Artikel

Catatan Kuratorial dan Cerpen Pemenang Grant BCWF 2023

Catatan Kuratorial Pemenang Grant Sastra BCWF 2023 oleh Deddy Arsya

 

Sisi yang lain suatu kota, bisa berarti halaman belakang yang tidak ingin diperlihatkan, bukan etalase yang hendak dipamerkan, sesuatu yang bisa compang-camping, kusut-masai, karut-marut. Setiap kota mengusung narasi yang khas pada dirinya, terutama pada sisi yang lain ini, yang membuatnya menjadi kota yang bukan pada umumnya. Menggali kota tertentu dari sisi yang ini dan merekreasikan cerita baru darinya dituntut untuk melakukan sublimitas yang intens. Tak ada yang lebih perlu selain menyelami kota itu dari dalam, menyerap seluruh pengalaman, dan menginternalisasikannya jadi bagian dari si pengarang. Begitu pun tampaknya jika hendak menulis tentang Bukittinggi, kota wisata utama, yang selama ini tampak tidak-mesti-tidak ditampilkan dalam citra yang selalu dipermak dan dipoles. Tidak ada satu bagian pun yang boleh terlihat kusut. Bahkan biarpun bukan untuk sesuatu yang lain di luar etalase bagaimana kota itu ditampilkan, sebagaimana sengkarut kota dunia ketiga pada umumnya, yang lahir dari rahim kolonialisme dan dicacah kerasnya realitas pascakolonial, Bukittinggi pun sesungguhnya syarat dengan narasi-narasinya sendiri sepanjang kehadirannya di panggung sejarah. Tidak kali ini saja kota ini telah jadi medan dan gelanggang penceritaan para pengarang. Pengidentifikasian sebagai kota tercipta di antaranya dari prosa dan puisi, tidak jarang juga dari lirik lagu dan dendang. Ada sebuah lagu menarik yang dinyanyikan Elly Kasim pada 1980-an, misalnya, sebuah kisah pendek yang utuh tentang seorang buta yang memainkan kecapi di sebuah sudut kota itu, janjang ampek puluah. Si buta dan kota itu bagai melekat, keduanya tidak bisa ditukar begitu saja dengan yang lain, tukang kecapi buta lain atau titik kota lain. Ketika kota itu terbakar, tukang kecapi buta itu juga lenyap. Kisah itu terujuk dan terkonfirmasi. Ia berangkat dari sebuah ruang dan waktu yang terlacak. Cara yang paling mungkin untuk menyusun karangan berbasis sebuah kota ialah berangkat dari sejarah kota, dan jika pun tidak mau terlalu jatuh kepada historisisme yang kaku, minimal ialah berdasar pada sesuatu yang bisa dilacak dari keadaan yang nyata. Kenyataan kadang bisa lebih menakjubkan daripada fiksi memang. Tapi fiksi tentu tidak dimaksudkan sebagai realitas yang menyalin diri. Realitas ialah nyata pada dirinya. Fiksi, bagaimanapun, produk konstruksi kreatifitas akal-budi. Jadi, memanglah fiksi itu pantulan belaka dari kenyataan yang dibicarakannya. Jadi, kalaulah kenyataan itu sendiri tidaklah berhasil diwakili atau dicerminkan atau dipantulkannya, di mana kota itu tidak mendapat keterwakilan dari fiksi, saya beranggapan fiksi itu sendiri telah somplak sedari awal.

Tetapi, sebelum sampai kepada penilaian yang demikian, mungkin yang perlu diselesaikan ialah tahap yang mula-mula belaka. Maksud saya, mungkin hal itu terlalu jauh dari dasar pertimbangan penilaian sekarang, yang secara sederhana mestilah berangkat dari aspek mendasar berupa struktur cerita. Setelah memasukkan cerita-cerita itu ke dalam semacam kolom-kolom tabel untuk menilainya secara struktur, memang terlihat jelas di mana-mana pada tepos dan somplak, konstruksinya keropos: 1) tokoh-tokoh tidak dibangun sebagai manusia dengan segala kompleksitas manusia, tapi sebatas bayang-bayang yang samar dan kabur dan tak bisa dikenal utuh; 2) jika bercerita tentang atau pada sebuah kota maka latar ialah sesuatu yang penting, mestilah melekatkan tokoh pada panggung atau latar yang pas, tetapi sayangnya tidak terdapat keutuhan pengindera pada latar atau panggung yang dihadirkan itu, pembaca mungkin dibuatnya meraba-raba belaka, tak ada bau apa pun yang tercium, tak ada suara-suara yang tumpang-tindih sebagaimana sebuah kota padat lagi ramai yang bisa didengar, tak ada halus-kesat-pahit-masam yang teraba dan tercium dari sana; 3) cerita-cerita tidak mampu mendamparkan kita pada ruang apapun kecuali ruang yang tidak terkenali, yang mencuplik nama-nama tertentu dari kota itu pada sebatas nama-nama tempat dan lokasi, tetapi secara indrawi belum mampu melemparkan dan menggiring kita ke sana, ruang hampa-kosong tanpa bau dan warna, tanpa bunyi dan rasa, lidah-hidung-kulit atau apapun dari indra kita dibuatnya tidak banyak bekerja, datar-putih bagai wajah yang diamplas menakutkan dalam cerita-cerita hantu. Saya tidak membicarakan aspek-aspek yang lain dari struktur cerita, semisal 4) bagaimana alur yang menyenangkan diikuti telah dibuat; 5) konflik yang menantang telah dihadirkan; dan belum lagi,  jika pun ini kemudian menjadi penting sebagai bagian dari keharusan sebuah cerita, 6) gagasan-gagasan–atau kita mengenalinya dengan mudah sebagai amanat–serupa apa yang hendak diusung sebuah cerita?

Mungkin karena pilihan tidaklah banyak, pada akhirnya, sebuah cerita berhasil menyiasati seluruh tuntunan di atas itu. Berto dan Abul, secara struktur telah selesai sebagai sebuah cerita. Tokoh-tokohnya menyumbulkan diri dengan cara yang tidak lazim, lewat teknik masuk yang cukup brilian, dan meninggalkan jejak karakternya yang lama dalam ingatan. Kelokan-kelokan alurnya menantang untuk diikuti dan tikungan-tikungan konflik demi konflik mengejutkan. Pembaca sekali waktu dilemparkan ke Eropa sana ke tengah hiruk-pikuk pertandingan final sepakbola, lalu tiba-tiba dihentakkan ke sebuah kota yang jauh nun di pedalaman Sumatra dengan berbagai persoalan ampun-ampunan yang membelit dan mengepungnya: barisan-barisan toko pakaian di Pasar Aur Kuning yang menggaji pegawainya dengan upah rendah dengan hari kerja yang padat dan tanpa jaminan kesehatan apa pun; ruang persalinan di sebuah rumah sakit tempat di mana seorang ayah membiayai kelahiran bayinya dengan uang judi; seorang ibu-muda yang mati karena tabrak lari meninggalkan seorang suami yang berencana bunuh diri menenggak tramadol, meninggalkan anaknya yang masih bayi, namun berkat sebuah penampakan yang aneh menggagalkan upaya itu, bayi itu kemudian dibesarkannya dengan cara yang tidak kalah lazimnya dengan jalan hidup keduanya  … lalu cerita terus mengalir dengan belokan-belokan tajam, nyaris tanpa jeda hingga akhir. Sebuah parodi-tragis yang dramatis bahkan hingga akhir. Penuh cemooh sekaligus kritik sosial yang menohok. Tapi, yang pasti, ia berbicara tentang sebuah kota dengan problematikanya rumit dan berlapis, yang khas dari kota itu, yang tidak bisa ditempelkan ke sembarang kota lain. Basisnya adalah realitas yang bisa dirujuk dan dilacak, tidak hadir sebagai karangan-buatan yang mengada-ngada. Sebuah prosa yang menghibur, menggelikan, tetapi sekaligus kritik sosial yang tajam. Pesannya bisa berbagai dan mungkin saling berkelindan satu sama lain, antara kondisi sosial-politik yang tidak berpihak, kuasa ekonomi yang tidak adil atau curang, dan sistem pendidikan dan budaya yang melegalkan perundungan. Isu-isu yang masihlah kontekstual, baik pada skala mikro kota itu sendiri maupun pada skala yang lebih besar sebagai isu negara maupun dunia.

Bukittinggi, 18 Juli 2023

 

“Berto dan Abul” karya Wahyu Ramadhan

Andriy Shevchenko bersiap untuk mengambil tendangan penalti. Jika tendangan yang ia ambil gagal, maka pupus sudah harapan AC Milan membawa trofi Si Kuping Besar untuk ketujuh kalinya ke kota Milan. Pria Ukraina bernomor punggung tujuh itu terlihat begitu gugup. Raut mukanya begitu tegang, beberapa kali ia melemparkan pandangan kosong ke arah penonton. Bibirnya terkatup rapat, ia usap rambutnya beberapa kali dengan tangan kiri. Selang beberapa detik, ia berlari menuju bola dan menendangnya dengan kaki kanan. Laju bola pelan, mengangkat setinggi pinggang orang dewasa ke tengah gawang. Kiper Liverpool, Jerzy Dudek hampir terkecoh. Ia melompat ke arah kanan gawang sambil merebahkan badan, namun tangan kirinya yang masih tinggal beberapa detik di udara berhasil menahan sepakan Shevchenko. Liverpool juara liga champion untuk kelima kalinya. Sorak histeris fans Liverpool yang hadir di Stadion Ataturk, Istanbul tidak ada habis-habisnya sejak peluit tanda berakhirnya pertandingan ditiup oleh Manuel Mejuto Gonzalez. Jalanan Merseyside, Inggris tumpah ruah dengan warna merah darah oleh fans Liverpool. Mereka  menanti tim kebanggaan mereka kembali dari Istanbul.

Tujuh jam setelah menonton Steven Gerrard dan kolega memenangkan final liga champions, di salah satu rumah sakit Kota Bukittinggi seorang Kopites sedang harap-harap cemas. Ia  bernama Berto. Berto menanti anak pertamanya lahir. Di ruang bersalin yang pekat dengan aroma karbol Berto melihat darah keluar dari rahim istrinya. Setelah melewati beberapa kali pembukaan, anak Berto lahir. Anak Berto berjenis kelamin laki-laki. Masih terbawa suasana euforia perayaan kemenangan Liverpool, ia menamai anaknya Miracle of Istanbul (Abul).

Nama putra Berto diambil dari julukan pertandingan final yang ia tonton semalam. Setelah mengadzankan bayinya, Berto membayar uang administrasi persalinan istrinya dengan uang menang judi bola. Hati Berto mendua membayar uang persalinan istrinya dari hasil judi. Ketika membayarkan uang tersebut ke pihak administrasi rumah sakit tenggorokannya perih menahan tangis. Tapi apa boleh buat, desakan ekonomi membuat dia memilih jalan pintas untuk mendapatkan uang. Berto telah mencoba untuk menyisihkan uang dari gaji mingguannya sebagai karyawan toko pakaian di Pasar Aur Kuning. Tapi setelah dihitung-hitung tidak mungkin bisa menebus biaya rumah sakit. Uang yang telah ia tabung sejak usia  kandungan istrinya dua bulan, Berto pakai untuk berjudi.

Pernah muncul niat Berto untuk meminjam uang kepada juragannya. Tapi itu sama saja dengan menunggu tim nasional sepak bola Indonesia masuk putaran final piala dunia. Padahal Berto turut andil dalam mencari pelanggan-pelanggan yang loyal berbelanja secara grosir ke toko si juragan.

Begitulah beberapa kelakuan pemilik toko di pasar Aur Kuning dan pasar lain yang ada di kota Bukittinggi. Mereka menggaji karyawan dibawah upah minimum regional provinsi. Karyawan disuruh bekerja delapan sampai sebelas jam dalam sehari, kalau bulan ramadhan dan libur idul fitri bisa lebih lama lagi. Karyawan hanya diberi jatah libur dua kali dalam sebulan, tanpa ada cuti tahunan, tidak ada surat kontrak kerja tahunan dan tidak didaftarkan pada asuransi ketenagakerjaan. Jika mengalami sakit, karyawan bisa memakai jatah libur untuk pergi berobat. Biaya berobat ditanggung dengan biaya sendiri. Jangan harap juragan akan menanggungnya.

***

Berto membesarkan Abul seorang diri. Istrinya meninggal saat Abul berusia tujuh bulan. Ia menjadi korban tabrak lari mobil saat membawa barang dagangannya menjelang subuh ke Aur Kuning. Beberapa pecahan kaca dari etalase gerobak yang didorong istri Berto menancap pada dada dan lehernya. Istri Berto bersimbah darah, dan langsung meninggal ditempat kejadian.

Setelah kematian istrinya, Berto delapan bulan tidak bekerja dan hanya berdiam diri dirumah. Berto yang biasanya berpenampilan necis dengan rambut pendek klimis tanpa kumis dan jenggot sudah berubah perawakan mukanya. Kumisnya tebal menyatu dengan jenggot. Rambutnya panjang tidak teratur. Matanya tampak cekung, kantungnya matanya menghitam menandakan kurang tidur.

Hari-hari ia lewati dengan menyuapi, mengganti popok dan membuatkan susu Abul. Uang untuk makan dan membeli susu Abul, ia gunakan tabungannya selama bekerja. Menjelang dini hari, Berto memandangi foto-foto istrinya sambil meratap. Kerabat jauh dunsanak dekat silih berganti datang membujuk Berto. Beberapa temannya juga datang menawarkan pekerjaan untuk Berto. Tapi hasilnya nihil, Berto menolak semua tawaran tersebut.

“Memangnya kalau aku sabar dan ikhlas bisa membuat istriku  hidup kembali?” Dengan suara terisak-isak Berto menjawab dari balik pintu kamar tidurnya.

Pada malam entah keberapa, Berto berniat mengakhiri hidupnya. Berto berencana menenggak dua botol anggur Columbus, menghisap ganja yang dilinting dengan Marlboro merah dan memadat tiga puluh butir tramadol. Semuanya akan Berto tuntaskan malam itu.

Namun hal tersebut gagal. Kombinasi Columbus dan Marlboro ganja membuatnya cepat berhalusinasi.  Dalam halusinasinya Berto melihat sosok istrinya melayang di langit-langit kamar.

“Coba kamu pikirkan dampak perbuatanmu malam ini terhadap anak kita! Ia akan sendirian melewati semua kepedihannya. Jika kamu melanjutkan hidupmu bersama Abul, harapan untuk merubah nasib masih ada.” Sosok berpakaian putih dengan rambut hitam tergerai sebahu itu tetiba berlalu. Berto menangis sejadi-jadinya. Tramadol yang masih utuh dan belum sempat diminum, Berto buang ke tempat sampah.

Setelah malam itu, tidak ada lagi minuman keras yang ditenggak Berto. Tidak pernah lagi terbesit niat untuk bunuh diri. Berto menjalani hari-harinya dengan bekerja sebagai karyawan toko di Pasar Atas Bukittinggi. Teman yang pernah sama-sama bekerja dengan Berto di Aur Kuning membuka usaha konveksi pakaian sekolah. Gaji yang didapat Berto lebih besar dibandingkan dengan gaji tempat ia bekerja sebelumnya. Cuti tahunan juga diberikan kepada karyawan yang sudah setahun bekerja. Kemudian bagi para karyawan yang berhasil menjual produk melebihi target akan diberikan bonus tahunan. Untuk karyawan yang sudah memiliki anak, biaya pendidikan anak mereka akan ditanggung setengahnya oleh pemilik toko.

Berto merawat Abul sambil pelan-pelan meninggalkan kebiasannya mengonsumsi tramadol sebelum tidur. Setelah shalat Subuh Berto berolahraga. Ia mengulang-ngulang kembali gerakan-gerakan Muay Thai dan Tarung Drajat yang pernah ia pelajari saat SMP dan SMA. Setelah selesai memukul dan menendang samsak, Berto mandi. Kemudian, ia memasak sarapan untuk Abul dan menyiapkan bekal yang akan dibawa ke sekolah. Selanjutnya ia akan mengantarkan Abul ke sekolah dan terakhir Berto menuju toko tempat ia bekerja.

***

Sepulang bekerja dari konveksi, Berto menggembala kerbau perah. Hasil perahan susu kerbau akan Berto olah menjadi dadiah. Dadiah itu ia jual ke rumah makan di Pasar Atas Bukittinggi. Saat itu Abul sudah kelas satu SD.

Tapi hal inilah yang menjadi titik awal Abul diolok-olok oleh teman-temannya di sekolah. Banyak dari mereka yang memanggil Abul ‘anak kabau’. Kerja sampingan Berto menjual dadiah diketahui oleh anak salah satu pemilik rumah makan tempat Berto memasok barang dagangannya. Anak tersebut sekolahnya sama dengan Abul, ia menyebarkan berita tersebut ke siswa lain. Olok-olokan ‘anak kabau’ dialami Abul sampai ia SMA.

“Pantas saja ayahnya tidak menikah lagi, sudah ada puting susu kerbau tempat dia menyusu tiap malam” ucap siswa satu saat jam istirahat sekolah kepada Abul.

“Lucu juga ya, abangnya manusia, nanti lahir adiknya dari rahim kerbau. Badannya manusia dan kalau sudah gadis akan ada tanduknya” timpal siswa dua.

“Hahahaha, Abul makan nasi adiknya makan rumput. Tai Abul berwarna kuning tai adiknya berwarna hijau. Tapi puting susu yang dihisap sama, puting susu kerbau!” ucap siswa tiga.

Habis sudah kesabaran Abul, ia terjang tiga siswa yang mengolok-oloknya sedari SD itu. Tiga orang siswa tersebut mencoba memberikan perlawanan. Mereka menyerang Abul dari berbagai arah. Tapi usaha mereka sia-sia, tidak ada pukulan dan tendangan mereka yang telak mengenai badan Abul.

Begitu lihai Abul menepis dan menghindari serangan mereka. Siswa satu pecah bibir tebalnya terkena pukulan jab.  Dagunya beberapa kali dihantam oleh Abul dengan uppercut. Siswa dua dibanting Abul dengan jurus silek tuo ‘Lacuik Kain Basah’. Saat siswa dua mengayunkan tangan kanannya ke kepala Abul, secepat kilat Abul berkelit memutar badan dan menangkapnya. Tangan itu Abul pelintir ke punggungnya, lalu ia ayun dengan panggul dan  dihempaskan ke lantai. Siswa dua meringis kesakitan.

Siswa tiga menendang Abul dan menyusulnya dengan pukulan ke arah dada. Tendangan itu mengenai pinggang Abul, tetapi, tangan siswa tiga berhasil diapit Abul ke ketiaknya. Mulut siswa tiga segera terpekik. Di ketiak itu, entah bagaimana caranya, tangan siswa tiga telah dikunci oleh Abul. Siswa tiga melolong-lolong, ia minta ampun memohon-mohon agar tangannya dilepaskan oleh Abul. Tapi Abul sudah terlanjur emosi, tangan yang terkunci tersebut dipelintir Abul hingga terkilir. Persendian bahunya lepas terkulai.

Sejak Abul kelas lima SD, Berto memasukkannya ke salah satu perguruan silat di kaki gunung Merapi. Sadar bahwa anaknya akan besar di balai yang sarat akan tindak kekerasan dan cemooh tajam, Berto membentengi anaknya dengan ilmu bela diri. Tidak hanya belajar silat, pada setiap hari Minggu pagi, Abul juga mengikuti latihan Taekwondo di depan Bioskop Eri di Bukittinggi.

Pernah pada suatu malam menjelang tidur saat kelas enam SD, Abul bertanya kepada Berto

“Dengan silek dan Taekwondo aku bisa mengatasi yang sebaya yah. Tapi kalau mereka mengadu ke papanya yang jadi bos preman di terminal Aur, papinya yang punya banyak kenalan polisi, bagaimana yah?” tanya Abul saat rebahan di atas kasur sambil menatap mata ayahnya.

“Kalau Abul tidak sanggup melawan, suruh mereka semua ‘main’ dengan ayah. Tidak ada yang pernah memukul dan menendang ayah lebih keras selain hidup ini dan kehilangan ibumu nak.” Jawab Berto sambil mengusap kepala Abul.

Bukittinggi dikelilingi oleh daerah asal orang Minangkabau yang menjunjung falsafah hidup yang luhur—“adaik basandi syarak, sarak basandi kitabullah, syarak mangato adat mamakai” (adat berlandaskan agama, agama berpijak pada kitab Allah, apa yang diperintahkan agama tidak akan berseberangan dengan adat)—tetapi perilaku masyarakat Bukittinggi sama saja. Apa saja, siapa saja, dijadikan bahan olok-olok dan cemoohan. Bagi mereka yang tidak punya kuasa dan tidak pandai adu jotos, mereka akan dipupuk oleh sindiran dan cemooh. Dikota ini tidak laku istilah body shaming, nama orang diubah dengan ciri fisik mereka masing-masing. Malin Tengkak, Len Itam, Lena Sumbiang, Ed Buto, Fais Pendek, Yogi Tubles sampai ke Abul Kabau.

***

Setelah lulus SMA, Abul berkuliah di Jakarta. Berto ikut mendampingi anaknya. Ia menjual kerbaunya ke rumah pemotongan hewan di Bukittinggi. Dan membuka toko pakaian di Pasar Metro Tanah Abang. Memasuki bulan ketiga usahanya, Berto pulang ke Bukittinggi untuk melihat dua keponakannya khatam Al-Quran. Pada suatu sore menjelang magrib, sepulang kemenakannya dari mengaji Berto bertanya kepada mereka.

“Siapa nama guru ngajimu nak? Garin mesjid Al-Muslimun masih si Sakin? warung gorengan disebelah madrasah masih diisi Tek Ma?” tanya Berto kepada kedua keponakannya sambil duduk mengisap rokok di kursi teras rumah.

“Guru ngaji kami dipanggil Pak Epi Bibia mak. Bibir bawahnya terdapat beberapa bekas jahitan.” Jawab keponakan Berto sambil mencium tangan Berto.

Garin mesjid sekarang namanya Malin Kepin Tengkak mak. Kata anduang-anduang yang sedang mencuci di kolam masjid tadi sore, kakinya pincang karena pernah kalah berkelahi saat SMA. sudah kian kemari diantar orang tuanya berurut tapi tak kunjung sembuh juga.” lanjut kemanakan Berto menjawab.

“Tek Ma sudah dua bulan lalu meninggal mak. Warungnya dilanjutkan oleh kemenakannya, si Amaik Kulai. Persendian lengan kananya lepas waktu SMA. Sudah terjual dua piring sawah ibunya untuk mengoperasi bahunya supaya normal. Tapi masih saja tangan kanannya letoi seperti goreng pisang setengah masak saat dibolak-balik di kuali penggorengan.”

Sambung kemenakan Berto yang satunya lagi sambil tertawa menyeringai kepadanya.

 

About author

Deddy Arsya adalah dosen sejarah di IAIN Bukittinggi. Ia menulis puisi, cerpen, resensi film dan buku, serta esai tentang sejarah dan seni. Karya-karyanya telah dimuat di surat kabar, majalah, dan jurnal nasional. Kumpulan puisinya, Odong-odong Fort de Kock (2013) dan Khotbah Si Bisu (2019) terpilih sebagai Buku Sastra Terbaik 2013 dan 2019 versi Majalah TEMPO.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *