Langit kota Padang cerah. Azan Magrib baru saja terdengar sahut-menyahut. Suhardi, 57 tahun, terlihat memikul cangkul. Ia baru saja kembali dari ladang.
Sang istri, Yusnimar, menyambut kedatangannya dengan senyuman dan segelas teh hangat. “Minum dulu, Uda,” katanya.
Sejurus kemudian, Yusnimar undur diri buat salat. Tak berselang lama, ia kembali muncul, lengkap dengan peralatan seperti tikar, dua botol air minum dan perangkat sound sistem.
Sore itu, Jumat (25/3/2022), saya bertemu Suhardi dan Yusnimar di kediamannya di bilangan Korong Gadang, Kecamatan Kuranji. Saya tak bisa bercakap-cakap lebih lama dengan Suhardi dan Yusnimar, sebab mereka mesti bergegas menujut SPBU Ampang, sebelum malam keburu larut.
Sepekan ini langit Padang terlihat cerah. Jarang sekali turun hujan di malam hari. Ini adalah waktu yang baik bagi mereka untuk menampilkan kesenian rabab. Dengan sepeda motor, Suhardi tancap gas menuju malam penuh dendang, dan tentu saja, gesekan rabab yang bikin bulu remang berdiri.
Mereka harus rela berbagi boncengan dengan pengeras suara yang ukurannya bikin Yusnimar hanya sedikit kebagian tempat duduk. Sementara di bagian depan, Suhardi menyandang alat musik rabab yang diberi tali.
Pasangan suami-istri ini berprofesi sebagai seniman musik tradisional rabab. Mereka kerap barabab di pom bensin. Dari situlah Suhardi dan Yusnimar menyambung hidup, dari receh demi receh sebagai bayaran sukarela yang diberi oleh mereka yang mengapresiasi.
Suhardi lahir di Balai Selasa, Kabupaten Pesisir Selatan, 1957 silam. Ia besar di tengah keluarga pemain rabab. Di Pesisir Selatan, rabab, sejenis alat musik gesek yang mirip biola, menjadi kesenian tradisional yang sudah berkembang sejak lama.
Rabab dimainkan dengan iringan dendang yang liriknya berisi pantun-pantun nasihat atau ratapan. Sesekali, pemain rabab juga berimprovisasi, menciptakan dendang sesuai kondisi.
Suhardi mewarisi bakat bermain rabab dari sang ayah sejak ia masih kecil. Dia tak sempat lulus sekolah dasar. Sementara Yusnimar, juga berasal dari Pesisir Selatan. Tapi ia lahir di Bungus, 1954 silam.
“Dulu Bungus itu masih berada dalam bagian Pesisir Selatan,” kata Yusnimar.
Yusnimar menceritakan, semasa ia kecil, situasi perekonomian yang sulit membuat dirinya tak bisa bersekolah. Ayahnya merupakan bagian dari tentara yang dicap “pemberontak” oleh Jakarta dalam konflik PRRI. Yusnimar tidak ingat wajah sang ayah. Ia baru tahu ketika berusia enam tahun, bahwa keberadaan sang ayah tak pernah diketahui dimana rimbanya. Hal itu membuat keluarganya terlantar.
Dan rabab-lah yang kemudian menjadi sandaran hidup Yusnimar. Di usia 12 tahun, Yusnimar bergabung dengan salah satu grup rabab yang kerap diundang tampil di acara-acara pernikahan. Ia punya suara lengking khas pendendang rabab.
Kini, masa kejayaan rabab mulai memudar. Walau di Pesisir Selatan kesenian ini masih cukup sering ditampilkan di acara pernikahan, namun pemainnya tak terlalu banyak.
“Dulu sekali tampil di pesta itu bisa dibayar enam juta untuk semalam, kita tampil berkelompok yang terdiri dari empat orang,” kenang Suhardi.
Suhardi mengenang masa-masa di tahun 1990-an, ketika masyarakat masih menggemari rabab untuk ditampilkan di acara pernikahan. Ia pernah manggung di berbagai daerah di Sumatra Barat, bahkan hingga ke Jakarta dan Pekanbaru.
Suhardi, belakangan, baru bertemu dengan Yusnimar. Mereka baru saja menikah tiga tahun lalu. Soal bagaimana pertemuan mereka, terlalu rumit untuk dituliskan. “Biarlah rabab nan manyampaikan,” kata Suhardi diikuti tawa sang istri.
Menurut Suhardi, kebanyakan seniman rabab di kota Padang yang bisa ditemui di beberapa SPBU atau rumah makan, berasal dari Pesisir Selatan. Mereka biasanya adalah pasangan suami-istri yang tidak sanggup lagi untuk tampil di pesta-pesta pernikahan.
Di Sumatera Barat, kita memang akan dengan mudah menemukan sepasang pemain rabab di pom-pom bensin, di rumah-rumah makan, di pasar, atau di terminal. Seperti Suhardi dan Yusnimar, mereka barabab dalam kondisi yang tidak bisa dikatakan layak. Duduk di antara pekatnya asap knalpot dan tajamnya hawa bahan bakar minyak, atau menjelepok di pintu masuk rumah makan bersaing mencari recehan dengan para gepeng.
Barabab dalam kondisi seperti itu jelas bukan kehendak mereka. Di Pesisir Selatan sendiri, Suhardi bilang bahwa rabab adalah kesenian yang sakral dan terhormat. Rabab tak bisa dimainkan di sembarangan tempat. Namun tidak ada pilihan lain.
“Kalau di kampung, dimarahi kita sama orang kalau memainkan rabab di SPBU atau rumah makan,” ujar Suhardi. “Tahu apa mereka? Kalau tidak begini, bagaimana mau makan?”
Selain ‘menjual’ kesenian rabab, Suhardi juga mengelola sepetak ladang di dekat rumahnya. Ladang itu kepunyaan orang lain. “Saya hanya mengelola,” kata dia.
Suhardi dan Yusnimar terbilang baru dalam menampilkan rabab di pom bensin. Sebelum pagebluk datang, ia sesekali masih mendapat tawaran untuk tampil di acara pernikahan. “Tapi jarang-jarang, kadang sekali sebulan, yang sering pas musim kawin,” katanya. Kondisi fisiknya juga sudah tidak memungkinkan, dirinya tak sanggup berlama-lama, berabab sampai menjelang pagi, dan bepergian jauh memenuhi permintaan.
Begitu pula dengan Yusnimar. Sebelum bertemu dengan Suhardi, puluhan tahun lamanya dia tergabung dalam grup rabab. Nasib membawanya ke sini, saban malam, menunggu rupiah demi rupiah dari menampilkan kesenian rabab.
Ini tidak mengamen, kita beda dengan mengamen, kata Suhardi. “Kami menampilkan seni, tidak peduli diberi uang atau tidak.” Suhardi lebih suka disebut seniman ketimbang pengamen yang menurutnya hanya menyanyi lalu “mendapatkan uang dan setelah itu pergi berlalu.”
Mereka memang memainkan rabab dalam waktu cukup lama, dari sore hingga menjelang tengah malam Petugas di SPBU Ampang, misalnya, tidak merasa keberatan dengan keberadaan seniman rabab macam Suhardi. “Ini hiburan yang menarik dan tidak membosankan,” kata Yan, salah seorang petugas di SPBU.
“Enak musiknya, bisa jadi penghibur saat menunggu giliran mengantre,” kata Alfrizal, salah seorang pembeli bensin di SPBU Ampang. Afrizal mengaku ia rutin mengapresiasi dengan menyisihkan sedikit uang. “Setiap kali ke sini, saya selalu niatkan untuk membayar rabab yang saya dengar,” kata Afrizal.
Sejak memutuskan barabab di pom bensin, pendapatan mereka tak menentu. “Kadang 50 ribu, paling banyak pernah sampai 200 ribu,” kata Suhardi. Namun dua tahun belakangan penghasilan yang didapat sering tak sebanding dengan lamanya waktu mereka menampilkan rabab. “Tapi kita tetap bersyukur, allhamdulillah untuk sehari-hari ini sudah mencukupi,” kata Yusnimar.
Sesekali, sorot lampu mobil bikin mata silau. Mereka tidak tahu sampai kapan akan menampilkan rabab di pom bensin, “Tidak ada cara lain lagi untuk mencari penghasilan,” kata Suhardi setengah lirih. (*)