Pencalonan Gibran memiliki cacat formil yang amat serius. Sebab Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 memiliki cacat formil akut dan telah dibuktikan melalui Putusan MKMK No. 02/MKMK/L/2011/2023. Persoalan ini mesti didudukkan kembali mengingat dua paslon yang memperkarakan hasil Pilpres menilai pencalonan Gibran cacat hukum. Sedangkan MKMK sebatas memutus pelanggaran formal tanpa berani memberi vonis substansial.
Kejanggalan Putusan MKMK
Putusan MKMK sejatinya hanya menyentuh pelanggaran formal Anwar Usman akibat adanya hubungan keluarga dengan Gibran yang menjadi subjek langsung dalam permohonan Pemohon. Perdebatan yang menguak ke publik umumnya berkisar pada pendapat berbeda Bintan R. Saragih selaku Anggota MKMK. Menurutnya, Anwar harus diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Hakim Konstitusi karena terbukti melakukan pelanggaran berat, namun pendapat itu kandas karena Ketua MKMK, Jimly Asshiddiqie, menilai hal itu mengakibatkan masalah berlarut karena PTDH membuka celah dibentuknya pengadilan etik banding bagi Anwar, sementara pilpres kian dekat. Dan Wahiduddin Adams selaku Anggota MKMK menyetujui pendapat Jimly.
Hanya saja, MKMK mengenyampingkan ketentuan Pasal 17 Ayat 4 sampai Ayat 7 UU Kekuasaan Kehakiman. Pasal 17 Ayat (4) melarang adanya hubungan hakim sampai derajat ketiga dengan “pihak yang diadili”. Sementara Pasal 294 KUH Perdata mengelompokkan hubungan keluarga antara paman dan keponakan dalam derajat ketiga, artinya unsur hubungan keluarga ini jelas terpenuhi. Sementara unsur “pihak yang diadili” harus dipandang mutatis mutandis (dengan penyesuaian) dalam persidangan di MK. Jamak diketahui bahwa uji konstitusionalitas tidak mengadili orang atau prestasi sebagaimana di peradilan umum, namun Gibran jelas menjadi subjek hukum yang didalilkan oleh Pemohon dalam permohonannya.
Logika hukum ini dapat diselaraskan dengan unsur “kepentingan langsung atau tidak langsung” dalam Pasal 17 Ayat (5). Maka unsur di Ayat (4) dan Ayat (5) dapat terpenuhi, sehingga ketentuan Pasal 17 Ayat (6) menjadi keniscayaan bahwa Putusan MK harus dinyatakan tidak sah. Akibatnya perkara harus diperiksa kembali sebagaimana ketentuan Pasal 17 Ayat (7).
Selain berdasarkan konstruksi hukum di atas, Putusan MK tersebut sejatinya mengandung cacat prosedural yang sangat mengkhawatirkan. Sebab berdasarkan hukum acaranya, persidangan di MK terdiri dari 4 tahapan yang meliputi Pemeriksaan Pendahuluan, Pemeriksaan Pokok Perkara, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), dan Pengucapan Putusan. Pada praktiknya, 4 tahapan ini memang tidak selalu dilakukan secara sistematis. Namun hal itu hanya terjadi pada praktik penggabungan tahapan Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemeriksaan Pokok Perkara, misalnya pada pengujian Pasal 111 UU Pilpres di tahun 2009.
Sedangkan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tidak pernah melalui tahapan Pemeriksaan Pokok Perkara. Sedangkan seharusnya Pemohon diwajibkan membuktikan adanya sebab-akibat kerugian konstitusional yang ditanggungnya akibat keberlakukan objek permohonan. Inilah yang tidak pernah dibuktikan oleh Almas selaku Pemohon. Yang terjadi justru sidang konfirmasi Permohonan setelah Kuasa Hukum Pemohon kembali mendaftarkan permohonannya yang sempat ditarik sehari sebelumnya. Padahal hukum acara MK tidak mengenal adanya tahapan sidang konfirmasi Permohonan, dan seharusnya MK hanya mengeluarkan Ketetapan Penarikan Permohonan.
Uji Nyali Hakim Konstitusi
Apakah MK boleh membatalkan pencalonan Gibran adalah perdebatan yang lahir dari isu keabsahan pencalonannya. Bila dipahami benar, sejatinya MK tidak sekadar bisa membatalkan hasil Pilpres, namun juga bisa melakukan pendiskualifikasian sebagaimana yang terjadi pada PHPU Kada. Karena pencalonan Gibran sebagai efek putusan MK termasuk dalam tahapan pemilu yang menjadi akar dari kecurangan TSM.
Persoalan lainnya adalah siapa yang akan didiskualifikasi, Gibran sajakah atau Paslon 02? Tentu saja pendiskualifikasian Gibran karena cacat formil pencalonan seharusnya mengakibatkan Prabowo terdiskualifikasi secara bersamaan. Sebab dalam PHPU Pilpres, Capres dan Cawapres adalah satu kesatuan, itulah mengapa legal standing PHPU Pilpres adalah paslon, bukan parpol sebagaimana PHPU Legislatif. Artinya, Paslon 02 memiliki kemungkinan terdiskualifikasi dan pemungutan suara ulang bisa dipastikan terjadi karena dua paslon lainnya hanya berbagi sisa suara yang mayoritasnya diraih Prabowo-Gibran.
Akibatnya, bilamana putusan MK kelak mendiskualifikasi paslon 02, efek sistemik yang dibawanya akan sangat besar. Itulah mengapa skenario ini benar-benar mempertaruhkan nyali Hakim Konstitusi yang jamaknya terlanjur terpasung politik kekuasaan yang transaksional.
Setidaknya, bila Hakim Konstitusi tidak cukup nyali mendiskualifikasi paslon 02, sekurang-kurangnya MK seharusnya bernyali membatalkan pencalonan Gibran mengingat besarnya pertaruhan muruah kelembagaan dan upaya penelanjangan peradilan konstitusi yang dilakukan secara terang-terangan oleh Presiden Jokowi. Skenario inilah yang tampaknya paling memungkinkan dan pemungutan suara ulang urung dilakukan. Di sinilah nanti lobi-lobi politik antarpartai koalisi yang menyokong Prabowo akan beradu tangkas untuk mengisi kursi kosong yang ditinggalkan Gibran.
Di sisi lain, melihat preferensi 8 Hakim Konstitusi di sidang PHPU Pilpres, publik dapat berharap akan adanya kejutan dalam putusan MK. Sebab dari 8 Hakim Konstitusi, terdapat 3 orang yang berseberangan dengan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, 2 orang yang kerap terombang-ambing politik kepentingan, 2 lainnya perpanjangan tangan penguasa, dan 1 orang yang belum terpetakan. Di empat PHPU Pilpres sebelumnya, MK dengan suara bulat memutus permohonan ditolak. Kini berbeda. Setidaknya MK bisa sedikit menghibur dengan mengeluarkan putusan terpecah.