Artikel

Surat untuk Uda Wagub Audy Joinaldy

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Untuk Uda Dr. Ir. Audy Joinaldy, S.Pt., M.Sc., M.M., I.P.M., ASEAN, Eng., Dt. Rajo Pasisia Alam, Wakil Gubernur Sumatera Barat, tampuk harapan orang muda dan anak milenial yang saya hormati.

Saya tulis surat terbuka ini setelah membaca berita lewat ponsel di kanal hariansinggalang.co.id berjudul “Sandang Tujuh Gelar Akademik, Audy Joinaldy Diganjar Rekor Muri”. Udara Kota Padang masih lembab-lembab tanggung, saya baca perlahan dan seksama berita tersebut, terbersit dari pikiran saya untuk menuliskan pandangan-pandangan saya lewat surat—daripada pandangan itu menjadi buah rasian.

Surat ini sudah patut kiranya saya tuliskan, sampai atau tidak sampai terbaca oleh Uda Audy, itu lain soal. Sebelumnya, saya mengapresiasi dan mengucapkan selamat atas gelar akademik dan penghargaan itu. Di momentum ketika Uda Audy meraih gelar akademik ketujuh (terakhir dari IPB) dan diberikan penghargaan oleh Museum Rekor Indonesia (Muri) sebagai Wakil Gubernur dengan Gelar Akademik Terbanyak, ini rasanya waktu yang tepat untuk bertanya: dengan gelar sebanyak itu serta semangat untuk terus bersekolah itu, sebagai Wakil Gubernur apa kiranya dapat diperbuat untuk kemajuan pendidikan dan kemajuan orang muda Sumatera Barat ke depan?

Uda Audy, kiranya saya bukan orang satu-satunya yang merasa pencapaian Uda Audy dalam pendidikan itu adalah sebuah privilege. Tidak semua orang dapat meraihnya. Selain kemauan, kerja keras dan hasrat untuk bersekolah, untuk meraih semua itu harus ditopang dukungan sumber pendanaan dan biaya tidak sedikit. Hari ini, informasi mengenai pembiayaan-pembiayaan perkuliahan (beasiswa), setidaknya untuk setingkat sarjana dan magister, memang banyak tapi tidak sepenuhnya  dapat diakses oleh masyarakat luas. Pembiayaan dari Kemdikbudristek, Kemenkeu, dan dari lembaga-lembaga pemerintahan serta  dari swasta memungkinkan untuk itu semua. Tapi satu hal, tentu sepenuhnya kita tidak harus berserah pada itu, bagaimana pula dengan beasiswa dari Pemprov Sumbar? Bagaimana pula pemerintahan Sumbar menjadi garda depan, memberi beasiswa pada anak-anak nagari di provinsinya, sebelum beasiswa-beasiswa dari lembaga pemerintahan dan swasta?

Berbahagia kami membaca berita Uda Audy atawa Uda Wagub kami adalah Wagub dengan gelar akademik terpanjang. Tercapak-capak air-liur kami, melanglangbuana pikiran kami hendak berseteru dalam satu keilmuan di kampus-kampus dengan pembiayaan dari provinsi kami sendiri. Memang saat ini sudah ada beasiswa Rajawali. Namun, dana beasiswa yang berasal dari hibah PT Rajawali itu, tampaknya sosialisasinya masih terbatas di daerah perkotaan saja. Untuk mendapatkannya juga cukup sulit. Satu SMA paling-paling hanya bisa mengusulkan 5 nama, itu pun belum tentu lolos semuanya karena beratnya syarat, seperti prestasi tingkat nasional. Di tingkat perguruan tinggi sasarannya juga terbatas, hanya untuk PTN bukan untuk swasta.

Mengenai minimnya informasi beasiswa, ini pengalaman betul terjadi pada diri saya sendiri. Di tahun 2015, ketika saya diterima untuk melanjutkan perkuliahan di Jakarta dan kewalahan mencari beasiswa, saya mendengar informasi bahwa Pemprov Sumbar memberikan beasiswa. Bertanyalah saya pada salah seorang anggota DPRD Sumbar, dengan sangat sopan saya SMS, tiga hari tiga malam bapak itu baru membalas: “Tidak ada, Pak Esha!” Dipanggilnya saya bapak, padahal dia senior saya di kampus.

Tapi untunglah, di Sumbar banyak orang baik, orang-orang yang mendukung saya untuk melanjutkan kuliah, saya dibantu oleh orang per orang sebelum saya mendapat beasiswa. Dan bertahun-tahun sebelumnya, untuk dapat berkuliah S1, saya harus menganggur dulu dua tahun mengumpulkan modal untuk bisa berkuliah. Begitulah Uda Audy, kenapa saya mengatakan apa yang Uda Audy raih hari ini adalah privilege, tapi sudah sepatutnya kami syukuri selaku warga Sumbar.

Pengalaman saya, pasti dialami oleh banyak orang di Sumbar, yang berkeinginan untuk berkuliah tapi tidak punya kempuan secara finansial. Cerita saya mungkin hanya seujung kuku dari cerita pahit yang dialami orang-orang lain di Sumbar demi dapat melanjutkan sekolah. Dan untuk itu, bagi saya, Uda Audy selaku tampuk harapan orang muda cum milenal Sumbar sudah sepatutnya memikirkan persoalan ini: Bagaimana membuka peluang dan kemungkinan-kemungkinan sebanyak-banyaknya beasiswa untuk orang-orang muda Sumbar melanjutkan sekolahnya!

Uda Audy, tampuk pimpinan anak-anak muda milenial Sumbar yang saya hormati. Bergeser sedikit dari persoalan beasiswa, saya kira ada persoalan mendasar lain dari pendidikan di Sumbar yang harus Uda Audy bantu untuk menuntaskannya. Semisal bagaimana menekan angka putus sekolah dari tingkat SD hingga SMA. Ya, tentu ada Dinas Pendidikan Provinsi, tapi bersama Uda Audy langsung turun menggerakkan upaya itu tentu akan lebih mantap lagi. Anak-anak di nagari tentu akan senang mendengar cerita-cerita dari Uda Audy bagaimana dapat meraih tujuh gelar di masa muda dan pencapaian-pencapaian Uda Audy lainnya. Ohya, Uda Audy, saya coba membuka data statistik Kemendikbudristek mengenai angka putus sekolah di kampung kita ini. Untuk tahun ajaran 2020/2021, ada 287 orang siswa Sekolah Dasar berhenti sekolah, 883 orang siswa Sekolah Menengah berhenti, dan 825 siswa Sekolah Menengah Atas. Laporan terbaru malah makin mengejutkan. Di Pesisir Selatan saja, saat ini ada 5.988 anak yang tidak bisa bersekolah akibat kemiskinan.

Jadi melaui surat ini saya harap Uda Audy bisa menularkan semangat untuk bersekolah itu pada orang-orang kampung kita. Tentu saja dengan mendorong terbukanya peluang dan kemungkinan beasiswa seluas-luasnya dan menekan angka putus sekolah. Saya harap Uda Audy tidak marah pula saya menuliskan surat terbuka ini, karena saya dengar dari orang-orang muda di Sumbar Uda Audy selalu terbuka menerima berbagai masukan. “Uda Audy adalah Wagub milenial dan sangat dekat dengan orang-orang kreatif,” kata teman-teman saya. Terima kasih dan mohon maaf sebelumnya.

Wassalam. (*)

 

Editor: Randi Reimena

Ilustrasi: Amalia Putri

 

 

 

 

About author

Esha Tegar Putra adalah penyair dan peneliti seni.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *