Artikel

Musikal Gaya Indonesia?

Tahun lalu EKI Dance Company membuat forum terbatas membahas mengenai perkembangan musikal (musical) di Indonesia. Forum terbatas ini mengetengahkan persoalan kecenderungan musikal di Indonesia selama ini, bagaimana posisi musikal dalam bentangan lanskap kesejarahan tari di Indonesia. Forum itu juga mempertanyakan satu persoalan penting: bagaimana sebenarnya musikal ala Indonesia?

Saya diundang hadir oleh tim EKI Dance Company—termasuk oleh Mas Rusdy Rukmarata dan Mbak Reda Gaudiamo—dalam kapasitas sebagai periset. Dalam artian, beberapa waktu sebelum forum tersebut diselenggarakan saya diminta untuk meneliti sekilas (arsip dan catatan) mengenai musikal dan setelahnya saya diminta untuk memaparkan pembacaan saya. Dengan segala keterbatasan pengetahuan mengenai musikal, saya kemudian melakukan studi pustaka mengenai beberapa pertunjukan musikal di Indonesia, atau barangkali mendekati musikal, dan bagaimana seni tari di Indonesia berusaha meraih instrumen musikal dalam pertunjukan. Saya melihat beberapa pertunjukan tari dalam kesejarahannya. Setidaknya kecenderungan tersebut ada meskipun  mereka tidak sepenuhnya meraih musikal atau tidak menggunakan istilah musikal dalam pertunjukan mereka.

Dari pencarian yang belum seberapa itu, saya mencoba melihat kembali apa sebenarnya pengertian musikal dari perspektif Barat sebagai daerah asalnya dan bagaimana ia diposisikan dalam kesejarahannya. Pada pemaknaan leksikal saya menemukan sesuatu yang konstan mengenai musikal sampai saat ini, yaitu sebuah pertunjukan drama atau film di mana keseluruhan cerita pertunjukan tersebut menggunakan lagu dan kerap menghadirkan pula tarian. Ia dimaknai juga sebagai komedi musikal, sebuah bentuk produksi teater bersifat sentimentil dan lucu, beralur sederhana namun khas, dengan tawaran musik, tarian, dan dialog sepanjang penghadirannya.

Dalam kesejarahannya musikal dapat ditelusuri ke sejumlah hiburan abad ke-19 melalui music hall,comic opera (opera ringan), burlesque, vaudeville (lelucon dengan musik), variety show, pantomime, minstrel show (pertunjukan nyanyi). Hiburan-hiburan ini menurut ensiklopedi Britannica pada awalnya memadukan tradisi balet Prancis, akrobat, dan kisah-kisah selingan dramatis. Britannica mencatat, pada bulan September 1866 pertunjukan musikal pertama, The Black Crook, dibuka di Kota New York. Pertunjukan ini dipandang oleh pengamat teater sebagai karya populer pertama yang sesuai dengan gagasan musikal modern, meskipun sebagian pengamat lain memandang pertunjukan ini sebagai “lelucon”. Naskah The Black Crook ditulis oleh Charles M. Barras, sementara musiknya dipilih dan diaransemen oleh Thomas Baker—sebagian besar terdiri dari adaptasi, termasuk beberapa lagu baru yang digubah untuk karya tersebut. Cerita dalam musikal ini menghadirkan komedi romantis melodramatis ala Faustian dan produksinya menjadi terkenal karena efek khusus yang spektakuler dan kostum minimalis.

Selanjutnya, di akhir 1880-an George Edwardes seorang pemain teater dan pengusaha dari Inggris membawa pertunjukan Gaiety Girls ke New York. Edwardes menyebut produksi ini sebagai komedi musikal dan membedakannya dengan pertunjukan lelucon yang pernah ada sebelumnya. Pertunjukan Gaiety Girl merupakan paduan suara dalam balutan komedi musik ala Edwardian, yang pertunjukannya dimulai di Gaiety Theatre, London. Teater musikal ini popularitasnya bergantung pada rombongan penari cantik “Gaiety Girls” yang tampil di atas panggung dengan pakaian mandi dan pakaian mode terkini. Gadis-gadis Gaiety ini merupakan wanita muda terhormat dan elegan, tidak seperti aktris dari komedian musikal olok-olok di London sebelumnya.

Di Amerika, sebagian besar musikal populer pada dekade pertama abad ke-20 ditulis oleh para imigran dari Eropa, seperti Victor Herbert, Rudolf Friml, dan Sigmund Romberg. Mereka menghadirkan bentuk operet ke Amerika Serikat, dan dalam penggarapannya, kemudian menjadi sumber utama untuk musikal komedi. Model penggarapan tersebut membentuk tradisi musikal dengan dasar nomor musik dan lagu. Pada periode 1920-an dan 1930-an, Jerome Kern bekerjasama dengan Guy Bolton dan P.G. Wodehouse, menulis sejumlah musikal luar biasa. George dan Ira Gershwin bekerjasama untuk menghadirkan Oh, Kay! (1926), Funny Face (1927), Strike Up the Band (1930), dan lain-lain. Cole Porter menulis komposisi musikal yang tak lekang oleh waktu seperti Anything Goes (1934) dan Dubarry Was a Lady (1939). Pada periode ini hadir komposer dan penulis lirik terkenal lain, seperti Richard Rodgers dan Oscar Hammerstein II, Harold Arlen, Jule Styne, dan Vincent Youmans.

Pada tahun 1927 muncul genre musikal baru dalam produksi Show Boat yang musiknya digarap oleh Jerome Kern dan lirik ditulis Hammerstein. Garapan ini merupakan musikal pertama yang memberikan plot kohesif dan musik mulai menjadi bagian integral dari narasi. Garapan yang berdasarkan novel karya Edna Ferber ini menghadirkan drama serius bertemakan Amerika dengan penggabungan musik berdasarkan melodi dan spiritualitas rakyat Amerika.

Genre musikal yang dikenal pada tahun 1930-an hingga 1950-an mulai menurun pada akhir 1960-an. Pada dekade ini musikal mulai menyimpang ke berbagai arah, mulai dari rock and roll, bergaya opera, tata cahaya dan pertunjukan mewah, nostalgik, dll. Salah satu contoh pertama dan penting dari musikal rock and roll adalah pertunjukan Hair (1967), yang memperlihatkan perbedaan pandangan sosial yang dikombinasikan dengan musik keras, pencahayaan dengan efek stroboskopik, memperlihatkan ketidaksopanan orang muda, dan unsur ketelanjangan. Beberapa contoh musikal yang menghadirkan penggabungan musik rock dengan cerita-cerita alkitabiah juga muncul, seperti Godspell (1971) oleh Stephen Swartz dan Jesus Christ Superstar (1971) oleh Andrew Lloyd Webber dan Tim Rice.

Musikal terkenal lainnya seperti Company (1970) dan Sweeney Todd: The Demon Barber of Fleet Street (1979) garapan lirik Stephen Sondheim, A Chorus Line (1975) dengan musik garapan Marvin Hamlisch dan lirik Edward Kleban, Evita (1978) musikal garapan Andrew Lloyd Webber dengan lirik garapan Sir Timothy Miles Bindon Rice, Cats (1981) garapan Andrew Lloyd Webber berdasarkan Old Possum’s Book of Practical Cats dan puisi-puisi lain oleh T. S. Eliot—musikal ini telah dipentaskan di berbagai negara dan diterjemahkan ke lebih dari 20 bahasa—dan The Phantom of the Opera (1986) berdasarkan novel Gaston Leroux, garapan musik Andrew Lloyd Webber, serta lirik oleh Charles Hart. Tak kalah terkenal musikal berjudul The Lion King(1997) dengan musik garapan Elton John dan lirik ditulis oleh Time Rice. Memasuki abad ke-21, beberapa musikal terkenal seperti Wicked (2003) karya Stephen Schwartz; The Book of Mormon (2011), dengan musik, lirik, dan naskah oleh Matt Stone, Trey Parker, serta Robert Lopez; dan Hamilton (2015) dari Lin-Manuel Miranda.

Pertunjukan ke Arah Musikal Indonesia

Di Indonesia musikal lebih dikenal melalui film. Dalam kesejarahannya film musikal Indonesia dimulai pada era 1950-an melalui film berjudul Bintang Surabaja (1951) garapan sutradara dan penulis Utomo (Fred Young). Film musikal kemudian kian dikenal melalui garapan Usmar Ismail berjudul Tiga Dara (1956) dan Asmara Dara (1958) karya H. Usmar Ismail. Dua film ini dipandang telah menghadirkan kesegaran baru melalui musikal di tengah kehadiran film-film konvensional di Indonesia. Periode 1970-an musikal tampak dalam film seperti Cinta Pertama (1973) atau Badai Pasti Berlalu yang diangkat dari novel Marga T. Selanjutnya, musikal melalui film mencapai puncak pada tahun 2000-an melalui Petualangan Sherina garapan sutradara Riri Riza dan Mira Lesmana, dengan Elfa Secioria sebagai penata musik.

Dalam dunia musik Indonesia, kita mengenai pertunjukan musik(al) Rock Opera Ken Arok karya Harry Roesly yang digelar di Gedung Merdeka, Bandung, 12 April 1975 ( dipentaskan lagi pada 2 Agustus 1975 di Balai Sidang, Jakarta). Pertunjukan yang disebut Harry Roesly sebagai “Wayang orang Kontemporer” ini dipandang sebagai sesuatu yang baru dan menempatkan pentas teater sebagai sesuatu yang profan. Dalam artian, pentas bisa dinikmati siapa saja, dari latar belakang apapun. Rock Opera Ken Arok diakui oleh Harry Roesly terinspirasi dari Jesus Christ Superstar garapan Remy Sylado pada tahun 1973 (pertunjukan ini kemudian dihadirkan di Balai Sidang Jakarta, 20-21 Juni 1980, oleh Sanggar Bahtera Yayasan Komunikasi Massa dengan sutradara Remy Sylado). Jesus Christ Super Superstar sendiri pada awalnya merupakan sebuah opera rock tahun 1970 dengan musik karya Andrew Lloyd Webber dan lirik karya Tim Rice. Musikal tersebut dimulai sebagai album konsep opera rock sebelum debut Broadway-nya pada 1971.

Pada ranah seni pertunjukan teater (drama) atau tari musikal barangkali belum digarap secara maksimal dalam pertunjukannya—mungkin karena konsep musikal dipandang bukan sebagai seni pertunjukan adiluhung. Kita mengenal operet dan kabaret yang kemudian menjadi tontonan dalam pertunjukan sekolahan. Namun jika ditilik lebih lanjut, khusus untuk tari, upaya tersebut tampak dalam beberapa pertunjukan Sendratari (seni, drama, dan tari) yang pada periode 1970-an mulai banyak digarap oleh kelompok-kelompok tari di Indonesia. Upaya ini agaknya ingin menghadirkan satu pertunjukan tari yang di dalamnya terdapat unsur penceritaan yang runut di dalamnya, dan mengedepankan kisah penceritaan tradisi (folklor) daerah di Indonesia.

Dari data laporan kegiatan tari Dewan Kesenian Jakarta 1968-1985 dapat dilihat tak satupun istilah musikal muncul. Namun, pertunjukan-pertunjukan Sendratari dan Dramatari tampak digemari. Beberapa di antaranya Sendratari Malin Kundang (1970) Huriah Adam Dance Group, Sendratari Kreasi Wisnoe Wardhana Yogayakarta (1970), Sendratari Jembatan Sirotol Mustaqiem (1970) BMP Seni Budaya Sunda, Sendratari Rajapala (1972) LKB Saraswati, Dramatari Rama dan Sinta (1972) Farida Faesol dan Group, Sendratari Damarwulan dan Sendratari Sonya Ruri (1976) Padnecwara (1976), Dramatari Calon Arang Bali Lakon Duta Buta (1977) Rasa Dhwani, Dramatari Anggun nan Tongga (1977) Perhimpunan Kesenian Minang Puti Bungsu, Sendratari Ratu Kidul (1977) PLT Bagong Kussudiardja Yogayakarta, Dramatari Tiang Bungkuk (1978) Perhimpunan Kesenian Minang Puti Bungsu, Sendratari Cupu Manik Astagina (1979) LKB Saraswati, Dramatari Pesta Desa (1978) PLT Bagong Kussudiardja, Sendratari Pucuk Kelumpang (1979) Cipta Karya Tari LPKJ, Dramatari Melayu Putri Gunung Ledang (1979) Arena Artis Bukit Barisan, dll.

Sebagian dari pertunjukan Sendratari dan Dramatari di atas mengolah unsur-unsur musikal dalam pertunjukannya. Semisal dalam pertunjukan Cupumanik Astagina garapan I Gusti Kompiang Raka, penata tari Wiwiek Santosa, penata gending, I Wayan Sadra, produksi LKB Yayasan Saraswati tahun 1979.

Dalam buku program pertunjukan, mereka menyebutkan bahwa garapan tersebut menampilkan unsur-unsur teater, musik, tari dan vokal dalam bentuk cak. Dalam pertunjukannya tidak hanya mengandalkan kekuatan pentas belaka, namun pengolahannya lebih diarahkan pada pentas cak yang sesungguhnya untuk menghadirkan komunikasi yang akrab menyebar ke luar panggung melibatkan penonton lebih akrab. Dari hal ini dapat dilihat, terdapat kesadaran bahwa pertunjukan modern dengan pemanggungan konvensional (proscenium) membentangkan jarak dengan penonton, dan hal tersebut bertentangan dengan konsep pertunjukan tradisional. LKB Yayasan Saraswati melalui konsep pertunjukan berupaya mencari  solusi, bagaimana cak tetap dapat dinikmati melalui unsur-unsur pemanggungan baru agar dapat diterima oleh masyarakat luas di luar kebudayaan Bali.

Sendratari Putri Pucuk Kelumpang (1979) garapan Tengku Nazly A. Mansur, produksi Cipta Karya Tari Mahasiswa Akademi Tari LPKJ satu contoh lain dari bagaimana upaya pertunjukan tradisi berupaya meraih unsur-unsur musikal dalam pertunjukannya. Sendratari ini menggarap folklor dengan penceritaan yang kompleks dari tradisi Melayu dari zaman antah berantah. Ia memadukan unsur teater tari melalui penggarapan unsur-unsur dari Tari Tandak, Mak Yong, Mendu, Tari Zapin, pencak silat dan berbagai permainan anak-anak Melayu yang di dalamnya terdapat beragam nyanyian. Pertunjukan yang bertolak dari seni budaya Melayu ini, selain berupaya untuk menghidupkan dan melestarikan pertunjukan tradisi, juga berupaya meraih bentuk-bentuk kesenian modern.

Periode 1990-an dan awal 2000-an konsep musikal baik dalam pertunjukan tari atau teater agaknya mulai dihadirkan secara utuh oleh beberapa kelompok seni pertunjukan. Salah satu kelompok tari yang konsisten menghadirkan musikal dapat dilihat melalui pertunjukan-pertunjukan EKI Dance Company mulai dari awal 2000-an hingga sekarang: Madame Dasima (2001), Gallery of Kisses (2002), Forbidden Passion (2002), China Moon (2003), Lovers and Liars (2004), Battle of Love (2004), Miss Kadaluarsa (2007), Jakarta Love Riot(2010), Kabaret Keroncong (2011), Kabaret Oriental (2012), dst.

Dalam perkembangannya kita dapat melihat pula bagaimana EKI Dance Company sebagai salah satu kelompok yang konsisten menghadirkan musikal menghadirkan beberapa genre semisal Variety Show pada EKI Update 1.0 (2016) hingga mendapuk “Broadway ala Indonesia” pada EKI Update 4.1 (2019). Di sini dapat dilihat dalam setiap pertunjukan musikal EKI Dance Company berupaya mengadopsi kisah-kisah kekinian dengan balutan keragaman budaya di Indonesia. Mereka berupaya memadukan unsur tradisi dan kontemporer dalam setiap pertunjukan dengan semangat modern, terbuka, dan khas Indonesia.

Usaha untuk menghadirkan konsep musikal di Indonesia dapat dilihat pula melalui  Indonesia Menuju Broadway, sebuah program pelatihan bagi seniman muda untuk mendapat pembekalan ilmu panggung dengan standar Broadway di Indonesia dan membuka kesempatan bagi mereka untuk pergi mengikuti pelatihan di New York. Dalam program kerjasama dengan Passport to Broadway ini, dihadirkan praktisi dan ahli dalam seni teater musikal Broadway dari New York. Pada 2021, Indonesia Kaya (Bakti Budaya Djarum) juga berupaya menghadirkan serial musikal yang diadaptasi dari novel Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai karangan Marah Rusli (1922). Serial yang digarap oleh  Garin Nugroho ini berusaha untuk mendekatkan kembali cerita dalam sastra Indonesia lama pada generasi muda, dan menghadirkan musikal dengan penyesuaian artistik yang menarik di zaman modern.

 Instrumen Musikal dalam Pertunjukan Tradisional

Jika dilihat lebih lanjut dalam perkembangan seni pertunjukan di Indonesia usaha untuk menghadirkan musikal dalam perspektif Barat dilakukan dengan menghadirkan narasi penceritaan dari kisah-kisah tradisional. Seni pertunjukan tradisional pada dasarnya mengandung instrumen musikal yang dimaksud dari perspektif Barat. Semisal pertunjukan dengan penceritaan yang dihadirkan bersamaan dengan musik, nyanyian, akting dan dialog sekaligus. Jika dalam konsep musikal Barat struktur penceritaan hadir dengan bantuan naskah, dalam  konsep pertunjukan tradisional penceritaan hadir secara lisan, bahkan dalam sebuah pertunjukan pemain sering melakukan respon terhadap situasi ruang pertunjukan.

Selain itu, konsep pertunjukan tradisional di Indonesia tidak mengenal bentuk panggung modern seperti procenium, namun hadir melalui panggung terbuka. Inilah salah satu bentuk yang membedakan musikal dalam konsep Barat dengan konsep pertunjukan seni tradisi di Indonesia. Panggung terbuka sendiri dalam konsep seni pertunjukan tradisional dapat dipandang sebagai sebuah usaha untuk mendekatkan pertunjukan dengan masyarakatnya.

Kita dapat melihat beberapa pertunjukan seni tradisional pada dasarnya dekat dengan konsep musikal. Misalkan Teater Bangsawan dan Opera Melayu dari daerah Riau dan Kepulauan Riau, yang instrumen pertunjukannya sangat mendekati musikal. Di mana ada jalan cerita pertunjukan, terdapat musik mengiringi setiap pertunjukan. Terdapat juga tarian dan lagu-lagu yang dimainkan oleh aktor atau pemain. Di daerah Riau dan Kepulauan Riau terdapat juga tradisi Makyong, di mana pemain Makyong menari, bercerita, dan menyanyi dalam sebuah pertunjukan diiringi musik. Di daerah Sumatera Utara terdapat Opera Batak, di daerah Jawa terdapat Wayang orang, di Sumatera Barat terdapat Randai, di Jakarta terdapat Lenong, yang struktur pertunjukannya mengandung instrumen musikal.

Dalam perjalanan seni pertunjukan modern di Indonesia terdapat juga usaha untuk menghadirkan panggung musikal berangkat dari kekayaan seni pertunjukan tradisi di Indonesia, sebagaimana diungkap di atas: Dramatari, Teater Tari, Sendratari, dst. Pertunjukan-pertunjukan ini menggunakan konsep  seni pertunjukan daerah masing-masing seniman dengan mengeksplorasi cerita rakyat, mitos, atau kisah-kisah sejarah. Pada pertunjukan, hadir alur cerita yang jelas, tari, dialog, dan lagu-lagu. Hubungan, keterikatan, atau benang merah dari seni pertunjukan di Indonesia dengan musikal dalam konsep Barat barangkali terkait dengan instrumen penggunaan cerita rakyat, mitos, dan sejarah di Indonesia dalam menggarap penceritaan dari pertunjukan. Hubungan ini, salah satunya, dapat mempertegas dan memperkuat konsep “musikal gaya (atau ala) Indonesia”. (*)

 Ilustrasi: pinterest.com

SUMBER:

Arsip, Majalah, Buku Program

Budjono, Bambang. (28 Juni 1980). Jesus yang Meriah. Majalah Tempo

LKB Yayasan Saraswati. (1979). Sendratari Cupu Manik Astagina. Buku Program Taman Ismail Marzuki

Cipta Karya Tari Mahasiswa Akademi Tari LPKJ. (1979). Teater Tari Putri Pucuk Kelumpang. Buku Program Taman Ismail Marzuki

 Bagian Dokumentasi Dewan Kesenian Jakarta. (8 Februari 1986). Laporan Kegiatan Tari Dewan Kesenian Jakarta, Nopember 1968 – Desember 1985. Arsip Dewan Kesenian Jakarta

 Website

Boweryboyshistory.com. (26 November 2007). Broadway’s first musical: The Black Crook

Diakses pada 15 April 2022, dari https://www.boweryboyshistory.com/2007/11/broadways-first-musical-black-crook.html

 Britannica.com. Musical. Diakses pada 14 April 2022, dari https://www.britannica.com/art/musical

 Demajors.com. (13 Agustus 2020). Apa yang Bikin Ken Arok Pantas untuk Dipuja?.  Diakses pada 15 April 2022, dari http://demajors.com/news/apa-yang-bikin-ken-arok-pantas-untuk-dipuja/

Oxfordlearnersdictionaries.com. Musical. Diakses pada 14 April 2022, dari https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/musical_2

 Gatra.com. (18 Juli 2019). EKI Dance Company Akan Tampilkan Broadway Ala Indonesia di Pentas EKI Update 4.1.  Diakses pada 15 April 2022, dari https://www.gatra.com/news-430846-gaya%20hidup-eki-dance-company-akan-tampilkan-broadway-ala-indonesia-di-pentas-eki-update-41.html

 Gatra.com. (24 September 2020). Kisah Huana di New York, Komedi Musikal Akhir Pekan Ini. Diakses pada 15 April 2022, dari https://www.gatra.com/news-491209-gaya-hidup-kisah-huana-di-new-york-komedi-musikal-akhir-pekan-ini.html

 Indonesiakaya.com. (2016). EKI Dance Company Mempersembahkan EKI Update V 1.0 #EtnikKekinian. Diakses pada 15 April 2022, dari  https://indonesiakaya.com/agenda-budaya/eki-dance-company-mempersembahkan-eki-update-v-10-etnikkekinian/

 Musicals101.com. (Copyright 1996, Revised 2003). History of Stage Musicals. Diakses pada 15 April 2022, dari https://www.musicals101.com/erastage.htm

 Tirto.id. (11 Desember 2018). Harry Roesli: Hidup Bandel Melawan Rezim Orde Baru.  Diakses pada 14 April 2022, dari https://tirto.id/harry-roesli-hidup-bandel-melawan-rezim-orde-baru-dbsB

Thefineryreport.com. (18 November 2021). From Greece to Indonesia: The History of Musicals. Diakses pada 14 April 2022, dari https://www.thefineryreport.com/articles/2021/11/18/from-greece-to-indonesia-the-history-of-musicals

 

 

 

 

 

 

 

About author

Esha Tegar Putra adalah penyair dan peneliti seni.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *