Pembuka Kata untuk Kolom Permainan Hidup
Suatu petang pada bulan Maret 2022 saya berbicara dengan Randi Reimena (editor garak.id) mengenai kemandegan saya dalam mengumpulkan arsip selama pandemi. Selain keuangan seret, timbul kemalasan dalam diri, sebab arsip-arsip yang saya kumpulkan tidak banyak menghasilkan luaran untuk pengetahuan bersama sebagaimana diniatkan dari awal. Arsip-arsip tersebut berkelebat hanya sebatas hasrat, menggantung pada tataran wacana, dan sesekali hadir sebagai kilasan-kilasan dan sederet potret menghiasi laman media sosial saya.
Dari perbincangan saya dengan Randi kemudian timbul ide untuk menggarap satu kolom khusus di garak.id membahas pernak-pernik arsip yang sudah terkumpul tidak seberapa itu. “Biar pengetahuan dari arsip-arsip itu bisa tersiarkan dan dapat menjadi pengetahuan bersama,” kat Randi. Tentu saja saya setuju dengan catatan akan ada batasan pembahasan untuk rencana kolom ini, sebagaimana batasan saya dalam mengumpulkan arsip, hanya sekitar kebudayaan populer Minangkabau saja. Mulai dari kisah-kisah hidup orang Minang di kampung dan perantauan, dialektika kampung dan rantau, potret pembangunan daerah, trend dan gaya hidup orang Minang, tentang musik Minang, kota-kota persinggahan, “mato galeh” orang Minang, rumah makan, dst.
Ternyata dari batasan tersebut masih terdapat keluasan muatan juga, dan kami berpikir, kiranya apa nama kolom yang cocok untuk sebuah pembatasan sekaligus keluasan muatan ini? Saya kemudian menghubungi Heru Joni Putra untuk bertukar pikiran mengenai rencana ini sekaligus mendiskusikan kira-kira apa nama kolom yang cocok. Dari perbincangan saya dengan Heru, akhirnya bertemu ruas dan buku, tampak satu pertautan dari catatan-catatan kecil saya selama ini mengenai arsip dan hubungannya dengan kebudayaan populer Minang.
Heru langsung berceletuk “permainan hidup”, menurutnya judul itu cocok untuk rencana kolom saya, sebagaimana kecenderungan saya selama ini juga berkisah mengenai haru biru jalan hidup orang-orang Minang. Lama saya berpikir, “Permainan Hidup”, bukan “mempermainkan hidup”, tapi soal bagaimana nasib dan garis tangan mengantarkan orang-orang Minang pada jelajah tubuh dan pikiran jauh dari kampung. Hidup tiada menentu, nasib terus memburu, dan siapa bisa menduga masa depan akan mengantarkan orang-orang ke tujuan tiada menentu pula? Begitulah, lama saya inap-renungkan, kemudian tawaran Heru itu saya diskusikan kembali dengan Randi selaku orang yang akan mengedit tulisan saya. Randi bersetuju, ia juga berpikir “Permainan Hidup” cocok untuk apa yang hendak saya rencanakan melalui kolom tersebut: percik permenungan dan perca-perca jalan hidup orang Minang.
Dan tanpa berpikir panjang, saya beranikan diri mempersembahkan kolom ini untuk para pembaca garak.id yang budiman. Kolom ini dibuat bukan untuk mengelap-lap kecemerlangan orang-orang Minang dalam pergerakan kemerdekaan republik ini, bukan untuk mengagung-agungkan keluhuran budaya Minangkabau, dan bukan pula untuk memosisikan segala tentang Minang biar tampak lebih unggul dari peradaban dan kebudayaan lainnya. Sekali lagi, kolom ini adalah “permainan hidup”, perca-perca cerita jalan hidup orang-orang Minang dalam menjalani kehidupan. Bukan berarti kolom ini akan mengisahkan tentang keceriaan belaka, tapi juga derau kesedihan, bahkan bisa jadi tentang ceruk terkelam dalam proses kehidupan. Narasinya sesekali akan berangkat dari cerita personal saya, pengalaman pribadi saya, lalu bergerak ke ruang yang lebih besar, sebagaimana cerita soal pulang basamo dan imaji rantau dalam kolom pertama ini.
Selamat membaca dan semoga ke depan kolom ini dapat berterima di hati pembaca sekalian.
