Indonesia tengah krisis. Resesi di depan mata. Pandemi belum bisa diprediksi kapan akhirnya. Angka kemiskinan melonjak menjadi 2,46 juta. Sekitar 3,7 juta orang menjadi pengangguran, menambah jumlah penganggur yang sudah ada. Di Sumatra Barat, pertumbuhan ekonomi anjlok dari 5,2 persen menjadi tiga persen. Jumlah penganggur yang tadinya 5 ribu menjadi 14 ribu. Jumlah penduduk miskin juga bertambah menjadi 1.014 ribu orang. Semua itu bukan sekedar himpunan data. Dalam masa pandemi ini dengan mudah kita dapat mendengar orang-orang mengeluh tentang susahnya ekonomi, terutama dari kalangan masyarakat yang bekerja di sektor ekonomi informal.
Di tengah semua itu, Perguruan Tinggi di Indonesia harus beradaptasi dengan situasi pandemi dengan melakukan perubahan pada aktivitas perkuliahan. Di Universitas Andalas, karena adanya virus proses perkuliahan tatap muka di kelas telah ditiadakan. Sistem pada Orientasi Proses Belajar Mengajar (OPBM) diubah menjadi sistem dalam jaringan (daring) dengan memanfaatkan media online. Hal ini berdasarkan kepada Surat Edaran Rektor Universitas Andalas Nomor: 9/UN.16.R/SE/2020 tentang Kegiatan Kampus Dalam Rangka Kewaspadaan Pandemi Covid-19.
Sistem daring ini merupakan hal baru bagi Universitas Andalas, sehingga masih ditemukan permasalahan dan kekurangan pada tahap implementasinya. Karena dosen, mahasiswa, dan tenaga pendidikan diharuskan untuk mengubah cara melakukan perkuliahan yang sebelumnya belum pernah diterapkan di Universitas Andalas. Kurangnya persiapan berakibat adanya kendala yang dihadapi oleh mahasiswa karena proses perkuliahan jarak jauh seperti tugas yang menumpuk serta adanya mahasiswa yang terhambat kuliah akibat terkendala jaringan. Di sini kita butuh adanya saling pengertian mahasiswa dan dosen.
Maka sudah seharusnya pihak kampus bergerak mengatasi masalah tersebut dan memberikan bantuan kepada mahasiswa untuk mendukung kelancaran perkuliahan daring ini. Seperti “perintah” dari surat yang dikeluarkan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 331/E.E2/KM/2020. Akan tetapi pada saat itu kebijakan yang diberikan pihak kampus dinilai tidak merata, karena subsidi pulsa atau kuota internet hanya diberikan kepada mahasiswa bidikmisi, dan mahasiswa UKT level 1 dan 2.
Sikap rektor yang terkesan lambat dalam mengatasi permasalahan akhirnya memunculkan gerakan kolektif Mahasiswa Universitas Andalas untuk menyikapi hal tersebut. Gerakan ini sebetulnya tidak dapat dipisahkan dari berbagai gerakan serupa di berbagai kampus negeri mau pun swasta di Indonesia yang tengah berlangsung pada masa pandemi ini. Gerakan ini adalah bagian dari gelombang protes terhadap sistem pendidikan yang komersil yang menunjukkan bahwa, selain tidak adil, sistem pendidikan Indonesia yang ada saat ini sama sekali tidak siap saat berhadapan dengan krisis.
Di UNAND Gerakan kolekif ini dimulai dari tanggal 27 April 2020 dengan memanfaatkan media sosial, yaitu twitter dengan menggunakan tagar #unandjanganpelit. Namun seruan di media sosial saja tidak cukup. Aksi juga disusul dengan disebarkannya kuisioner pada tanggal 26 April. Sampai tanggal 2 Mei 2020 kuisioner tersebut telah diisi oleh 1563 responden.
Selain mengeluhkan beberapa kendala dalam sistem perkuliahan daring, sebagian responden juga menuliskan harapan agar kampus menurunkan UKT semester depan. Dalam perkuliahan yang dilakukan secara daring tentu akan mengurangi pengeluaran kampus dari segi operasional. Menjadi aneh ketika sejumlah fasilitas kampus seperti air, listrik, bus kampus, dan lainnya tidak digunakan oleh mahasiswa akibat kuliah daring, namun tidak dibarengi dengan turunnya UKT/SPP. Kenapa kita membayar penuh untuk hal yang tidak digunakan sepenuhnya?
Melihat lambannya respon birokrasi kampus terkait mekanisme keringanan UKT membuat gerakan penolakan mencuat kembali. Kesamaan landasan dan tujuan mendorong Gerakan Kolektif UNAND untuk membangun aliansi dengan BEM se-UNAND. Aliansi ini adalah sebagai bentuk pernyataan sikap dan media penyalur aspirasi serta kritikan terhadap kebijakan kampus. Walaupun sebelumnya hearing ataupun audiensi sudah sering dilakukan namun masih belum memunculkan titik terang dari jawaban diplomatis para petinggi kampus dalam menanggapi tuntutan mahasiswa.
Sudah dua kali Surat Terbuka dilayangkan kepada Rektor UNAND disusul dengan ngetrending bareng di twitter namun tidak ditanggapi. Gerakan kolektif dan BEM se-UNAND melalui Surat terbuka melayangkan tuntutan: 1) Menuntut Rektor mengeluarkan Peraturan Rektor baru terkait penyesuaian UKT mahasiswa ditengah pandemi dengan lebih jelas. 2) Melakukan sosialisasi ulang yang efektif terkait peraturan Rektor baru dengan rentang waktu yang jelas sehinga seluruh mahasiswa mengetahui peraturan tersebut. 3) Mengeluarkan surat pemberitahuan resmi tentang perpanjangan pengurusan berkas. 4) pembayaran UKT pasca pihak rektorat menyelesaikan tahapan verifikasi. 5) Mengeluarkan aturan yang jelas terkait kuliah daring semester depan beserta besaran kuota yang diberikan kepada mahasiswa.
Undangan terbuka untuk melakukan aksi bersama juga disebarkan kepada seluruh mahasiswa sebagai bentuk kekecewaan mahasiswa terhadap mekanisme pengajuan keringanan UKT. Kekecewaan juga muncul dari surat edaran Rektor kepada seluruh Dekan dengan Nomor: T/158/UN16.R/00.00/2020 terkait keringanan SPP. Mahasiswa jalur mandiri selalu dianaktirikan padahal pandemi ini berimbas pada sendi-sendi ekonomi keluarga mahasiswa dalam menanggung beban biaya pendidikan. Surat ini menegaskan bahwa Mahasiswa mandiri, Pascasarjana hanya dapat keringan berupa pencicilan. Padahal awalnya seluruh mahasiswa tanpa terkecuali dapat mengajukan keringan salah satunya penurunan UKT, namun faktanya setelah hasil verifikasi keluar, tidak satupun mahasiswa jalur mandiri yang dapat penurunan UKT. Padahal semua orang jadi korban pandemi dengan situasi extraordinary. Ini tentu tidak sesuai dengan UU NO.20/2003 (Sistem Pendidikan Nasional) yang menyatakan bahwa “…prinsip pendidikan tinggi yaitu demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif”.
Peraturan Rektor dinilai tidak responsif dengan peraturan yang tidak memihak rakyat. Kita bisa lihat dari banyaknya kekeliruan antar fakultas sehingga menyulitkan mahasiswanya untuk mengajukan berkas keringan UKT. Tidak adanya sosialisasi yang jelas sehingga hanya menghasilkan kebingungan dan tidak semua mahasiswa tahu dengan SK keringanan UKT tersebut. Kita bisa lihat dari SK susulan yakni Keputusan Rektor Universitas Andalas Nomor: 721/UN16.R/KPT/2020 terkait pertimbangan Surat Dekan untuk penambahan jumlah mahasiswa yang dapat pemotongan 50 %.
Aksi bersama dilakukan pada 24 Juli. Pada hari itu juga beberapa tuntutan mahasiswa dipenuhi oleh kampus. Gerakan penolakan UKT terbilang masif dan terorganisir, namun kita perlu menentukan strategi advokasi yang lebih radikal kedepannya agar seluruh tuntutan dapat direalisasikan pihak oleh kampus. Meski gerakan baru berhasil membuat sebagian tuntutan dipenuhi, ini adalah langkah awal yang baik dan bisa dijadikan sebagai acuan dalam melakukan evaluasi. Dan walau aksi bisa dikatakan sedikit telat, telah nyata bahwa solidaritas sangatlah penting dalam menuntut kewajiban kampus untuk memenuhi hak mahasiswa. Melalui gerakan ini kita dapat terkoneksi dan menyampaikan ekspresi personal individu melalui tagar. Kritikan adalah sebaik-baiknya demokrasi di kampus. Ekonomi sudah kritis kemanusiaan jangan! Panjang umur hal-hal baik. (*)
Editor: Hemi Lavour
Ilusitrasi oleh: Talia Bara