Hadi dengan PRRI semakin dirasakan tidak sesuai lagi dengan harapannya. Hadi digambarkan sebagai tokoh yang terombang-ambing dalam gerakan PRRI: “Tapi kini, harapan itu menjadi pudar ditanganku. Kenjataan telah berbitjara lain. Aku terlibat pemberontakan, terombang ambing oleh suatu tjita-tjita politik jang lama makin kabur dibalik nafsu ingin berkuasa dari seluruh pengikutnja,” kata Hadi dalam cerpen tersebut.
Dalam cerpen turut diceritakan bahwa Hadi bersama pasukan PRRI lainnya pernah membakar kampung-kampung yang tidak mau menyediakan makanan untuk mereka. Pasukan PRRI pernah memperkosa perempuan-perempuan untuk memuaskan hasrat dan Hadi juga pernah membunuh seorang laki-laki yang umurnya tidak seberapa tua darinya. Laki-laki tersebut dituduh sebagai kaki tangan APRI. Meskipun laki-laki tersebut sudah memohon-mohon belas kasihan dengan mengatakan bahwa ia memiliki empat orang anak di kampung, tapi laki-laki tersebut tetap dibunuh dengan cara ditembak. Penyesalan Hadi karena telah membunuh laki-laki tampak pada narasi berikut:
Benar, aku telah runtuh dan masjarakatpun telah runtuh. Begitu hebat keruntuhan jang kurasakan, hingga dua kali aku telah membunuh orang lain dengan tanganku sendiri. Sekali jang terachir, aku harus membunuh seorang laki-laki jang tidak seberapa tua dariku dan dituduh menjadi kakitangan APRI. Dia minta ampun dan mentjoba memikat perasaan rahimku dengan mengingatkan kepada anakku…. Tapi suaranja jang mengandung inti perasaan manusia ini, segera sadja lenjap dari hatiku, dan dengan tiga butir peluru, dia kutembak mati (Idris, 1963)
Kesadaran Hadi untuk meninggalkan pasukan PRRI kian membuncah ketika ia menerima sepucuk surat dari ibunya yang meminta dirinya untuk menyudahi petualangan bersama PRRI. Surat tersebut diterima dari seorang pencatut yang mondar-mandir mencari keuntungan dari wilayah yang dikuasai APRI ke daerah yang dikuasai pasukan PRRI. Namun berusaha pulang dan lari dari pasukan PRRI adalah pengkhianatan terbesar, tidak termaafkan, dan sangat berbahaya sekali. Ia bisa dibunuh oleh pasukan PRRI lain. Bahkan jika Hadi diketahui menerima surat dari ibunya, ia juga akan dibunuh. Ia dan pendukung PRRI lain meskipun mereka sama-sama ingin pulang dan kembali pada keluarga mereka masing-masing, tetapi mereka tetap berusaha(berpura-pura) bertahan—jika pulang mereka dianggap lemah dan akan dihabisi oleh anggota PRRI lain.
Kisah dalam cerpen berlanjut ketika suatu hari Hadi diminta oleh komandannya untuk mencegat bus dan truk yang lewat di daerah sekitar persembunyian mereka di sekitar Lubuk Selasih. Pasukan PRRI sudah terdesak karena tidak ada lagi pasokan makanan dari masyarakat. Permintaan komandan dan situasi yang mereka alami membuat Hadi terpaksa memimpin pasukan pecegatan. Mereka harus sangat berhati-hati karena patroli pasukan APRI sering mondar-mandir di jalan raya daerah itu.
Dikisahkan dalam cerpen, Hadi bersama pasukan PRRI lain berhasil mencegat buah bus dan truk perusahaan di daerah Lubuk Silasih. Dalam pencegatan itu pasukan PRRI menyuruh penumpang untuk masuk ke dalam hutan. Mereka menelanjangi penumpang laki-laki dan perempuan dan hanya menyisakan pakaian dalam. Pasukan PRRI juga ingin menjadikan penumpang perempuan tersebut sebagai pemuas hasrat. Pencegatan dan upaya tak beradab pasukan PRRI yang digambarkan dalam cerpen tampak dalam narasi berikut:
Bus jang kami tjegat itu hanja sebuah, dan ditambah dengan sebuah truck kepunjaan satuPerusahaan. Muatan dikosongkan, dan seluruh pakaian penumpang dibuka; penumpang-penumpang diharuskan ikut bersama kami untuk mengangkut barang-barang kedalam hutan. Tidak lupa kami membuat lelutjon jang tidak ada dalam kamus manusia beradab, jaitu menanggalkan pakaian wanita-wanita kecuali BH dan rok-dalam. Wanita-wanita ini merupakan hasil pentjegatan paling besar, jang membuat anggota gerombolan kami mabuk karena gembira. Mereka ingin agar wanita-wanita itu dibagi-bagi seperti membagi nasi bungkus (Idris, 1963).
Dalam peristiwa itu sesuatu yang tidak terduga terjadi dan membuat Hadi terkejut. Ia baru sadar salah seorang perempuan yang ditelanjangi oleh pasukan PRRI tersebut tak lain adalah adik iparnya. Perempuan yang sedang dipermainkan oleh pasukan PRRI tersebut meminta agar ia tidak dinodai karena ia punya kakak yang juga seorang pasukan PRRI. Ia memperlihat selembar foto yang ternyata foto Hadi dan adik laki-lakinya. Hadi kaget dan buru-buru menyuruh agar menyembunyikan foto itu dan meminta pasukannya untuk membebaskan perempuan tersebut. Hadi berpesan pada adik iparnya itu agar memberikan kabar pada keluarganya, bahwa ia akan pulang. Seminggu kemudian Hadi dan beberapa orang lain lari dari pasukan PRRI. Hadi pulang ke kampungnya di daerah Tanah Garam, Solok, dan semua menyambutnya dengan bahagia.
Tampak sederhana memang hubungan antara mitos yang berkembang dalam masyarakat tentang pencegatan bus-bus di sekitar daerah Lubuk Selasih dengan cerpen Soewardi Idris ini. Bisa saja peristiwa dengan tema sama ini adalah dua hal yang tidak berhubungan sama sekali. Mungkin pula dua peristiwa ini berangkat dari suatu peristiwa yang benar-benar pernah terjadi dalam masa PRRI (1958-1962). Peristiwa PRRI ini dalam catatan sejarah memang menyimpan berbagai kejadian kelam, baik kekejaman yang dilakukan oleh pasukan APRI terhadap PRRI dan masyarakat, atau keterdesakan PRRI yang membuat pasukannya melakukan perbuatan yang melenceng dari niat perjuangannya.
Jika mitos dan cerpen ini benar berasal suatu peristiwa yang pernah terjadi di sekitar daerah Lubuk Selasih semasa PRRI, maka ia menjadi kian tampak unik, dilihat dari bagaimana peristiwa itu dirawat sebagai mitos dan terlempar jauh dari konteks peristiwa aslinya. (*)
Ilustrasi oleh Amalia Putri