Pulang Basamo dan Imaji Rantau
Saya membayangkan rantau masa kecil adalah sebuah daerah di mana uang-uang koin 100 rupiah berserakan di jalanan dan orang-orang kampung saya dengan gampang memungutnya. Koin-koin itu dikumpulkan dalam celengan, jadi 1.000, jadi 10.000, jadi 100.000, jadi 1.000.000, untuk kemudian mereka belikan pakaian bagus lagi bermerek, mereka belikan mobil, dan mereka simpan untuk dibagi-bagikan di kampung. Baju, mobil, dan uang itu kemudian mereka bawa saat momen hari raya atau “pulang basamo”. Dan saya hanya mengenal tempat perantauan itu dengan sebutan “Jawa”. Apapun daerahnya, Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali, Tegal, bahkan Makassar-pun, saya akan menyebut “mereka dari Jawa”.
Di awal periode 1990-an, ada momen di mana saya begitu berhasrat untuk merantau dan bayangan saya bahwa rantau itu uang koin 100-an rupiah berserakan di jalan semakin saya yakini. Saat orang dari rantau “pulang basamo”, saya berdiri di pinggir jalan depan rumah nenek memperhatikan satu persatu mobil pribadi yang berjejeran di jalan. Tak sedikitpun mata saya tertuju pada belasan bus yang turut berderet, mata saya hanya tertuju pada mobil-mobil pribadi dengan kaca terbuka dan orang-orang tersenyum di dalamnya melambai-lambai. Begitu bahagianya mereka tampaknya, mobil mengkilap, baju bagus, dan tentu saja banyak uang untuk kemudian dibagi-bagikan ke orang kampung atau disumbangkan untuk pembangunan surau dan masjid.
Tidak hanya itu, bahkan dalam acara orgen tunggal saat lebaran di kampung saya, mereka, orang rantau itu begitu dielu-elukan. Mereka berebut dalam lelang singgang ayam, perantau dari Depok akan bersaing dengan perantau dari Bandung untuk mendapat singgang ayam yang dipegang di atas panggung oleh kembang desa. Timpa-bertimpa mereka bersorak dari keramaian, “dari Depok 50.000”, “dari Jakarta 60.000”, dan seterusnya. Pembawa acara ingin perantau itu mengeluarkan uang semakin banyak, berbagai cara mereka lakukan, bahkan mereka menyindir lokasi perantauan penawar jika mereka tidak mampu lagi menaikkan harga: “Baa, alah pacah ban urang Depok? Bia dibalian minyak oto samo urang Jakarta kok balik ka rantau (Apakah sudah kehabisan duit perantau dari Depok? Biar nanti saat kembali ke rantau minyak mobil dibelikan sama perantau dari Jakarta”. Saat itu saya tertawa bersama ratusan orang lain dari arah bawah panggung—panggung yang ditopang oleh drum bekas aspal jalan dan dari kayu bekas lantai jembatan.
Betapa bahagianya saat-saat itu melihat para perantau, mereka berjoget setelah sebelumnya memberikan beberapa lembar uang pada pembawa acara, bahkan merek mobil mereka (Escudo, Vitara, Feroza) disebutkan dalam lagu. Saya meyakini betul mereka adalah orang-orang beruntung, sudahlah di rantau banyak uang, di kampung mereka dielu-elukan.
Tapi seiring waktu bayangan tentang rantau masa kecil itu mulai pupus ketika satu persatu teman sepermainan saya berangkat merantau dan menceritakan kisah-kisah hidup mereka. Hasrat mereka untuk merantau juga sama seperti saya, terperdaya akan cerita bahwa “di Jawa uang berserakan”. Maka mereka berangkat, pikiran mereka hanya rantau, garis hidup mereka seakan sudah dipersiapkan untuk merantau, jika perlu tidak menyelesaikan sekolah dasar.
Bertambah usia, bertambah pengalaman dan cerita, semakin saya mengerti apa yang saya imajinasikan tentang rantau masa kecil adalah khayalan belaka. Tak ada uang receh berserakan, rantau tidak hanya Jawa saja, dan hidup di perantauan begitu sulit. Pikiran tentang rantau ideal itu dimainkan karena melihat kebahagian semu sewaktu para perantau itu pulang saat hari raya atau ketika “pulang basamo”—meskipun sebenarnya ada di antara mereka yang benar-benar sudah mapan. Saya mulai menyadari bahwa apa yang saya bayangkan itu adalah kewajaran dan laku orang rantau saat pulang itu juga adalah sebuah kewajaran juga. Setelah bertahun-tahun mereka mengadu nasib, dalam kesengsaraan, tidak ada tempat bertopang, tak ada salahnya mereka menghibur diri saat pulang kampung.
Barulah ketika dewasa saya menyadari, ada pikiran mendalam dan menjadi pesakitan pula bagi mereka, orang-orang rantau itu. Jika mereka pulang tidak memperlihatkan kebahagiaan, tidak membawa uang, tidak mengendarai mobil, atau tidak berbaju bagus, orang-orang di kampung akan mengira mereka tidak berhasil di rantau: “Tauncangnyo di rantau, pacah ban, untuk ka makan se payah. Rancak di kampuang se mambajak sawah lai! (Miskin dia di rantau, tidak ada harta, untuk makan saja sulit. Ada baiknya di kampung membajak sawah!). Dan tentu saja pantang bagi orang rantau bila dibilang begitu! Mereka akan berupaya lebih keras bekerja di rantau lalu memperlihatkan keberhasilannya. Tapi bila nasib belum berpihak, mereka bahkan tidak pulang, merasa malu bila belum berhasil secara materi.
Dari hari ke hari saya memandang fenomena rantau begitu asing, terasa tapi dan tidak mudah memahami. Pemerintah tiap tahun mendorong para anak nagari untuk bertahan di kampung, menjadi entrepreneur di kampung, menjadi petani dan peladang milenial, tapi tiap imbauan itu disiarkan orang-orang muda kian menggedudu ke rantau. “Menukar hidup sentosa di kampung dengan hidup berdjuang dirantau,” kata M. Radjab ini agaknya tepat untuk menggambarkan fenomena itu.
Hasan Basri Durin ketika akan dilantik menjadi Gubernur Sumatera Barat (1987-1992) dalam sebuah wawancara dengan Marthias Pandoe (Kompas, 19 Oktober 1987) tentang visi-misinya bahkan pernah mengimbau agar orang-orang muda Minang (Sumatera Barat) untuk tidak pergi merantau dan menggarap hamparan tanah-tanah terlantar di kampung: “…bagaimana menimbulkan kegairahan pemuda-pemuda desa, lebih-lebih tenaga produktif. Ya, mereka tidak usah pergi merantau semua. Di rantau kini juga hidup susah, sementara di kampung terhampar tanah-tanah terlantar yang bisa digarap, tidak hanya padi, tapi juga untuk palawija,” katanya. Himbauan Hasan Basri Durin tersebut barangkali dilematis juga ketika gambaran tentang rantau ideal sudah tertanam dalam pikiran orang-orang muda. Terlebih bagi mereka yang tidak punya sawah dan ladang untuk digarap di kampung. Dan untuk menggarap tanah-tanah terlantar yang dimaksud itu, juga membutuhkan prosedur tidak mudah.
Pikiran saya tentang rantau ideal masa kecil semakin hilang ketika beranjak dewasa. Saya melihat orang-orang kampung berangkat ke rantau, setelah menikah dan baralek, membawa hampir sebagian besar barang-barang kebutuhan rumah tangga dari kampung. Mulai dari piring, kobokan, selimut, batu lado (cobek), beras sekarung, bahkan lado masik (cabe keriting kering) dan ikan kering. Mereka memasukkan barang-barang tersebut ke dalam dus-dus besar lalu dinaikkan ke bagasi bus yang distop di jalan. Begitu sulitkah hidup sampai-sampai mereka harus membawa barang-barang yang bisa dibeli di rantau? Begitu tanya saya dalam hati.
Kemudian hari saya melihat kawan-kawan setamat SMA berangkat ke rantau. Bersama-sama kami mengantar ke Jalan Lintas Sumatera. Dengan bermodalkan satu tas berisi kain seadanya, uang hasil menjual beras atau hasil kebun (kopi, cengkeh, kulit manis, gardamunggu, dll) kawan-kawan itu menyetop bus di jalan agar mendapatkan ongkos murah, dan membawa mimpi-mimpi masa depan cerah ke rantau yang belum jelas tujuannya. Tahun-tahun berlalu, kabar baik terdengar di antara mereka, kabar kurang mengenakkan lebih cepat lagi dibisikkan orang-orang kampung.
Mimpi-mimpi tentang rantau ideal semakin pupus dalam pikiran saya dari hari ke hari. Namun hidup harus akan terus ditempuh, meskipun kisah tentang uang-uang koin 100 rupiah berserakan di Jawa hanya cerita diembus-embus angin lalu saja. (*)
Keterangan foto:
Foto 1 dan 2 : Pekan Budaya Wisata Minangkabau diselenggarakan di Istora Senayan, Jakarta, 6-13 Juli 1986, untuk mengobati kerinduan perantau akan kampung.
Foto 3: Mendikbud Fuad Hassan bersama Gubernur DKI Jaya R. Soeprapto dan Gubernur Sumatera Barat Azwar Anas di Pekan Budaya Wisata Minangkabau Jakarta, 6 – 13 Juli 1986.
Editor: Randi Reimena
Ilustrasi: Amalia Putri