“If you’re going to San Francisco
Be sure to wear some flowers in your hair
If you’re going to San Francisco
You’re gonna meet some gentle people there..”
Penggalan lirik lagu San Fransisco yang dinyanyikan oleh Scott McKenzie itu setidaknya mampu menggambarkan bahwa sesuatu sedang terjadi di San Fransisco pada dekade awal Tahun ‘60-an. Gerakan besar tersebut pertama kali menggeliat di Distrik Haight-Ashbury yang menjadi titik berkumpulnya anak muda dari berbagai penjuru Amerika Serikat yang melahirkan subculture perlawanan, dan belakangan dikenal dengan hippie.
Mudah untuk mengidentifikasi subculture yang satu ini. Pada saat itu, hippie dapat dikenali dari gaya yang urakan, pakaian berwarna cerah dengan motif etnik dan bunga-bunga. Seperti terlihat dari para pria berambut panjang dengan janggut yang tumbuh lebat di wajahnya. Serta para wanita dengan bandana yang terbuat dari dahan kayu dan dedaunan pohon, gaun lusuh, ataupun hotpants. Gaya berpakaian yang berlawanan dengan standar kerapian masyarakat Amerika Serikat pada saat itu. Namun perlu diamini, bahwa hippie tidak hanya tentang cara berpakaian. Terdapat gaya hidup, seni, musik, pandangan politik, ideologi, dan sistem kepercayaan yang menjadi identitas dan bukan tidak sengaja dibentuk.
Seperti yang dituliskan oleh Arthur Marwick dalam bukunya The Sixties (2011), Distrik High-Ashbury atau Hashbury menjadi tanah impian bagi banyak anak muda untuk didatangi. Pemain flute dengan jubahnya, para gadis berlalu lalang di jalanan menggunakan sepatu bootnya –tanpa bra, yang jelas dapat menimbulkan daya tarik seksual, namun tentu bukan itu tujuan utamanya. Penggunaan bra dianggap sebagai opsional bagi para wanita di subculture hippie, karena kembali pada prinsip awal, bahwa mereka tidak dapat didikte sedari pakaian yang mereka gunakan.
Hal menarik dari lahirnya subculture hippie adalah mereka –anak-anak muda ini—lahir dari keluarga kelas menengah-keatas yang membangkang terhadap kemapanan dan memilih untuk hidup bebas dalam kemelaratan dan lapar.
Lahirnya generasi pembangkang tapi santai ini tak terlepas dari kemenangan sekutu pada Perang Dunia II yang memberikan dampak positif secara langsung bagi Amerika Serikat, terutama pada sektor ekonomi. Negara itu tidak mengalami kehancuran sebagaimana halnya banyak wilayah di Eropa dan Asia yang menjadi medan pertempuran. Hal tersebut menjadi salah satu faktor pendorong perekonomian di Amerika Serikat. Karena mereka tak lagi dipusingkan untuk melakukan pemulihan diri Pasca Perang Dunia II.
Stabilitas ekonomi dengan tingkat pengangguran rendah dan kepemilikan aset pribadi yang berkembang, membuat masyarakat Amerika Serikat pada saat itu berani untuk memiliki keluarga besar tanpa takut tidak mampu memberi makan, jaminan kesehatan, dan pendidikan pada anak-anaknya. Kemapanan ini berdampak pada meningkatnya angka kelahiran pada saat itu, sehingga generasi yang lahir pada masa 1945-1960-an dikenal dengan istilah “baby boomers”. Bersama mereka juga lahir para hippies.
Perang dan Lahirnya Generasi Baru
Keluar sebagai pemenang Perang Dunia ke II tidak serta merta membuat Amerika Serikat dan Uni Soviet menjadi akrab dan membangun hubungan yang baik. Perbedaan ideologi diyakini menjadi alasan kuat romantisme pragmatis kedua negara tersebut berakhir pasca Tahun 1945. Sehingga itu juga menjadi latar belakang kembali terjadinya perang baru antara blok barat dan blok timur.
Persaingan kepentingan yang terjadi dalam segala bidang pada akhirnya memicu Perang Dingin antara kedua negara. Persaingan tersebut memunculkan kekhawatiran kembali pecahnya Perang Dunia, karena kedua negara tersebut masing-masing telah menyimpan senjata pemusnah massal: Bom nuklir.
Histeria Perang Dingin, lingkungan sosial yang konservatif dan represif, budaya konsumerisme, serta perkembangan rasisme menyebabkan masyarakat kulit hitam menderita akibat penindasan, perlahan menyadarkan publik. Sehingga pada tahun 1950-an lahirlah gerakan anak muda pemberontak yang dikenal dengan nama Beat Generation. Kelompok yang oleh media dijuluki “beatniks” memberikan perhatian mereka pada ajaran agama timur, perdamaian, kesadaran ekologi, hak homoseksual, hingga gaya hidup hedonisme.
Beatniks memisahkan diri dari masyarakat umum, mulai dari pilihan gaya hidup, musik yang didengarkan, pakaian yang digunakan, hingga pekerjaan dan pandangan politik. Gerakan ini menyebar ke penjuru negara melalui musik jazz dan kedai-kedai kopi. Setiap kota memiliki tempat untuk beatniks berkumpul, diskusi, dan kegiatan lainnya. Beat generation inilah yang nantinya menjadi ide dan role mode untuk generasi berikutnya pada tahun 60-an, yaitu hippie.
Pada dekade awal 1960, intervensi militer Amerika Serikat di Vietnam, isu rasial, perang dingin, dan ancaman perang nuklir, juga pemberontakan terhadap sistem kemapanan semu yang menjadi standar nilai pada masa itu menjadi sebab kelahiran Flower Generation atau generasi bunga. Flower Generation didominasi oleh anak muda berumur di bawah tiga puluh tahun yang hidup dan tumbuh pada era- 60an sampai awal 80an. Mereka memiliki cara tersendiri dalam melakukan perlawanan yaitu dengan simbol Bunga yang merupakan representasi dari kemurnian alam yang juga lawan dari plastik yang dianggap merusak alam. Dan dengan semangat Flower Power sebagai kekuatan alamiah untuk melawan tongkat polisi, bom, dan semua senjata mengerikan yang digunakan pada Perang Vietnam.
Pengikut flower generation disebut flower children, dan mereka adalah anak-anak muda yang menjadi bagian dalam subculture hippie. Sedikit berbeda dengan generasi sebelumnya, beatniks, yang hanya fokus pada kesusastraan, Flower Generation lebih melek terhadap isu-isu sosial politik, dan juga tidak jarang melalukan protes anti-perang dalam kasus intervensi militer Amerika Serikat di Vietnam.
Melakukan protes tanpa kekerasan menjadi simbol perlawanan flower generation, dengan slogan “make love, not war” dan simbol peace. Seperti salah satu protes anti-perang yang mereka lakukan di Pentagon, dihadang oleh tentara dengan persenjataan lengkap, mereka malah membawa setangkai bunga yang kemudian diberikan kepada tentara dan juga diselipkan kemoncong senjata tentara untuk menghadang mereka. Protes anti-perang berjalan damai dan penuh cinta, sebagaimana prinsip yang mereka yakini.
Puncaknya pada 15 agustus 1969, konser musik dengan nama woodstock music festival: 3 days of peace and music digelar. Di tanah peternakan sapi seorang Yahudi, lima ratus ribu hippies mendatangi acara tersebut. Ditengah gerimis tipis dam lapangan yang becek, mereka berdansa dengan kaki telanjang dan hanyut dalam lagu-lagu yang dibawakan oleh Janis Joplin, Jimi Hendrix, The Who, Joan Baez serta banyak musisi lainnya. Dalam catatan sejarah, gelaran musik ini masuk dalam daftar 50 Moments That Changed the History of Rock and Roll oleh majalah Rolling Stone. Sebuah perhelatan yang dikenal dengan three days of peace and music untuk sedikit melepas penat akan realita yang terjadi.
***
Di tengah-tengah Hashbury, di lapangan yang tidak jauh dari Golden Gate Park, Hippies dan Flower Children yang terpengaruh oleh gaya hidup bohemian, dan terinspirasi dari Kesey –novelis dan salah satu pentolan beatniks— berkumpul, be-ins, love-ins, and smoke-ins. Di musim panas yang penuh cinta, sekelompok anak muda tengah di bawah pengaruh dari LSD (Lysergic acid diethylamide), melakukan seks bebas, berpenampilan warna warni mencolok, dan jauh dari realita sedang merubah dunia, melalui cinta, musik, kedamaian, dan kebebasan. Entah mereka menyadari hal itu atau tidak.
“If you come to San Francisco
Summertime will be a love-in there..”
Tutup lagu San Frasnsico yang dinyanyikan oleh Scott McKenzie
Ilustrasi: Talia Sartika Bara
Editor: Hemi Lavour Febrinandez