Artikel

Soal Seleksi Calon Hakim Agung: Catatan untuk KY

Kebutuhan pengisian jabatan hakim di MA adalah sebuah keniscayaan. Di saat bersamaan, kian rendahnya kepercayaan publik pada mekanisme peradilan, yang merupakan refleksi langsung atas integritas dan imparsialitas hakim, mengharuskan adanya seleksi Hakim Agung yang ketat dari segi transparansi penilaian.

Selama ini KY yang bertugas menyeleksi dan mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan hakim ad hoc, tampaknya menilai isu transparansi sebatas pengumuman seleksi berikut daftar nama calon, seraya pelibatan publik untuk menyigi rekam jejak Calon Hakim Agung (CHA). Namun KY tidak transparan dalam hal poin-poin penilaian yang menjadikan seorang CHA dinilai lebih baik dibandingkan CHA lainnya untuk dapat diajukan kepada DPR. Materi tes yang terbilang dekat dengan profesi masing-masing CHA berpotensi besar menghasilkan nilai sumir, karenanya proses ini seharusnya diiringi dengan rilis berisi pertimbangan KY. Diskursus inilah yang akan dijabarkan.

Rangkaian seleksi CHA terdiri dari dua tahap yang meliputi seleksi administratif dan seleksi uji kelayakan. Pada tahap seleksi administrasif KY, melibatkan masyarakat luas untuk memberi informasi serta pendapat terkait CHA. Laporan-laporan ini kemudian dikaji untuk dijadikan komponen penilaian. Berdasarkan laporan yang beragam itu, tentunya KY harus melakukan penyaringan informasi untuk menemukan fakta dan temuan inilah yang menentukan kelulusan seorang CHA.

Temuan-temuan yang menjadi alasan tidak lolosnya seorang CHA sangat patut dirilis dan diketahui publik. Apalagi melihat besaran pendaftar di tahap ini yang mencapai 128 nama. Dari 58 CHA kamar pidana seleksi administrasi mengeluarkan 36 CHA yang dinyatakan lolos, kamar perdata dari 25 CHA mengerucutkan 5 nama, kamar agama dari 42 CHA menciut jadi 6 nama, dan CHA TUN (khusus pajak) yang jumlah tetap 8, sedangkan CHA Ad hoc Tipikor dari 46 disaring menjadi 11 CHA. KY secara institusional seharusnya turut mempertanggungjawabkan tes yang dilakukannya, contohnya seperti apa yang menyebabkan 36 CHA di kamar agama tidak memenuhi syarat. Atau kamar TUN (khusus pajak) yang sepi peminat dan tidak satupun nama yang tereliminasi, apakah pertimbangan KY sebatas menjaga kuota tiga kali lipat dari kebutuhan formasi untuk diajukan kepada DPR.

Di tahap seleksi uji kelayakan, yang terdiri dari 3 tahap meliputi seleksi kualitas, seleksi kepribadian dan wawancara, KY secara lebih luas dan intens melibatkan hampir seluruh lapisan masyarakat yang menaruh perhatian pada reformasi peradilan di Indonesia. Di sinilah kebutuhan rilis menjadi paling urgen.

Misalnya di tahap seleksi kualitas, masing-masing CHA dinilai berdasarkan 4 tes yang meliputi karya tulis di tempat dengan tema dan judul yang ditetapkan KY; membuat putusan kasasi; peninjauan kembali ataupun judicial review atas kasus yang disiapkan KY; serta penyelesaian kasus Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Tes ditutup dengan karya profesi yang memisahkan antara hakim karier dan non-karier. Untuk CHA dari jalur karier diwajibkan menyerahkan putusan tingkat pertama dan/atau banding, sedangkan untuk CHA dari jalur non-karier karya profesi ditentukan oleh latar belakang. Dakwaan untuk CHA berlatar belakang profesi jaksa, pleidoi bagi pengacara dan publikasi ilmiah bagi akademisi.

Tahap ini rentan menghasilkan poin tipis karena materi yang diuji adalah tugas wajib harian. Seorang CHA dari hakim karier misalnya, dengan pengalaman minimal 20 tahun sebagai hakim membuat putusan tingkat pertama atau banding bukanlah persoalan sulit. Sementara bagi CHA dari jalur non-karier yang juga diharuskan memiliki pengalaman minimal 20 tahun, materi tes adalah periuk nasinya. Sedangkan 3 materi lainnya yang terkesan dekat dengan profesi hakim, hanya membuat putusanlah yang mungkin dirasa agak berat oleh CHA dari jalur non-karier. Namun bagi jaksa dan pengacara yang kesehariannya bersinggungan dengan persidangan, hal itu tidaklah sesulit yang dibayangkan. Hal yang sama terjadi pada akademisi karena membuat putusan adalah materi perkuliahan wajib. Tentu sangat konyol bilamana seorang CHA jalur non-karier yang memiliki pengalaman profesi hukum selama 20 tahun buta dengan putusan pengadilan.

