Di lepau-lepau nasi milik perantau Minang (Rumah Makan Padang) lazim tampak foto Ungku Saliah dipajang dengan elok di dinding belakang meja kasir atau dinding belakang selurus pintu masuk. Foto lelaki tua bertuah dengan kopiah, bersalempang kain sarung motif kotak-kotak, dan pandangan meneduhkan itu, biasanya menandakan pemilik kedai nasi berasal dari Pariaman.
Jangan kaget, bila suatu ketika anda berkunjung atau tanpa sengaja berkunjung, ke kedai-kedai lain milik orang Minang dan menemukan foto-foto anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) berbagai matra dipajang. Tidak hanya foto-foto anggota TNI, terkadang ada juga foto-foto pejabat pemerintahan mengenakan baju safari. Tak peduli apakah anggota TNI atau pejabat berbaju safari itu sudah naik pangkat atau pensiun, foto-foto itu akan terus dipajang bertahun-tahun lamanya.
Kecenderungan memajang foto-foto ini juga terjadi pada perantau dari kampung saya dan itu sudah berlangsung sejak lama. Meskipun kecenderungan itu kini berkurang, saya kira hal ini berhubungan dengan memori kolektif mereka; berkaitan dengan kondisi daerah tempat merantau; terhubung dengan situasi politik di Indonesia; dan tentu saja ada “mato galeh” (jenis dagangan) tertentu yang membuat para perantau itu harus memperlihatkan bahwa mereka punya saudara tentara atau pejabat.
Periode 1990-an atau sebelum reformasi, beberapa nama anggota TNI berbagai matra dan berbagai pangkat yang berasal dari kampung saya sering disebut-sebut. Mereka, para anggota TNI itu, memang terkenal loyal pada orang kampung. Kerap saya mendengar kabar apabila orang kampung ada masalah di rantau mereka akan membantu dengan sukarela. Jika ada agenda Pulang Basamo maka mereka akan berada di bagian depan mengamankan rombongan. Bila mereka atau salah seorang dari mereka tidak ikut pulang kampung karena tidak dapat cuti bertugas, maka pasti akan terdengar kabar bahwa mereka turut serta membantu dengan cara lain. “Inyo itu nan manolong rombongan urang awak bia capek masuk kapa (Dia itu yang menolong rombongan kita biar cepat masuk kapal),” kata orang-orang. Maksudnya, mereka membantu memperlancar urusan agar mobil-mobil rombongan Pulang Basamo bisa cepat menyeberang dari Pelabuhan Merak ke Bakauheni.
Beberapa di antara mereka bahkan dikenang kemudian hari sebagai sosok “hero”. Mungkin karena banyak persoalan-persoalan orang rantau yang pernah mereka bantu. Dari persoalan remeh-temeh semisal membantu membendung premanisme sampai persoalan terkait hukum. Mereka menjadi sosok yang kemudian hari menginspirasi orang-orang muda lain di kampung untuk turut menjadi anggota TNI. Dan mungkin karena kian bangganya perantau dari kampung saya pada mereka, maka foto-foto mereka dipajang di kedai-kedai tempat mereka berjualan—meskipun bukan kerabat dekat. Foto-foto itu setidaknya membuat perantau merasa aman dari gangguan preman dan tukang palak. Para perantau mengira orang-orang akan segan (bahkan takut) jika mengganggu dan berbuat usil.
Memajang foto-foto TNI atau pejabat di kedai-kedai ruang lingkup perantau dari nagari saya atau nagari-nagari lain mungkin mujarab. Masing-masing nagari mungkin punya sosok “hero” tersendiri. Namun bagaimana dengan perantau Minang (Sumatera Barat) secara umum dengan “mato galeh” lain mencari rasa aman? Semisal pedagang kaki lima?
Dari beberapa klipingan koran dan arsip suara yang saya baca dan dengar, ada cara unik yang pernah dilakukan oleh perantau di wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat. Cara unik itu difasilitasi oleh organisasi-organisasi ikatan perantau dan didukung Pemerintahan Provinsi Sumatera Barat (Gubernur Azwar Anas), yaitu memberi “gala” (gelar) kehormatan pada gubernur setempat.
Jika dalam tradisi pemberian gelar di Minang terdapat “Gala Mudo” (gelar yang diberikan pada laki-laki dewasa dan diberikan saat upacara pernikahan), “Gala Sako” (gelar pusaka kaum; datuk; penghulu; raja), “Gala Sangsako” (gelar kehormatan bagi seorang yang berjasa dan berhasil mengharumkan nama Minangkabau), maka gelar kehormatan untuk Gubernur DKI Jakarta dan Jawa Barat ini tidak termasuk di dalam kategori tersebut. Bukan seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang diberi gelar “Yang Dipertuan Maharajo Pamuncak Sari Alam” dan Ibu Ani Yudhoyono bergelar “Puan Puti Ambun Suri”, bukan pula serupa Sri Sultan Hamengkubuwono X diberi gelar “Yang Dipatuan Maharajo Sati” dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas “Puan Gadih Reno Indaswari”, dan bukan seperti gelar-gelar Sangsako lain yang diberikan, maka dua gubernur tersebut cukup diberi gelar kehormatan “Uda” atau “Mamak”!
Gubernur DKI Jakarta yang pernah diberikan gelar “Uda” yaitu Tjokropranolo dengan upacara pemberian gelar tidak dilangsungkan secara adat sebagaimana biasanya. Tjokropranolo diberikan gelar pada saat acara final Festival Lagu Minang Populer tahun 1981 di Taman Ismail Marzuki. Dalam acara tersebut tampil penyanyi-penyanyi ibukota seperti Harvey Malaihollo, Herty Sitorus, Hetty Koes Endang, Eddy Silitonga, dan lain-lain. Mereka membawakan lagu-lagu ciptaan komposer Minang yang diperlombakan. Selain lomba, terdapat acara hiburan lawak dan musik yang diiringi Band Arya—dan mesti diingat, pemberian ini hanya acara selipan.
Di sela-sela acara, pada waktu jeda saat juri menentukan pemenang festival maka pembawa acara (salah satunya Yus Parmato Intan yang kerap menjadi pembawa acara Minang di radio-radio Jakarta) mempersilakan Gubernur DKI Jakarta Tjokropranolo dan Gubernur Sumatera Barat Azwar Anas yang turut hadir pada malam final festival tersebut untuk naik ke panggung. Pembawa acara pun mengumumkan pada penonton malam itu bahwa Gubernur DKI Jakarta akan diberikan gelar kehormatan:
“Kita sangat bersyukur, di luar kesibukan beliau pada malam ini ternyata Bapak Tjokro yang kita cintai tetap bersedia untuk hadir bersama-sama kita. Dan sebagaimana pepatah Minang mengatakan, putiah kapeh dapek diliek, putiah hati bakaadaan, oleh karena kita ingin melihatkan rasa cinta dan hormat kita kepada Bapak Tjokropranolo, pada kesempatan malam ini masyarakat Minang di ibukota ingin mempersembahkan kenang-kenangan tandamata untuk Bapak Tjokro yang sekaligus akan kita beri gelar “Uda Tjokro””.
Tjokropranolo dan Azwar Anas kemudian naik ke panggung. Terdengar pembawa acara berceletuk bahwa gelar yang diberikan pada Tjokropranolo tentu akan membawa kebahagian pada perantau Minang di ibukota yang notabene adalah pedagang: “…atas nama kita, masyarakat Minang yang berdomisili di ibukota republik ini, dan diwakili oleh mamak awak, bapak dek kito, atau uda, Bapak Ir. Azwar Anas Gubernur Sumatera Barat untuk mewakili kita semua menyerahkan sebuah kenang-kenangan kepada Bapak Tjokropranolo yang sekaligus resmi kita berikan gelar kehormatan untuk Bapak Gubernur DKI ialah Uda Tjokro…” kata pembawa acara. Gelar “Uda” pun lekat malam itu pada Tjokropranolo.
Sementara gelar kehormatan untuk Gubernur Jawa Barat diberikan pada Yogie Suardi Memet dan istrinya di Gedung PPTM Bandung, malam 20 Juli 1986. Sedikit berbeda dengan acara pemberian gelar pada Tjokropranolo yang terkesan diselipkan pada acara lain, pemberian gelar kehormatan untuk Gubernur Jawa Barat yang juga dihadiri oleh Gubernur Sumbar Azwar Anas dilangsungkan lebih terencana bersamaan dengan acara Halal Bi Halal warga Sumatera barat di Jawa Barat. Pemberian gelar pada Yogie Suardi Memet dan istrinya tersebut juga dilengkapi dengan prosesi penyerahan “tungkek” (tongkat), sebagaimana diberitakan Berita Buana, Jumat, 25 Juli 1986:
“Masyarakat Minangkabau di Jawa Barat yang tergabung dalam Badan Koordinasi Kesatuan Masyarakat Minangkabau (BK2M2) Jawa Barat, Minggu malam 20 Juli di Gedung PPTM Bandung telah mengukuhkan Gubernur Jawa Barat Yogie SM sebagai “Mamak” (Paman) dan Ny. Yogie SM sebagai “Mintuo” (bibi) masyarakat Minang di Jawa Barat. Pengukuhan tersebut ditandai dengan penyerahan “tungkek” (tongkat) adat oleh Prof. Dr. H. Hasan Basri Saanin kepada Gubernur Jabar, yang dihadiri pula oleh Gubernur Sumatera Barat Ir. H. Azwar Anas, Wagub Jabar H. Abung Kusman, Ketua DPRD Jabar H.E. Suratman serta undangan lainnya”.
Dari beberapa arsip dan data yang saya punya, memang baru dua gubernur (DKI Jakarta dan Jawa Barat) yang diberikan gelar unik itu. Gelar yang bukan tergolong gelar adat. Dan peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Gubernur Azwar Anas. Tampaknya, pemberian gelar ini merupakan salah satu strategi untuk membuat para perantau merasa aman sekaligus untuk membuat mereka merasa manjadi bagian dari warga di lokasi merantau. Selain itu, menurut catatan pemberitaan Berita Buana, pemberian gelar kehormatan sebagai “Mamak” itu diharapkan dapat meningkatkan komunikasi, koordinasi dan kerjasama antara Pemerintahan Daerah Jabar dengan masyarakat Minangkabau di Jawa Barat secara timbal balik.
Proses pemberian gelar ini memang strategi yang berbeda dari memajang foto-foto anggota TNI atau pejabat di kedai-kedai orang Minang. Selain itu, strategi memajang foto tentunya tidak akan akan dapat dilakukan oleh para perantau yang periode itu banyak berdagang kaki lima. Sebagaimana dicatat Prof. Harun Zain pada simposium Partisipasi Masyarakat Minangkabau dalam Pembangunan Jawa barat di Gedung Pusat Pengkajian Teknologi Mineral (PPTM) Bandung, Juli 1986, bahwa identitas Minang sebagai perantau di negeri orang pada periode itu adalah pedagang kaki lima.
Harun Zain mengatakan bahwa kehidupan sebagai pedagang kaki lima bukanlah suatu bidang kerja yang aman. Bidang ini membutuhkan keuletan dan ketahanan karena gelombang hidup perantauan tentu akan lebih diuji. Sebagaimana didendangkan dalam lagu berjudul “Kaki Limo” ciptaan Taswir Zoebir berikut:
Hari nan sadang pukua sabaleh
Kampuangnyo Jao lah sadang rami
Dikambang lapiak dikaka galeh
Arok mancari sasuok nasi
Kadang tamakan pokok lah abih
Badan basangai di paneh garang
Den gumam isak den lulua tangih
Buliah jan jaleh tampek dek urang
Di paneh garang paluah badoro
Urang mambali ciek jo duo
Galeh takambang usiran tibo
Siko badarai si aia mato
Hujan jo paneh ateh kapalo
Indak tagamang deklah biaso
Hanyo dimintak pado ilahi
lapangkan malah pintu rasaki
Berdagang kaki lima, dalam pandangan Harun Zain, dilakukan oleh masyarakat Minang karena tiadanya pilihan lain. Dorongan utama terjunnya angkatan kerja pada sektor informal itu karena tersisihnya mereka dari prasyarat memasuki sektor industri dan perdagangan, pelayanan masyarakat, atau sektor lainnya yang bersifat formal karena faktor pendidikan. Menjadi pedagang kaki lima dipilih karena modal usaha yang tidak terlalu besar serta keterampilan sederhana memungkinkan mereka dapat menghidupi keluarganya meskipun pada tingkat yang rendah.
Begitulah, setidaknya pemerintah Sumatera Barat dan organisasi Minang di daerah perantauan pernah berkolaborasi untuk menghadirkan rasa aman bagi perantau secara keseluruhan sampai ke pedagang kaki lima dengan strategi memberikan gelar pada gubernur—gelar unik yang tidak memerlukan prosesi sulit dan tidak dianggap melangkahi adat. Siapa yang akan menggugat ketika gelar yang diberikan cuma “Uda” dan “Mamak”? (*)
Ilustrasi oleh Amalia Putri.