Adakah hubungan selembar kain batik dengan sehampar padi ladang? Atau dalam konteks yang lebih luas: bagaimanakah hubungan sandang dengan pangan?
Alkisah, di tengah aneka tumbuhan dan buah-buahan di sorga, Adam dan Hawa tergoda makan buah terlarang. Seketika, pakaian keduanya tanggal, berlepasan, dan mereka dengan rasa malu teramat dalam harus memetik dedaunan untuk menutupi tubuh yang telanjang. Lalu datanglah titah: Kalian telah melanggar pantangan, ke luarlah dari sorgaKu!
Maka Adam-Hawa terlempar ke bumi, dan sejak itu, sebagaimana diabadikan penyair Karibia peraih Nobel Sastra 1992, Derek Walcott—terjemahan Sapardi:
daging harus ditaburi garam,
agar menghayati batas musim,
kekhawatiran dan panen,
rasa gembira yang sulit,
namun yang, akhirnya, milik sendiri.
Hidup di bumi, sejoli itu harus mengusahakan sendiri sandang dan pangannya. Mereka harus bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidup, hingga sampai kepada generasi yang menanam padi sebagai sumber pangan utama. Pakaian yang dikenakan harus dibuat dan diolah dari kulit kayu, serat daun dan kulit binatang liar hingga kulit hewan peliharaan dan benang ulat sutra. Cara bertanam dan membuat pakaian terus diwariskan pendahulu, sekaligus juga dikembangkan oleh anak cucu. Dari generasi ke generasi cara-cara itu mencapai kesempurnaan. Jika daging harus ditaburi garam, tanaman dijaga dari perubahan musim dan kekhawatiran menjelang panen, maka pakaian membutuhkan penyesuaian, warna, aksesori dan hiasan dalam seni-seni kriya tekstil yang terus berkembang. Salah satunya adalah penemuan dan penerapan corak batik yang tak kalah menarik dibanding capaian di dunia tekstil yang lain seperti tenun atau lurik, bahkan jika dibandingkan dengan pencapaian dalam dunia agronomi.
Pada akhirnya, pakaian dan makanan menjadi simbol peradaban.
Hal-hal filosofis itu sedikit banyak mewarnai perjalanan ketiga saya ke kawasan suku tuha (suku tua) Talang Mamak di Desa Talang Sungai Parit, Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, pertengahan Maret 2025. Kali ini, saya bersama tim akan mengadakan pelatihan batik bagi masyarakat setempat sebagai bagian dari alternatif pengadaan sandang. Sembari itu, kami juga akan melihat keberadaan padi ladang yang dapat digali sebagai motif batik yang khas, sekaligus melihatnya dalam konteks kedaulatan pangan.
Ini upaya mengabadikan eksistensi padi ladang yang dari generasi ke generasi menjadi sumber pangan puak Talang Mamak. Selembar kain batik bermotif padi ladang tentu akan bercerita banyak tentang apa dan bagaimana padi itu dulu dan sekarang; menggambarkan bagaimana perjuangan masyarakat adat merawat dan memproduksi pangannya sendiri. Meski motif yang akan diangkat bukan sebatas padi, melainkan sejumlah hal yang dianggap menarik untuk diaplikasikan, tapi jelas padi merupakan sumber motif yang paling energik, imajinatif, filosofis dan ideologis.
Kami bertolak dari Air Molek pkl. 08.00. Masih terbilang pagi untuk badan yang cukup letih dalam perjalanan dari Pekanbaru kemarin. Apalagi kendaraan sempat macet di Jalan Lintas Timur Sumatera, km 83 Pelalawan, lantaran banjir yang terus berulang. Kini pun perjalanan saya masih berhadapan dengan situasi yang tak berubah: jalanan rusak, hujan mengakibatkan banjir di mana-mana, kebun-kebun kelapa sawit rakyat yang merana, wajah kampung seolah murung abadi. Rusak jalan malah bertambah parah. Selepas jembatan Kuala Lala di atas Sungai Indragiri, jalan berlumpur mulai menyambut.
Di Batu Mandi, kita betul-betul mandi lumpur karena sudah tak ada aspal sama sekali. Arus Sungai Indragiri melimpah di sebuah belokkan membuat banjir naik ke badan jalan. Tahun lalu, saya harus melewatinya dengan naik bocay, perahu penambang pasir yang disewakan, karena jalan sama sekali tak bisa dilalui. Jika hujan terus turun atau intensitas kiriman air dari hulu meningkat, alamat kali ini pun kami harus naik bocay atau lewat jalan alternatif ke Siberida yang jaraknya dua kali lipat.
Ironisnya, di tengah jalan yang rusak itu, truk tangki pengambil minyak ke lokasi sumur tambang Blok Kampar di kawasan Talang Mamak tetap saja melenggang datang, mengangkut apa yang bisa diangkut. Blok ini sudah beroperasi sejak zaman kolonial, dan sampai sekarang terus mengalirkan minyak mentah buat diolah perusahaan negara—yang setiap tahun tetap saja mengumumkan kerugiannya. Dan lihatlah, bahkan jalan untuk membawa hasil bumi yang dihisap ke tempat pengolahannya pun dibiarkan menjadi genangan lumpur! Rasanya masih mujur zaman dulu, ketika minyak masih dialirkan dengan pipa besi sehingga pihak pengolah tinggal menampung di ujung kampung, tanpa memasuki jalan dengan tonase besar.
Begitu pula truk-truk kelapa sawit sarat beban masih terlihat lewat, meski dalam kondisi teramat sulit. Tak jarang bannya terperosok ke dalam genangan lumpur dan tertahan berjam-jam, sebelum akhirnya atas bantuan penduduk berhasil didorong atau ditarik. Padahal yang dibawa adalah hasil kekayaan bumi Talang Mamak; buah kelapa sawit yang akan dijual kepada pengepul atau langsung ke pabrik terdekat.
Namun bagaimanapun, kedatangan kami kali ini penuh harapan. Atas prakarsa Perkumpulan Pemantauan Akuntabilitas Berkelanjutan (The Association of Accountability Sustainable Monitoring), pertama kami akan mengadakan pengenalan dan pelatihan batik kepada warga Talang Mamak di Desa Talang Sungai Parit. Pesertanya remaja putri berusia sekitar 17-25 tahun. Jois Adisti, rekan kami di lapangan, mengabarkan tercatat 14 orang bersiap ikut pelatihan.
Kegiatan diadakan di rumah keluarga Wulan Mardiana Ningsih, biasa dipanggil Neneng, yang terletak di tepi jalan raya Pasir Bongkal-Talang Sungai Parit. Instruktur pelatihan adalah Nur Wahida Idris, S.Sn, alumnus Jurusan Kriya/Batik Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang juga seorang penyair.
Kami sampai di lokasi pelatihan sekitar pukul 9.30. Rumah kayu keluarga Neneng sudah dipenuhi oleh para peserta. Bocah-bocah tampak berlarian dan bermain di halaman yang luas. Kami menurunkan peralatan dan bahan-bahan batik yang kami bawa langsung dari Pekanbaru; dari Yogya ke Pekanbaru dikirimkan melalui bus. Para peserta ramai-ramai membantu, mengangkut semua yang diturunkan dari mobil ke atas rumah. Rumah orang Talang Mamak yang tanpa sekat, kecuali satu-dua kamar, tampak lapang dan leluasa sehingga sangat cocok untuk pelatihan atau kegiatan sejenis.
Hari pertama tersebut, Selasa, 18 Maret 2025, pkl 09-16 WIB, peserta diperkenalkan dengan peralatan dan bahan batik. Mulai dari meja pola, kompor listrik, wajan, canting, gawangan, contoh lembaran motif, jenis-jenis kain kosong yang bagus untuk dibatik, sampai kepada kain yang sudah dicanting dan sudah diwarnai. Kami sengaja memakai kompor listrik sebab mencari minyak tanah sangat sulit untuk kompor minyak.
Ada pun bahan yang diperkenalkan adalah lilin/malam, parafin, dan pewarna. Terlebih dahulu juga diperkenalkan secara lisan proses membatik, dari awal sampai akhir; mulai dari membuat rancangan motif, aplikasi gambar motif di atas kain dengan membuatnya di atas meja pola yang juga sudah disiapkan, bagaimana motif itu dicanting menggunakan malam atau lilin, sampai kain yang sudah diberi malam itu dicelupkan ke pewarna.
Tak kalah penting adalah menekankan bahwa kerja membatik di samping bernilai ekonomis, juga bernilai kreatif dan bahkan ideologis. Nilai ekonomis jelas tercapai jika motif batik yang dihasilkan menarik minat pasar sehingga bisa diaplikasikan dalam berbagai produk seperti busana, seprei, taplak meja, selendang dan seterusnya. Produk-produk itu dapat saja dipasarkan sehingga bisa mendatangkan penghasilan tambahan, bahkan penghasilan utama. Kreasi atas motif dan warna batik merupakan kerja kreatif yang memerlukan imajinasi, literasi dan penggalian objek-objek menarik di sekitar. Diharapkan dari sini muncul motif-motif khas Talang Mamak, termasuk pemanfaatan warna-warna alami yang bahannya cukup banyak di Desa Talang Sungai Parit.
Sedangkan secara ideologis, batik antara lain dapat menjadi wadah untuk menggambarkan situasi sosial masyarakat tempatan, baik dalam aspek spiritual, adat, maupun persoalan aktual seperti kerusakan lingkungan dan lenyapnya hutan ulayat. Dalam dunia batik sendiri, bentuk ideologis itu bisa saja berupa keteguhan pilihan atas batik tulis atau batik cap yang lebih khas dan alami, dibanding pilihan pada batik cetak (printing) yang diproduksi mesin secara massal.
Dalam pengantarnya, Nur Wahida Idris menjelaskan bahwa batik berasal dari kata amba artinya menulis, dan nitik, artinya titik. Jadi membatik berarti menulis dengan teliti menggunakan lilin/malam yang ditorehkan dengan canting. Batik terdapat di berbagai daerah, bukan hanya ada di Jawa, meski Jawa selama ini identik dengan batik dan sebaliknya.
“Itu karena orang Jawa sabar dan tabah sehingga tahan menorehkan canting di atas pola,” kata Ida setengah bergurau, tapi ada benarnya juga.
Dalam hati saya bergumam, orang Talang Mamak juga tak kalah sabar dan tabah sebenarnya. Buktinya mereka tetap bertahan di tengah ekologi yang berubah drastis, dari hutan tanah ulayat berubah jadi perkebunan sawit. Dan ketika itu saya bisikkan kepada Ida, ia dengan antusias bilang,”Itu pertanda mereka akan tahan membatik, apalagi jika motifnya selaras dengan perjuangan mereka atas tanah ulayat.”
“Wah, itu akan menyatukan perjuangan sandang dan pangan,” kataku setuju, meski boleh jadi sebatas angan-angan. Tapi apa salahnya berpanjang angan, bermimpi, untuk sebuah harapan?
Modal Harapan: Antusias dan Bisa
Tentu saja ada modal tertentu ketika kita menabur harapan. Ibarat menabur benih padi, dibutuhkan persemaian yang baik, biji padi pilihan dan cuaca yang mendukung. Dari situlah harapan ikut tumbuh bersama benih yang tumbuh, dan harapan mekar ketika batang-batang padi yang ditanam menerbitkan bulir-bulir keemasan.
Begitulah hakikatnya, melihat peserta memperhatikan penjelasan instruktur dengan takzim, serta antusias mengamati alat dan bahan, rasanya itu sudah merupakan sebuah modal. Mereka memegang langsung peralatan dan bahan tersebut, merasakan dan menimang-nimangnya. Perlu diketahui, selama ini mereka hanya mengenal istilah “batik” atau memakai baju batik, namun tidak tahu dan tidak pernah melihat langsung bagaimana proses membatik di selembar kain. Jadi ini merupakan pengenalan pertama mereka terhadap proses membatik yang memberi aksentuasi nilai pada selembar kain.
Selama ini, masyarakat Talang Mamak memperoleh keperluan sandangnya dengan membeli di pasar Pasir Bongkal yang diramaikan dua kali seminggu. Mereka bisa mendapatkan baju-baju atau pakaian dari pedagang keliling dengan harga terjangkau. Sebagian bisa membelinya di toko busana ke kota kecamatan, Air Molek atau Siberida. Dalam waktu-waktu tertentu sebagian mereka membeli kain dan kebutuhan sandang ke kota kabupaten, Rengat atau Teluk Kuantan. Bahkan ke kota provinsi, Pekanbaru, jika datang hari baik bulan baik; misalnya ketika harga komoditi seperti sawit, pinang atau karet naik di pasaran. Setiap keluarga biasanya menyimpan kain panjang, sarung, dan baju-baju terbaik dalam almari pakaian sebagai aset keluarga. Kain-kain itu dapat digunakan pada hari-hari tertentu seperti perhelatan keluarga atau saat bepergian ke tempat istimewa.
Sejarah sandang orang Talang Mamak tentu saja sudah cukup panjang. Jauh sebelum masa kontemporer sekarang, nenek moyang sudah menggunakan bahan-bahan alam sebagai sumber sandang. Misalnya kulit kayu dan kulit hewan. Kulit kayu yang seratnya halus bisa menjadi pakaian, sementara yang seratnya lebih kasar dan tebal, dijadikan dinding rumah yang sebagian masih bisa kita lihat di bagian dapur sejumlah rumah. Pada tahun 50-80-an, pola berpakaian mereka masih sangat sederhana. Laki-laki biasa bersarung atau bercelana pendek, dan perempuan kadang menggunakan kamben.
Dalam konteks identitas etnik, busana orang Talang Mamak adalah baju teluk belanga (berlengan panjang), menggunakan kain sarung (ambang) dengan ikat pinggang (cawek) yang lebar. Kepala menggunakan penutup yang disebut deta sugea, dan bagi pemimpin adat biasanya menyelipkan keris di pinggang serta tangan memegang tongkat. Sementara perempuan mengenakan baju kurung, songket dan aksesoris (anting dan kalung) serta bersanggul dan berselendang.
Batik, merupakan upaya menjadikan selembar kain jadi bermakna lain. Ia bisa bernilai keseharian, di mana produk olahannya dapat digunakan secara fleksibel. Bisa bersifat formal seperti baju batik kantoran, bisa pula pakaian rumahan semisal celana pendek yang nyaman. Di luar busana, kain batik juga dapat disimpan sebagai investasi atau benda koleksi yang bernilai tinggi.
Berdasarkan prosesnya, membatik ada dua, yakni batik tulis dan batik cap, di samping ada batik cetak (printing)—yang tidak menjadi fokus pelatihan. Setelah penjelasan tersebut dirasa cukup, kemudian proses membatik segera dipraktekkan. Dimulai dari proses mencanting, yakni memberi malam pada motif yang sudah disiapkan di atas selembar kain ukuran 50 x 50 cm. Kompor listrik dinyalakan, dan potongan lilin/malam dimasukkan ke dalam wajan, masing-masing peserta mendapatkan selembar kain bermotif flora-fauna dan sebuah canting.
Setelah malam mencair, peserta mencelupkan cantingnya, lalu mengikuti guratan motif pada kain. Kain ditempatkan di atas gawangan, peserta duduk di atas dingklik (bangku kecil). Meski demikian, banyak juga memilih duduk di tikar dan dengan asyik mencanting kain di hadapannya masing-masing. Hal ini dimungkinkan karena ukuran kain tidak terlalu lebar, dan gawangan juga tak mencukupi untuk semua peserta (hanya ada tiga 3 buah). Namun dalam proses mencanting dengan kain yang ukurannya lebih besar, mutlak menggunakan gawangan, dan peserta melakukan proses membatik secara bersama-sama atau bergantian.
Pada pelatihan hari pertama ini, motif batik masih mengambil motif umum berupa flora dan fauna yang tak banyak mengalami stylisasi. Dalam pertemuan selanjutnya direncanakan pengaplikasian motif khas Talang Mamak yang akan digali di wilayah Talang Mamak sendiri. Motif itu bisa berupa pendalaman bahan-bahan pangan seperti padi ladang, bunga dan buah labu atau pohon sialang. Bisa pula digali dari situs-situs dan ritus adat.
Semua kain yang sudah bermotif berhasil diberi malam. Tak lupa kepada peserta diingatkan untuk menerakan nama di lembar kainnya masing-masing, langsung menggunakan canting. Sementara itu, sebuah kain primisima kosong ukuran 100 x 115 cm sengaja disiapkan untuk digambar motif oleh warga setempat. Kain dengan ukuran cukup lebar itu akan diberi malam pada hari kedua.
Pada hari kedua, Rabu, 19 Maret 2025, pkl 09-16 WIB, kain yang semalaman sudah selesai digambari motif oleh seorang warga Talang Sungai Parit, hal yang membuat kami merasa surprise. Ternyata ada warga yang mampu membuat motif, yang bisa dibaca sebagai potensi tersembunyi. Motif tersebut tinggal diberi malam oleh peserta. Mereka melakukannya secara bergantian. Setelah hampir 1,5 jam, motif selesai diberi tembokan parafin. Sekarang peserta punya 15 motif kain yang sudah diberi malam; 14 kain ukuran kecil milik setiap peserta (50 x 50 cm), dan 1 kain ukuran lebar (100 x 115 cm) sebagai karya bersama.
Langkah selanjutnya menyiapkan proses pewarnaan (pencelupan). Awalnya pewarnaan akan menggunakan dua jenis zat pewarna, yaitu naptol dan indigosol. Tapi sejak pagi hujan turun, sehingga terpaksa hanya menggunakan warna naptol saja. Proses pewarnaan dengan indigosol membutuhkan sinar matahari supaya warna dapat dibangkitkan. Sedangkan pewarnaan dengan naptol bisa langsung dilakukan dengan proses pencelupan kain ke dalam larutan naptol + soda api + nitrit. Setiap peserta mencelupkan kain yang sudah diberi lilin/malam tadi untuk diwarnai.
Setelah itu dilanjutkan secara bersama-sama memasukkan kain motof ukuran besar. Untuk ukuran kain 1×1 meter komposisi resepnya sebagai berikut: I. 5 gr. Naptol + 1,5 gr. nitrit/ TRO + 3 gr. Kustik (soda api) II. 10 gr. Garam Pembangkit Warna 3 (tiga) jenis bahan ini, naptol+ soda api + nitrit, dilarutkan dengan 0,5 liter air panas setelah naptol larut kemudian ditambahkan 1 liter air dingin.
Sebelum kain dimasukkan ke dalam larutan pewarna terlebih dulu kain dibilas dengan air netral untuk mengembangkan serat kain, melepaskan kotoran dan debu sehingga nantinya proses penyerapan warna maksimal. Setelah pencelupan merata, kain disampirkan untuk meluruhkan naptol sampai tak ada lagi cairan naptol yang menetes. Selanjutnya kain dimasukkan ke dalam larutan garam warna atau zat pembangkit warna secara merata. Setelah dirasa cukup, kain diangkat dan dibilas kembali.
Proses pewarnaan ini dilakukan sebanyak 3 kali putaran. Alhasil sebanyak 14 kain batik ukuran 50 x 50 cm berhasil diwarnai, serta selembar kain ukuran 100 x 115 cm. Proses terakhir adalah melorot, yakni menghilangkan atau membersihkan malam/lilin pada kain dengan cara direbus ke dalam air mendidih yang telah dicampur dengan soda abu. Seluruh peserta bersorak gembira melihat hasil kerja mereka, dan masing-masing membentangkannya untuk berfoto ria. Batik ukuran lebar direntangkan secara bersama-sama.
Bahwa mereka bisa, jelas itu modal berikutnya yang perlu terus dipelihara.
Menurut Ayu, salah seorang peserta, sudah lama kaum perempuan di Talang Sungai Parit tidak berkumpul seperti itu, dalam arti mengerjakan sesuatu secara bersama-sama terkait sandang dan perangkat penunjangnya. Dulu, ketika rumpun rumbai masih tumbuh dengan baik di kawasan Talang Mamak, biasa mereka membuat tikar atau anyaman bersama-sama. Sambil bercerita atau berinteraksi dalam suasana kekeluargaan. Bahkan jauh sebelum rumbai dikeringkan, mereka sudah biasa bersama-sama mencari rumbai ke tepi rawa atau pinggir sungai. Itu juga mempererat kebersamaan.
Tikar merupakan perangkat penting dalam penunjang kebutuhan sandang. Hamparan tikar mewarnai keseharian masyarakat Talang Mamak, seperti untuk tidur dan bersantai di rumah, maupun dalam acara-acara adat yang melibatkan orang banyak. Tikar bahkan digunakan sampai ke liang kubur. Dalam upacara kematian, jenazah akan dialasi tikar rumbai sebanyak tujuh helai. Itulah sebabnya, di atas pagu rumah orang Talang Mamak akan kita jumpai gulungan-gulungan tikar di atas pagu yang siap dipergunakan untuk berbagai keperluan keluarga maupun kepentingan kolektif.
Masyarakat Talang Mamak membuat tikar dari daun rumbai, bukan dari daun pandan. Daun rumbai lebih lembut tapi kuat. Selain itu, berlokasi di lahan gambut, warga Talang Sungai Parit lebih gampang menemukan rumbai ketimbang pandan. Rumbai tumbuh baik di daerah gambut, sedang pandan biasanya di tempat relatif kering. Akan tetapi semenjak perusahaan perkebunan mengambil alih kawasan, tanaman rumbai ikut jadi korban. Rumbai makin susah ditemui, sehingga kebiasaan mencari bahan anyam di alam secara bersama-sama—yang menguatkan interaksi sesama warga maupun dengan alam—ikut memudar. Begitu pula tradisi berkumpul perempuan sambil menganyam dan bercerita, ikut menghilang.
Pelatihan batik, dengan demikian, sedikit banyak bisa mengembalikan tradisi kebersamaan itu. Mereka berkumpul dan berproses bersama-sama, meskipun sebagaimana membuat tikar bisa dilakukan sendiri-sendiri, membatik juga bisa dilakukan sendirian. Namun itu mensyaratkan kemampuan menguasai keterampilan menganyam atau membatik, sekaligus dengan itu menjamin bahwa sebuah keterampilan dapat diwariskan atau diajarkan.
Seperti hari itu. Mereka berhasil membentangkan motif-motif flora dan fauna secara sederhana. Meski sebagai keterampilan masih perlu proses lanjutan, namun titik kumpul sudah dibentangkan. Termasuk menyiapkan motif khas Talang Mamak sendiri. Motif itu bisa menjadi ekspresi warga atas histori dan realitas mereka sehari-hari. Alam dengan segala kekayaannya yang pernah hidup dalam memori kolektif mereka dapat dihadirkan kembali sebagai spirit dan bahan refleksi. Di atas selembar batik, eksistensi dan identitas mereka ditorehkan. Batik bisa pula menjadi media untuk menyuarakan hak-hak masyarakat adat yang terampas. Kita tahu, perusahaan dan negara kerap bertindak dua pihak, melupakan hak pihak ketiga—bahkan sebenarnya pihak pertama: rakyat, alias masyarakat adat itu sendiri.
Terkait dengan itu, kami sudah merencanakan menggali motif etnik dan padi ladang. Proses penggalian kedua sumber motif tersebut dilakukan dengan turun langsung ke lapangan. (*)
Foto: Dokumentasi Raudal Tanjung Banua.