Memang pada tahap seleksi kualitas yang membedakan masing-masing CHA hanyalah fondasi analisa teoritis dan kelihaian logika hukum yang dibangunnya, namun tidak diketahuinya pertimbangan yang menyebabkan ketidaklulusan CHA di tahap ini tentu menimbulkan tanda tanya besar.

Kemudian seleksi kepribadian yang menyisipkan pemeriksaan kesehatan. Perlu dicatat, pada daftar CHA yang dinyatakan lolos dari tahap seleksi kualitas, terdapat beberapa nama yang memiliki riwayat sakit keras. Sekiranya di antara beberapa nama itu dinyatakan lolos, nama-nama lainnya jelas harus mendapat kejelasan terkait pertimbangan KY yang tidak meloloskannya. Hal sama juga terjadi di tahap profile assessment.

Seleksi kepribadian yang dapat dikatakan sensitif bagi CHA adalah penelusuran rekam jejak melalui investigasi yang diikuti tahap klarifikasi. Secara pribadi, bagi CHA, upaya membela diri terhadap laporan-laporan ihwal rekam jejaknya, terutama yang negatif, adalah kesempatan untuk menjelaskan keadaan yang ia anggap benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Klarifikasi ini tetaplah menjadi penilaian bagi KY, apakah jawaban CHA relevan atau tidak. Bilamana KY benar ingin membentuk peradilan yang sehat melalui hakim-hakim bersih lagi bijaksana, inilah momentumnya. Klarifikasi yang dikategorikan tidak relevan dan tidak mampu dipertanggungjawabkan CHA harus menjadi catatan investigasi mendalam seraya dibuka ke publik, dan CHA yang bersangkutan harus mempertanggungjawabkan temuan-temuan atas rekam jejak dirinya secara hukum.

Wawancara adalah tahapan seleksi terakhir. Dilakukan oleh Tim Panel yang terdiri dari KY, pakar dan negarawan, seleksi ini meliputi visi, misi dan komitmen sekira CHA terpilih, pemahaman hukum acara dan teori hukum, pemahaman Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, serta wawasan pengetahuan peradilan dan perkembangan hukum. Seleksi ini ditutup dengan klarifikasi lanjutan LKHPN dan laporan masyarakat. Serupa dengan seleksi kualitas, tahap wawancara kembali menilai keilmuwan CHA yang semula telah digaransikan melalui pengalaman selama 20 tahun yang sebagiannya dapat pula terlihat pada seleksi kualitas. Sedangkan visi, misi dan komitmen lebih normatif yang disokong oleh kemampuan dialektika.

Teknis perilisan bisa dilakukan dengan dua cara. KY dapat mengeluarkan rilis di tahap akhir setelah wawancara dilakukan, karena berbarengan dengan pemeringkatan CHA yang nilainya diambil dari akumulasi seleksi kualitas dan wawancara. Namun akan lebih baik bila KY mengeluarkan rilis per tahap seleksi dengan mencantumkan penilaian serta alasan riil tentang mengapa seorang CHA dinyatakan tidak lolos.

Secara konkret bagi CHA yang tidak lolos namun memiliki kesempatan mengikuti seleksi periode berikutnya, rilis yang dikeluarkan KY sangat penting untuk mawas diri atas kekurangannya. Sedangkan secara ideal, temuan-temuan KY atas fakta negatif, katakanlah misalnya CHA pernah menerima suap atau tersandung perbuatan tercela, harus diungkapkan untuk membersihkan cabang kekuasaan yudikatif dari orang-orang yang tidak pantas disebut sebagai Wakil Tuhan.

Transparansi ini sekilas tampak sederhana sehingga dikesampingkan karena telah dipenuhinya upaya pasang mata dan pasang telinga oleh KY. Namun rilis yang diharapkan itu sebenarnya tidak seremeh kelihatannya. Di sinilah eksistensi KY diuji, bahwa keberadaannya tidak lain untuk memperkuat lembaga yudikatif yang merdeka dan bersih melalui hakim-hakim profesional. (*)

 

 

About author

Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Manajer Riset LBH Pers Padang.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *