Artikel

Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Ulama Kaum Tua yang Gemar Bersyair

Bersya’ir merupakan kemahiran daripada ulama-ulama Kaum Tua di Minangkabau dahulunya.  Sebut saja Maulana Syekh Sa’ad Al-Khalidi Mungka, Syekh Abu Bakar Maninjau, Syekh Angku Mudo Juli Pedalaman Luhak Limo Puluah, mereka termasuk ulama yang gemar bersyai’r. Isi sya’ir-syairnya meliputi  kajian tasawuf, adat, cinta, bahkan sya’ir polemik. Semua ulama dahulunya memiliki ciri khas nya masing-masing, tentu saja itu dapat dilihat dengan sya’ir yang dibawakannya.

Demikian pula dengan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli atau yang  kita kenal juga dengan nama Inyiak Canduang. Lahir di Candung, Kab.Agam, Sumatra Barat, 1287 H/1871 M, wafat pada 29 Jumadil awal 1390 H/1 Agustus 1970 M, ulama Kaum Tua ini selain dikenal gigih dalam mempertahankan mazhab Syafi’i, juga gemar bersya’ir.

Pada suatu ketika Inyiak Candung bersya’ir perihal Ibunda beliau, yang mana kala itu beliau berkeinginan untuk mengaji ke mekkah namun beliau tengah dihadapkan dengan kondisi ibunda beliau yang sedang dalam kondisi sakit, berikut sya’irnya :

“Waktu mengarang faqir khabarkan

Di negeri Canduang tinggalah badan

Hati terbang kesubarang lautan

Ke negeri Mekkah biladul aman

Sungguh nak pindah di dalam hati

Tetapi ada seorang ummi

Ibuku kandung belahan hati

Dimana mungkin meninggalkan negeri

Ibuku sakit tidaklah sehat

Dimana mungkin dibawa hijrat

Jalanpun jauh tidaklah dekat

Barangkali sembahyang dijalan tidaklah dapat.”

***

Beliau Syekh Sulaiman Ar-Rasuli hidup sezaman dengan beberapa mubaligh terkemuka lainnya yakni Haji Abdul Latif Syakur, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Haji Abdul Latif Pahambatan, Syekh Abbas Abdullah, dan Syekh Ibrahim Musa dan ketika berada di Tanah suci beliau juga bersamaan dengan beberapa tokoh lainnya sebut saja Hadratus K.H Hasyim Asy’ari serta Syekh Hasan Maksum.

Inyiak Canduang bisa dikatakan besar dalam lingkungan Kaum Tua. Ayah beliau bernama Angku Muhammad Rasul sedangkan ibu beliau bernama Siti Buli’ah. Di antara guru-guru beliau yang terdapat di Minangkabau yakni Syekh Muhammad Arsyad (Batu Hampar), Tuanku Sami’ Ilmiah (Baso), Tuanku Kolok (Batusangkar), Syekh Abdussalam (Banuhampu), dan Syekh Abdullah (Halaban) dan masih ada beberapa nama lagi.

Di masa-masa itu, Kaum Tua tengah menghadapi kritikan dari Kaum Muda. Sebagian dari Kaum Muda, menyerang tatanan adat yang menurut hemat mereka tidak berlandaskan syara’. Mereka juga kerap  melakukan serangan terhadap pengamal-pengamal Tarekat, begitupun juga kepada tokoh-tokoh Tarekat yang masyhur kala itu.

Bahkan dalam catatan yang dijumpai oleh Apria Putra, MA.Hum (Filolog UIN SMDD Bukittinggi), pernah terjadi mudzakarah antara Kaum Muda dengan Kaum Tua di Masjid Jami’ Bonjo Alam, Nagari Ampang Gadang, Kec.Ampek Angkek, Kab.Agam. Kala itu Kaum Muda diwakili oleh beberapa tokoh, di antaranya Syekh Thaher Jalaluddin Al-Falaki, Haji Rasul (ayah Buya Hamka), Syekh M.Djamil Djambek, dan lain-lain. Sedangkan dari kalangan Ulama Tua diwakili oleh Syekh Sulaiman Arrasuli Al-Khalidi Canduang, seorang saja.

Mudzakarah itu terjadi sekitar satu abad yang lalu; mudzakarah terbuka yang disaksikan oleh masyarakat banyak. Berbagai topik didiskusikan pada kesempatan itu, mulai dari masalah Rabithah dalam Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, hingga masalah furu’iyyah lain seperti Mahal Qiyam pada Kisah Maulid dan melafalkan niat (ushalli). Dalam riwayat yang kita terima itu, Syekh Sulaiman dikabarkan mampu mengimbangi diskusi, meskipun dari pihak Kaum Muda hadir beberapa tokoh.

Di luar forum, Inyiak Canduang juga menanggapi polemik itu dengan sya’ir. Beliau menulis sya’ir untuk memberikan pelajaran dan juga satire kepada Kaum Muda. Lewat sya’irnya, Inyiak Canduang juga menasehati kaum muslimin agar hati-hati menyikapi paham-paham Kaum Muda yang dinilainya kontroversial. Di antara syai’r Inyiak Canduang kala itu dalam menghadapi gugatan kaum muda berbunyi seperti demikian :

“Sekarang ada orang yang ingkar

Sudah mahsyur didengar khabar

Namanya tidak hamba yang mendengar

Entah siapa nama yang mu’tabar

Khabarnya sudah hamba dengarkan

Ushalli fardhuz zhuhr ianya ingkar 

Ibarat ulama hamba naqalkan

Dibelakang ini hamba tuliskan

Wahai sahabat taulan yang nyata

Orang yang muqalid namanya kita

Mengikut mujtahid yang punya kata

Jangan diikut faham yang dusta

Jangan dicari ke dalam qur’an 

Haditsnya nabi pun demikian

Mujtahid mutlak punya bahagian

Nasi yang masak hendaklah makan

Kita nan tidak tahu bertanak

Api dan kayu tungkupun tidak

Hendaklah makan nasi yang masak

Orang yang cerdik janganlah gagak

Jikalau batanak tidak bakayu

Demikian lagi tidak bertungku 

Lambek manahun nasinya tentu

Itu misalnya fiqir olehmu.”

Begitulah Inyiak Canduang menggunakan sya’ir. Selain untuk mengungkapkan perasaan cinta kasih, beliau juga menggubah sya’ir sebagai bagian dari kontestasi antara Kaum Tua – Kaum Muda di Minangkabau. Di samping mengenang beliau sebagai  tokoh dari Kaum Tua yang berperan besar dalam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), kita juga patut mengenangnya sebagai ulama yang gemar bersya’ir. (*)

About author

Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi. Menaruh perhatian terhadap sejarah ketokohan ulama-ulama Tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika surau tradisional Minangkabau. Di samping itu juga aktif menulis di beberapa website soal degradasi peran surau di tengah masyarakat.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *