Artikel

Manusia Setengah Animasi

Beberapa waktu lalu netijen dibuat tergelitik dengan beredarnya foto pengurus perempuan yang di-blur bahkan sampai dijadikan animasi pada akun Instagram beberapa organisasi kampus yang ada di Indonesia. Munculnya foto-foto perempuan yang diganti dengan animasi tersebut juga menuai berbagai reaksi dan sudut pandang dari kalayak netijen di media online dalam membedah hal tersebut. Sebut saja penulis buku Muslimah yang Diperdebatkan (2019), Kalis Mardiasih, yang di salah satu postingan instagramnya menganggap penyensoran foto perempuan adalah awal dari sensor lanjutan yang berupaya meminggirkan peran perempuan.

Jika semua itu dilakukan karena perempuan dianggap sebagai sumber fitnah dan maksiat, maka kita perlu melihat lagi apa yang dialami oleh Yusuf As. Pada zamannya, fitnah juga mengancam nabi Yusuf As. Ketampanan paras menjadikan simbol yang melekat pada beliau. “Yusuf berkata, ‘Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dariku dari tipu daya mereka, tentu akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.’ Maka Rabbnya memperkenankan doa Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S Yusuf (12): 33-34). Dari kisah tersebut, kita bisa belajar bahwa tidak hanya tubuh perempuan yang dapat memancing fitnah dan maksiat, tubuh laki-laki pun punya potensi yang sama.

Dalam ajaran Islam sendiri terdapat perintah dalam surat an-nur/24:30-31 yang memerintahkan setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan untuk mengontrol cara pandang dengan memandang sesama manusia sebagai makhluk yang memiliki akal dan hati sehingga bertindak sesuai akal budi yang selalu menghendaki kebajikan bagi diri sendiri dan pihak lain. Tentu jika ini ingin adil, kenapa foto laki-laki tidak dijadikan juga animasi, setidaknya di-blur atau diganti dengan gambar superhero power-ranger.

Sependapat dengan argumen Kalis Mardiasih, saya melihat adanya praktik pembagian kerja patriarki yang sudah menjadi budaya. Mereka yang menjunjung prilaku maskulin tak sedikit juga mengatasnamakan aturan adat dan agama dalam melanggengkan kekuasaan patriarki tersebut. Sebut saja aturan bahwa perempuan harus merendahkan suaranya, tiap ngomong keras sedikit langsung ditegur. Bahkan perempuan tidak boleh keluar malam dan lebih baik mengurus urusan rumah tangga saja. Hal tersebutlah yang akhirnya akan menghapus eksistensi perempuan.

Patriarki sendiri merupakan sebuah sistem yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi. Ketimpangan relasi kekuasaan dapat dilihat dari adanya pembagian kerja dalam suatu organisasi, yang biasanya perempuan selalu diletakkan dalam bidang kesekretariatan, seperti menyiapkan konsumsi, menjaga sekre, menyapu sekre, dan mengurus segala bentuk surat menyurat. Sedangkan laki-laki selalu dijadikan sebagai ketua atau memegang kekuasaan yang lebih dominan dalam suatu organisasi.

Praktik dari pembagian kerja patriarkis, jika kita tarik lebih jauh, sebenarnya sudah berlangsung lama semenjak manusia mulai hidup menetap dan mengenal kebudayaan agraris di mana perempuan mendapatkan peran yang lebih domestik seperti merawat anak dan memasak hasil buruan. Tradisi ini masih dianggap sebagian orang adil, namun tidak semua orang bijak dalam memandang aturan ini. Seiring perubahan zaman perempuan banyak memberikan peran yang lebih besar dalam kemajuan peradaban. Namun sekali lagi, hal tersebut selalu tergerus oleh pelanggengan kekuasan dari kaum maskulin yang menghilangkan kesetaraan berbasis gender, akibatnya muncul berbagai permasalahan yang dapat membelenggu kebebasan perempuan dan hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh perempuan.

Gerakan yang dilakukan oleh kaum feminis sangat diperlukan untuk mendorong penghapusan ketimpangan gender tersebut. Feminisme bukanlah sebuah intimidasi atas laki-laki, melainkan selalu menjunjung tinggi kesetaraan berbasis gender dan kesejahteraan bagi kaum perempuan dengan memberikan kesempatan pendidikan dan karir yang setara dengan laki-laki. Sudah saatnya perempuan harus lebih speak up dan menjadi perempuan Indonesia masa kini yang sadar untuk berpatispasi dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti masuk dalam lini partisipasi politik, sosial, ekonomi dll, perempuan harus memaksimalkan keikutsertaannya dalam iklim yang lumayan demokratis saat ini.

Ketimpangan gender yang berhubungan dengan ketimpangan kuasa juga rentan menjadikan perempuan sebagai korban pelecehan, ruang publik bagi perempuan masih sangat kurang ramah. Pelecehan yang terjadi, seperti pelecehan visual, pelecehan verbal, pelecehan seksual bahkan sampai kepada kekerasan sudah sering dijumpai di negara Indonesia. Diskriminasi yang dirasakan sampai kriminalitas bagi perempuan membuktikan ruang aman bagi perempuan masih belum terwujud. Perlu payung hukum yang komprehensif seperti dalam RUU P-KS.

Di sisi lain saya sebagai laki-laki juga ikut berusaha untuk menghapuskan budaya patriarki tersebut, namun cukup disayangkan masih terdapat para hipokrit yang membahas feminis namun kelakuannya sangat patriarkis. Tentu ini menodai perlawanan terhadap ketimpangan gender. Mereka sebenarnya bukanlah feminis, tapi fakboi atau fakgirl berjubah feminis. Untuk fakboi/fakgirl yang menjual kekiriannya demi memuaskan hasrat seksualnya ini, agar sadar diri dan berhentilah mengeksploitasi  gagasan feminis.  Dan untuk para misoginis berjubah agama dan tradisi, agar jangan lagi menjadikan perempuan sebagai  manusia kelas dua dan objek semata.

Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *