Ulasan Buku

Konferensi Asia-Afrika dan Proyek Anti-Imperialisme Dunia Ketiga

Saat mengajarkan sejarah di sebuah sekolah menengah pertama beberapa tahun yang lalu, saya bingung ketika harus membicarakan sejarah Indonesia periode Demokrasi Liberal (1950–1957). Apa arti pertukaran kabinet yang tiap sebentar itu bagi anak didik? Saya pun tak punya pandangan yang luas soal periode ini kecuali daftar nama perdana menteri dan kabinetnya. Berbeda misalnya dengan apa yang disebut periode pergerakan nasional, yang memberi ruang untuk mengajak anak didik berdiskusi tentang apa itu kolonialisme dan perlawanan terhadapnya.

Belakangan ketika mulai mempelajari sejarah Indonesia agak serius dan mulai membaca beberapa literatur yang membahas historiografi sejarah nasional Indonesia, saya mengerti pandangan sejarah yang kabur terhadap periode ini adalah akibat dari suatu desain.

Dalam sejarah resmi Indonesia (Sejarah Nasional Indonesia/SNI) yang disusun Orde baru, periode 1950-an sengaja ditonjolkan sebagai periode penuh dengan kekacauan politik akibat kebebasan yang berlebihan. Dalam SNI, semua itu diatur agar Orde Baru dapat tampil sebagai pahlawan yang telah menyelamatkan Indonesia dari kekacaun politik 1950-an serta dari penyelewengan Pancasila pada periode Demokrasi Terpimpin. Ringkasnya, SNI sengaja menghadirkan periode ’50-an sebagai kekacauan untuk melegitimasi stabilitas pada masa Orde Baru.[1]

Salah satu peristiwa yang menjadi kerdil akibat politik periode sejarah tersebut adalah Konferensi Asia Afrika (KAA) yang digelar pada periode 1950-an ini, tepatnya pada 1955. Dalam kurikulum yang diturunkan dari SNI, KAA dilihat sebatas bukti diterimanya Indonesia dalam pergaulan internasional. KAA juga dilihat sebagai simbol keberhasilan kabinet Ali Sastroamijoyo semata, sehingga memunculkan kesan bahwa KAA adalah murni inisiatif Indonesia — terpisah dari konteks serta gagasan yang melatarinya. Penggambaran demikian akhirnya semakin mereduksi KAA menjadi sekadar monumen kebanggaan nasional yang sempit.

Bagi saya, buku Konferensi Asia-Afrika 1955: Asal Usul dan Warisannya Bagi Gerakan Global Anti-imperialisme karya Wildan Sena Utama hadir untuk membantu keluar dari pemahaman sempit tersebut. Buku ini menceritakan bagaimana negara-negara yang baru saja merdeka berjejaring dan membangun kekuatan alternatif sebagai solusi ketidakadilan global di tengah Perang Dingin, di antar benturan antara Blok Barat dan Blok Timur. Dalam buku ini,  Konferensi Asia Afrika (KAA) yang merupakan wujud dari keinginan untuk menghadirkan tatanan alternatif bagi dunia, ditempatkan dalam konteksnya yang luas.

Wildan memulai bukunya dengan memperlihatkan terlebih dahulu bahwa KAA adalah buah dari perjuangan panjang jejaring gerakan global yang terjadi dalam awal abad 20, saat “Westernisme di dunia kolonial dikritik oleh jaringan kaum internasionalis dan gerakan anti-imperialisme Asia-Afrika” (hal.14). Jejaring anti-kolonial yang terdiri dari para internasionalis serta pempimpin masa depan Asia-Afrika — termasuk Hatta — tersebut, berkumpul di Brussel pada 1927 untuk membicarakan persoalan-persolan kolonialisme serta menyuarakan cita-cita kemerdekaan

Lewat kontak, jaringan dan konektivitas tersebut, Nasionalisme anti-kolonial mulai terbentuk. Bersamaan dengan itu, suatu gerakan global untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih baik di mana kemerdekaan, perdamaian dunia, dan kesetaraan bangsa-bangsa terwujud — mulai terbentuk dan menyebar ke berbagai koloni Eropa. Semangat ini kemudian dikenal sebagai Third Worldism, kedunia ketigaan, semangat Dunia Ketiga.

(Penting untuk dicatat, dalam buku ini Dunia Ketiga dimaknai bukan sekadar defenisi geografis melainkan suatu proyek politik anti-kolonial. Wildan juga menekankan bahwa Nasionalisme bukanlah suatu yang “dirajut di rumah sendiri”, melainkan suatu yang tumbuh dan berkembang dalam lingkup lebih luas, melampaui sekat-sekat administratif, serta kental dengan semangat Anti-imperialisme global.)

Semangat yang sama mendasari beberapa konferensi lainnya, mulai dari New Delhi pada 1947 yang terbatas pada negara Asia, sampai konferensi Kolombo dan Bogor 1954 yang informal dengan lingkup lebih kecil. Di sana mereka merancang KAA yang menyuarakan tidak hanya aspirasi Asia namun juga Dunia Ketiga yang lebih luas.

Dalam Perang dingin, Dunia Ketiga kemudian muncul sebagai kekuatan alternatif di antara blok-Barat dan Blok-Timur. Negara-negara yang baru merdeka itu, menyadari bahaya neo-imperealisme yang diam-diam dikandung oleh kedua blok tersebut. Mengikut ke salah satu Blok, sama artinya dengan mendukung suatu tatanan baru yang tak kalah menindasnya dibanding tatanan kolonial lama yang tengah runtuh.

Wildan kemudian menunjukkan bagaimana blok-Barat dan blok-Timur mereaksi kemunculan kekuatan baru tersebut. “Bagi Soviet, kekuatan revolusioner Dunia Ketiga jelas adalah potensi yang harus dimanfaatkan. Sebaliknya, intervensi Amerika didorong oleh rasa takut bahwa pengaruh Soviet di Dunia Ketiga akan menyebabkan negara-negara peripheral bergabung ke dalam gerbong Soviet” (hal. 77). Blok Barat, misalnya, mencoba mendesak Indonesia untuk menjadi sekutunya. Namun Indonesia menolak, dan tetap pada pendirian Dunia Ketiga-nya.Di tengah situasi tersebut KAA berlangsung pada 1955.

KAA tidak bisa serta merta dilihat sebagai konfrensinya negara-negara non-Blok semata. KAA yang dihadiri 29 negara tersebut memiliki kompleksitas tersendiri. Beberapa delegasi bahkan datang demi ‘mewakili’ Barat untuk mendesakkan agenda anti-komunisnya.

Penolakan atas dominasi negara-negara besar; pembebasan belahan dunia yang masih berada dalam cengkraman kolonial; penghapusan diskriminasi rasial; serta penyelesaian sengketa Internasional secara damai dan hak penentuan nasib sendiri, merupakan tema-tema pokok yang dibahas sepanjang KAA. Meski berbeda pandangan dalam beberapa soal, setiap delegasi punya posisi yang sama dalam sikap anti-kolonialisme. Seperti nampak dalam Komunike final KAA: “Kolonialisme dalam segala manifestasinya bagaiamapun juga adalah kejahatan yang harus segera diakhiri” (hal. 163).

Dari KAA muncul apa yang disebut “Semangat Bandung”, yang turut mendorong dekolonisasi besaran-besaran di Afrika antara akhir 1950-an sampai pertengahan 1960-an dan kemudian menginterupsi dominasi Barat dalam PBB. Dari sini juga, kesadaran Dunia Ketiga makin berkembang dan mendapat tujuannya yang lebih luas seperti pelucutan senjata nuklir global, pembangunan ekonomi, dan perlindungan terhadap budaya lokal.

Semangat Bandung kemudian menjadi dasar bagi terlembaganya gerakan Non-Blok. Perasaan solidaritas baru yang terbentuk setelah KAA, memberi alternatif bagi Dunia Ketiga untuk memainkan peran mediator dalam politik internasional. Namun, strategi non-Blok oleh Sukarno dianggap terlalu abstrak dan tidak efektif dalam mewujudkan proyek Dunia Ketiga. Ia kemudian menegaskan batas antara kekuatan baru dengan kekuatan dunia lama lalu menolak strategi non-Blok, pembagian yang kemudian dikenal sebagai NEFO dan OLDEFO. Di luar rivalitas tersebut, persoalan-persoalan dalam negeri yang kompleks serta ketegangan global yang meningkat membuat Semangat Bandung merosot semenjak 1965.

Terlepas dari kesulitan Wildan dalam upayanya memperlihatkan bagaimana proyek kaum elit tersebut bertranformasi menjadi gerakan non-elit di Dunia Ketiga, buku ini merupakan sumbangan berharga bagi pengetahuan umum pembaca Indonesia mengenai sejarah Dunia Ketiga dengan Indonesia di dalamnya. Dan meski Wildan memang tidak secara khusus membahas sejarah Indonesia periode 1950-an, tapi dengan menempatkan Indonesia 1950-an dan KAA sebagai bagian dari Dunia Ketiga bersama cita-cita yang diusungnya, kita dapat menangkap kembali semangat jaman periode tersebut — suatu periode yang, sebagaimana dikatakan Adrian Vickers, penuh dengan “harapan-harapan yang masih belum terwujud”.[2]

*****

Judul Buku: Konferensi Asia-Afrika 1955: Asal Usul dan Warisannya Bagi Gerakan Global Anti-imperialisme

Penulis: Wildan Sena Utama

Penerbit: Marjin Kiri-Tanggerang Selatan, Desember 2017

Tebal: xxii + 281

Catatan kaki:

[1] Lihat Misalnya, Ruth Mc Vey, Kasus Tenggelamnya Sebuah Dasawarsa, dalam Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an, Sita Ven Belemmen dan Remco Raben (Yayasan Putaka Obor: Jakarta, 2011), atau Adrian Vickers, Mengapa Periode 1950-an Penting Bagi Kajian Indonesia, dalam Henk Schulte Nordholt et al, Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (Yayasan Pustaka Obor: Jakarta, 2008).

[2] Vikcers memakai ungkapan tersebut dalam konteks sejarah Indonesia, namun apa yang dikatakannya relevan dengan kemunculan Dunia Ketiga pada 1950-an.

About author

Alumni Ilmu Sejarah Program Pascasarjana Universitas Andalas.
Related posts
Ulasan Buku

Petani Perbatasan: Antara Pemberdayaan dan Teknokrasi Pembangunan

Ulasan Buku

Dua Buku dari Talang Mamak

Ulasan Buku

Pekanbaru, dari Hilir ke Hulu

Ulasan Buku

Tuanku Nan Renceh: Catatan untuk Irwan Setiawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *