Artikel

Universal Basic Income: Pengantar Kritik

Bayangkan kalau setiap orang di republik ini mendapatkan 1.7 juta per bulan tanpa kerja. Jumlah ini digunakan untuk alasan simulasi saja, yang diambil dari UMP terendah di Indonesia tahun 2020, Jawa Tengah. Dengan perkiraan jumlah penduduk 290 juta jiwa pasca sensus tahun ini, negara membutuhkan 493 triliun rupiah per bulan. Sama dengan 5.916 triliun rupiah per tahun, hanya untuk memenuhi upah tersebut saja. Angka ini lebih dari dua kali lipat anggaran belanja negara tahun-tahun belakangan.

Simulasi sederhana ini adalah terjemahan dari defenisi dasar atas apa yang belakangan riuh dibicarakan tidak saja oleh kalangan kiri, tetapi juga sayap-kanan pro-kapital; Universal Basics Income atau yang disingkat UBI. Yaitu penghasilan yang dibayarkan oleh negara kepada warganya, terlepas apakah dia bekerja, kaya maupun miskin, atau dengan kata lain tanpa syarat, guna memenuhi kebutuhan dasar, setidaknya di atas garis kemiskinan (baca, Daniel Raventos, 2007).

Meskipun UBI telah dibicarakan sejak lama, wacana ini mendapatkan relevansi terbaiknya pada masa pandemi covid19 ini, di mana hampir semua orang di bumi ini terpaksa diisolasi. Mereka relatif berhenti berproduksi, namun tidak untuk konsumsi. Jutaan orang yang berhenti bekerja dan tidak berpenghasilan, mesti disokong oleh berbagai kebijakan yang kira-kira berputar pada sejenis bantuan sosial langsung (BSL). Kebijakan ini menjadi jaring pengaman yang memastikan kebertahanan hidup rakyat rentan. Meskipun BSL untuk respon pandemi di Indonesia sejumlah 600.000 rupiah per bulan, peruntukannya hanya untuk kategori masyarakat paling rentan, dan juga berjangka. Namun secara prinsip ia dapat dibayangkan sebagai semacam gambaran terbaik dari basic income yang lebih sustain, berketerusan dan tentu dengan nominal lebih besar – setidaknya di angka simulasi, 1.7 juta perbulan tadi itu.

Coba kita lihat “skenario UBI” lain yang dimunculkan beberapa kalangan. Sebut saja sebagai contoh skenario Budiman Sudjatmiko . Budiman menawarkan tiga skenario dengan konsekuensi anggaran yang berbeda-beda. Skenario dengan konsekuensi anggaran terberat adalah, dengan nominal 122 triliun rupiah per bulan dengan jangka penyaluran selama empat bulan saja. Terdapat dua tawaran skenario lainnya, dengan resiko anggaran yang lebih rendah: pembatasan kelas penerima. Yang sejujurnya malah menciutkan ke-universal-an defenisinya. Jika kita bandingkan, angka BSL pemerintah (dengan asumsi, di angka itulah intervensi maksimal yang bisa diberikan negara) nilainya lebih rendah dibandingkan tawaran skenario terberat jaring pengamanan sosial versi Budiman. Keduanya sama-sama tidak memenuhi skenario minimal keuniversalan konsep ini di awal.

Meskipun begitu BSL relevan sebagai sebuah respon darurat. Ia menunjukkan prinsip paling nyata dari konsep UBI yang lebih luas, namun ia tetap bukan UBI itu sendiri. Ia, sebagaimana Daniel Susskind katakan adalah respon yang layak dan terjangkau dalam menghadapi pandemik.

Kenapa tulisan ini perlu menekankan bahwa BSL bukanlah UBI? Karena pada situasi normal, implikasinya aktualnya akan berbeda. Makanya BSL dan pandemi sebagai latar, tidak bisa dijadikan amunisi dalam mendorong UBI.

Kembali ke UBI dalam asumsi non-pandemi. Visi utama para pengusung UBI ditompangkan pada bayangan akan jaminan kebutuhan dasar dengan memastikan distribusi income berupa uang tunai. Dengan terjaminkannya standar hidup orang per orang sehari-harinya, atas pemasukan bulanan 1.7 juta rupiah itu, akan “mengeluarkan” semua orang Indonesia dari jerat kemiskinan kronis. Tidakkah setiap orang akan terbebas dari persoalan primari, dan dengan begitu mereka bisa melangkah menuju pencapaian level berikut piramida kebutuhan hidup mereka? Sebagai orang dari golongan yang rada-rada mager dari dulu, ini tentu kabar baik bagi saya. Kita (setidaknya saya) bisa dengan mudah membayangkan (walaupun tidak selalu artinya setuju dengan itu), bahwa dengan UBI warga hanya perlu mengerjakan aktifitas non-produktif (konsumtif) menikmati income bulanan, jika tidak ingin mengisi waktu dengan aktifitas produktif lainnya – kalaupun masih ada tersisa. Tapi kita juga tau, UBI tidak sesederhana terpenuhinya lambung pagi siang dan malam. Lebih luas lagi, ekonomi tidak sesederhana distribusi kesejahteraan (uang) saja. Ada konsekuensi. Ada pertanyaan yang perlu dijawab di sana.

Robot, Otomatisasi Teknologi Dengan Artificial Intelligence (AI)

Ketika Covid19 adalah alasan kita memenjara diri dan tidak bekerja hari-hari ini, perkembangan teknologi, otomatisasi dan robot-lah yang diargumentasikan menjadi alasan “dihentikannya manusia dari kerja”. Tenaga kerja manusia tidak diperlukan lagi, atau kebutuhan atasnya akan berkurang drastis. Teknologi tingkat lanjutlah yang akan menggerakkan produksi, dengan begitu pemutusan hubungan kerja dan pengangguran segera akan menjadi-jadi.

Lupakan kegiatan produksi padat karya, karena proses produksi di bawah kontrol mesin tidak hanya akan lebih efektif efisien, konon juga lebih cerdas dari manusia. Industri ekstraktif akan didominasi oleh kerja robot, begitu juga manufaktur. Produk pangan dan non pangan adalah produksi mesin. Distribusi didukung kecepatan dan kecanggihan teknologi, memotong rantai distribusi konvensional yang lambat dan panjang. Dengan begitu, lebih banyak lagi manusia yang tidak dibutuhkan dalam proses produksi distribusi. Bagaimanakah lagi manusia yang tidak bekerja itu tetap hidup, jika tidak dengan jaminan UBI. Kira-kira begitu argumentasi kenapa UBI diperlukan.

Penggambaran di atas tentu bukan karena terlalu banyak mengkonsumsi science fiction produk Hollywood, atau wacana-wacana abstrak para pakar. Tidak, ia cukup nyata. Ibu Sri, menteri keuangan RI itu, di sela-sela kegiatan Annual Meeting IMFWorld Bank di Kantor Pusat IMF, Washington tahun 2017 yang lalu pun telah menyinggung, bagaimana penerapan UBI ini adalah antisipasi perkembangan pengganti manusia sebagai tenaga kerja di berbagai bidang. Yang itu, sejalan dengan  fokus IMF dalam laporan Fiscal Monitor 2017, yaitu penerapan Universal Basic Income, di samping kebijakan pajak dan alokasi dana untuk pendidikan dan kesehatan.  Beberapa hari yang lalu, kita juga membaca bagaimana sejumlah karyawan Microsoft dipecat dari posisinya dan menggantinya dengan robot AI. Artinya, kita tidak bicara fiksi di sini.

Implikasi Pada Manusia, Proses dan Faktor Produksi

Melalui dominasi teknologi, kita tengah membayangkan keruntuhan relasi manusia dan kerja. Kita tahu, nilai diperoleh melalui proses produksi. Dengan merubah bentuk, menambahkan fungsi, menyederhanakan, memperbanyak, mempercantik dan lain sebagainya. Proses produksi memberi nilai pada sebuah produk. Hingga hari ini tenaga kerja manusia masih menjadi faktor produksi penting dalam proses-proses itu. Yang mengayunkan palu, melayangkan arit, cangkul, pengungkit, memutar roda, menekan tombol, mencatat dan lain sebagainya. Melalui kerja, manusia membangun nilai. Namun dalam era teknologi baru, robot, dan AI hampir seluruh pekerjaan itu tidak akan lagi dikerjakan oleh tenaga manusia.

Dengan revolusi teknologi tingkat lanjut ini, kita membayangkan manusia dieksklusi dari proses produksi (dan distribusi), dan dipaksa hidup di ruang sempit konsumsi dari UBI. Kita akan melihat semacam bentuk baru ketergantungan manusia pada uang. Jika banyak negara-negara dunia ketiga pernah (atau masih) tergantung pada uang negara-negara maju maupun IMF atau Bank Dunia, ketergantungan sejenis ini berbeda. Ia langsung disuntikkan pada rekening masing-masing warga negara. Jika uang pada kasus negara-negara ketiga adalah pinjaman yang harus dikompensasi dengan mengembalikan atau sejenisnya, kompensasi apa yang diharapkan dalam UBI selain enyah dari urusan produksi.

Kita juga menyadari – selain tenaga kerja manusia – terdapat faktor-faktor lain yang menopang berjalannya sebuah proses produksi. Sebut saja faktor non-manusia, entah modal, sumberdaya alam/atau bahan baku maupun alat produksi lainnya. Faktor-faktor produksi tersebut terhubung satu sama lain dalam satu sistem kerja produksi. Melalui uang dunia produksi masuk dalam sirkulasi ekonomi modern yang lebih luas, yang memungkinkan pasar tercipta, dan konsumsi semarak.

Manusia, dalam sejarahnya sudah menjadi bagian tidak terpisah dari proses-proses itu, entah produksi, distribusi apalagi konsumsi. Apakah semuanya betul-betul akan digantikan oleh robot? Tentu tidak. Betul, sebagian besar manusia pekerja digeser oleh dominasi teknologi, menjadi konsumen, namun sebagian kecil agaknya masih akan memerankan peran yang kurang lebih sama sebagaimana sebelumnya. Pada bagian manajerial level tinggi, dan sebagai owner alat dan teknologi. Sekelompok manusia yang selalu (dan semakin) sedikit itu, akan menduduki direksi-direksi perusahaan-perusahaan dan koorporasi-koorporasi yang memiliki kapasitas produksi otomatic tersebut. Dari pajak terhadap koorporasi-koorporasi itulah rakyat bergelantungan per bulan (untuk lebih lengkapnya baca tautan ini)

Dengan begini kita melihat teknologi telah memungkinkan perampingan aktor-aktor dalam produksi. Dari tiga aktor, 1) Swasta (yang merujuk pada pemilik modal, mesin dan faktor produksi lain), 2) tenaga kerja (buruh) dan 3) pemerintah (negara) sebagai sumber regulasi, menjadi satu struktur baru: swasta dan negara. Serahkan produksi pada kami, dengan AI kami akan ciptakan nilai lebih, imbalannya? 1.7 juta per bulan, angka minimal bertahan hidup. Mungkin terdengar terlalu sinis, tapi tidak meruntuhkan pertanyaan-pertanyaan perihal siapa aktor produksi non-mesin dalam alam pikir pengusung UBI.

Menjelaskan bagaimana UBI bekerja menjaminkan konsumsi manusia, sama pentingnya dengan penjelasan bagaimana produksi dan distribusi bekerja. Bagaimana faktor-faktor produksi dikelola. bagaimana sumberdaya dan asset: bumi air dan segala yang terkandung di dalamnya, didistribusikan. Dan yang lebih utama bagaimana relasi antar faktor-faktor itu berbentuk. Akan bagaimana mesin-mesin produksi berbasis AI itu memperlakukan sumberdaya alam, misalnya. Kita tidak bisa membicarakan distribusi nilai (nilai tukar, nilai guna) melalui UBI, tanpa juga menyertakan pembicaraan “proses produksi nilai” tersebut. Ia semestinya dibicarakan bersamaan. Akhirnya kita juga tidak bisa untuk tidak bicara soal kuasa teknologi. (*)

 

Ilusitrasi oleh: Amalia Putri

Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *