Artikel

Represi Mahasiswa: Dari Retrospeksi Hingga Relevansi

Universitas Indonesia kembali menjadi perhatian publik. Bukan karena prestasi ataupun gerakan mahasiswanya, namun karena kontroversi yang muncul dari Pakta Integritas Mahasiswa Baru UI Tahun 2020. Pada dokumen yang wajib ditandantangani di atas materai oleh mahasiswa baru tersebut berisi beberapa perjanjian yang jika dilanggar dapat berbuah drop-out dari kampus. Setidaknya terdapat tiga poin bermasalah dalam dokumen pakta integritas tersebut.

  1. Tidak terlibat dalam politik praktis yang mengganggu tatanan akademik dan bernegara;
  2. Tidak melaksanakan dan/atau mengikuti kegiatan yang bersifat kaderisasi/orientasi studi/latihan/pertemuan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan yang tidak mendapat izin resmi dari pimpinan fakultas dan/atau pimpinan Universitas Indonesia.

Dua klausul di atas dipetik dari tiga belas poin Pakta Integritas Mahasiswa Baru UI 2020 yang dinilai janggal bagi kebebasan berekspresi mahasiswa. Menyikapi sorotan, beberapa waktu kemudian pihak UI memberi keterangan bahwa Pakta Integritas yang tersebar di pemberitaan tersebut hanyalah rancangan dan belum final. Dua klausul itu kemudian diubah menjadi:

7. Tidak akan melakukan kegiatan politik praktis dalam kampus atau kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi kemahasiswaan yang tidak terdaftar di UI atau tidak mendapat izin dari pimpinan UI;

Sedikit menjemput ke belakang, ketentuan represif bagi mahasiswa di Indonesia bukanlah hal baru. Sebelumnya dekade 1970-an terdapat dua surat sakti Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan III, Daoed Joesoef. Keduanya adalah Surat Keputusan (SK) No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan SK No. 0230/U/J/1980 tentang Pedoman Umum Organisasi dan Keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Keduanya erat tak terpisahkan sehingga kemudian dikenal dengan NKK/BKK.

NKK/BKK tidak lahir begitu saja. Ia membutuhkan waktu tidak kurang satu dekade untuk mendapat bentuk sebagai pedang hukum yang diayunkan pemerintahan tangan besi Orde Baru. Lini masa setidaknya bisa dimulai dari kampanye “Golongan Putih” yang digawangi mahasiswa pada tahun 1971. Gerakan ini merupakan ketidakpercayaan mahasiswa terhadap pemilu yang sekedar drama politik militerisme Soeharto. Inilah bentuk awal gelombang ketidakpercayaan masyarakat pada mekanisme pesta demokrasi yang masih dapat dirasakan hingga hari ini.

Protes berlanjut pada tahun 1973 ketika pemerintah mendirikan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang kerap disinyalir sebagai tanda cinta Pak Harto pada Buk Tien. Klimaksnya 15 Januari 1974. Kala itu mahasiswa tidak lagi bisa menahan protes terhadap dominasi modal asing di dalam negeri dan menyambut kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka, dengan demonstrasi besar. Peristiwa yang dikenal dengan Malapetaka 15 Januari (MALARI) adalah pemantik lahirnya NKK/BKK sebagai kartu As Orde Baru untuk mengakali kegiatan politik mahasiswa yang “mengganggu” pemerintahan.

Dibentuknya Kabinet Pembangunan IV dengan formasi Nugroho Notosusanto sebagai pengganti Joesoef tanggal 19 Maret 1983 semakin memperketat NKK/BKK. Depolitisasi di kampus semakin menjadi-jadi. Pemerintah benar-benar mengebiri kegiatan politik mahasiswa dengan membatasinya pada organisasi internal kampus seperti Senat, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Di luar itu, haram. Disinilah restrukturisasi sistem pendidikan tinggi dilakukan untuk mengalihkan konsentrasi mahasiswa dari isu-isu politik negara melalui penambahan beban belajar hingga 75% lewat Sistem Kredit Semester (SKS).

Organisasi resmi internal kampus difungsikan sebatas sarana penyaluran minat dan bakat mahasiswa yang jauh dari dunia politik. Bukan cuma itu, Resimen Mahasiswa (MENWA) yang semula dibentuk sebagai paramiliter bagi kampanye Revolusi dialihfungsikan menjadi badan resmi yang memata-matai kegiatan politik mahasiswa. Inilah salah satu bentuk perpanjangan tangan Orde Baru dengan menghadapkan sesama mahasiswa, memecah dari dalam. Kala itu, MENWA kerap melakukan patroli jam malam di kampus untuk sterilisasi kegiatan mahasiswa yang terindikasi sebagai politik praktis.

Akibatnya, suburlah tatanan sosiologis mahasiswa yang berkutat dengan diktat untuk memburu Indeks Prestasi (IP) setinggi-tingginya. Bilamana demonstrasi dilakukan, maka itu adalah perbuatan melanggar hukum sekaligus aib bagi perguruan tinggi. Formulasi Orde Baru sangat berhasil. Bahkan sekian puluh tahun sejak NKK/BKK lahir dan lebih dua dekade setelah Orde Baru gulung tikar, psikologi represif masih abadi bersemayam dalam sanubari para dosen inlander di seantero Indonesia.

Tinjauan Ketatanegaraan dan Retrospeksi

Kala itu NKK/BKK bukanlah produk hukum ilegal. Sebab ia adalah ketentuan yang diturunkan dari Penetapan Presiden (Penpres) No. 11 Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Setelah reformasi, payung hukum Penpres tersebut telah dicabut melalui UU No. 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 11/PNPS/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Dalam konsideran Menimbang, TAP MPR No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan sebagai latar belakang pencabutan tersebut. Artinya, kegiatan subversi berdasarkan paradigma Orde Lama dan Orde Baru tidak lagi relevan untuk digunakan di era reformasi. Akan tetapi itu hanyalah tafsiran normatif. Ada sebuah tafsir hukum yang logis tentang mengapa subversi tidak lagi relevan.

Secara semantik, subversi berarti gerakan untuk menjatuhkan pemerintahan menggunakan cara di luar undang-undang. Kudeta adalah bahasa sederhananya. Apabila sistem hukum Indonesia ditelisik sebelum amandemen UUD 1945, tidak akan ditemukan satupun ketentuan hukum yang menyatakan presiden dapat diturunkan dari jabatannya. Hal ini dikarenakan kesepakatan para pendiri negara yang memberi kekuasaan besar kepada Presiden, sehingga skema pemerintahan Indonesia tidak mengenal Trias Politica dan pembatasan kekuasaan (konstitusionalisme). Bahkan dari 37 pasal dalam UUD 1945 sebelum amandemen, terdapat dua belas pasal yang memberi legitimasi hampir tidak terbatas pada Presiden. Sehingga artikulasi pemakzulan Presiden kala itu dipersamakan dengan kudeta. Itulah mengapa tiga Presiden yang diturunkan dalam masa jabatannya sepanjang sejarah Indonesia tidak ditempuh melalui mekanisme hukum, namun politik. Kudeta Sukarno adalah yang paling berdarah.

Keadaan berbeda terjadi setelah empat kali amandemen UUD 1945. Sekalipun sistem pemerintahan diarahkan ke sistem presidensiil, tapi proporsinya dilakukan secara berimbang. Sehingga kekuasaan tidak absolut berada di tangan presiden, namun juga diimbangi oleh kontrol langsung dari parlemen.

Misalnya, mekanisme yang disediakan oleh konstitusi untuk memakzulan presiden dalam masa jabatannya apabila terjadi pelanggaran hukum, misalnya pengkhianatan pada negara atau korupsi. Mekanisme ini dilakukan melalui pengajuan mosi oleh DPR kepada MK. Bilamana MK dalam persidangan yang mengadili Presiden dalam jabatannya menemukan bahwa ia telah melakukan pelanggaran hukum, maka putusan MK selanjutnya dieksekusi oleh MPR untuk memberhentikan Presiden.

Singkat kata, paradigma subversi melalui kegiatan politik mahasiswa telah kehilangan relevansinya apabila aksi massa memang dilandasi atas pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden. Namun langkah awal untuk mengadili apakah presiden telah melakukan pelanggaran hukum bukanlah pekerjaan mudah. Di sinilah DPR menjalankan fungsi pengawasannya. Hanya saja sangat disayangkan mayoritas fraksi di DPR saat ini tidak terbagi dalam setidaknya dua kekuatan berimbang untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Artinya, pemakzulan Presiden periode 2019-2024 bisa dikatakan mustahil lewat mekanisme konstitusional. Sehingga pemakzulan hanya dapat dilakukan lewat mekanisme di luar hukum, aksi massa dalam skala raksasa adalah yang paling relevan. Paling fenomenal tentu revolusi, namun akibat yang ditimbulkan tidak lain dari bubarnya Republik Indonesia.

Dari logika ketatanegaraan inilah pembatasan kegiatan politik mahasiswa dapat dipahami. Namun pertanyaannya; mengapa harus mahasiswa, mengapa bukan ormas atau partai politik?

Jawabannya cukup sederhana. Kesampingkan saja partai politik yang jelas-jelas gagal memenuhi harapan sebagai pengawas pemerintahan dari Senayan. Bahkan satu-satunya kekhawatiran negara pada partai hanyalah hantu komunisme yang tidak lagi logis. Lalu Ormas juga tidak begitu dikhawatirkan, sebab terdapat mekanisme hukum untuk membubarkan mereka. Seperti yang dilakukan pada HTI. Cukuplah dengan asumsi niat HTI yang berupaya mengganti Pancasila ditambah keengganan negara menghadapi kritik, telah jadi senjata ampuh untuk menggulung sebuah ormas. Lantas, bagaimana dengan mahasiswa? Di sinilah keistimewaannya.

Secara historis, di belahan dunia manapun “seluruh geger politik disiapkan atau dikawali filsafat hukum. Bertolak dari filsafat hukum, berujung pada revolusi”, ungkap ahli hukum Jerman, Gustav Radbruch. Kesampingkan diksi “hukum” dalam gagasan ini, bahwa kaidah fisafati merupakan anteseden yang membentuk cara hingga pola pikir manusia. Di manakah cara berpikir filosofis itu dipelajari secara metodologis? Panggung politik dan instansi pemerintahan tidak akan menyediakan logika kritis filsafat, ia hanya ditemukan dalam jenjang perguruan tinggi. Terlepas dari apapun studi seorang mahasiswa, cara berpikir kritis yang merupakan tulang punggung filsafat adalah fondasi keberadaan perguruan tinggi. Itulah mengapa pelajar di lembaga pendidikan jenis ini disebut sebagai “mahasiswa” bukan “siswa”. Adanya penggalan “maha” dalam peristilahan itu sedikit-banyak telah menunjukkan adanya kompleksitas berpikir dari seorang pelajar di perguruan tinggi.

Itulah mengapa “sejarah telah membuktikan bahwa perubahan-perubahan besar selalu diawali oleh kibaran bendera Universitas”, pungkas Hariman Siregar dalam orasinya di hari terakhir tahun 1973. Pada titik ini formulasi Tan Malaka lewat Aksi Massa menjadi cetak biru bagi gerakan kontemporer di Indonesia, terutama mahasiswa. Metode berpikir yang berkelindan dengan aksi massa menjadikan mahasiswa sebagai momok bagi penguasa. Terlepas dari indikasi penyetiran gerakan-gerakan mahasiswa di negeri ini, bukankah geger politik selalu diwarnai oleh jaket almamater dari berbagai perguruan tinggi. Kisruh politik 1968 dan 1998 buktinya.

Hanya ada tiga cara bagi pemerintah, atau katakanlah negara, untuk menangkal momok tersebut. Pertama, membubarkan lembaga pendidikan tinggi. Kita perlu tertawa untuk yang satu ini. Membubarkan lembaga pendidikan sama saja dengan mengakhiri hidup negara. Sepandai-pandai politisi ia perlu lembaga pendidikan, setidaknya didikan, untuk menjadikannya manusia berpikir. Lain soal tentunya bilamana politisi memang bukan manusia berpendidikan, meski ia tidak mau mengaku mengidap kebododohan. Kedua, menggandeng lembaga pendidikan tinggi. Yang satu ini cukup sulit namun kerap dilakukan. Karena negara harus terbuka pada kritik, bongkar-pasang kebijakan, dan mengubah kebiasaan. Hal itu tidak mudah, karenanya pilihan ini hanya dilakukan pada beberapa bidang. Ketiga, bungkam lembaga pendidikan. Metode klasik namun sangat ampuh, sehingga cara ketiga tidak pernah ditinggalkan oleh negara dengan sistem hukum paling arkais sekalipun. Indonesia tidak mau ketinggalan. Misalnya NKK/BKK, yang terbaru adalah regulasi bernama “Pakta Integritas” di banyak kampus Indonesia.

Mengukur Legalitas dan Mengakali Pakta Integritas

Bilamana NKK/BKK secara normatif bisa dikatakan legal di zamannya, lantas, bagaimana dengan Pakta Integritas? Terlebih dahulu perlu dipahami dari hierarki peraturan perundang-undangan, NKK/BKK dan Pakta Integritas tidaklah sejajar. Sebagaimana peraturan rektor, pakta integritas hanya berlaku di lingkungan civitas akademika. Di samping itu pakta ini tidak dapat digolongkan kepada peraturan perundang-undangan. Namun karena ia dibentuk lewat otoritas dan ditujukan bagi mahasiswa (subjek hukum), maka status legalitasnya dapat diurai.

Pada konteks legalitas, pakta integritas di banyak kampus tidak salah, sebab di atasnya terdapat ketentuan Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2018 Tentang Pembinaan Ideologi Pancasila dalam Kegiatan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi. Begitu juga sistematika peraturan perundang-undangan di atasnya yang melibatkan UU Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Perguruan Tinggi. Hanya saja permasalahan Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2018 bukanlah legalitas normatifnya, namun penggunaannya yang memunculkan pro dan kontra.

Dukungan dibangun dari keberadaan Permenristekdikti yang mengugurkan SK Dirjen Dikti No. 26/DIKTI/KEP/2002 tentang Pelarangan Organisasi Ekstra Kampus atau Partai Politik dalam Kehidupan Kampus. Karena lewat Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2018 organisasi eksternal diperbolehkan memasuki kampus dengan beberapa syarat tentunya. Sementara penolakan adalah seputar tafsir tunggal Pancasila oleh negara. Sebab pada pokoknya Permenristekdikti ini mengatur tentang peningkatan pemahaman mahasiswa tentang ideologi Pancasila untuk menekan paham radikal di kampus. Maka lembaga pendidikan tinggi adalah garda terdepan untuk membina nilai-nilai kebangsaan mahasiswa. Untuk itu mahasiswa bebas melakukan kaderisasi tapi tidak berunsur radikalisme.

Di sinilah simalakama terlihat. Radikalisme memang duri dalam daging yang mengganggu stabilitas negara, ditambah lagi keberadaannya dalam kampus yang mengganggu ekosistem penguatan ideologi Pancasila. Hanya saja, bentuk radikalisme itu sendiri begitu subjektif. Sebelumnya telah dibahas mengapa Orde Lama dan Orde Baru menggunakan istilah subversi, saat ini penggunaan istilah radikalisme bisa saja digolongkan serupa dengan subversi karena berdasarkan subjektifitas negara. Sedangkan di saat bersamaan negara tidak mampu menampilkan wajah yang sehat dengan mayoritas dukungan dari DPR.

Radikalisme yang menyebabkan terganggunya penyelenggaraan negara adalah fenomena yang mesti dihindari. Negara benar sepanjang alasan memastikan terciptanya stabilitas, namun bukankah sebuah kebenaran adalah subjektifitas? Sekali lagi kita dihadapkan pada anomali bahwa negara berwajah dua; baik sekaligus buruk.

Kembali pada pakta integritas, dengan menarik contoh dari dua poin yang ditentukan UI. Meski pihak kampus tidak mengubah dua poin tersebut, maupun menggantinya dengan poin yang telah dikutip di atas. Sejatinya Pakta Integritas tersebut memiliki status legalitas. Hanya saja karena ia bukan produk peraturan perundang-undangan, pakta tersebut tidak dapat diuji secara materiel (isi) maupun formiil (alasan pembentukan). Bahkan bilamana pakta integritas yang rawan itu dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), pengadilan administratif juga tidak dapat mengadili sebuah klausul tanpa akibat hukum konkret.

Ada dua cara untuk mencabutnya, pertama, melalui inisiatif rektorat. Kedua, melalui instruksi Kemenristek atau Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan. Dua cara ini bisa dikesampingkan karena terlalu muluk-muluk. Akan tetapi penolakan pakta tidak berhenti sampai di sini. Kita kesampingkan dulu demonstrasi yang mengharuskan mahasiswa berhujan-panas, ada cara lain yang lebih cerdas namun membutuhkan nyali besar.

Sekalipun pakta integritas bukan peraturan perundang-undangan, sepanjang ia diterbitkan oleh otoritas yang sah dan terdapat mahasiswa sebagai subjek pemberlakuan peraturan, sebuah akibat hukum pasti dilahirkan oleh pakta integritas tersebut. Di sinilah pekerjaan ringkas namun sarat tantangan itu harus dilakukan.

Sebagai sebuah norma, mustahil bilamana pelanggaran terhadap Pakta Integritas tidak “menghadiahkan” sanksi bagi mahasiswa. Karena ia diberlakukan dalam wilayah akademis, sanksi tidak akan jauh dari hak mahasiswa dalam studinya. Misalkan skorsing selama satu atau beberapa semester, yang paling pelik tentu saja Drop Out (DO). Untuk menyatakan mahasiswa diberi sanksi, pihak kampus perlu mengeluarkan sebuah keputusan tertulis yang menyatakan mahasiswa (subjek hukum), karena melakukan perbuatan-perbuatan tertentu harus dihukum (sanksi).

Dengan kata lain surat itu merupakan bentuk keputusan pejabat tata usaha negara yang berisfat individual dan konkret (beschikking) yang menghasilkan suatu akibat hukum bagi mahasiswa. Keputusan inilah yang dapat dijadikan objek perkara di PTUN. Bahwa akibat hukum berupa sanksi berdasarkan surat keputusan kampus yang terbentuk dari pelanggaran Pakta Integritas harus ditelusuri keabsahannya. Perlu diingat, dalam memutus suatu perkara pengadilan manapun mencari kebenaran melalui probabilitas-probabilitas yang paling meyakinkan hakim untuk menjatuhkan putusan. Di sinilah hakim dapat aktif menilai melalui pengamatannya dalam persidangan, apakah mahasiswa benar-benar telah melakukan kesalahan ataukah perbuatan itu hanya bentuk reaksi intelektualitas mahasiswa. Berdasarkan narasi telah terjadi represi terhadap gerakan intelektualitas di kampus, seharusnya PTUN membatalkan sanksi kepada mahasiswa yang bersangkutan

Meski mekanisme hukum ini memang tidak dapat membatalkan pakta integritas, akan tetapi melalui putusan PTUN yang membatalkan sanksi, pakta integritas dengan sendirinya akan kehilangan relevansi. Pihak kampus bisa saja bersikeras mempertahankan pakta integritas tersebut, bila perlu memperkuatnya lewat peraturan rektor. Hanya saja, sampai kapankah aturan yang tidak lagi relevan dapat mengerangkeng nalar intelektualitas mahasiswa?

Akhir kata, hanya ada satu cara untuk menjungkirbalikkan pakta integritas represif di banyak kampus, tidak lain dan tidak bukan; Berperangailah, Kawan-kawan Mahasiswa!

Ilustrasi oleh Talia Sartika Bara

About author

Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Manajer Riset LBH Pers Padang.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *