Artikel

Kampus Adalah Tempat Belajar, Bukan Berharap

“Kampus hanya tempat untuk belajar. Bukan tempat untuk berharap. Apalagi harapan baik.”

Demikian pernyataan seorang penyair, Heru Joni putra, di laman Facebook-nya saat menanggapi kasus yang sedang panas di kampus terbaik se-Sumatra.

***

Awal Februari 2023 ini kesabaran para mahasiswa sudah tidak terbendung lagi untuk menunggu dana prestasi yang tidak kunjung dicairkan. Sampai kapan lagi harus menunggu?

Harapan dan kepercayaan mahasiswa mulai bersinar sejak September 2022. Kala itu dibuatlah sebuah acara penanugerahan kepada para mahasiswa yang berprestasi, yaitu “Anugerah Andalas 2022”. Berkumpullah para bibit unggul kampus, dengan segala prestasi di bidangnya: seni, sastra, olahraga, olimpiade, dan lain sebagainya. Nama mereka dipanggil satu per-satu untuk naik ke atas panggung, dengan bangga membawa nama almamater.

Saya termasuk dalam nama-nama yang diberikan anugerah. Nama saya dipanggil. Lalu saya dihadiahi sebuah trophy, medali, dan papan gabus bertuliskan:

“Juara I Tangkai Penulisan Cerpen, Pekan Seni Mahasiswa Universitas Andalas 2022. Rp 480.000.”

Bagaimana tidak gembira dan bangganya saya bisa menerima hadiah sekaligus anugerah dari Universitas tercinta. Lantas saya berpikir, “Syukurlah ada uang jajan. Kemungkinan uang ini akan cair 3 sampai 7 hari lagi.”

Tentunya, sejak papan gabus itu diserahkan, muncul secercah harapan dalam hati  saya kepada Universitas. Saya dan teman-teman penerima dana lainnya berusaha bertanya sana-sini, bagaimana cara mengambil dana dari kampus. Apakah ada tautan yang perlu diisi? Apakah kita sendiri harus menjemputnya ke meja bendahara? Jika pun itu perlu, tentu saya akan bersedia.

Upaya dan usaha sudah saya upayakan agar dana prestasi itu bisa cair secepatnya. Segala prosedur juga sudah dipatuhi dengan ikhlas. Namun, terhitung hingga bulan Februari 2023, hasilnya nihil. Tidak ada satu perak pun yang cair.

Yang kami dapat selama kurang lebih setengah tahun ini tidak lebih dari:

“Coba tanya ke bidang kemahasiswaan!”

“Maaf, ya. Sebenarnya uangnya sudah diberikan ke bendahara/ketua UPT mahasiswa/dsb sejak bulan lalu. Namun, belum disebarkan ke mahasiswa.”

“Baik, akan kami proses ya, Dik.”

“Mohon sabar, saat ini kampus sedang banyak urusan.”

Itulah jawaban dari beberapa pihak kampus saat saya dan teman-teman lainnya bertanya akan kejelasan nasib dana reward.

Saya akui, saya adalah orang yang sabar. Namun, proses apayang dilakukan sehingga memakan waktu hingga setengah tahun? Bahkan, jika Saudara ikut lomba 17-an di sebuah kecamatan di Kota Padang, hadiahnya akan bisa langsung dinikmati 30 menit setelah lomba selesai. Paling banter menunggu puncak acara pada malam harinya.

“Kemanakah uang itu perginya?” Demikian pertanyaan kami, segelintir mahasiswa yang sedang berharap.

Uang yang tertahan itu tidak main banyaknya. Dilansir dari akun instagram @infounand, total dana kegiatan yang tidak kunjung cair ditaksir kurang lebih 1,2 milyar rupiah. Angka yang tentunya besar bagi kami para mahasiswa.

Bisa dipahami bahwa inilah sedikit dampak negatif dari kebijakan PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri-Berbadan Hukum). Universitas bisa mengelola keuangannya sendiri, tanpa adanya aliran dana dari kementrian pusat.

Universitas harus bisa dan boleh mencari pendapatannya sendiri, seperti: membangun bangunan yang tidak seharusnya dibangun agar menghasilkan uang, mengizinkan perusahaan swasta membuka usaha di lingkungan kampus sehingga membayar uang sewa, dan satu-satunya uang pemasukan Universitas yang pasti ada dan pasti paling besar adalah UKT mahasiswa. Itulah yang tertulis dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 26 tahun 2015 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Berbadan Hukum, pasal 11 ayat 1.

Kebebasan pengelolaan keuangan ini akhirnya berujung kepada kebebasan para pejabat kampus untuk menentukan di mana uang tersebut disimpan. Bisa jadi di rekening/brankas kampus, atau di struk raker beruntun di hotel bintang lima, atau struk makan di Rumah Makan, atau reimburse uang perjalanan(lebih tepatnya jalan-jalan?).

Semua cerita tentang sebuah kampus yang “menyimpan” uang tersebut akhirnya dipertanyakan oleh mahasiswanya, setelah sekian pertanyaan yang berdenting-denting di kepala yang tidak terjawab.

Pada 10 Februari 2023 para mahasiswa melakukan orasi mempertanyakan,“kapan haknya diberikan?” Mereka menuntut sekaligus mengancam bila dana tersebut tidak juga cair, atau bahkan batal dicairkan, mahasiswa tidak akan melaporkan semua prestasi dan tidak bersedia mengikuti perlombaan atas nama universitas lagi.

Jika hal itu terjadi, kampus akan bingung bagaimana mempertahankan namanya yang digadang-gadangkan sejak dahulu, sebab prestasi sangat penting dalam penilaian suatu lembaga, termasuk universitas. Seperti yang termaktub dalam Lampiran Peraturan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Nomor 3 tahun 2019 tentang Instrumen Akreditasi Perguruan Tinggi, BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional-Perguruan Tinggi) juga akan mengukur akreditasi sebuah perguruan tinggi melalui prestasi mahasiswa.

Pada hari Jumat tanggal 11 Februari 2023 kemarin, di Gedung Rektorat, Wakil Rektor I menjawab pertanyaan dari perwakilan audiensi mahasiswa, Azizah Rahma Tita perihal kapan dana itu turun: “Maaf, keterlambatan ini disebabkan bendahara Universitas yang hanya 1 orang. Akan cair 1 sampai 2 minggu lagi.”

Selama ini saya masih yakin bisa belajar dan memahami berbagai bahasa di dunia ini, tapi ternyata ada satu bahasa yang sulit dipahami, yaitu bahasa administrasi.

Oh, administrasi.

About author

Akhmad Suwistyo, lahir dan berkegiatan di Padang. Mahasiswa Sastra Inggris, Universitas Andalas. Menulis 2 buku puisi, beberapa cerpen dan artikel.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *