Setelah berbusa-busa membacakan Putusan MK Nomor 29/PUU-XXI/2023, Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang seluruhnya memohonkan pengujian Pasal 169 huruf q UU Pemilu tentang batas usia bagi Capres dan Cawapres minimal 40 tahun, MK memberi plot twist dengan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian pada Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang juga memohonkan pengujian Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
Melalui putusan tersebut, MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu inkonstitusional bersyarat, sehingga norma tersebut secara lengkap harus dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Mahkamah Keluarga
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah bukti kasih sayang Anwar Usman, kepada keponakannya, Gibran Rakabuming Raka. Sekaligus bentuk kepatuhan Anwar kepada Presiden Jokowi yang tidak lain merupakan kakak ipar Ketua Hakim Konstitusi tersebut. Terlepas dari drama politik yang terjadi kemudian, bilamana Gibran secara tangkas memanfaatkan putusan itu untuk maju sebagai Cawapres atau tidak, dan terlepas dari siapapun nantinya yang akan memanfaatkan putusan ini untuk maju dalam kontestasi Pilpres mendatang, kehormatan Anwar Usman sebagai Hakim Konstitusi tengah berada di titik nadir.
Kendati diputus dengan suara terpecah 5:4 dan Mahkamah berdalih memberi kesempatan bagi anak muda, status Anwar Usman yang telah menjadi anggota keluarga Presiden Jokowi sebenarnya menggambarkan posisi morilnya yang tidak independen. Disebutnya nama Gibran Rakabuming Raka sebanyak 7 kali dalam permohonan perkara tersebut sebagai contoh tokoh muda yang menginspirasi Pemohon untuk mengajukan pengujian batas usia Capres dan Cawapres, secara terang telah memosisikan putra sulung Presiden itu sebagai subjek hukum dalam perkara sekalipun bukan sebagai Pemohon. Terlebih lagi bangunan argumentasi Pemohon dalam alasan permohonannya mengacu pada “pengalaman” sekaligus “keberhasilan” Gibran sebagai Walikota Solo, bukan berdasarkan “dipilih melalui pemilihan umum”.
Dengan kata lain, Gibran secara langsung merasakan akibat dari Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, di mana hal itu dapat memuluskan langkahnya maju dalam kontestasi politik mendatang. Terlebih peta politik dan bursa Cawapres memang menyediakan karpet merah bagi Walikota Solo tersebut, yang tinggal menunggu putusan MK untuk mendorongnya melangkah mendampingi Prabowo Subianto.
Kejanggalan
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 penuh dengan kejanggalan. Hal itu dapat dilihat pada paparan Saldi Isra sebagai salah satu dari 4 Hakim Konstitusi yang mengajukan dissenting opinion.
Sebelumnya pada Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) tanggal 19 September 2023 yang merumuskan putusan atas Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Nomor 55/PUU-XXI/2023, Saldi memaparkan, Anwar Usman tidak turut serta. Sehingga RPH hanya dihadiri oleh 8 orang Hakim Konstitusi. Hasilnya, 6 orang Hakim Konstitusi sepakat menolak permohonan dan tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagai kebijakan hukum terbuka yang menjadi ranah kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengubahnya. Mereka adalah Saldi Isra, Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, dan Daniel Yusmic P. Foekh. Sementara dua orang Hakim Konstitusi lainnya, Suhartoyo dan M. Guntur Hamzah, mengajukan dissenting opinion.
Sedangkan pada RPH tanggal 21 September 2023 yang merumuskan putusan atas Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Nomor 91/PUU-XXI/2023, Anwar Usman hadir dan secara ghoib diikuti dengan perubahan pandangan pada beberapa Hakim Konstitusi atas pokok perkara yang sama dengan tiga perkara sebelumnya yang dibahas pada RPH tanggal 19 September 2023. Hal itulah yang kemudian menjadikan pembahasan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Nomor 91/PUU-XXI/2023 diulang beberapa kali. Akhirnya dari 6 Hakim Konstitusi yang 2 hari sebelumnya menolak permohonan dan tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagai kebijakan hukum terbuka, alih-alih mempertahankan pendiriannya, 3 orang Hakim Konstitusi justru berubah pendirian. Mereka adalah Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh dan Manahan M.P. Sitompul. Ketiga hakim inilah yang kemudian bergabung dalam gerbong Anwar Usman bersama M. Guntur Hamzah. Mereka berlimalah dalang di balik Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Fenomena perubahan pendirian dalam waktu 2 hari yang sulit ditakar dengan nalar logika hukum itu memperlihatkan besarnya pengaruh Anwar Usman terhadap Majelis Hakim Konstitusi. Patut untuk dipertanyakan, daya pikat seperti apa yang dimiliki Anwar sehingga mampu membuat Enny, Daniel, dan Manahan beralih? Atau mungkin pertanyaannya, kekuatan apa yang berdiri di balik toga Hakim Konstitusi Anwar?
Analisis menarik diajukan Saldi Isra guna mengurai isi gerbong Hakim Konstitusi yang mendalangi Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Tanpa menyebutkan nama, Saldi dalam paparan dissenting opinion memberi gambaran adanya kemungkinan amar putusan yang berbeda dari apa yang diputus dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Sebab, dari 5 Hakim Konstitusi tersebut, terdapat tiga pandangan berbeda. Bahwa 3 Hakim Konstitusi memasukkan semua posisi elected official termasuk pemilihan kepala daerah, sedangkan seorang Hakim Konstitusi membatasi elected official hanya gubernur saja, sementara seorang Hakim Konstitusi lainnya memasukkan elected official dengan memberikan penekanan pada gubernur namun tetap terbuka bagi semua jabatan kepala daerah. Dengan kata lain, dari 5 Hakim Konstitusi dengan tiga sudut pandang tersebut, pendapat penyempit pada jabatan Gubernur. Artinya, amar Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menyatakan “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” hanya didukung oleh 3 Hakim Konstitusi. Mereka adalah Anwar Usman, M. Guntur Hamzah dan Manahan M.P. Sitompul.
Kejanggalan-kejanggalan ini belum lagi ditambah dengan fakta bahwa kuasa hukum pada Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Nomor 91/PUU-XXI/2023 sempat menarik permohonannya dan kemudian sehari setelahnya membatalkan penarikan tersebut. Hemat Saldi, tidak ada pilihan selain Mahkamah harus mengagendakan sidang panel untuk mengonfirmasi surat penarikan dan surat pembatalan penarikan kepada para Pemohon. Senada dengan itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menilai pencabutan permohonan yang dilakukan kuasa hukum pemohon pada hari Jumat 29 September 2023 dan dibatalkan keesokan harinya, Sabtu 30 September 2023, begitu aneh dan tidak rasional.
Pelanggaran Etik Anwar Usman
Sejak Anwar Usman mempersunting adik kandung Presiden Jokowi, sejatinya, ia harus dipandang berada dalam keadaan berhalangan tetap untuk dapat menjabat sebagai Hakim Konstitusi.(Bahasan lengkapnya lihat di sini).
Merujuk Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 9/PMK/2006 Tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi, Anwar nyata telah melanggar prinsip ketakberpihakan. PMK tersebut terang mengatur seorang Hakim Konstitusi harus mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara yang salah satunya dikarenakan terdapat anggota keluarganya yang memiliki kepentingan langsung terhadap putusan.
Sebagai pembanding, pada RPH Perkara MK Nomor 29/PUU-XXI/2023, Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Nomor 55/PUU-XXI/2023, berdasarkan keterangan Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam dissenting opinion-nya, ketakhadiran Anwar Usman dikarenakan menghindari konflik kepentingan. Akan tetapi pada RPH atas Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Nomor 91/PUU-XXI/2023 dengan isu konstitusionalitas yang sama, Anwar Usman justru hadir dan ikut membahas perkara. Ia berdalih ketakhadirannya pada RPH atas Perkara MK Nomor 29/PUU-XXI/2023, Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Nomor 55/PUU-XXI/2023 justru dikarenakan alasan kesehatan, bukan konflik kepentingan. Kehadiran Anwar inilah yang membalikkan keadaan.
Terlepas dari apakah Gibran Rakabuming Raka akan memanfaatkan putusan Pamannya atau tidak, permohonan pengujian Pasal 169 huruf q UU Pemilu tidak mungkin dibersihkan dari nuansa konflik kepentingan. Bilamana nantinya Gibran memutuskan tidak maju dalam kontestasi Pilpres 2024 dengan segala keistimewaan yang dihadiahkan kepadanya, hal itu akan lebih didasari pada cemoohan dan kemarahan publik atas konspirasi politik yang belum pernah terjadi di Indonesia sebelumnya.
Seharusnya Anwar Usman sadar diri, persoalan etik serius akibat kehadirannya dalam RPH dan kejanggalan-kejanggalan yang ditimbulkan kemudian, menggambarkan konspirasi di balik Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Sebuah putusan dengan dissenting opinion yang lebih berupa tamparan keras ke wajahnya. Sebuah hantaman telak yang meluluhlantakkan puing-puing independensi Anwar Usman yang sejak lama dipertanyakan publik setelah ia berstatus sebagai adik ipar Presiden Jokowi. Itupun bila Anwar masih memiliki rasa malu dan kehormatan sebagai Hakim Konstitusi. (*)