Artikel

Slavoj Žižek, Lima Tahap Wabah, dan Cara Menuju Sosialisme

Ada satu bab singkat dari buku terbaru seorang filosof Slovenia, Slavoj Žižek (2020), Pandemic! Covid-19 Shakes the World, bertajuk The Five Stages of Epidemics. Pada bab ini Žižek memulai dengan mengetengahkan skema yang cukup terkenal dari Elisabeth Kübler-Ross, penulis buku On Death and Dying, tentang lima tahapan bagaimana manusia bereaksi setelah mengetahui bahwa mereka memiliki penyakit yang mematikan. Tahapan-tahapan reaksi itu adalah: denial (penyangkalan), anger (kemarahan), bargaining (tawar menawar), depression (depresi) dan acceptance (penerimaan).

Ketika seseorang mengetahui kenyataan bahwa ia mendapat penyakit yang mematikan, hal pertama yang muncul sebagai respon adalah penyangkalan. Seseorang akan menolak untuk menerima kenyataan bahwa ia menghadapi bahaya. Kemudian kemarahan meledak segera ketika ia tidak lagi bisa menyangkal fakta tersebut. Reaksi berikutnya adalah tawar menawar, yang muncul dalam bentuk harapan-harapan yang entah bagaimanapun caranya dapat menunda atau mengurangi fakta, seperti ungkapan “biarkan aku hidup untuk melihat anak-anakku lulus sekolah dulu”, misalnya. Selanjutnya orang akan depresi, yang disebut sebagai pelepasan libidinal lalu berfikir bahwa “saya akan mati, jadi mengapa repot-repot dengan berbagai hal?” Dan terakhir adalah reaksi penerimaan, sebuah reaksi yang mengatakan pada diri sendiri, “saya tidak bisa melawan fakta ini”, dan mulai berfikir untuk mempersiapkan apa saja yang mungkin untuk menghadapinya.

Kalau mau, kita bisa mengaplikasikan tahapan ini dalam menganalisis banyak hal. Kübler-Ross belakangan mengungkapkan tahapan ini relevan pada segala bentuk kehilangan pribadi yang membahayakan, entah pengangguran, kematian orang yang dicintai, perceraian, kecanduan narkoba, hingga ancaman bencana ekologis dan ancaman yang tumbuh dari kendali digital atas hidup kita. Dan, kata Žižek, bukankah reaksi-reaksi ini jugalah yang muncul pada kita dalam berurusan dengan epidemi corona yang meledak pada akhir 2019 lalu, dan yang masih berlangsung hingga hari ini?

Ketika hari-hari pertama wabah ini merebak, barangkali ketika dia baru berupa rumor, dan para ahli baru menemukan satu dua informasi saja tentangnya; sebuah novel dari keluarga virus yang sama dengan SARS dan MERS, dan belum ada cara menanganinya, respon yang muncul adalah penyangkalan dan penolakan. Kata Žižek, orang-orang berfikir tidak ada hal serius yang terjadi. Paling banter ini adalah kerjaan beberapa orang iseng tidak bertanggung jawab menyebarkan kepanikan. Ini hanya paranoia tak berdasar, ini hanya flu biasa yang singgah saban tahun. Mana mungkin flu bisa memberikan ancaman sebegitu seriusnya. Yang lebih parah adalah berbagai spekulasi konspiratif yang banyak berseliweran. Tidak kah demikian?

Kemudian, ketika korban mulai berjatuhan, orang-orang mulai beranjak dari penyangkalannya. Mereka mulai marah, mencari-cari kambing hitam. Žižek melihat kecenderungannya muncul dalam bentuk rasisme atau anti-negara: bahwa Cina bersalah, atau negara tidak efisien dalam merespons. Kita, di Indonesia, punya banyak cerita soal ini.

Kemarahan itu kemudian diikuti upaya menawar. Ok, ada beberapa korban, tetapi ini tidak seserius SARS, dan kita dapat membatasi penyebaran dan kerusakannya, lanjut Žižek. Kita menyaksikan berbagai cara diupayakan. Berbagai macam bentuk kebijakan dipublikasikan. Social physical distancing adalah yang paling umum diambil, selain juga mengunci kawasan sebagai langkah yang paling ekstrem, diikuti berbagai SOP menjaga kebersihan pribadi mandiri. Dan kita tau–setidaknya di negeri ini–usaha maksimal itu tidak banyak membantu mengurangi ancaman penularan yang lebih luas. Indonesia tidak mampu seperti China, Korsel, Jepang, apalagi Jerman, yang dengan segala sumberdaya sosial budaya, ekonomi dan yang utama political will-nya, mampu mengambil kebijakan ekstrim mengunci seluruh kawasan. Bersamaan dengan itu, ancaman dampak lain yang juga sama beratnya, terus mendekat.

Jika berbagai penawar-penawar itu tidak berhasil, depresi akan menghinggapi. Ini masa dimana kita, kata Žižek, akan berkata (sudahlah) tak usah menipu diri sendiri, ini sudah takdir dan kita semua bagian darinya. Covid19 dengan segala dampaknya, tidak terhindarkan. Orang mulai menerima. Tetapi bagaimana tahap akhir itu akan berbentuk?

Apa yang harus kita terima dan rekonsiliasikan pada tahapan ini dengan diri kita, bagi Žižek–dan tentu ini yang paling mendasar–adalah kesadaran, bahwa ada sub-lapisan dari kehidupan ini; yaitu kehidupan virus pra-seksual, mayat hidup, yang menduplikasi diri, yang selalu ada dan yang akan selalu membayangi, yang menimbulkan ancaman bagi kelangsungan hidup kita, yang mampu meledak ketika kita tidak mengharapkannya. Dan pada tingkat yang lebih umum lagi, lanjutnya, epidemi virus ini mengingatkan kita tentang kemungkinan dan kebermaknaan hidup kita: tidak peduli seberapa hebat bangunan spiritual yang kita manusia telah bangun, kontingensi alam seperti virus atau asteroid dapat saja dengan mudah mengakhiri, memunahkan semuanya. Bahkan dalam perspektif ekologi, kita, manusia, berperan serta sebagai kontributornya. Pada tahap ini, fakta telah sepenuhnya diterima.

Sudah di tahapan manakah kita merespon huru-hara ini?

Dimanapun kini posisi kita berada, ancaman dan segala dampaknya masih dan akan terus berjalan. Kesadaran falsafati bahwa manusia tidak seberkuasa yang dia kira adalah satu hal–apalagi dalam masa-masa yang pelan ini, sebagian kita barangkali memiliki waktu yang panjang guna merenungkan itu dan tentang bagaimana kita telah memperlakukan ekosistem ini–namun langkah dan tahapan-tahapan pada level yang lebih sosiologis juga sama urgennya untuk dipertanyakan, utamanya tentang bagaimana kita mampu melintasi amukan ini? Akan bagaimanakah imajinasi kita atas bentuk kehidupan ke depan, tidak akan terlepas dari bagaimana cara kita menghadapi amukan hari ini. Dan menghadapi serta melewati wabah ini adalah bentuk “penerimaan/acceptance” lain yang perlu dipikirkankan caranya, jika tidak ingin terperangkap pasrah.

Guna menjawab pertanyaan ini, Žižek menawarkan satu pendekatan. Langkah-langkah yang tampak bagi kita hari ini sebagai “Komunis”, katanya, harus dipertimbangkan pada tingkat global: koordinasi produksi dan distribusi harus dilakukan di luar koordinat pasar.

Dampak wabah hanya bisa didekati dengan pendekatan kolektif, terkoordinasi dan komprehensif yang melibatkan seluruh mesin pemerintahan. Koordinasi global yang efisien, keterbukaan informasi, perencanaan dan eksekusi yang terkoordinasikan secara penuh. Isolasi, karantina, dan membangun tembok baru secara terus menerus, kata Žižek, tidak akan berhasil. Untuk memungkinkan hal itu, layanan publik dasar harus terus berfungsi: listrik dan air, makanan dan obat-obatan harus terus tersedia. Kita akan segera membutuhkan daftar orang-orang yang telah pulih dan, setidaknya untuk beberapa waktu, kebal, sehingga mereka dapat dimobilisasi untuk pekerjaan publik yang mendesak. Sistem kesehatan institusional harus bergantung pada bantuan masyarakat lokal, pada semacam organisasi swakelola berbasis komunitas, guna merawat yang lemah dan yang tua, jika sistem kesehatan yang dikelola pemerintah kolaps. Dibutuhkan solidaritas penuh tanpa syarat dan respons global yang terkoordinasi, bentuk baru dari apa yang dulu pernah disebut komunisme, lanjutnya.

Tidak mudah membayangkan solidaritas global yang ditawarkan Žižek, ketika software individualisme kapitalistik itu masih bercokol, meskipun sistemnya sudah tergoncang hebat hampir kolaps. Walaupun, disisi lain, solidaritas sosial lah yang saat ini sangat masuk akal dilakukan. Konon, dalam krisis semua orang adalah sosialis. Tapi apakah komunisme ala Žižek betul-betul patut dipertimbangkan? Atau adakah jalan lain? (*)

 

Ilusitrasi oleh: Graphirate

 

Catatan: Artikel ini terbit pertama kali di Inioke.com, diterbitkan ulang atas izin penulisnya.

Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *